Lelaki yang Menangis -- Mustafa Ismail
Dikemas 05/02/2004 oleh Editor
Kami mengungsi lagi, begitu mendengar ada ribut-ribut dua geng di sebuah pojok kampung. "Dua orang geng Pak Lurah mati," kata seseorang yang melintas di jalan depan rumah kami.
"Bukan dua. Tiga orang. Kamu salah dengar," sahut yang satunya lagi.
"Ayo cepat, kita harus mencari tempat yang aman," yang lainnya menimpali.
Di dalam rumah, aku dan isteriku sibuk berbenah-benah untuk berangkat mengungsi, seperti orang yang bercakap-cakap tadi. Seperti kebanyakan penduduk kampung itu. Kami beriring-iringan keluar dari kampung, ketika mahatari mulai memerah dan angin bersemilir pelan.
Kami berjalan menyusuri sawah yang siap dipanen, di pematang yang licin, terus memotong ke jalan besar. Kami tidak melewati jalan kampung, karena harus berbelok-belok, jauh dan memperlambat kami tiba di jalan raya.
Sebab, sebelum matahari benar-benar turun dan bersembunyi di pojok langit -- untuk diganti malam -- kami sudah harus tiba di sebuah tempat yang ramai. Paling tidak, di jalan raya, yang ramai dilalui kendaraan, besar-kecil dengan berbagai macam rute, di dalam provinsi sampai lintas pulau.
Aku memunggung putriku yang berumur empat tahun, sambil menenteng kantong plastik besar berisi selimut dan beberapa pakaian ganti. Sedangkan isteriku menggendong si kecil yang baru berumur delapan bulan sambil menenteng perlengkapannya: kasur kecil, bantal, selimut, pakaian, dan lain-lain yang dikemas dalam tas punggung.
Kabar bahwa orang-orang bakal mengungsi menyebar dari mulut ke mulut dan sangat cepat. Itu tak lama setelah terjadi perkelahian antar geng di Kelurahan Angin itu. Geng yang satu, berisi anak-anak muda dari beberapa kampung yang kecewa dengan kebijakan Pak Lurah. Mereka ingin kampung mereka pisah dari kelurahan Angin dan membentuk kelurahan baru atau bergabung ke kelurahan lain.
Jelas saja Pak Lurah murka. Lurah pun menurunkan aparatnya untuk menghadapi anak-anak muda itu. Aparat Pak Lurah itu berisi anak-anak muda pula, yang direkrut secara khusus, dari berbagai kampung. Mereka adalah para penganggur, ada di antara mereka sebelumnya menjadi preman di pasar.
Perkelahian dan pertarungan tak jarang terjadi. Ada sejumlah rumah atau warung terbakar, beberapa ternak mati ditembus tombak. Tak sedikit pula orang dari dua kelompok itu yang meninggal pula. Korban sia-sia dari warga biasa pun sudah tidak terhitung.
Karenanya, mengungsi menjadi pilihan paling logis. Kami tidak perlu pikirkan rumah, harta-benda, ternak, padi atau palawija yang siap dipanen. Keamanan lebih penting dari semua itu. Dan ini bukan kali pertama kami mengungsi. Mungkin ke lima belas kali. Atau kali ketujuh belas.
"Kita seperti hidup di jaman negeri ini belum merdeka," kata isteriku suatu kali, dengan nada kecewa.
"Tidak ada yang perlu kita sesalkan. Kita tidak berani menyalahkan siapa pun. Ini nasib. Mungkin nasib buruk. Kita bikin rileks saja," ujarku kemudian.
Istriku berlalu, dengan mulut yang dimonyongkan. "Rileks? Rileks bagaimana. Nggak waras, kali. Hidup sulit dan tertekan disuruh rileks," omelnya.
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Isteriku benar. Aku sendiri tak jarang begitu muak dengan suasana seperti ini. Hatiku memberontak. Mengutuk keadaan. Tetapi aku hanya bisa memberontak dan mengutuk dalam hati. Aku hanya bisa berteriak dan memaki dalam hati. Tidak ke udara atau pun kepada orang-orang.
Jalan paling buntu adalah menangis. Ya, menangis. Aku pernah menangis delapan bulan lalu. Menangis bersama hujan yang begitu deras mengguyur dan tempias ke tubuh isteriku yang sedang bergelut dengan sakitnya untuk melahirkan. Tenda -- tempat kami berteduh di tempat pengungsian -- bocor di sana sini.
Beberapa orang memayungi. Beberapa yang lain berusaha menambal lubang-lubang kecil pada atap tenda.
Aku memangku kepala isteriku yang sedang berteriak-teriak kesakitan sambil terus menyemangatinya. Wak Munah, bidan kampung yang kebetulan mengungsi di tempat sama dengan kami, terus berusaha membantu proses kelahiran itu. Beberapa orang perempuan duduk mengelilingi sambil membaca salawatan.
Sedang para lelaki, yang berada di tenda lain beberapa meter dari tenda kami, matanya sesekali memandang ke arah kerumunan. Mereka tidak duduk. Tetapi berdiri. Wajah mereka juga tampak tegang. Tidak ada yang bercakap-cakap.
Aku merasakan waktu begitu lama. Butir-butir keringat sebesar kelingking seperti puncak-puncak es di wajah isteriku. Wajah Wak Munah juga berkeringat. Seharusnya memang ia tidak sendiri menangani proses kelahiran itu. Mestinya ada bidan dari puskesmas yang membantu.
Tetapi siapa yang berani keluar malam-malam. Hujan mungkin bisa diterabas dengan payung. Tetapi malam itu bukan sembarang malam. Malam yang mencekam. Kelurahan memberlakukan jam malam. Tidak seorang pun boleh berkeliaran di luar rumah atau tempat tinggal. Yang nekat, risiko tanggung sendiri.
Beberapa pemuda tadinya ingin menembus malam untuk mencari bantuan pada bidan. Tetapi aku cegah. Aku tidak ingin, karena mau menolong isteriku, mereka menjadi korban. Kalau pun tidak ada Wak Munah, aku sendiri yang akan membantu proses kelahiran itu. Apa boleh buat. Untungnya memang ada Wak Munah.
Ketika rintihan isteriku memuncak, suara tangis bayi menggema. Aku bernafas lega. Wak Munah membopong bayi laki-laki kami dan mengelapnya dengan air yang sudah disediakan di baskom. Kemudian ia dibalut dan ditidurkan di samping isteriku.
Semua orang berlomba-lomba, berdesak-desakan, untuk melihat bayi kami. Wajah mereka berubah sumringah. Isteriku tersenyum. Matanya memancarkan binar yang tak tertahankan. "Seharusnya aku tidak melahirkan di sini. Seharusnya aku melahirkan bayi kita di rumah sakit," ujar isteriku pelan. Matanya berkaca-kaca.
Aku menggigit bibir. "Ya. Seharusnya kamu melahirkan di rumah atau di rumah sakit. Bukan di sini," balasku. Mataku tiba-tiba menjadi berkedip-kedip. Aku berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. Tetapi air matakku tetap mengalir. Buru-buru aku mengusapnya.
"Sudahlah. Kita usah mengingatnya lagi. Yang penting kamu dan anak kita baik-baik saja," ujarku dengan suara serak. Aku menarik nafas dan menatap isteriku yang terbaring. Air matanya terus mengalir. "Tidur ya," sambungku. Isteriku mengangguk. Tetapi matanya tetap menyimpan telaga.
Kali ini, kami mengungsi di lapangan bola. Di sana didirikan beberapa tenda besar dan kecil. Laki-laki di tenda sendiri, sementara perempuan di tenda sendiri bersama anak-anak. Tenda untuk laki-laki didirikan mengelilingi tenda-tenda untuk perempuan dan anak-anak. Komposisi begitu dimaksudkan agar laki-laki melindungi kaum perempuan dan anak-anak.
Hari ketujuh, beberapa warga yang mengungsi mulai sakit. Ada yang demam, flu, bahkan diare. Karena kena angin malam. Mungkin juga makanan tidak sehat. Tempat mandi yang sulit. Kalau mandi, kami menumpang di rumah warga yang dekat situ. Dan tidak tiap hari kami mandi.
Kemudian satu persatu memang warga roboh. Terutama perempuan dan anak-anak. Hari kesembilan, anakku yang paling kecil juga sakit. Bangun pagi, tubuhnya terasa panas. Untungnya, siangnya tenaga kesehatan mengunjungi kami, dan segera diberi obat. Sore, ia berangsur baik.
Tengah malam, ketika isteriku terbangun karena anakku itu menangis, ia mendapati tubuhnya kembali panas. Ia kemudian mengompres dengan air yang memang sudah disediakan -- sekedar jaga-jaga. Itu dilakukan sambil memberi ASI. Kemudian isteriku tertidur dan tidak ingat lagi.
Ketika bangun kembali, karena merasa ada butir-butir kecil jatuh ke wajahnya -- rupanya hujan sedang mengguyur -- ia mendapati anakku kejang-kejang. Panasnya luar biasa. "Abang, abang. Anak kita kejang-kejang. Tolong, tolong...," teriaknya panik.
Orang-orang terbangun. Aku pun panik. Orang-orang tegang. Isteriku terus mengompres sambil menangis. "Cari dokter. Segera panggil dokter," sebuah suara memecah kerumunan. Tak lama, terdengar sebuah sepeda motor dihidupkan dan suaranya meraung-raung menembus malam dan hujan.
Seorang perempuan di tengah kerumunan menenangkan istriku yang lagi menangis. "Sabar. Terus dikompres saja. Itu sedang dipanggilkan dokter," katanya. Pelan-pelan, panasnya turun. Kejang-kejangnya pelan-pelan hilang. Anakku tampak lemas sekali. Aku lega. Tetapi isteriku tidak berhenti menangis.
Hujan kemudian berhenti. Setelah diberi ASI, anakku kembali ditidurkan. Ia kembali pulas. Suasana kembali tenang. Sepi. Orang-orang kembali ke tendanya masing-masing. Ada yang kembali tidur, ada yang tidak dan ngobrol-ngobrol di bawah tenda sambil merokok.
Aku sendiri duduk di bibir tenda. Tidak ngantuk lagi. Aku tidak tahu sudah jam berapa. Mungkin sudah lewat tengah malam. Mungkin pula hampir pagi. Hawa malam pelan-pelan merayapi tubuhku. Aku memeluk lutut erat-erat, untuk mengusir dingin. Pandanganku mengarah ke langit yang hitam.
"Sudahlah, tidak usah sedih," sebuah suara menyentakku. Aku buru-buru menghapus air mata. Aku mendogak dan menatap orang itu: Bang Maun, tetanggaku. "Ayo, kita ngobrol di sana," ajaknya. Aku pun bangkit dan bergabung dengan warga desa lain yang sedang ngobrol sambil mengepulkan asap rokok.
Pagi-pagi, aku dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Mirip suasana panik. Padahal aku baru beberapa jam tidur, setelah lelah ngobrol semalam. "Puteh belum pulang ketika memanggil dokter tadi malam," kata Kak Raimah, isteri Bang Maun, panik. Bang Maun, bersama seorang warga lainnya, berlalu dengan sepeda motor.
"Mereka mau ke kelurahan untuk melaporkan kehilangan Puteh," kata isteriku yang juga panik. Wajahnya buram dan tampak sedih. "Perasaanku tidak enak. Aku takut terjadi apa-apa dengan Puteh. Ia berada di jalan ketika sedang jam malam," Isteriku terisak.
"Itu dilakukan untuk memanggil dokter untuk mengobati anak kita, Bang," sambungnya dengan mata yang makin basah. Tangisnya pun pecah.
Aku terdiam, tak tahu harus berucap apa. Pikiranku kosong. Pagi menjadi gelap di mataku. Sangat gelap.
--------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah sastrawan asal Aceh dan pengelola Tabloid Sastra Digital Alternatif.