Rabu, 06 April 2016

Lagu yang Melindap



Lagu yang Melindap

Cerpen Beni Setia 
MATAHARI menyengat. Mengapungkan bau bacin kotoran dari parit setelah yang gagal digelontor buangan air mandi dan cucian rumah tangga. Aku menyimpan separuh karangan ke dalam disket, sambil melihat tanda waktu di sudut kanan layar monitor, ketika dari kamar Imay terdengar suara tape yang keras - lagu blues yang sayu. Aku mengintip dari jendela. Mengapa selalu CD yang sama, kenapa selalu pada jam yang sama? Seakan-akan mengingatkan agar aku tidak suntuk dengan pekerjaan, lantas bangkit dan mulai mempersiapkan mandi, makan, baca koran, dan beristirahat -seperti ia yang sudah bebas dari urusan rumah tangga dan bisa istirahat bermanja, bermalasan. Mungkin juga: waktu luang untuk bercinta.

Aku turun dengan tangga putar -lantai dua adalah ruang kerja dengan sebuah tempat tidur, los panjang mengikuti ruang serupa di bawah. Muncul di antara kamar tamu, dengan dapur sempit dan kamar mandi. Meloncat ke kamar mandi untuk mengguyur badan, berkeramas, dan menjemur handuk di teras terbuka buat menjemur di belakang. Menyalakan kompor, mempersiapkan air mendidih untuk kopi. Jalan ke depan untuk meraih koran yang disusupkan di celah pintu, dan tiga buah surat, sambil sekalian membuka pintu sehingga udara panas perkotaan -dan debu jalan- bergegas masuk. Memeriksa surat, melemparkannya ke meja, dan membalik-balik koran sambil jalan akan mempersiapkan kopi.

Meletakkannya di meja. Balik ke dapur. Mengiris dua sosis dan memarut -memanjang - dua wortel. Memasukkannya ke panci bergagang. Meraih dua bungkus mi dan mengeluarkan sachet bumbu agar bisa diremas sampai remuk. Memasukkannya, setelah satu berita selesai dibaca. Menunggunya sampai berita berikutnya selesai dibaca, dan ditutup dengan mematikan kompor gas. Balik ke depan, setelah menumpahkannya ke piring dan membawanya ke depan. Dan di sebelah Imay mengganti CD dengan lagu blues berikutnya. Apakah ia ingin ditelepon? Mengapa begitu atraktif minta diperhatikan? Aku bangkit. Jalan melintas halaman, ke kanan, ke arah jembatan selebar satu setengah meter, di mana di belakangnya, di atas parit: didirikan kios rokok. Untuk sekadar memberitahu Imay bahwa aku sudah bangun. Tapi semua itu sebenarnya untuk apa?


***

KOTA S sebuah noktah di kaki gunung nun di pedalaman. Pagi bagai pendaran kunang-kunang dengan udara dingin yang lama menjaga embun tetap utuh di jalanan, di batu, di daun, dan rumput-rumput dan karenanya orang-orang bagaikan terusir dari rumah ketika dipaksa bergerak ke kantor dan sekolah. Terkadang kabut tipis menjulur melayang-layang bagai ada setan tanah yang membakar ungun atau menggodok air di kedalaman.

Dan setelah itu, ketika matahari membelalak, segalanya jadi sunyi -hamparan senyap. Dan senja menjadi semacam ritual perpisahan sebelum orang-orang kembali memasuki ruang isolasi, asylum rumah yang hangat dengan obrolan intim. Berkumpul di lapangan, main sepak bola, main bola tangan, main kasti, main voli, dan sekadar berbincang di pojokan sampai hari padam dan masjid di barat membunyikan bedug dan melantangkan azan. Karenanya setiap orang tahu orang lain, dan karenanya semua orang tak mau jadi buku yang terbuka dan dibaca semua orang di kota S. Apa itu kelebihan atau justru kekurangan karena manusia bukan si individu otonom?

Di selatan, di jembatan dengan jeram kecil sekitar tiga puluh meter ke hilir, aku biasa berkumpul dengan kawan-kawan. Omong kosong atau membicarakan apa saja. Melihat hari petang dan serangga bagai bangkit dari remang pepohonan yang mengeriap oleh angin. Hampir tiap senja Juni -setelah belajar bersama denegan Esti- lewat dengan sepeda dan jaket warna gading yang mempunyai resluiting panjang di perut, dengan kerah berwarna lebih tua, dan dengan rambut sebahu yang menggerai oleh angin. Tubuhnya lampai, kurus -baru kelas 2 SMP- mengusung leher jenjang dan wajah opal yang dicungkup poni. Wajahnya menatap curiga, takut digoda, tetapi matanya - yang sipit - tampak cerlang. Kami sering bertatapan. Kami saling tersenyum - hanya tersenyum saja. Setidaknya sampai aku lulus SMP dan sekali ia berbicara dengannya. Tentang akan meneruskan ke mana dan menjadi apa? Aku menjawab, dan - di dalam batin - berjanji akan kembali untuk menjemputnya. Tapi sampai aku menikah aku tidak pernah bisa menepati janji itu.

Dan mungkin sejak itulah aku terobsesi oleh jaket berwarna gading, padahal sampai aku SMA aku tidak pernah punya jaket. Aku pernah minta dibelikan jaket, tapi tidak pernah dibelikan jaket. Ayah menyuruh aku berkerudung sarung bila ke luar malam, dan karenanya aku harus menabung agar bisa membeli jaket berwarna gading. Tak kesampaian karena kau keranjingan membaca dan membeli bacaan, sampai aku bisa menulis dan honor pertamaku sebagai cerpenis, ketika aku di PT, dibelikan sebuah jaket berwarna gading dengan kerah bahan kaus yang berwarna lebih tua. Lantas memakainya dengan bangga saat pulang ke S dan mampir di rumah Juni -tapi tak bertemu.

Aku, dengan bangga, mampir di rumah kos Juni, memamerkan jaket gading -dan perasaan ingin dirangkul kehangatan selembar jaket- dan ia tertawa saat diajak nonton dengan honor cerpen kedua.

Kami kencan tapi tak tuntas karena Juni punya agenda sendiri -aku mundur dan muak dengan jaket berwarna gading itu. Tetapi aku tidak tega membuangnya. Aku menghadiahkannya pada ibu dengan omongan pelobi besar - "Itu dibeli dengan gaji pertamaku, untuk Ibu!" Ibu bangga memakai jaket itu hingga Ayah menuntut agar aku membelikan jaket yang serupa. Aku menelan ludah tapi aku membelanjakan duit hasil dua cerpen untuk jaket gading berikutnya- untuk Ayah. Dan muak bila mereka bangga mengenakannya ketika aku pulang ke S. Muak kepada Juni, marah kepada Juni, tapi aku tak berdaya memarahi Juni sehingga aku memutuskan membeli jaket berwarna gading berikutnya, karena di dalam kerodongannya itu aku merasakan kehangatan merindukan Juni. Apakah ia ingat aku? Tahu kenapa aku cuma membeli jaket berwarna gading?


***

AKU menikah dengan Suhartinah. Pindah ke T dan konsentrasi menulis sambil melihat anak-anak bekembang - Arti jadi guru. Pernikahan yang aneh karena aku tidak bisa melepaskan diri dari rutin padahal akau masih ingin ada di tempat asing, sebagai cerpenis. Mungkin juga sesunyi menghenyak sambil berkipas memikirkan senja yang dingin di kota S, di mana aku tidak pernah punya jaket dan Juni lewat dengan memakai jaket gading dengan tubuh kaku lampai anak mau matang. Lantas aku membeli jaket warna gading, dan celana warna khaki atau coklat muda dan kaus dan baju putih, krem, dan gading yang serasi dengan jaket, tapi Arti tak ambil pusing. Ia sibuk dengan anak-anak, ia sibuk dengan murid-muridnya, dan sering lupa kalau aku belum sarapan dan dibuatkan kopi. Aku diam saja. Diam. Menghenyak dalam sunyi dan memikirkan senja yang dingin di kota S, dengan Juni yang lewat dengan sepeda - dan kencan kami yang hanya dua kali itu. Apa Juni ingat aku? Apa Juni masih mengingat itu dan mengenang aku?

Perkawinan yang tidak harmonis secara psikologis. Kami bercerai -dua anak kami ikut Arti. Aku pulang ke S tapi kemudian memilih kontrak di B. Lima tahun - sampai aku bisa membeli rumah tingkat, bekas garasi, dan memulai hidup baru di Jl X sebagai si Ayah yang terkucil sendiri. Terhenyak dan menghabiskan waktu untuk menulis untuk mencukupi kebutuhan, memberi tunjangan, dan menabung entah untuk apa dan siapa. Siang malam bekerja. Siang malam menulis. Siang malam melupakan kota S yang dingin dengan senja yang meremang dan reriapan daun dari pohon yang dijelujuri angin. Dan kemudian aku menyadari hal lain di sebelah: Imay membunyikan tape kuat-kuat ketika kerja rumah tangga selesai. Terkadang ia berteriak lantang, memanggil mi goreng keliling atau senyum-senyum menghampiri aku yang mencegat nasi goreng di depan rumah.

"Ia baru ditinggal mati suaminya. Tabrakan," kata Bi Iting, penjual rokok di kios di atas parit di kanan rumah. Aku tersenyum. "Ia adiknya Bu Imas," katanya menambahkan seperti menerangkan bahwa ia bukan pembantu tapi ipar Pak Obos, dan tante dari Nita dan Ilik. Aku tersenyum. Aku bersandar dan termangu. Apa ini memang jodohku? Kenapa aku justru teringat Juni dan ingin sekali bertemu Juni? Macam apa Juni sekarang? Apa selangsing dan selampai ketika SMA dahulu? Secantik dan percaya diri ketika ia mahasiswa dan mengambil jurusan kesekretarisan? Kemudian ia ke Jakarta sebagai sekretaris direktur di perusahaan asing? Kemudian pergi ke LN mengikuti bekas bosnya. Mapan sebagai eksekutif - meski tak ada berita ia menikah. Karenanya aku makin keranjingan jaket gading, kaus putih atau krem, celana khaki, dan roman-roman populer yang menceritakan cinta murni dari manusia pedesaan, yang meski direnggut dan dicampakkan oleh kemajuan teknologi tetap bisa menemukan asylum batin dari yang saling mencinta. Dan aku? Kenapa aku tidak menemukan surga itu?

Aku mengintip Imay dari jendela tingkat dua. Dan Imay tahu kalau aku suka mengintip dari jendela tingkat dua, ke kamarnya di lantai bawah, dan karenanya ia terkadang seperti tidak sengaja bertelanjang, menari-nari sambil membunyikan CD lagu blues keras-keras. Berputar-putar menari-nari seperti tak tahu diintip oleh aku. Aku memejam dan ingat Juni. Terkadang, dengan HP, aku menelepon, berpura-pura salah sambung. Imay menerima dan kami bertukar cakap beberapa kata. Lantas, di sore hari, ia mengikuti aku mandi - berbalas jebur dengan dipisahkan parit. Mungkin ia membayangkan diriku - padahal aku sendiri membayangkan Juni dan senja di kota S yang dingin. Lantas ada apa di antara kami? Lantas kenapa tanganku tidak bisa menjangkau Juni, dan tidak peduli pada Imay yang seperti sirsak matang siang dijolok dan tumpah ke gelas?

Karenanya aku mengetik dan terus mengetik hingga cerpen, novel, dan artikel muncul di mana-mana. Membuat anak-anakku senang, menyebabkan tabungan semakin bertambah, dan undangan bicara di mana-mana. Ya! Tapi aku makin rindu Juni. Apakah Juni tahu kalau aku merindukannya? Atau ia justru mengutuki aku yang tidak menyadari rindunya yang terpendam - padaku? Karena itu aku selalu berusaha melupakan Imay - seperti aku melupakan Arti dan kedua anakku - yang menggelepar nun di sebelah. Senantiasa.

1 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer