Kamis, 24 Februari 2011

Mirza Buncis

Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti. Hujan pertama akhirnya jatuh pada November, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi. Bukannya menjadi anugerah buat Yani, tapi sebaliknya, membawa bencana. Dan semua itu karena ulah Mirza, Kawazaki Ninja-nya yang meraung masuk halaman sekolah, melaju seolah di jalanan umum. Genangan air yang kebetulan sejajar dengan posisi langkah Yani, digilas ban dengan sengaja, hingga air keruhnya terpercik ke seragam Yani.  Yani ingin berteriak, mencaci, menyumpahi, bahkan melemparnya dengan batu yang kebetulan tergeletak di dekatnya, tapi Yani merasa itu percuma. Di pihak Mirza, bukannya menghentikan motor lalu minta maaf, malah berbalik dan mengedipkan mata kiri ke arah Yani. Kedipan yang mengejek lagi sinis. Bukan hanya di mata Yani, hampir semua penghuni sekolah, utamanya cewek, menangkap sosok Mirza sebagai cowok kurang ajar. Mungkin lebih tepat lagi disebut bejat. Penampilannya saja sudah urakan, telinga dan hidung ditindik, rambut dicat pirang, ujung kemeja tak pernah masuk dalam celana, bahkan jarang dikancing, hingga otot-ototnya yang kekar nampak jelas terbalut kaos ketat. Melihat penampilan seperti itu di mal, mungkin wajar-wajar saja, tapi ini di sekolah. Meski statusnya sekolah swasta, ini tempat orang-orang yang ingin dididik. Namun swasta-nya itulah yang membuat Mirza bisa berbuat seenak perut. Papanya adalah pemilik yayasan sekolah ini, jadi guru pun tak berani “memberinya pelajaran” jika dia benar-benar telah kurang ajar. Mirza pun semakin mengannggap dirinya sebagai “tuhan”.

 

Oleh: S. Gegge Mappangewa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer