Tampilkan postingan dengan label Kisah Teladan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Teladan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 Februari 2011

Orang-orang yang Menjadi Kera

Pada suatu masa, ada satu kelompok kaum Bani Israil yang tinggal di tepian laut. Mereka hidup sebagai nelayan dan secara teratur pergi melaut mencari ikan hampir setiap hari. 

Hampir setiap hari? Ya, hampir setiap hari, sebab orang orang Bani Israil ini hanya mencari ikan pada setiap hari Minggu sampai hari Jum'at. Mereka tidak melaut pada hari Sabtu karena ada satu ketentuan khusus yang ditetapkan Allah pada penduduk ditepi laut ini yaitu larangan untuk berburu ikan dihari Sabtu. 

Mulanya mereka menerima ketentuan Allah dengan lapang dada, tetapi kemudian Allah memberi ujian pada mereka untuk-mengetahui siapakah diantara mereka yang benar-benar taat kepadaNya. 

Ikan-ikan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka justru banyak berkumpul dan mendekati masyarakat Bani Israel pada hari Sabtu. Sementara dihari lain , ikan-ikan ini malah menjauhi mereka. Akibatnya„ mereka harus lebih bersusah payah dalam menangkapnya.
Segera saja kondisi ini menggoda sebagian masyarakat Bani israel. Mereka berfikir keras, bagaimana caranya agar ikan-ikan itu dapat mereka nikmati tanpa harus menangkapnya pada hari sabtu. 

Lalu datanglah sebuah ide. "Bagaimana kalau begini saja, kita pasang perangkap di laut itu pada hari Jum'at," kata seseorang. "Pada hari Sabtu, ikan-ikan tentu akan berdatangan dan masuk kedalam perangkap. Nah, dihari Minggu kita tinggal mengangkat perangkap dan menikmati ikan-ikan itu. Ide itu segera saja disetujui para penduduk yang tidak beriman. Mereka segera saja membuat berbagai perangkap dan memasangnya pada setiap hari Jum'at untuk kemudian mengambil ikan-ikan yang terperangkap dihari Minggu. Para penduduk ini tak sedikitpun merasa khawatir dengan perbuatan mereka. Mereka malah bangga karena mengira dapat menipu peraturan Allah dengan cara yang licik seperti itu. 

Sebagian penduduk lainnya adalah penduduk yang masih taat pada aturan Allah. Mereka adalah orang orang yang yakin bahwa berbuat curang pada Allah dapat membuat Allah murka dan menurunkan ajabNya. 

Tetapi penduduk yang taat itupun terbagi dua. Kelompok pertama adalah kelompok yang tak acuh pada kecurangan yang dibuat masyarakat yang tidak beriman dan kelompok kedua adalah kelompok orang beriman yang tak pernah lupa akan tugas mereka sebagai penyeru kebenaran. Karena itu, kelompok kedua ini tak berdiam diri saja, mereka menasehati penduduk yang berbuat curang. 

"Hentikan kecurangan ini saudara-saudara. Ingatlah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Segala perintah Allah tentulah ada maksudNya. Dan mengingkari perintah Allah pastilah membuat Allah murka. Ikan-ikan yang menjauh pada hari lain dan mendekat pada hari Sabtu tentulah hanya sebuah ujian dari Allah bagi kita." 

"Yang dilarang itukan menangkap ikan dihari Sabtu. Kami hanya meletakkan perangkap dihari Jum'at dan mengambil hasilnya dihari Minggu. Jadi kami tidak melanggar peraturan," jawab mereka yang curang dan keras kepala. 

Berkali kali kaum beriman memperingati mereka. Tetapi peringatan itu tak pernah digubris. Mereka bahkan meminta kaum beriman untuk tidak lagi mencampuri urusan mereka. 

Sementara itu kelompok yang masih taat kepada Allah, tetapi tidak mau repot-repot mengurusi penduduk yang curang, justru mencela kaum beriman yang terus saja berdakwah. "Kenapa sih mau-maunya kalian mengurusi orang orang yang sudah pasti akan diajab Allah?" ungkap mereka. 

"Mereka kan sudah pasti binasa." 

"Kami memberi mereka peringatan agar lepaslah beban kewajiban kami untuk memperingati mereka akan kebenaran Allah. Sehingga bila kelak kami ditanya Allah mengenai urusan ini, kami memiiliki satu alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu, kami memperingati mereka adalah sebagai sebuah kewajiban berdakwah, agar mereka dapat kembali menjadi orang yang bertakwa," jawab kaum beriman dengan lembut. 

Tetapi sayang, penduduk yang curang itu tak juga mau mendengar nasehat kaum beriman. Mereka terus saja melakukan pembangkangan atas perintah Allah, hingga pada suatu hari terjadilah peristiwa yang sangat mengherankan. 

Pada suatu pagi seluruh penduduk yang melakukan kecurangan bangun dari tidurnya dengan perasaan aneh. Ketika saling memandang tahulah mereka apa keanehan itu.
Tidak satupun dari mereka yang curang ini hidup dalam wujud manusia. Tubuh mereka telah berubah menjadi kera. Sementara orang-orang yang beriman dan taat kepada Allah diselamatkan Allah dengan tetap berwujud manusia. 

Mengetahui bahwa diri mereka telah berubah menjadi kera yang hina, segera saja menyesallah para para pembangkang yang curang itu. Tetapi semua itu sia-sia. Allah telah menurunkan azab atas kezaliman mereka selama ini. Maka merekapun harus melanjutkan hidup sebagai kera hingga ajal datang menjemput ruh mereka.

Keteguhan Hati Sang Nabi

Ada satu contoh yang bisa kita ambil dari perilaku Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw, adalah orang yang terkenal teguh hatinya. Maksudnya, ia sangat taat dalam menjalankan kebenaran. Suatu kebenaran yang datang dari Allah dipertahankannya walau keselamatan beliau terancam.

Alkisah, Nabi Muhammad Saw, telah menerima wahyu dari Allah. Nabi diutus kepada seluruh umat manusia untuk menyembah Allah. Sejak itu, Nabi mulai aktif berdakwah sendirian.

Pada awalnya, beliau berdakwah kepada istrinya, lalu kepada kaum kerabatnya. Karena Nabi berasal dari suku Quraisy, beliau sering berdakwah setiap ada perkumpulan suku Quraisy. Nabi tidak mendapatkan banyak sambutan, tetapi lebih banyak cemoohan. 

Keteguhan Hati Imam Al-Ghazali

Kisah ini menceritakan tentang seorang tokoh sufi yang sangat terkenal. Beliau adalah Imam Al-Ghazali yang dilahirkan di kota Gazalah, di Iran utara. Jadi, nama tempat kelahirannya menjadi namanya juga (ini kebiasaan bagi orang-orang Arab). 

Nama sebenarnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad At-Tusi Al-Ghazali. Beliau berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya hanya seorang pemintal benang tenun. Namun, ayahnya ingin sekali anaknya menjadi orang yang berilmu. 

Sebelum meninggal, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada seorang sahabatnya. 

Kala itu, sang ayah hanya meninggalkan warisan yang tidak seberapa. Oleh sahabat ayahnya, Al-Ghazali dan Ahmad dimasukkan sekolah. Al-Ghazali menjadi anak yang haus ilmu. Ia banyak belajar berbagai hal. 

Ketika Al-Ghazali menginjak usia remaja, sahabat ayahnya sudah tidak sanggup lagi menyekolahkannya. “Abu Hamid, harta ayahmu yang dititipkan kepadaku telah habis. Aku merasa tidak sanggup lagi untuk menyekolahkanmu. Oleh karena itu, aku sarankan untuk mencari biaya pendidikan ke luar kota. Kudengar di Thus ada seorang ulama kaya yang suka membantu orang-orang tidak mampu. Datanglah ke sana.!” 

Beruntunglah ketika pindah ke kota Thus, Al-Ghazali mendapat bea siswa dari Ahmad bin Muhammad Razkafi. Ulama inilah yang telah mengajarkan kepada Al-Ghazali tentang cara membaca Al-Qur’an, hadits, dan fiqh. Al-Ghazali sangat cepat menguasai pelajaran. Dalam waktu singkat ia telah fasih membaca Al-Qur’an, hafal banyak hadits, dan tahu banyak tentang hukum islam. Hal ini membuat Al-Ghazali semakin meneguhkan hatinya untuk belajar. Ia ingin mengangkat derajatnya dengan ilmu pengetahuan. 

Selesai menamatkan pendidikan di kota Thus, Al-Ghazali meminta izin untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Atas restu gurunya dan bantuan pemuka setempat, Al-Ghazali bisa melanjutkan pendidikan ke kota Jurjan. Ia belajar di sebuah sekolah yang dipimpin oleh ulama besar bernama Abu Nasar ismaili. Disini, ia belajar selama tiga tahun. Setelah itu, kembali ke kotanya. 

Dalam perjalanan pulang, Al-Ghazali mendapat pelajaran berharga. Keteguhan hatinya untuk belajar ilmu agama diuji oleh Allah. Ketika pulang, ia dicegat gerombolan perampok. 

“Hai, anak muda! Serahkan hartamu kalau mau selamat!” hardik seorang perampok. 

“Aku tidak memiliki apa pun selain pakaian dan buku-buku ini,” ujar Al-Ghazali dengan penuh iba. 

Para perampok itu menggeledah Al-Ghazali. Tapi, mereka tidak menemukan harta yang di cari. Mereka pun menjadi sangat kesal. Kemudian memberantakkan buku-buku catatan Al-Ghazali. Dengan penuh harap, Al-Ghazali memohon kepada mereka, “Wahai tuan, tolong kembalikan buku-buku catatanku. Engkau boleh ambil pakaian-pakaian milikku.” 

Perampok itu tak menghiraukan permohonan Al-Ghazali. Salah seorang dari mereka malah menyindirnya, ”Untuk apa engkau belajar, kalau masih membutuhkan catatan-catatan tak berguna ini!” Para perampok itu lalu membakar buku-buku catatan milik Al-Ghazali. 

Al-Ghazali hampir menangis karena kesal melihat ulah para perampok itu. Namun, kata-kata sindiran dari perampok terngiang-ngiang di telinganya. 

Al-Ghazali benar-benar terpukul oleh kejadian tersebut. Sejak itu, ia meneguhkan hatinya untuk dapat menghafal seluruh catatannya. Selama tiga tahun ia kembali menghafal segala sesuatu yang telah dipelajarinya. Oleh karena itu, ia tidak memerlukan buku lagi. Subahanallah, karena kepintarannya, Al-Ghazali mampu menghafalkan semua yang telah dipelajarinya. 

Orang yang telah teguh hatinya tidak akan mundur ketika ditimpa musibah. Setiap musibah pasti mengandung hikmah. Ingatlah bahwa seseorang yang sedang diuji dengan musibah, orang itu sedang diperhatikan oleh Allah. 

Al-Ghazali kemudian menjadi sarjana yang sangat ahli dalam berbagai bidang. Keharuman namanya membuat ia diangkat menjadi guru besar hukum di Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Dengan keteguhan hatinya, Al-Ghazali dianggap menjadi pembela kebenaran islam yang terbesar sehingga dijuluki Hujjatul Islam atau pembela Islam. Ia telah menulis sebuah karya terbesar berjudul Ihya’ Ulum ad-Din (menghidupkan kembali ilmu agama). Kitab ini masih dibaca dan dipelajari orang hingga kini. Ia memang terkenal sebagai penulis. Karyanya yang sudah dibukukan berjumlah sekitar 228 buku mencakup berbagai bidang ilmu. 

Pengaruh Al-Ghazali sangat besar dalam Islam. Tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang tokoh terpenting setelah Nabi Muhammad Saw. Demikianlah kisah keteguhan hati sang tokoh sufi. Ia merupakan salah satu tokoh Islam yang banyak mengajarkan ilmu menata hati.

Keteguhan Hati Abu Bakar

Abu bakar merupakan sahabat Nabi yang sangat setia, beliau termasuk orang yang paling awal memeluk Islam. Ia orang kedua yang memeluk Islam setelah siti Khadijah, istri Nabi Muhammad Saw. Kelak setelah Nabi Muhammad Saw wafat, beliau juga dikenal sebagai khalifah pertama kaum muslim. 

Abu bakar juga terkenal karena kecintaan dan kepercayaannya yang tinggi terhadap Nabi Saw. Karena itu, ia mendapat gelar ash-shiddiq dibelakang namanya. Gelar itu artinya ”yang selalu membenarkan”. 

Abu Bakar-lah orang yang pertama kali membenarkan perjalanan Nabi dalam kisah Isra’ Mi’raj. 

Sejak meneguhkan hatinya memeluk islam, Abu Bakar menjadi salah seorang pembela Islam. Ia mendesak Nabi Saw untuk memperluas cara berdakwah. Abu Bakar pun menjadi wakil Nabi dalam menyampaikan ajaran Islam. 

Suatu ketika, Abu Bakar berpidato di Ka’bah dan Nabi Saw duduk di sampingnya, ia dipukul beramai-ramai. Ia tersungkur ke tanah, lalu ditendang dari kiri dan kanan. Seseorang bernama Utbah bin Rabi’ah merenggut sandal Abu Bakar. Sandal itu lalu dihantamkannya ke wajah Abu Bakar. 

Masya Allah, wajah sahabat Nabi itu menjadi benjut dan lebam. Untunglah, datang orang-orang dari suku Bani Taym (sukunya Abu Bakar) melindungi Abu Bakar dari orang-orang yang hendak memukulnya. 

Abu Bakar sudah dalam keadaan sekarat. Orang-orang dari suku Bani Taym membawanya ke rumah. Lalu, orang-orang tadi pun kembali ke masjid sambil mengancam, ”Demi Allah, jika Abu Bakar mati, maka kami akan membunuh Utbah bin Rabi’ah!” 

Banyak orang dari suku Bani Taym berkumpul di rumah Abu Bakar. Kemudian, Ayah Abu Bakar, Abu Quhafah, mencoba memanggil-manggil anaknya. Akhirnya, Abu Bakar siuman dan bisa berkata-kata lagi. Tapi, apa yang pertama kali ditanyakan Abu Bakar? Antara sadar dan tidak, ia terus berkata-kata lagi. “Dimana Nabi? Apa yang terjadi dengan Nabi?” 

Orang-orang menenangkan Abu Bakar. Lalu sang Ibu, Ummu Khair, mencoba membujuk anaknya untuk makan malam. Tapi, Abu Bakar tidak mempedulikannya. Ia malah terus bertanya-tanya tentang Nabi Saw. Demikianlah, betapa cintanya Abu Bakar kepada Nabi Muhammad Saw. 

Akhirnya, Abu Bakar meminta Ibunya untuk menemui Ummu Jamil. Abu Bakar mengatakan bahwa Ummu Jamil pasti tahu keadaan Nabi Saw. Maka, oleh ibunya dibawalah Ummu Jamil kerumah. Ummu Jamil terkejut melihat keadaan Abu Bakar yang sudah payah sekali. Kemudian, Ummu Jamil membisikkan kepada Abu Bakar bahwa Nabi dalam keadaan baik-baik saja. Abu Bakar pun merasa lega. Namun ia tetap saja tidak mau makan.” Demi Allah, aku tidak akan merasakan makan dan minum sampai aku menemui Nabi Saw!” 

Begitu sabar Ibu Abu Bakar memenuhi keinginan Anaknya. Ketika keadaan aman, dibawalah Abu Bakar menemui Nabi Muhammad Saw. Saat itu Nabi Saw berada dirumah Ibnu Arqam. Melihat keadaan Abu Bakar yang begitu menyedihkan, bangkitlah segera Nabi Saw. Ia memeluk dan mencium Abu Bakar, sahabat yang dicintai dan sangat mencintainya. 

Abu Bakar menenangkan Nabi yang tampak sedih. 

“Demi ayah dan ibuku, wahai Muhammad! Aku ini tidak apa-apa, dan janganlah engkau terlalu merasa khawatir. Cuma ada yang terasa sakit diwajahku karena pukulan Utbah. Tapi, sebentar lagi juga hilang! Dan ini, Ibuku yang telah memenuhi keinginanku, sedangkan engkau adalah orang yang diberkati. Tolonglah ajak dia memeluk Islam, dan do’akanlah ia agar terhindar dari api Neraka!” 

Nabi Saw pun mengislamkan ibunda Abu Bakar serta mendoakannya. Selanjutnya, sejak peristiwa itu kaum Muslimin tinggal dirumah Ibnu Arqam selama kurang lebih satu bulan. Saat itu mereka berjumlah 39 orang. Tepat ketika hari Abu Bakar dipukul orang, Hamzah bin Abdul Muthalib, salah seorang paman Nabi memeluk Islam. 

Kemudian, Nabi Saw berdo’a kepada Allah agar islam dikuatkan oleh salah seorang diantara Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam. Baru saja beliau berdo’a pada hari Rabu, tiba-tiba hari kamis datang Umar bin Khattab memeluk Islam.
Nabi Saw dan kaum muslimin yang lain serentak mengucapkan takbir atas Islamnya Umar.

Kendaraan Seorang Bijak

Matahari di padang pasir terasa membakar kulit. Hanya sesekali angin bertiup dan menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Cukup membuat seorang pemuda kerepotan mengarungi samudra pasir yang membentang luas. Namun, hatinya agak tenang. Unta yang di tungganginya masih muda dan kuat. Ia berharap kendaraannya sanggup menempuh perjalanan yang jauh. Perbekalan yang dibawanya pun akan cukup membuatnya bertahan selama perjalanan. Masih separuh lagi perjalanan yang harus ditempuh pemuda itu. 

“Mudah-mudahan, aku selamat sampai Makkah. Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini kurindukan,” katanya penuh harap. 

Panggilan rukun Islam kelima itulah yang membulatkan tekadnya. Mengarungi padang pasir yang terik. 

Tiba-tiba, pemuda itu menatap tajam ke arah seseorang yang tengah berjalan sendirian di padang pasir. 

Kenapa orang itu berjalan sendiri di tempat seperti ini? Tanya pemuda itu dalam hati.
Sungguh mengundang bahaya. 

Pemuda tersebut menghentikan untanya di dekat orang itu. Ternyata, ia seseorang lelaki tua yang berjalan terseok-seok di bawah terik matahari. Lalu, anak muda itu segera turun dari kendaraannya. 

“Wahai Bapak Tua, Bapak mau pergi ke mana?” tanyanya ingin tahu. 

“Insya Allah, aku akan ke Baitullah,” jawab orang tua itu dengan tenang. 

“Benarkah?!” anak muda itu terperanjat. Apa orang tua itu sudah tidak waras? Ke Baitullah dengan berjalan kaki? 

“Betul, Nak, aku akan melaksanakan ibadah haji,” kata lelaki tua itu pula. 

“Masya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau Bapak tersesat atau mati kelaparan? Lagi pula, semua orang yang kesana harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau berjalan kaki seperti Bapak, kapan Bapak bisa sampai ke sana?” pemuda itu tercenung. 

Ia yang menunggang unta dan membawa perbekalan saja, masih merasa khawatir selama dalam perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya. Siapapun tak akan sanggup menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Apa ia tidak salah bicara? Atau memang orang tua itu sudah terganggu ingatannya? 

“Aku juga berkendaraan,” kata lelaki tua itu mengejutkan. 

Si pemuda yakin kalau dari kejauhan tadi, ia melihat orang tua itu berjalan sendirian tanpa kendaraan apa pun. Tapi, pak tua malah mengatakan dirinya memakai kendaraan.

Orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia merasa memakai kendaraan, padahal aku lihat ia berjalan kaki..., pikir si pemuda geli. 

“Apa Bapak yakin kalau Bapak memakai kendaraan?” tanya pemuda itu menahan senyumnya. 

“Kau tidak melihat kendaraanku?” orang tua itu malah mengajukan pertanyaan yang membingungkan. Si pemuda, kini tak dapat lagi menyembunyikan kegeliannya. 

“Kalau begitu, apa kendaraan yang Bapak pakai?” tanyanya sambil tersenyum. 

Orang tua itu termenung beberapa saat. Pandangannya menyapu padang pasir yang luas. Dengan sabar, si pemuda menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut orang tua itu. Akankah ia mampu menjawab pertanyaan tadi? 

“Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama syukur.
Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama sabar,” jawab orang tua itu tenang. 

Si pemuda ternganga dan tak berkedip mendengar kata-kata orang tua itu. Tak sabar, pemuda itu ingin segera mendengar kalimat selanjutnya dari lelaki tua tersebut. 

“Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan ridha.
Kalau aku tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan tawakkal.
Itulah kendaraanku menuju Baitullah,” kata lelaki tua itu melanjutkan. 

Mendengar kata-kata tersebut, si pemuda merasa terpesona. Seolah melihat untaian mutiara yang memancar indah. Menyejukkan hati yang sedang gelisah, cemas, dan gundah. Perkataan orang tua itu amat meresap ke dalam jiwa anak muda tersebut. 

“Maukah Bapak naik kendaraanku? Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama,” ajak si pemuda dengan sopan. Ia berharap akan mendengarkan untaian-untaian kalimat mutiara yang menyejukkan jiwa dari orang tua itu. 

“Terima kasih, Nak, Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya. Dengan ikut menunggang kendaraanmu, aku akan menjadi orang yang selamanya bergantung kepadamu,” sahut orang tua itu dengan bijak, seraya melanjutkan perjalanannya. 

Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya.

Kejujuran Sang Imam

Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota Kufah.
Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya. 

Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.

“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah. 

Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. 

“Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya. 

“Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu. Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”
Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu. 

“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. 

“Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?” 

“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.” 

“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya. 

“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya. 

Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak.
Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya. 

“Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.” 

“Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. 

“Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi. 

Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini. 

“Saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi. 

“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?” 

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”
Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut. 

“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.”
Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih. 

Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang. 

Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. 

“Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian. 

Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya. 

“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,” kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya. 

“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi. 

“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” kata sahabatnya dengan nada menyesal. 

Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya. 

“Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya,” ucap Imam Hanafi. 

Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui.
Imam Hanafi amat sedih. 

Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya. 

“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,” ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu. 

Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain. 

Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu di sudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin. 

Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. 

“Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya?” tanyanya. 

“Tidak, Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi. 

Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

Keinginan Besar Muaffak

Suara azan subuh baru saja bergema dari menara masjid di pusat kota Damsyik. Muaffak dan isterinya segera menggelar sajadahnya. Keduanya lalu tanggelam dalam do’a yang khusuk. Lama sekali laki-laki itu bermunajat di atas sajadahnya. 

Ia baru beranjak setelah matahari memancarkan cahayanya yang hangat. Lalu bergegas menyiapkan peralatan sepatunya. Sebentar kemudian, ia pun mulai disibukkan dengan pekerjaannya. Ia memang mahir dalam memperbaiki sandal, sepatu, dan terumpah yang rusak. Muaffak, lelaki miskin namun ulet bekerja untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Di rumah yang kecil dan sederhana, ia tinggal bersama isterinya yang sedang hamil. 

Muaffak mempunyai keinginan besar untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi karena hidupnya yang tidak berkecukupan, keinginan itu hanya tinggal keinginan belaka. Sebab perjalanan haji dari Damsyik ke Makkah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. 

Namun, rupanya lelaki saleh itu tidak berputus asa. Ia selalu berbaik sangka dan bekerja dengan sungguh-sungguh. 

“Biarpun pekerjaanku hanya sebagai tukang sepatu, aku harus bisa menabung sedikit demi sedikit. Insya Allah jika tabunganku mencukupi, aku dapat beribadah haji juga kelak,” tekat Muaffak sunguh-sunguh. 

Dia semakin giat bekerja tanpa mengenal lelah. Setiap hari dicarinya order sepatu atau sandal orang yang rusak untuk diperbaiki. Dengan setia, isterinya selalu membantu Muaffak. Sampai bertahun-tahun kemudian, ia dapat mengumpulkan uang sebanyak tiga ratus dirham. Dalam benak dan perasaannya, Muaffak sudah dapat mengongkosi dirinya pergi naik haji dengan uang tabugan itu. Betapa gembira hatinya tidak terkira. Keinginannya untuk menginjakkan kakinya ke tanah suci, berdo’a di depan ka’bah, berziarah ke makam nabi saw, sebentar lagi akan terwujud. Ia tinggal menunggu musim haji tiba. 

Muaffak bertetangga dengan seorang janda miskin dengan beberapa anaknya yang yatim. Ia sering memperhatikan perempuan itu pulang hingga malam hari untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya. 

Suatu malam, Muaffak melihat janda miskin itu baru pulang dengan membawa bungkusan. Rupanya ia baru saja mencari nafkah sekadarnya. Terlihat kesedihan dan kelelahan di wajahnya yang keriput. Anak-anaknya menyambut dengan suka cita dalam keadaan perut yang lapar. 

“Kasihan tetangga kita itu, dia banting tulang sendirian demi anak-anaknya,” desis isteri Muaffak. 

Beberapa saat kemudian, terciumlah bau sedap masakan dari kediaman janda miskin itu. Dan rupanya aroma masakan itu tercium pula oleh isteri Muaffak yang sedang mengandung itu. 

“Masya Allah! Masakan sipakah ini? Sedap nian kiranya....” bisiknya sambil menelan air liur. Tiba-tiba saja ia merasa ingin mencicipi masakan yang sedap itu.
Mungkin bawaan cabang bayi yang dikandungnya. 

Iapun segera mencari tahu darimana asal masakan itu. Begitu tahu kalau masakan tersebut dari rumah janda miskin itu, dimintanya Muaffak untuk menemuinya.
Demi menyenangkan hati isterinya Muaffak mendatangi rumah tetangganya.

“Maaf bu, iteri saya mencium bau masakan enak yang ibu buat. Ia menginginkan masakan itu barang sedikit saja. Bolehkah kami memintanya bu?” kata Muaffak baik-baik. 

Perempuan itu tertegun. Air mukanya berubah sedih. Lalu dengan pilu ia berkata, “Saya segan mengatakan asal-usul masakan ini. Tapi karena kebaikan kalian berdua, saya ceritakan yang sebenarnya. Sejak beberapa hari yang lalu, persediaan makanan kami habis. Dari kemarin saya sudah berusaha mencari nafkah, tapi tak memparoleh hasil. Padahal anak-anak saya butuh makan.” Sejenak perempuan itu menghela nafasnya yang berat. “Tadi saya menemukan bangkai keledai di jalan. Karena sudah lelah, saya nekat memotongnya lalu saya masak untuk dimakan. 

“Bangkai makanan itu haram bagi anda. Tapi halal bagi kami yang dalam darurat...,” katanya selanjutnya dengan mata yang berlinang. 

Muaffak terperanjat. Ia sangat iba. Lalu bergegas pulang. Diambilnya simpanan uangnya yang tiga ratus dirham itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berikan uang yang diperolehnya dari hasil kerja keras selama ini.
Padahal, uang itu sudah diniatkan untuk ongkos naik hajinya. 

“Terimalah uang ini untuk anak-anak yatimmu, bu,” ugkapnya dengan ikhlas.
Betapa terharunya janda miskin itu. Mereka tidak akan kelaparan lagi untuk waktu yang cukup lama. 

“Terimakasih, tuan sudah bermurah hati menolong kami dari kelaparan,” ucap perempuan itu tertunduk. 

“Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan tuan. Semoga Allah akan membalasnya dengan rahmat yang berlimpah.“ 

Mendengar do’a permpuan itu, Muaffak menitikkan air mata. 

Musim hajipun tiba. Muaffak batal menunaikan ibadah haji karena uangnya sudah tidak ada lagi. Tapi hati laki-laki itu bahagia, bisa menolong kesengsaraan seorang janda miskin dan anak-anaknya yang miskin. 

Pada musim haji waktu itu, salah seorang ulama besar, Abdullah bin Mubarak, menunaikan ibadah haji. Suatu sore, seusai tawaf berkali-kali ia merasa sangat letih. Lalu, iapun beistirahat di Hijr Ismail. Antara tidur dan tidak, tiba-tiba ia mendengar percakapan dua malaikat. 

“Berapa orang yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” 

“Enam ratus ribu orang.” 

“Kira-kira berapa orang yang hajinya diterima Allah?” 

“Tak seorangpun!” 

“Tapi seorang tukang tambal sepatu dari Damsyik yang bernama Muaffak diterima hajinya oleh Allah, kendati Ia tidak menunaikan ibadah haji. Dan berkat hajinya orang inilah, maka semua jamaah haji sekaranng diterima juga oleh Allah.” 

Begitu malaikat itu menghilang, Abdullah bin Mubarak tersadar dari setengah tidurnya.
“Masya Allah! Amal perbuatan apa yang telah dilakukan Muaffak? Begitu besar pengaruhnya disisi Allah...,” bisik Abdullah terpesona. 

Selesai ibadah haji, ulama besar itu bergegas ke Damsyik. Ia ingin sekali menemui Muaffak. Dan begitu bertemu, ulama itu langsung menceritakan kejadiannya waktu di Hijr Ismail. Muaffak sendiri baru menyadari, lalu bersyukur atas karunia itu kehadirat Allah. Muaffak lalu mengisahkan perjuangannya untuk mencapai cita-citanya yang ingin beribadah haji, tapi tidak jadi berangkat. 

“Saya tidak menyesal tidak jadi berhaji karena saya mengharap keridhaan Allah,” kata Muaffak. 

“Tuan, andalah seorang haji yang mabrur atas ridha Allah...,” kata sang ulama kagum.

Kebun-kebun Anggur yang Musnah

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang lelaki yang memiliki dua kebun yang luas dan lapang. Kebun-kebun itu ditanaminya dengan pohon anggur. Dianiara kedua kebun ini terdapat sebuah ladang yang juga cukup luas. Ladang ini seolah-olah menjadi pemisah bagi kedua kebun anggur. Oleh pemiliknya disekeliling kedua kebun anggur ini lantas ditanaminya dengan pohon-pohon kurma pilihan sebagai pagar.
Kebun-kebun dan ladang ini segera saja tumbuh lebat dan menghasilkan banyak buah-buahan. Buah-buah yang dihasilkan adalah buah-buah yang segar, besar dan seperti tidak pernah ada habisnya. 

Melihat itu semua, menjadi senanglah hati sang lelaki pemilik kebun. Apalagi melewati kedua kebun ini juga mengalir pula sebuah sungai kecil yang jernih airnya. Gemercik air sungai yang mengalir itu terdengar merdu dan menyenangkan. Sungguh, kebun dan ladang lelaki ini benar-benar indah dan membanggakan hati pemiliknya. 

Karena melimpahnya hasil-hasil kebun dan ladangnya, lelaki ini segera menjadi orang kaya yang disegani. Pengikutnya pun banyak. Mereka semua adalah orang yang terkagum-kagum pada kekayaan sang lelaki. 

Sementara itu sang pemilik dua kebun juga memiliki seorang kawan yang saleh dan taat kepada Allah. Kawannya ini juga memiliki kebun anggur. Kebun itu diolah dan dipeliharanya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hanya sayangnya, hasil kebun sang kawan tidaklah sebanyak dan sebagus hasil kebun milik lelaki pertama. 

Kadangkala dalam satu dua kesempatan, mereka bertemu dan bercakapcakap. Biasanya, lelaki pertama akan menyombongkan kekayaannya. 

"Ah, masih sedikit saja hasil kebunmu kawan? Kasihan sekali. Kau lihat? Hartaku jauh lebih banyak dari hartamu dan pengikutku juga banyak." 

Kawannya tidak begitu memperdulikan omongan itu, karena ia merasa telah mengolah kebunnya dengan sebaik-baiknya. Kalau hasilnya tidak sebaik dan sebanyak hasil kebun temannya itu ia yakin bahwa itu adalah ketetapan Allah yang sudah diperuntukkan baginya. 

Kesombongan lelaki ini rupanya semakin menjadi-jadi. Sehingga dia menjadi orang yang kufur atas nikmat Allah. Pada suatu hari lelaki ini memasuki kebunnya dengan congkak lalu ia berkata, "Ah, kebunku yang indah. Aku dapat merasakan bahwa kebun ini tidak akan binasa untuk selama-lamanya. Bahkan hari kiamat pun kuyakin tak akan tiba." Lalu diteruskannya perkataannya yang penuh ketakaburan itu. 

"Melihat kekayaan dan kedudukanku di tengah masyarakat, aku yakin seandainya ada kebangkitan dan kehidupan kembali, dan aku dikembalikan kepada Tuhanku, maka tentu aku akan berada disisiNya dengan kemuliaan dan keutamaan. Di sana Tuhanku akan memberi ganjaran yang lebih baik pula dari kebun ini. Karena Tuhanku telah memuliakanku dengan kebun ini,tentulah Tuhanku akan memberi kemuliaan pula kelak."

Omongan semacam ini diutarakannya pula pada kawannya yang mukmin sebagai sebuah ejekan. Dia ingin menunjukkan bahwa karena bekai kekayaannya jauh lebih banyak, maka ia lebih mulia dan utama dari si mukmin. 

Kawannya yang mukmin tak sedikit pun terpukau dengan kekayaan temannya. Ia justru memahami bagaimana temannya ini telah jatuh kedalam perilaku zalim. Maka dinasehatinya sang teman. 

"Apakah kamu akan kafir pada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari tanah, lalu dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Adapun aku, aku percaya bahwa dialah Allah, Tuhanku. Dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." 

Temannya terdiam sejenak mendengar ucapan itu. Ketika itu kawannya yang mukmin menambahkan nasehatnya. 

Dan saat memasuki kebun, mengapa kamu tidak mengucapkan Masyaa Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billah (sesungguhnya semua ini terwujud atas kehendak Allah. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." 

"Hah!" sergah kawannya yang zalim. "Bagaimanapun aku lebih kaya dan lebih mulia darimu." 

Gemas sekali kawan yang mukmin ini mengetahui bahwa temannya tetap sombong dan kufur nikmat. Maka dilanjutkannya omongannya dengan tegas. "Kalau kamu menganggap aku lebih sedikit darimu dalam hal memiliki harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku kebun yang lebih dari pada kebunmu. Dan mudah-mudahan saja dia mengirimkan petir dari langit kepada kebunmu hingga kebunmu menjadi tanah yang licin, atau airnya surut ke dalam tanah hingga sekali-kali kamu tidak akan dapat menemukannya lagi. "Lalu ditinggalkannya temannya yang sombong dan zalim itu untuk dapat merenungi ucapannya. 

Keesokan harinya seperti biasa lelaki zalim itu mendatangi kebun kebanggaannya. Sudah tidak diingatnya lagi sindiran tajam kawannya yang saleh itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setibanya didepan kebunnya. 

"Ha? Dimana kebunku? Dimana kebunku yang indah dan subur itu?" ratapnya ketika melihat kebun-kebun dan ladangnya telah hancur semua. 

Pohon-pohon anggurnya roboh berikut para-para penyangga buahnya. Pohon-pohon kurmanya tumbang. Bahkan sungai-sungai yang selalu bergemericik itu lenyap pula ditelan bumi yang terbelah. 

Terduduk dipinggir tanahnya yang porak poranda, lelaki zalim itu menyadari bahwa seluruh kekayaannya telah musnah binasa. Tanpa terasa, dibolak-baliknya tangannya sebagai sebuah penyelesalan mengingat segala biaya yang sudah dikeluarkannya selama ini untuk mengolah dan memelihara kebun serta ladangnya. 

Hatinya kini dipenuhi rasa sesal. Ia telah kufur nikmat. Dan hanya dalam semalam, ternyata Allah telah mencabut semua nikmat itu dari hidupnya. 

Dengan berurai air mata lelaki itu pun berkata, "Aduhai, seandainya saja dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Allah, mungkin nasibku tidak akan menjadi begini. Tetapi penyesalan yang datang terlambat tidak ada lagi gunanya. Kekayaan dan kemuliaan yang disangkanya abadi telah diambil oleh pemilik-Nya semula yaitu Allah SWT, maka tinggallah lelaki itu meratapi nasib buruk yang dipilihnya sendiri.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer