Minggu, 20 Februari 2011

Birahi Terlarang

Namaku Sonya Van Vossen. Entah mengapa Mamiku menggunakan nama keluarganya di belakang namaku, padahal ayahku bukan orang Belanda asli tapi keturunan Indonesia. Namanya Patrick Wibisono. Hal itu dilakukannya mungkin untuk mempertegas identitas kebelandaanku. Usiaku sembilanbelas tahun. Masih muda memang. Aku lahir dan dibesarkan di Rotterdam. Walaupun namaku Belanda, orang bilang aku ini lebih mirip dengan imigran Asia dibandingkan orang Belanda pada umumnya. Wajahku memang wajah oriental. Hidungku tidak mancung, rambutku tebal dan tidak sepirang Mamiku, hanya kulitku yang putih. Orang bilang hal yang paling menarik pada diriku selain kecantikan adalah pembawaanku yang tenang dan murah senyum. Tinggiku 170 centimeter dan berat 50 kg. Cukup ideal untuk seorang wanita. Aku berasal dari keluarga yang bahagia. Tetapi sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Papi meninggal pada saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Sejak itu aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ayah, tapi untunglah sebagai anak semata wayang Mamiku sangat memanjakanku. Dia selalu mengabulkan setiap keinginanku. Setiap akhir pekan dia mengajakku berbelanja, berwisata atau sekedar jalan-jalan keliling Rotterdam. Semua kebutuhanku terpenuhi. Semasa kecilku dulu Mami selalu menyempatkan waktunya untuk mengantarkanku kursus balet dan piano. Aku juga suka menyanyi. Di sekolahku dulu aku selalu terpilih untuk mengikuti berbagai perlombaan nyanyi dan paduan suara. Aku juga aktif sebagai penyanyi di gereja tidak jauh dari rumahku. Sejak di sekolah menengah pertama aku juga sangat menyenangi kesusastraan. Berbagai novel, puisi, sampai naskah drama klasik maupun kontemporer kulahap habis. Selain menguasai Bahasa Belanda dan Indonesia, aku juga bisa berbahasa Inggris dan Jerman serta sedikit Bahasa Jawa. Aku menyelesaikan sekolah menengahku di Rotterdam. Dan sempat kuliah di Leiden, sebelum memutuskan untuk datang ke Indonesia. Sejak kecil Mamiku memang sering menceritakan tentang keindahan negeri leluhur Papiku itu. Daerah tropis yang kaya, sawah dan ladang yang hijau, dan sang surya yang selalu terbit sepanjang hari. Semua itu hanya ada dalam angan-anganku, sampai akhirnya Mami mengijinkan aku untuk cuti dari kuliahku dan mengunjungi Indonesia. Impianku akhirnya menjadi kenyataan. Aku juga sangat bersyukur, sahabatku Rita bersedia menjadi pemanduku yang setia mengelilingi negeri kepulauan yang ternyata sangat luas ini. Setibanya di Jakarta kami hanya sempat menginap semalam di rumahnya dan besoknya kami langsung ke Tasikmalaya dan Garut, kemudian ke Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, dan akhirnya Bali. Sayangnya setiba di Bali, Rita harus cepat-cepat balik ke Rotterdam karena tidak bisa meninggalkan kuliahnya terlalu lama. Tetapi kesendirianku di Bali tidak berlangsung lama setelah aku berkenalan dengan seorang pemuda Indonesia asli yang simpatik, namanya Bagus. Lelaki yang akhirnya mencuri hatiku.
Sonya menutup catatan kisah pribadinya yang ditulisnya pada malam menjelang tidur setahun yang lalu, hari ketika pertama kali ia berkenalan dengan Bagus. Kini di malam ini, gadis itu masih terdiam dalam lara. Batinnya menangis. Haruskah kekasihnya itu terenggut darinya hanya karena pengakuan Om Bambang dan Tante Mirna yang sungguh tidak masuk di akal itu? “Pada saat aku menceraikan Mamimu, dia sedang mengandung. Dan waktu itu kami sepakat, Bagus akan ikut ayahnya sedangkan bayi yang dikandungnya akan ikut ibunya.” Begitu kata Om Bambang getir. “Maksud Anda…” ”Ya, kau adalah bayi yang dikandungnya waktu itu. Kau adalah putriku. Dan Bagus tidak mungkin menikahi adik kandungnya sendiri!” Begitulah jawaban Om Bambang siang tadi kepada Sonya dan Bagus. Bagus menertawakan lelucon gila itu, tetapi hati Sonya seperti disayat belati yang panas. Luka dan melepuh. Benar-benar gila! Mereka memang sudah kehabisan akal untuk memisahkan cinta Sonya dan Bagus. Sonya merasakan sejak semula Tante Mirna memang sangat membenci kehadiran dirinya dalam kehidupan Bagus. Kehadiran Sonya merupakan penghalang bagi ambisi isteri Om Bambang itu untuk menjodohkan anak tirinya itu dengan Sasha keponakannya. Namun yang membuat Sonya tidak habis pikir, mengapa Om Bambang ayah kekasihnya yang semula begitu baik padanya itu, ikut-ikutan dengan lelucon gila itu? Apakah Om Bambang telah dipengaruhi oleh Tante Mirna? Ataukah Om Bambang kini pun sudah tidak senang dengan kehadiran dirinya? Entah. Keinginan Sonya saat ini hanya satu, ia harus menanyakan langsung hal itu kepada Maminya di Rotterdam. Akan tetapi sampai kini Maminya tidak juga bisa dihubungi. Sejak siang tadi entah sudah berapa kali Sonya menelepon ke rumah maupun ke ponsel Maminya, tetap saja gagal. “Ayahku memang orang Indonesia, tetapi beliau lahir dan meninggal di Netherland. Namanya Patrick Wibisono. Beliau meninggal duabelas tahun yang lalu, ketika aku berusia 7 tahun,” kata Sonya mencoba menjelaskan kepada mereka siapa diri dia sebenarnya. Tapi sayang, Om Bambang dan Tante Mirna tetap tidak mempercayainya. Bahkan setelah Sonya memperlihatkan potret mendiang ayahnya itu, kedua orang itu tetap tidak mempercayainya. Om Bambang tetap bersikukuh. “Aku tidak mengenal siapa laki-laki yang kau sebut ayah itu, tetapi aku tetap yakin kau adalah putriku.” “Tidak, aku adalah putri dari Patrick Wibisono!” “Mamimu bisa saja menikah lagi setelah kembali ke Negeri Belanda, akan tetapi bayi yang dikandungnya sembilanbelas tahun yang lalu itu adalah anakku!” sanggah Om Bambang menatap tajam ke arahnya. Suaranya bergetar. Sonya memang tidak bisa membuktikan kalau Patrick Wibisono itu adalah benar-benar ayah kandungnya, akan tetapi Sonya dapat merasakan ia telah mengenal dan akrab dengan ayahnya itu sejak ia dilahirkan ke dunia ini. Ayahnya itu begitu menyayanginya, sayang ia terlalu cepat pergi untuk selamanya ketika Sonya masih begitu membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apapun yang dikatakan oleh kedua orang itu, Sonya tetap yakin kalau ayahnya adalah Patrick Wibisono dan Michelle ibunya bukanlah wanita yang dikatakan Om Bambang sebagai mantan isterinya itu. Wajah lukisan wanita yang terpampang rapi di kamar Bagus itu sekilas memang sangat mirip dengan wajah Maminya, tetapi itu belum cukup bagi Sonya untuk meyakini kalau lukisan itu adalah benar-benar wajah Maminya. Di dunia ini ada begitu banyak orang yang mempunyai wajah yang mirip, walaupun mereka tidak punya hubungan kekerabatan sedikitpun. “Aku rasa kalian keliru,” sahut Sonya ketika itu mencoba meyakinkan. “Baiklah… Kalau kau tetap tidak yakin kalau aku adalah ayahmu, kau boleh menanyakan langsung kepada Mamimu. Kami juga akan menunggu kabar dari Mamimu, bahkan kalau perlu kau boleh mengajak Mamimu ke Denpasar,” kata Om Bambang ketika itu bijak. Dan saat itu juga Sonya berpamitan untuk pulang ke rumah kontrakannya. Bagus mencoba menahannya, “Sonya… Kamu nggak usah terburu-buru pulang, kamu bisa menelpon Mamimu dari sini.” “Maaf aku harus pulang sekarang, setelah menelpon Mami aku akan segera memberi tahu kalian,” elak Sonya. “Kamu nggak apa-apa kan?” tatap Bagus gusar. “Oh, nggak. Aku baik-baik aja kok,” jawab Sonya mencoba tersenyum. “Aku antar kau pulang.” “Nggak usah, aku akan menelponmu nanti.” Setelah memberi satu kecupan di pipi Bagus, Sonya segera berlalu dari hadapan pria pujaannya itu. Ia tahu hati kekasihnya itu hancur, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta yang telah mereka jalin selama setahun, sekarang tercabik. Jam di dinding berdetak duabelas kali, malam semakin larut. Angin malam serasa menusuk tulang. Sonya tetap tidak bergeming di tempatnya. Matanya terasa berat untuk dipejamkan, walaupun daster sutera yang dikenakannya telah siap menemani sampai ke peraduan. Dari jendela kamarnya, ia memandangi malam yang nampak hitam kelam tanpa gemerlap bintang. Mendung menggantung di angkasa, sebentar lagi akan turun hujan. Sesaat kemudian rinai-rinai hujan telah membasahi rerumputan halaman rumahnya. Sonya mencoba mengenang kembali awal pertemuannya dengan Bagus di Kuta Square. Ia tidak menyangka keinginannya untuk mengunjungi tanah kelahiran ayahnya, justru mempertemukannya dengan seorang pria yang akan menjadi kekasihnya. Pertemuan yang akhirnya diikuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, sampai akhirnya Sonya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sambil memperlancar Bahasa Indonesianya di Bali. Selama setahun, hari-hari indah telah mereka lalui berdua. Bagus begitu menyayangi dirinya, Sonya seperti menemukan kembali figur seorang ayah yang telah hilang belasan tahun yang lalu. Bahkan Bagus sering memperlakukannya seperti adiknya sendiri. Sonya merasa begitu tentram dan damai bersama kekasihnya itu. Mereka begitu menikmati indahnya cinta. Namun setelah Bagus menyampaikan niatnya untuk menikahinya, segalanya berubah drastis. Apa yang diungkapkan Tante Mirna diterima begitu saja oleh Om Bambang. Ia tidak mengerti bagaimana Tante Mirna bisa mengungkapkan hal yang tidak masuk di akal itu dan bagaimana pula sampai Om Bambang bisa menerimanya tanpa bukti yang jelas, kecuali mencocokkan tanggal kelahirannya dengan kepergian mantan istri Om Bambang ke Negeri Belanda. Begitu mudahnya mereka mengklaim dirinya sebagai putri Om Bambang yang entah di mana itu. Ia harus menerima kalau Bagus adalah kakak kandungnya, oleh karena itu mereka tidak mungkin menikah. Ia dipaksa mengakui hal yang tidak diyakininya sama sekali!
Sonya merebahkan tubuhnya di peraduan, ia merasakan keletihan yang amat sangat. Gadis ini berusaha menenangkan pikirannya, lalu perlahan dipejamkannya matanya walau terasa berat. Di tengah gemiricik air hujan, sayup terdengar suara deru mesin kendaraan di luar sana. Siapa gerangan? Sonya segera bangkit. Di balik keremangan lampu taman dan hujan yang mengguyur nampak sebuah VW biru metalik yang amat dikenalinya berhenti tepat di halaman depan rumah. Itu mobil Bagus. Dugaannya benar, seorang pria atletis keluar dari jok depan. Bagus nampaknya sendirian. Sonya bertanya-tanya. Ada apa dengan kekasihnya itu, tidak biasanya dia datang larut malam begini tanpa memberitahukan maksud kedatangannya terlebih dahulu. Atau mungkin dia takut Sonya tidak akan mengijinkannya berkunjung malam-malam begini, sehingga dia tidak menyampaikannya? Sonya melihat pemuda pujaannya itu berlari-lari kecil menuju teras. Hujan yang mulai deras itu pasti membasahi sekujur tubuhnya. Sonya buru-buru ke ruang tamu untuk menyambut Bagus. Dia pasti kedinginan kalau terlalu lama menunggu di luar. Sebelum Bagus memencet bel yang kedua kalinya, Sonya telah membuka daun pintunya. Sesosok pria tampan yang amat dikenalinya berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengambang. Walaupun sekujur tubuhnya basah kuyup, pemuda itu tetap menebar senyum ceria, manis sekali. Seketika jantung gadis itu berdesir. “Hai…” sapanya mesra. “Hai…” balas Sonya tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. “Boleh aku masuk?” “Please…” sambut Sonya membuka pintu selebar-lebarnya. “Dalam keadaan basah seperti ini?” tanya Bagus bimbang. “Tidak mengapa, aku akan sediakan handuk dan pakaian untukmu,” jawab Sonya. “Trims.” Bagus melangkah masuk. “Aku ambilkan handuk untukmu.” Sonya segera menutup pintu, kemudian bergegas meninggalkan Bagus. Namun pemuda itu menghalangi, “Nanti saja, aku ingin bicara denganmu.” “Tapi, nanti kamu kedinginan. Sebaiknya kamu keringkan dulu tubuhmu baru kita ngobrol,” Sonya memberi saran. ”Nggak kok, sudah biasa,” tolak Bagus. Sonya mengurungkan niatnya, lalu melangkah ke hadapan Bagus. “Mengenai apa?” “Mengenai siang tadi,” jawab Bagus memulai percakapan. Sonya hanya terdiam. “Apa kamu masih mempercayai kata-kata mereka?” tanya Bagus sambil menatap kedua bola mata bening gadis itu. Sonya menarik nafas kemudian menghembuskannya pelan. “Aku tidak tahu,” jawabnya gusar. Sonya terdiam sesaat, lalu ia melanjutkan, “Sejak siang tadi aku berusaha menghubungi Mami tetapi selalu gagal.” “Kamu tidak perlu menghubungi Mamimu!” kata Bagus cepat. “Kenapa?” “Apa yang mereka katakan itu semuanya bohong. Mamimu pasti tidak akan mengakui cerita bohong itu!” kata Bagus berapi-api. Sonya hanya membisu. “Sonya… Mereka berusaha memisahkan kita berdua dengan segala cara, tetapi aku tidak sebodoh itu,” kata Bagus lagi dengan senyum sinis. Sonya tetap membisu. “Mereka hanya menduga-duga, lalu mengarang cerita dengan harapan kita mau mempercayainya begitu saja.” kata Bagus lagi mencoba meyakinkan gadis itu. Sonya tetap tertunduk dalam diam, kegalauannya memuncak. Bagus mengangkat wajah kekasihnya itu dengan lembut, “Kamu yakin dengan apa yang mereka katakan?” Sonya menggeleng. Bagus memegangi kedua pundak gadis itu, “Aku sangat mencintaimu, Sonya. Tidak ada yang bisa memisahkan kau dari aku meskipun dia orang tuaku sekalipun!” kata Bagus mantap. Sonya masih diliputi kebimbangan, “Bagaimana kalau apa yang mereka katakan itu memang benar?” tanya gadis itu risau sambil menatap kedua bola mata pemuda itu. Bagus menghela nafas, lalu, “Percayalah sayang, apa yang mereka katakan itu hanya untuk membatalkan rencana pernikahan kita.” “Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Sonya penuh harap. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk mengatasi masalah ini. “Segera menikah!” kata Bagus cepat. Sonya tersentak, “Menikah?” “Ya! Aku akan menikahimu walaupun tanpa persetujuan kedua orang tuaku. Aku rasa ini satu-satunya cara untuk menghentikan sandiwara yang penuh dengan kebohongan itu. Besok kita ke Singaraja, di sana aku punya seorang teman yang bisa membantu pernikahan kita!” kata Bagus bersemangat. “Itu tidak mungkin!” elak Sonya. “Mengapa?” “Kita tidak mungkin melakukan hal yang senekat itu. Aku harus menelpon Mamiku dulu. Aku khawatir…” Sonya tidak meneruskan kalimatnya. “Apa yang kamu khawatirkan?” desak Bagus. “Aku khawatir, apa yang dikatakan Papamu itu benar,” jawab Sonya pelan tidak bisa menyembunyikan kebimbangannya. Bagus kembali mengehela nafas kecewa, “Ah, Sonya… Kamu masih juga mempercayainya?” “Bukan begitu, aku rasa kemungkinan itu bisa saja terjadi pada kita,” kata Sonya berusaha berpikir logis. “Bull shit!” timpal Bagus sengit. “Kau telah termakan oleh kata-kata mereka!” katanya lagi. Sonya hanya terdiam. Emosi Bagus memuncak, “Baiklah. Kalau itu pilihanmu, apa boleh buat. Tapi satu hal, aku tetap tidak akan mempercayai apapun yang mereka katakan. Dan aku sudah bersumpah untuk menikahimu sekarang atau tidak sama sekali! Selamat tinggal!” Dengan sigap Bagus melangkah ke arah pintu dan membukanya. Sonya berusaha menghalangi, “Sudah larut malam, hujan belum reda. Sebaiknya kamu nginap di sini saja.” Bagus tidak menghiraukannya, pemuda itu tetap melangkah keluar. “Please…” Sonya memelas, tetapi pemuda itu tetap melangkah ke mobilnya. Sesaat kemudian VW biru metalik itu bergerak meninggalkan halaman rumah itu. Sonya hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian Bagus dari teras. Dadanya terasa sesak, tanpa terasa air bening telah mengalir deras membasahi pipinya. Setelah ayahnya, kini pria yang paling dicintainya itu pun telah pergi berlalu meninggalkannya sendirian dalam sepi. Sonya tetap tidak bergeming di tempatnya berdiri. Melihat itu Bagus membalikkan kendaraannya, seperti ada sesuatu yang menghalangi kepergiannya. Pemuda itu tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian. Ia khawatir kalau terjadi sesuatu pada gadis manisnya itu. Bagus kembali menghampiri gadis itu yang masih terpaku dalam diam. “Maafkan aku Sonya…” sahutnya parau. “Hujan semakin deras. Masuklah, nanti kau sakit,” bujuknya lagi lembut. Gadis itu tetap terdiam, hatinya galau dalam emosi. Bagus mencoba menenangkan, dipegangnya kedua bahu gadis itu, “Aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin melihat kau bersedih seperti ini.” Gadis itu menahan isak, lalu membenamkan wajahnya dan menangis di dalam dekapan kekasihnya itu. “Kumohon, jangan tinggalkan aku,” katanya terisak. Bagus memeluknya erat. Malam ini Sonya merasa begitu damai dalam pelukan Bagus. “Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu,” bisik Bagus terdengar begitu syahdu di telinga gadis itu. “Sungguh?” “Ya, mulai saat ini tidak ada lagi orang yang bisa memisahkan kita berdua!” Keduanya pun larut dalam emosi yang memuncak. Bagus merenggangkan dekapannya, lalu diangkatnya wajah gadis itu. Ia ingin melihat wajah kekasihnya itu. Kedua bola mata indah itu nampak sembab, air bening masih mengalir pelan di kedua pipinya yang merah padam. Bagus dapat melihat duka yang amat mendalam di wajah kekasihnya. Sesaat dikecupnya kening gadis itu lembut. Kemudian dipandanginya bibir pucat yang masih bergetar menahan tangis, lalu dikecupnya mesra. Gadis itu merasakan dadanya berdesir kencang. Ia tak kuasa menghindarinya. Pemuda itu memberikan kecupan kedua, dan kali ini gadis itu menyambutnya hangat. Seketika itu juga emosi mereka tak tertahankan lagi. Kedua bibir mereka terlanjur bertemu, gejolak darah muda dua sejoli yang tengah dimabuk asmara ini semakin menggelora. Perasaan rindu yang selama ini tertahankan, mereka tumpahkan malam itu. Sonya belum pernah merasakan cumbuan kekasihnya itu seperti malam ini. Satu-dua kecupan mesra tidak dirasakannya lagi. Pemuda itu mencumbuinya tidak seperti biasanya, begitu menggebu-gebu. Dalam beberapa saat tubuhnya telah terseret oleh desakan pemuda itu dan kini punggungnya telah tersandar ke dinding, namun pemuda itu terus mendesak dan menekannya. Sonya merasakan tubuhnya mulai basah oleh keringat. Sesaat pemuda itu menghentikan cumbuannya, napasnya tersengal-sengal. Keduanya saling pandang. Hujan semakin deras. Sonya merasakan tubuhnya terangkat, Bagus menggendongnya memasuki ruang tamu. Perlahan diturunkannya gadis itu di atas sofa, namun gadis itu tetap tidak melepaskan pelukannya. “Aku sangat mencintaimu, Sonya,” bisik pemuda itu dengan nada bergetar. “Jangan tinggalkan aku,” sambut Sonya penuh harap. Bagus memandangi bibir merah Sonya yang merekah, lalu dikecupnya. Gadis itu pun menyambutnya hangat. Percintaan mereka semakin alot sampai kegerahan memaksa mereka untuk menanggalkan satu per satu pakaian yang mereka kenakan, sampai tak ada selembar benang pun di tubuh mereka. Kini tak ada lagi yang menghalangi tubuh mereka untuk saling bersentuhan, keduanya begitu menikmati gesekan demi gesekan kulit mereka yang basah oleh peluh. Dalam keadaan yang serba polos itu keduanya saling mendekap, sampai akhirnya tubuh mereka pun bersatu. Derasnya hujan dan gelegar petir mengiringi setiap gerakan, peluh dan desahan dua orang anak manusia yang berlainan jenis itu.
Dari jendela kamar Sonya menyaksikan sang surya perlahan naik, bias sinarnya menyilaukan mata. Daster suteranya kini telah membalut tubuhnya kembali setelah semalam Bagus mencampakkannya di lantai. Diliriknya pemuda itu yang masih terlelap, nampaknya ia sangat letih setelah menghabiskan seluruh energinya semalam. Pemuda yang sangat dicintainya dan semalam telah menodai kegadisannya. Ia bimbang apakah ia harus menyesali apa yang telah mereka lakukan semalam. Yang pasti ia sangat menikmati setiap cumbuan dan keuletan pemuda itu. Apa yang selama ini tertahankan, segalanya telah mereka tumpahkan semalam. Ia merasakan pemuda itu telah mengekspresikan cintanya yang menggebu-gebu melalui keuletannya semalam. Tiba-tiba sepasang tangan kekar mendekap tubuhnya dari belakang, sebuah kecupan selamat pagi hinggap di pipi kanannya. “Kau baik-baik saja, sayang?” bisik pemuda itu lembut. “Iya,” jawab gadis itu pelan. Sonya membalikkan tubuhnya, kini ia dapat melihat wajah kekasihnya itu. Sesaat mereka saling bertatapan mesra. “Bersiaplah kita akan segera berangkat ke Singaraja untuk meresmikan perkawinan kita,” kata pemuda itu bersemangat. Seketika keceriaan pada wajah gadis itu memudar. “Kenapa? Apa kau belum siap?” tanya pemuda itu. Kegalauan nampak jelas di wajah Sonya, “Bukan itu. Terus terang aku masih khawatir kalau apa yang dikatakan Papamu itu memang be….” Sebelum Sonya meneruskan kalimatnya, Bagus buru-buru menempelkan jari telunjuknya ke bibir gadis itu, “Jangan ucapkan itu lagi, sayang.” Bagus mengangkat wajah murung kekasihnya itu sampai kedua wajah mereka saling bertemu. “Semalam kita telah melakukan segalanya. Siapapun kita dan apa pun hubungan di antara kita, yang jelas kita telah melakukan hubungan suami-istri. Sekarang kita tinggal meresmikannya dalam sebuah lembaga perkawinan. Ini harus kita lakukan karena aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku semalam. Aku tidak ingin kau hamil tanpa seorang suami.” Sonya melepaskan dekapan pemuda itu. “Tapi apa kata orang nantinya?” timpal gadis itu dengan suara bergetar, kedua bola mata beningnya berkaca-kaca. Kerisauan yang memuncak tergambar jelas di wajahnya yang putih bersih. “Persetan dengan mereka semua!” kata pemuda itu lantang tidak dapat mengendalikan emosinya. Sonya hanya diam, sesaat keduanya membisu dalam sepi. Bagus kembali mengangkat wajah gadis itu, “Sayangku… Kalau itu memang benar, kedua orang tua kitalah yang harus dipersalahkan karena mereka yang telah memisahkan kita sampai kemudian kita bertemu secara tak sengaja. Aku seorang pria dan kamu seorang wanita, kita bertemu dalam keadaan tidak saling mengenal sebagai saudara. Adalah hal yang wajar kalau kemudian kita saling jatuh cinta. Dan sekarang aku ingin menikahimu. Apakah itu salah? Semua ini tidak akan terjadi kalau kedua orang tua kita tidak memisahkan kita begitu saja tanpa adanya komunikasi sama sekali. Lalu, mengapa kesalahan mereka harus kita yang menanggungnya? Itu tidak adil, Sonya.” Mendengar penuturan Bagus, gadis itu tidak dapat lagi membendung air mata yang mengalir deras di pipinya. Hatinya begitu teriris dengan kenyataan pahit yang harus mereka alami. Bagus memeluknya erat, tangisnya ditumpahkan dalam dekapan pemuda pujaannya itu. Sesaat mereka larut dalam emosi. Setelah segala kekesalan mereka tercurahkan, pemuda itu berusaha meredakan kesedihan kekasihnya itu. Dibelainya lembut rambut hitam panjang yang tergerai, lalu, “Semuanya sudah terjadi sayangku. Tidak ada seorang pun yang dapat memisahkan cinta kita berdua. Sekarang mari kita hadapi bersama, apapun resikonya.” Sonya merasakan setiap sentuhan pemuda itu membangkitkan gairah cintanya. Diangkatnya wajahnya, lalu dipandanginya wajah tampan pemuda itu yang tersenyum manis padanya. “Percayalah, aku akan selalu bersamamu. Tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan kita,” kata pemuda itu meyakinkan. Sonya melihat kesungguhan di wajahnya. Kesungguhan itu perlahan mulai menyurutkan kegalauannya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kencang mengusir keresahan yang tadi mendera. Hatinya mulai terasa lega kini. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sangat mencintai pemuda itu dan ia akan memberikan segalanya demi cinta mereka, apapun resikonya. Sekarang ia merasa perlu untuk lebih dulu mengecup bibir pemuda itu. “Terima kasih,” ucapnya lembut. Akhirnya kedua sejoli ini pun kembali terlena dalam buaian asmara. Sejuk udara pagi semakin menambah kegairahan mereka. Usia mereka memang masih terlalu muda untuk menahan gejolak asmara dan birahi yang memuncak. Pagi itu mereka melakukannya untuk yang kedua kalinya. Mereka tidak memperdulikan lagi sarapan pagi yang telah siap di meja samping tempat tidur. Sonya begitu menikmati desakan pemuda itu, bayang-bayang ketakutan dan kegelisahan yang tadi mendera telah hilang seketika di tengah deru nafas mereka yang terus berpacu. Kini ia tidak perduli lagi akan semua resiko yang mungkin akan terjadi, semuanya akan mereka hadapi bersama. Pemuda yang amat dicintainya itu kini telah menjadi miliknya dan tidak lama lagi akan menjadi suaminya. Meskipun demikian Sonya tetap berharap Maminya akan segera datang dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Om Bambang adalah tidak benar, sehingga Bagus akan menjadi suaminya yang sah.
Sonya tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti saat ini, sebentar lagi sebuah lembaran baru dalam sejarah hidupnya akan terbuka. Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menyandang predikat sebagai Nyonya Bagus, pemuda yang telah mengubah hidupnya dari seorang anak Mami yang manja menjadi seorang wanita dewasa. Pak Gani akan menjadi wali bagi Sonya, sedangkan sahabat mereka Hendra dan Reza telah siap menjadi saksi perkawinan mereka di hadapan Pak Rahmat sebagai Penghulu. Mereka merasa tidak perlu menceritakan persoalan mereka secara detail kepada keempat orang ini karena itu bisa menjadi penghalang rencana pernikahan mereka berdua. Yang mereka tahu rencana perkawinan mereka berdua tidak direstui oleh kedua orang tuanya masing-masing. Pak Rahmat merasa bertanggung jawab untuk segera menikahkan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi Pak Rahmat mereka terlihat terlalu akrab untuk sekedar dikatakan pacaran. Setelah memikirkan untung-ruginya, pria sentengah baya itu memutuskan untuk menikahkan mereka tanpa wali orang tua. Di salah satu ruangan di rumah Pak Gani, calon mempelai pria telah duduk di hadapan Sang Penghulu dan Pak Gani. Sementara Reza dan Hendra duduk di sampingnya. Siang itu Bagus mengenakan jas berwarna hitam dan hem putih dipadukan dengan dasi berwarna biru langit serta peci yang menutupi rambutnya. Kostum itu dipinjamkan oleh Pak Gani. Walaupun kelihatan kurang pas dengan postur tubuhnya, pemuda itu tetap kelihatan tampan dan rapi. Sedangkan Sonya sendiri yang sedang menunggu di kamar sebelah nampak begitu anggun dengan kebaya berwarna pink yang dipadukan dengan kerudung dengan warna senada. Gadis itu tidak bisa mengusir kegugupannya, keringat membasahi keningnya yang putih. Perasaannya galau dan bercampur-baur antara senang dan haru. Sesaat lagi mereka akan resmi sebagai suami-istri tanpa kehadiran kedua orang tua mereka. Ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi pada dirinya. Tapi, ah, sudahlah, semua sudah terjadi. Yang pasti, sebentar lagi aku akan menjadi Nyonya Bagus! batinnya mantap. Pak Rahmat menatap Bagus, “Nak Bagus sudah siap?” Pemuda itu mengangguk pasti, “Ya, saya siap.” Pak Rahmat tersenyum, untuk kesekian kalinya ia menikahkan dua sejoli tanpa kehadiran orang tua mereka masing-masing.
Ijab kabul baru saja akan dimulai ketika seseorang mengetuk pintu dan membukanya. Bu Ayu, isteri Pak Gani telah berdiri di ambang pintu, “Maaf… Nak Bagus, di luar ada orang dari Denpasar ingin segera bertemu. Katanya sangat penting.” Seketika Bagus tergeming, dipalingkannya wajahnya ke arah Bu Ayu. “Siapa dia?” tanyanya dengan wajah tegang, irama detak jantungnya tidak beraturan. “Katanya, Pak Bambang,” jawab Bu Ayu. Bagus bangkit dari duduknya, “Papa?” Ia tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Degup jantungnya semakin kencang. Di kamar sebelah, Sonya mulai gelisah. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Kalau dia memang orang tuamu, sebaiknya temuilah mereka dahulu,” kata Pak Rahmat bijak. “Pak Penghulu, aku minta nikahkan kami sekarang juga. Setelah itu baru aku temui mereka. Aku tidak ingin mereka menghalangi perkawinan kami,” pinta Bagus penuh harap pada Pak Penghulu. “Tidak mungkin, kamu tidak mungkin menikahi adik kandungmu sendiri anakku!” Suara lantang dari seorang wanita yang bukan suara Bu Ayu begitu membahana di ruangan itu. Seketika Bagus tersentak, matanya melotot. Seorang wanita bule tinggi semampai telah berdiri di samping Bu Ayu. Usianya sekitar empatpuluhan, namun masih kelihatan cantik dan anggun. Mata birunya berkaca-kaca. Sonya sangat mengenali suara wanita itu, keingintahuannya memuncak. Gadis itu tiba-tiba muncul dari pintu ruang sebelah. “Mami!” pekik Sonya seketika. Dia bukan saja terkejut oleh kedatangan Maminya itu yang secara tiba-tiba, akan tetapi lebih terkejut lagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Maminya barusan. “Kalian berdua adalah anak dari hasil perkawinan kami berdua,” sahut Pak Bambang pula tiba-tiba telah berdiri di sisi Sang Mami. “Sonya anakku… Apa yang dikatakan Pak Bambang itu benar, Bagus adalah kakak kandungmu… Kalian berdua lahir dari rahimku…” kata wanita itu lagi dengan suara tertahan. Mendengar itu, Sonya tergagap sesaat. Keterkejutan dan ketidakpercayaan bercampur baur dalam dirinya. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak, tidak mungkin Mami. Aku mencintai Bagus…” Gadis itu menahan isak, nafasnya terasa sesak. Bagus segera menggandeng tangan kekasihnya itu, “Tidak, kalian semua berdusta! Hari ini juga kami akan menikah, kalian tidak bisa menghalangi kami!” teriaknya sengit. “Mami mohon, sayang. Jangan lakukan…” pinta Sang Mami, terisak. “Semua ini adalah kesalahan Mami. Sejak bercerai dengan Papamu, Mamilah yang memutuskan hubungan dengan Papamu dan Bagus. Mami tidak menduga kalian akan bertemu di sini,” ratap Sang Mami berurai air mata. “Semua ini kesalahan kami berdua, kamilah yang pantas dihukum. Tapi sekali lagi kami mohon jangan lakukan perkawinan itu, kalian adalah anak-anak kami,” pinta Pak Bambang penuh harap. Sonya merasakan hatinya telah hancur lebur kini, kebahagiaannya musnah seketika. Dalam kekalutannya, gadis itu melepaskan genggaman tangan Bagus dan berlari meninggalkan mereka semua. Melihat itu wajah sang Mami pucat pasi, kepalanya terasa pening dan pandangannya gelap. Wanita itu jatuh pingsan dalam pelukan Pak Bambang. Bagus mencoba mengejar kekasihnya itu, namun Pak Rahmat menghalanginya, “Jangan, biarkan dia menenangkan pikirannya.” Semuanya memang harus berakhir…
Ya, semuanya memang harus berakhir. Itu keputusan kami berdua. Hubungan cinta kami memang tidak akan mungkin dapat dilanjutkan lagi. Terlalu banyak aturan dan norma yang harus kami langgar kalau hubungan kami tetap dilanjutkan. Status kami sebagai kakak-beradik yang lahir dari rahim yang sama harus kami terima sebagai suatu kenyataan yang tak dapat dibantah. Aku senang, Bagus akhirnya mau menerima kenyataan ini, walaupun sangat berat baginya. Mungkin ia tidak mengetahui aku pun mengalami kekecewaan yang sama, bahkan mungkin lebih menyakitkan. Aku berusaha untuk tetap tegar menghadapi semua ini. Seandainya saja mereka tahu betapa hancurnya hatiku ini ketika mengetahui pria yang sangat aku cintai dan telah aku serahkan sepenuhnya diriku padanya sebagai bukti cintaku, ternyata adalah saudara kandungku yang tidak boleh aku nikahi dan menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Itulah kenyataan pahit yang harus kami terima. Dan aku sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya. Biarlah waktu yang membawaku pergi dari kenangan indah yang berakhir duka ini.
Bagus mempercepat langkahnya, pesawat Garuda tujuan Amsterdam setengah jam lagi tinggal landas. Suasana di terminal keberangkatan malam itu cukup ramai, namun ia tetap berusaha melemparkan pandangannya ke semua arah sampai akhirnya pandangannya tertuju kepada seorang gadis yang dicarinya. Bagus mencoba mengejar sebelum gadis itu masuk ke ruang tunggu keberangkatan. “Sonya!” sahutnya lantang. Gadis itu menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Tatapannya nampak sayu, awan mendung masih menggantung di wajahnya. “Aku mohon kamu membatalkan keberangkatanmu sambil menunggu Mami vit kembali dan kalian bisa berangkat bersama,” pinta Bagus penuh harap. Gadis menggelengkan kepala. “Aku harus segera berangkat. Tidak apa Mami menyusul belakangan,” kata gadis itu dengan suara tertahan. Emosinya terpancing, kedua bola mata indahnya berkaca-kaca. Akan tetapi ia berusaha agar air bening itu jangan sampai jatuh ke pipinya. Air matanya sudah terlalu banyak terbuang. Ia juga tidak ingin pemuda yang amat dicintainya ini bersedih melihat penderitaan batinnya. Ia berusaha tersenyum walau terasa pahit. “Please…” pinta Bagus lagi. Gadis itu kembali menggeleng, “Aku baru saja mendapat tawaran untuk mengajar Bahasa Indonesia di Leiden, aku tidak ingin membuang kesempatan ini.” Bagus menghela nafas, “Baiklah kalau begitu, aku ingin memberikan bingkisan ini untukmu.” Pemuda itu menyodorkan bingkisan kecilnya. Sonya menyambutnya, “Terima kasih. Setibanya di sana aku akan berkirim surat kepadamu.” Bagus mengangguk tersenyum, “Jaga dirimu baik-baik.” Sesaat keduanya saling bersitatap mesra. Sonya memberikan kecupan perpisahan, Bagus menyambutnya hangat. “Aku tidak akan bisa melupakanmu, Sonya,” kata Bagus getir. “Aku juga,” balas gadis itu dengan suara bergetar. Mereka tidak bisa membayangkan kerinduan yang akan mendera. Mereka pun kembali larut dalam emosi. Keduanya berpelukan erat, cukup lama. Bagus lalu merenggangkan dekapannya. Kini giliran dia yang harus memberikan kecupan perpisahan, dan Sonya menyambutnya antusias. Bibir mereka kembali bertemu. Seperti magnet, keduanya kembali terlibat dalam ciuman panjang seakan tak ingin lepas. Sampai akhirnya Sonya tersadar. “Cukup, sayang,” elaknya halus sambil melepaskan dekapan Bagus. “Oh, maafkan aku.” Bagus segera sadar apa yang mereka lakukan barusan di depan orang banyak. “Kau tidak boleh mencium adikmu seperti ini,” kata gadis itu tersenyum. Bagus ikut tersenyum pahit, “Ya, kau benar.” Sonya segera meraih tas jinjingnya, “Selamat tinggal.” Gadis itu segera berlalu meninggalkan Bagus, meninggalkan semua kenangan indah dan pahit yang telah mereka lalui bersama. Ia sudah memutuskan untuk kembali ke negeri kelahirannya dan berharap tidak akan bertemu lagi dengan kekasihnya itu.
Sebulan kemudian Bagus menerima surat dari Negeri Belanda :
Dear, Bagus.
Aku bersyukur karena aku bisa memenuhi cita-citaku untuk menjadi seorang guru. Kini aku telah aktif kuliah lagi sambil mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Leiden. Aku berharap semua ilmu yang aku dapatkan selama berada di Indonesia bisa aku manfaatkan di sini. Sayangku, terus terang sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, melupakan semua yang pernah kita lakukan. Masa-masa indah kita berdua di Kuta, Tanah Lot, Nusa Dua, Ubud, dan di kamar tidurku. Aku masih selalu berharap kau ada di sisiku, membelaiku, mencumbuku, menggendongku, dan meniduriku. Kau selalu ada dalam fantasiku. Aku amat sangat mencintaimu, karena itu aku harus meninggalkanmu. Kita diciptakan bukan untuk saling mencintai sebagai sepasang kekasih tetapi sebagai kakak dan adik. Untuk melupakan semuanya, hari-hariku kuisi dengan berbagai kegiatan yang sangat padat. Aku berharap suatu saat kelak kita akan berjumpa lagi setelah kita menemukan pasangan hidup kita masing-masing dan mempunyai anak yang lucu-lucu. Semoga. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Sekian.
Dari adikmu, Sonya

14 Nopember 2000
William Makanja Dikemas 12/04/2003 oleh Editor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer