Rabu, 06 April 2016

Lelaki yang Menangis



Lelaki yang Menangis -- Mustafa Ismail
Dikemas 05/02/2004 oleh Editor  
Kami mengungsi lagi, begitu mendengar ada ribut-ribut dua geng di sebuah pojok kampung. "Dua orang geng Pak Lurah mati," kata seseorang yang melintas di jalan depan rumah kami.

"Bukan dua. Tiga orang. Kamu salah dengar," sahut yang satunya lagi.

"Ayo cepat, kita harus mencari tempat yang aman," yang lainnya menimpali.

Di dalam rumah, aku dan isteriku sibuk berbenah-benah untuk berangkat mengungsi, seperti orang yang bercakap-cakap tadi. Seperti kebanyakan penduduk kampung itu. Kami beriring-iringan keluar dari kampung, ketika mahatari mulai memerah dan angin bersemilir pelan.

Kami berjalan menyusuri sawah yang siap dipanen, di pematang yang licin, terus memotong ke jalan besar. Kami tidak melewati jalan kampung, karena harus berbelok-belok, jauh dan memperlambat kami tiba di jalan raya.

Sebab, sebelum matahari benar-benar turun dan bersembunyi di pojok langit -- untuk diganti malam -- kami sudah harus tiba di sebuah tempat yang ramai. Paling tidak, di jalan raya, yang ramai dilalui kendaraan, besar-kecil dengan berbagai macam rute, di dalam provinsi sampai lintas pulau.

Aku memunggung putriku yang berumur empat tahun, sambil menenteng kantong plastik besar berisi selimut dan beberapa pakaian ganti. Sedangkan isteriku menggendong si kecil yang baru berumur delapan bulan sambil menenteng perlengkapannya: kasur kecil, bantal, selimut, pakaian, dan lain-lain yang dikemas dalam tas punggung. 

Kabar bahwa orang-orang bakal mengungsi menyebar dari mulut ke mulut dan sangat cepat. Itu tak lama setelah terjadi perkelahian antar geng di Kelurahan Angin itu. Geng yang satu, berisi anak-anak muda dari beberapa kampung yang kecewa dengan kebijakan Pak Lurah. Mereka ingin kampung mereka pisah dari kelurahan Angin dan membentuk kelurahan baru atau bergabung ke kelurahan lain. 

Jelas saja Pak Lurah murka. Lurah pun menurunkan aparatnya untuk menghadapi anak-anak muda itu. Aparat Pak Lurah itu berisi anak-anak muda pula, yang direkrut secara khusus, dari berbagai kampung. Mereka adalah para penganggur, ada di antara mereka sebelumnya menjadi preman di pasar.

Perkelahian dan pertarungan tak jarang terjadi. Ada sejumlah rumah atau warung terbakar, beberapa ternak mati ditembus tombak. Tak sedikit pula orang dari dua kelompok itu yang meninggal pula. Korban sia-sia dari warga biasa pun sudah tidak terhitung. 

Karenanya, mengungsi menjadi pilihan paling logis. Kami tidak perlu pikirkan rumah, harta-benda, ternak, padi atau palawija yang siap dipanen. Keamanan lebih penting dari semua itu. Dan ini bukan kali pertama kami mengungsi. Mungkin ke lima belas kali. Atau kali ketujuh belas. 

"Kita seperti hidup di jaman negeri ini belum merdeka," kata isteriku suatu kali, dengan nada kecewa.

"Tidak ada yang perlu kita sesalkan. Kita tidak berani menyalahkan siapa pun. Ini nasib. Mungkin nasib buruk. Kita bikin rileks saja," ujarku kemudian.

Istriku berlalu, dengan mulut yang dimonyongkan. "Rileks? Rileks bagaimana. Nggak waras, kali. Hidup sulit dan tertekan disuruh rileks," omelnya.

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Isteriku benar. Aku sendiri tak jarang begitu muak dengan suasana seperti ini. Hatiku memberontak. Mengutuk keadaan. Tetapi aku hanya bisa memberontak dan mengutuk dalam hati. Aku hanya bisa berteriak dan memaki dalam hati. Tidak ke udara atau pun kepada orang-orang. 

Jalan paling buntu adalah menangis. Ya, menangis. Aku pernah menangis delapan bulan lalu. Menangis bersama hujan yang begitu deras mengguyur dan tempias ke tubuh isteriku yang sedang bergelut dengan sakitnya untuk melahirkan. Tenda -- tempat kami berteduh di tempat pengungsian -- bocor di sana sini. 

Beberapa orang memayungi. Beberapa yang lain berusaha menambal lubang-lubang kecil pada atap tenda. 

Aku memangku kepala isteriku yang sedang berteriak-teriak kesakitan sambil terus menyemangatinya. Wak Munah, bidan kampung yang kebetulan mengungsi di tempat sama dengan kami, terus berusaha membantu proses kelahiran itu. Beberapa orang perempuan duduk mengelilingi sambil membaca salawatan. 

Sedang para lelaki, yang berada di tenda lain beberapa meter dari tenda kami, matanya sesekali memandang ke arah kerumunan. Mereka tidak duduk. Tetapi berdiri. Wajah mereka juga tampak tegang. Tidak ada yang bercakap-cakap.

Aku merasakan waktu begitu lama. Butir-butir keringat sebesar kelingking seperti puncak-puncak es di wajah isteriku. Wajah Wak Munah juga berkeringat. Seharusnya memang ia tidak sendiri menangani proses kelahiran itu. Mestinya ada bidan dari puskesmas yang membantu.

Tetapi siapa yang berani keluar malam-malam. Hujan mungkin bisa diterabas dengan payung. Tetapi malam itu bukan sembarang malam. Malam yang mencekam. Kelurahan memberlakukan jam malam. Tidak seorang pun boleh berkeliaran di luar rumah atau tempat tinggal. Yang nekat, risiko tanggung sendiri.

Beberapa pemuda tadinya ingin menembus malam untuk mencari bantuan pada bidan. Tetapi aku cegah. Aku tidak ingin, karena mau menolong isteriku, mereka menjadi korban. Kalau pun tidak ada Wak Munah, aku sendiri yang akan membantu proses kelahiran itu. Apa boleh buat. Untungnya memang ada Wak Munah.

Ketika rintihan isteriku memuncak, suara tangis bayi menggema. Aku bernafas lega. Wak Munah membopong bayi laki-laki kami dan mengelapnya dengan air yang sudah disediakan di baskom. Kemudian ia dibalut dan ditidurkan di samping isteriku. 

Semua orang berlomba-lomba, berdesak-desakan, untuk melihat bayi kami. Wajah mereka berubah sumringah. Isteriku tersenyum. Matanya memancarkan binar yang tak tertahankan. "Seharusnya aku tidak melahirkan di sini. Seharusnya aku melahirkan bayi kita di rumah sakit," ujar isteriku pelan. Matanya berkaca-kaca. 

Aku menggigit bibir. "Ya. Seharusnya kamu melahirkan di rumah atau di rumah sakit. Bukan di sini," balasku. Mataku tiba-tiba menjadi berkedip-kedip. Aku berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. Tetapi air matakku tetap mengalir. Buru-buru aku mengusapnya. 

"Sudahlah. Kita usah mengingatnya lagi. Yang penting kamu dan anak kita baik-baik saja," ujarku dengan suara serak. Aku menarik nafas dan menatap isteriku yang terbaring. Air matanya terus mengalir. "Tidur ya," sambungku. Isteriku mengangguk. Tetapi matanya tetap menyimpan telaga. 

Kali ini, kami mengungsi di lapangan bola. Di sana didirikan beberapa tenda besar dan kecil. Laki-laki di tenda sendiri, sementara perempuan di tenda sendiri bersama anak-anak. Tenda untuk laki-laki didirikan mengelilingi tenda-tenda untuk perempuan dan anak-anak. Komposisi begitu dimaksudkan agar laki-laki melindungi kaum perempuan dan anak-anak. 

Hari ketujuh, beberapa warga yang mengungsi mulai sakit. Ada yang demam, flu, bahkan diare. Karena kena angin malam. Mungkin juga makanan tidak sehat. Tempat mandi yang sulit. Kalau mandi, kami menumpang di rumah warga yang dekat situ. Dan tidak tiap hari kami mandi.

Kemudian satu persatu memang warga roboh. Terutama perempuan dan anak-anak. Hari kesembilan, anakku yang paling kecil juga sakit. Bangun pagi, tubuhnya terasa panas. Untungnya, siangnya tenaga kesehatan mengunjungi kami, dan segera diberi obat. Sore, ia berangsur baik.

Tengah malam, ketika isteriku terbangun karena anakku itu menangis, ia mendapati tubuhnya kembali panas. Ia kemudian mengompres dengan air yang memang sudah disediakan -- sekedar jaga-jaga. Itu dilakukan sambil memberi ASI. Kemudian isteriku tertidur dan tidak ingat lagi.

Ketika bangun kembali, karena merasa ada butir-butir kecil jatuh ke wajahnya -- rupanya hujan sedang mengguyur -- ia mendapati anakku kejang-kejang. Panasnya luar biasa. "Abang, abang. Anak kita kejang-kejang. Tolong, tolong...," teriaknya panik.

Orang-orang terbangun. Aku pun panik. Orang-orang tegang. Isteriku terus mengompres sambil menangis. "Cari dokter. Segera panggil dokter," sebuah suara memecah kerumunan. Tak lama, terdengar sebuah sepeda motor dihidupkan dan suaranya meraung-raung menembus malam dan hujan. 

Seorang perempuan di tengah kerumunan menenangkan istriku yang lagi menangis. "Sabar. Terus dikompres saja. Itu sedang dipanggilkan dokter," katanya. Pelan-pelan, panasnya turun. Kejang-kejangnya pelan-pelan hilang. Anakku tampak lemas sekali. Aku lega. Tetapi isteriku tidak berhenti menangis. 

Hujan kemudian berhenti. Setelah diberi ASI, anakku kembali ditidurkan. Ia kembali pulas. Suasana kembali tenang. Sepi. Orang-orang kembali ke tendanya masing-masing. Ada yang kembali tidur, ada yang tidak dan ngobrol-ngobrol di bawah tenda sambil merokok. 

Aku sendiri duduk di bibir tenda. Tidak ngantuk lagi. Aku tidak tahu sudah jam berapa. Mungkin sudah lewat tengah malam. Mungkin pula hampir pagi. Hawa malam pelan-pelan merayapi tubuhku. Aku memeluk lutut erat-erat, untuk mengusir dingin. Pandanganku mengarah ke langit yang hitam. 

"Sudahlah, tidak usah sedih," sebuah suara menyentakku. Aku buru-buru menghapus air mata. Aku mendogak dan menatap orang itu: Bang Maun, tetanggaku. "Ayo, kita ngobrol di sana," ajaknya. Aku pun bangkit dan bergabung dengan warga desa lain yang sedang ngobrol sambil mengepulkan asap rokok.

Pagi-pagi, aku dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Mirip suasana panik. Padahal aku baru beberapa jam tidur, setelah lelah ngobrol semalam. "Puteh belum pulang ketika memanggil dokter tadi malam," kata Kak Raimah, isteri Bang Maun, panik. Bang Maun, bersama seorang warga lainnya, berlalu dengan sepeda motor.

"Mereka mau ke kelurahan untuk melaporkan kehilangan Puteh," kata isteriku yang juga panik. Wajahnya buram dan tampak sedih. "Perasaanku tidak enak. Aku takut terjadi apa-apa dengan Puteh. Ia berada di jalan ketika sedang jam malam," Isteriku terisak. 

"Itu dilakukan untuk memanggil dokter untuk mengobati anak kita, Bang," sambungnya dengan mata yang makin basah. Tangisnya pun pecah.

Aku terdiam, tak tahu harus berucap apa. Pikiranku kosong. Pagi menjadi gelap di mataku. Sangat gelap. 


--------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah sastrawan asal Aceh dan pengelola Tabloid Sastra Digital Alternatif.  

LEBIH HITAM DARI HITAM



LEBIH HITAM DARI HITAM (Karya: Iwan Simatupang)
Dikemas 20/10/2002 oleh Editor  

Sejak hari pertama aku dirawat di bagian penyakit jiwa rumah sakit ini, segera ia menarik seluruh perhatianku. Ia mempunyai kepala besar dengan bentuk khas. Bahkan boleh dikata seluruh perawakannya adalah khas. Bahkannya mengamati seseorang, memulai bicara, menyudahi kalimat-kalimatnya dan berhenti berbicaranya tertegun dan segan. Adakah ia macam orangnya yang disebut berpribadi itu? Aku tak tahu.

Akan tetapi, selekas itu ia menarik perhatianku, tak selekas itu aku bisa mengadakan kontak dengannya. Aku pun bukanlah orang yang secepat itu ingin dan dapat mengadakan hubungan dengan seseorang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Aku mempunyai keseganan yang oleh kawan-kawanku sering dicap sebagai keangkuhan. 
Apa boleh buat? Sudah watakku. Aku tak mampu berbuat apa-apa terhadapnya, betapa pun pada hakikatnya besar keinginan dariku untuk mempunyai kawan—banyak kawan. 

Tetapi, pada suatu hari ia sudah tegak di hadapanku dan serta merta merampas surat kabar yang sedang kubaca ketika itu. Karena terperanjat oleh tindakannya yang tanpa basa-basi itu, aku tak dapat berbuat apa-apa, tak dapat berkata apa-apa. Ia segera duduk di atas sebuah bangku di pojok dari ruang tengah itu, lalu berlagak membaca. Sebenarnya panas hatiku memerintahkan aku pergi kepadanya. Merampas surat kabar itu kembali darinya. Kemudian menjewer kupingnya atau mengayunkan sebuah tinju pada mukanya. Tetapi segera aku menangkap suasana: suasana ruangan. Suasana sekitar, juga suasana yang ada dalam diriku: mengapa aku di sini? Mengapa ia di sini? 

Suatu perasaan kelu mengembus di dalam hatiku, kelu yang bikin marah padam. Tinjuku yang sudah mengepal, jari-jari jadi terentang kembali. Entah mengapa, dadaku sesak dengan napas panas: aku punya rasa simpati dengan dia, dengan si kepala besar. Ya, dengan semua orang miring dan gila yang sedang dirawat bersama aku di sini. Pipiku sudah basah keduanya dunia menghenyakkan dirinya ke dalam diriku. Dunia kutimang. Kasihku padanya tak terhingga… 

“Mengapa Saudara tak jadi marah?” Tiba-tiba menggeledek suara si kepala besar. Ia sudah tegak kembali di hadapanku. Surat kabar tadi sudah digulungnya jadi semacam pentung pemukul, tangan kirinya menolak pinggangnya. 

“Ayo jawab! Mengapa Saudara tak jadi marah tadi?” Geledeknya kembali setelah dilihatnya betapa sukar aku mengambil sesuatu sikap yang layak bagiku terhadapnya pada saat itu. 

“…Mengapa saya mesti marah?” tukasku, bimbang, malu. 
“Kau mesti marah! Mesti marah!” teriaknya. Kali ini ia melompat-lompat, akhirnya meniarap di atas ubin, sambil menangis tersedu-sedu. Bimbangku semakin jadi. Kekaburan semakin merebut setiap ruang kosong dalam diriku. 
“Aku tidak ingin dikasihani, tahu? Tidak mau! Kau, setan, iblis, algojo!” teriaknya. 
Aku merasa diriku bersalah. Tetapi tak jelas bersalah karena apa. Perasaan-perasaan begini sebenarnya tak asing lagi bagiku. Akhir-akhir ini ia bahkan semakin jadi-jadinya menghunjam diriku. Sering aku memergoki diriku dalam keadaan lesu sekali, payah, sedang aku tak tahu mengapa. Berkali-kali aku meneliti diriku, apakah ini barangkali tidak sama dengan apa yang disebut “kekosongan” yang banyak dipertanyakan dalam banyak roman dan drama modern itu? 

Tetapi setiap kali aku mencoba meneliti serupa itu, setiap kali pulalah aku harus kecewa. Bagaimana mungkin kepadatan perasaan dan pikiran serupa ini dapat disebut kekosongan? Perasaanku gemuruh, menggelegak panas dan dingin melimpah ruah ke segenap penjuru. 
Kosong 
Tidak! 
Pikiranku memacu dalam keadaan terang-benderang : seolah seluruh persoalan yang ada di bawah kolong langit ini menyatakan diriku dalam keadaan yang kemilau padaku, dan aku tinggal memecahkannya saja. 
Kosong? 
Surat kabar tadi kini sudah bukan surat kabar lagi. Ia telah lusuh. Bagian-bagiannya beterbangan ke sana kemari.si kepala besar telah berhenti terisak-isak. Dengan mata yang masih basah ia mengirimkan beberapa senyum manis padaku. Ia tegak mengulurkan tangannya padaku. Cepat tangannya kuburu dan kusergap. Alangkah panasnya air mataku yang membasahi tangannya itu. Ia kugenggam erat. Suatu panas yang membara, tetapi sekaligus menyeramkan, menjalar dari jari-jarinya ke dalam seluruh tubuhku. Entah mengapa aku mesti berlaku demikian, aku tak tahu. Bahkan aku tak peduli. Huruf-huruf dari pengertian “segan” dan “harga diri” memang masih sempat kulihat berpijar dalam kalbuku, tetapi dengan cepat yang menderu, ia kulalui saja. Aku laju mendengus ke depan, entah arah ke mana, aku tak tahu, tak peduli. 

Kami berdua yang berpeluk-pelukan begitu, tentulah merupakan tontonan bagi hadirin di situ. Hadirin yang terdiri dari kawan-kawan sekedudukan sosial—orang-orang miring dan mereka yang ada di luar lingkungan sosial kami itu, yakni juru rawat, dokter dan para kerabat dari pasien yang sedang berkunjung saat itu. Pada wajah mereka itu tampak iba kasihan mengambang dengan padatnya. Mereka ini adalah agaknya manusia-manusia dari jenis humanis-akhir-jaman, manusia-manusia budak dari hati nurani yang primer. Sikap pertama mereka di segala kejadian adalah: Kasihanilah! 
Beberapa dari mereka itu, terutama dari jenis wanitanya sudah ada yang bahkan menghapus-hapus air mata dengan sapu tangan … karena lucu. 

Tetapi hatiku terdenyak paling nyeri adalah ketika mengamati jenis ketiga dari publik kami. Mereka itu adalah dari jenis yang tidak ada unjukkan reaksi apa-apa pun. Muka mereka tetap mempertahankan kerentangan jangatnya, sedikit pun tak berkerut: tak menangis, tak tertawa. Melihat wajah-wajah yang indiferen inilah napasku mulai jadi sesak. Kelilingku mulai berputar, setiap zarah udara yang masuk ke dalam rongga dadaku membawa rasa henyak, sesak… 

Aku bangun dari tidurku esok harinya. Begitu aku mengenali kembali putih tembok bilikku, aku tegak melompat dan memacu keluar. Tetapi, si kepala besar tak tampak olehku. Mantri juru rawat yang selalu kuhadiahi senyum manis, melihatku, agaknya mengerti siapa yang sedang kucari. 

“Dia sudah pergi, Tuan,” katanya. 
“Kemana?” tanyaku. 
“Pulang ke rumahnya. Semalam, tiba-tiba ia minta agar familinya datang mengambilnya pagi ini juga. Apabila ia tidak diambil pulang hari ini juga, ia mengancam akan bunuh diri. ‘juga di rumah sakit jiwa masih banyak alasan untuk bunuh diri!’ begitu dia mengancam.” 

“Apa jawab familinya?” 
“Tadi, pagi-pagi benar, pukul setengah enam mereka dengan heran memuncak. “Mengapa mesti pukul setengah enam?” 
“Entah, Tuan. Itu permintaannya sendiri.” 
“Tetapi, bagaimana bisa seorang pasien meninggalkan rumah sakit pula setengah enam pagi? Kan kantor belum buka?” tukasku, dengan nada seolah akulah pemimpin rumah sakit ini. 
“Entah, Tuan.” Sambil berkata demikian cepat ia pun berlalu. 
“Aneh, sungguh aneh!” 
tetapi…tiba-tiba aku melihat di dalam ingatanku wajah salah seorang dari publikku yang kemarin: tertawa geli, lucu. Aku tertawa. Sungguh geli. Lucu! Siapa lagi yang meninggalkan rumah sakit pukul setengah enam pagi-pagi buta, kalau tidak orang yang miring? Aku tertawa, makin lama makin keras. Terbahak-bahak, membuat para sesama pasien, juru rawat dan dokter yang mulai masuk berdatangan pagi itu, melihat padaku dengan wajah takut campur heran. 

Sore itu langit sangat cerah. Sama dengan cerahnya aku lari dalam diriku. Buku yang sejak dua hari ini tertangkup terbengkalai di bawah bantalku dapat kubaca lanjut beberapa halaman lagi. Di sekelilingku terdapat suasana yang beroleh larasnya dengan perasaanku ketika itu. Pasien-pasien lainnya seolah sepaham semuanya dengan aku, demikian pula para juru rawat yang bekerja sore itu. Perasaanku meluap dengan kebutuhan untuk meneriakkan ke seluruh dunia betapa bahagianya ketika itu. 

Para kerabat pasien-pasien mulai berdatangan. Tampak dan kedengaran keriuhan dari setiap mereka datang itu. Jantung para pasien yang melonjak-lonjak karena beroleh kunjungan itu berarti kiriman makanan, minuman, rokok, kadang diiringi dengan sayang dan cium seolah tampak berlompatan keluar tubuh mereka dan berkeliaran di sekitar sambil menari-nari kegirangan. 

Tiba-tiba namaku dipanggil. Aku menoleh. Seorang lelaki menjinjing sebuah bungkusan datang padaku. Dia tak kukenal. Setahuku ia pun tak kenal aku. Hatiku berdentang cepat. Kepalanya! Kepalanya menyerupai…si kepala besarku, sahabatku. Tak pelak lagi! Aku berpacu datang mengelu-elukannya. Alangkah kecewanya aku, ketika kulihat dari dekat bahwa raut mukanya adalah dari benua di bumi lain. Tidak, dia bukanlah si kepala besarku! Langkah-langkah seolah direm dengan sendirinya. Aku menghentikan lajuku, kemudian terbalik dan cepat lari masuk ke dalam bilikku. 

“Bagaimana dengan bungkusan ini? Di dalamnya ada makanan.” 
“Bawa pulang!” teriakku. 
Lama ia menatap aku. Pandangnya membikin bumiku berputar. Kepalanya yang sebangun dengan sesuatu yang sangat mesra sekali artinya bagiku, mengambil bentuk yang semakin besar, kian lama kian besar juga. Tiba-tiba kepala itu demikian besarnya, hingga ia mendekap aku dalam ranjangku. 
Kembali itu perasaan ambivalen merebut seluruh diriku: Aku ingin dengan terharu menyentuh kepala tersebut. Tetapi pada saat yang bersamaan itu juga ingin menerjangnya. Aku ingin memecahkannya. Aku ingin mengucapkan kata-kata paling merayu padanya sedangkan di bagian lain dari rongga mulutku sudah tersedia kata-kata yang paling keji dan kasar baginya. 

Sesudah proses begini berlaku kurang lebih tiga menit lamanya, aku pun biasanya jadi lemah, payah sekali. Aku merasa kebutuhan untuk berkeringat, akan tetapi aku hanya dijengkelkan oleh perasaan bahwa bintik-bintik keringatku enggan keluar. Hangat-hangat kuku yang melembahi seluruh kujur tubuhku, membuat payahku semakin jadi. 

Keseluruhan dari keadaan diriku yang beginilah yang tadi kusebutkan sebagai kekosongan. Kekosongan, yang sebenarnya merupakan vitalitas yang tak tentu arahnya, yang hanya merupakan lonjakan hayat yang liar belaka, seliarnya. 

Keputihan tembok kian nyata dalam penglihatanku. Aku siuman. Tetapi tokoh yang membuat aku bingung tadi sudah tak ada di ambang pintuku lagi. Kepala besar yang khas itu sudah pergi. Kekosongan jenis baru terasa padaku kini. Cepat aku bangun, memburu keluar. 

Tetapi di luar hanya ada gang kelewat bersih, kelewat kosong. Tamu-tamu pengunjung lainnya agaknya sudah pulang semua, sedangkan pasien-pasien lain sudah masuk ke dalam bilik masing-masing. Aku melihat pada jam dinding ruang tengah. Setengah delapan malam, sudah! Tiba-tiba suara yang kukenal, menyergapku dari belakang, “Dia sudah pergi, Tuan.” 

“Ke mana?” tanyaku. 
“Pulang, ke rumahnya.” 
Ia diam. Aku diam. Ia agaknya menantikan reaksiku. Sedangkan aku menantikan kelanjutan dari pemberitahuannya. Diamku akhirnya tabrakan juga dengan diamnya itu. Ia mengalah. 

“Oya Tuan. Sebelum dia pergi, ia masih sempat berkata-kata dengan saya, tadi sebentar.” 
Aku mulai muak dengan mantri juru rawat ini. Segala sesuatu pada dirinya, yang selama ini menimbulkan simpati pada diriku, tiba-tiba membuat aku mual. Ingin aku dia tak ada. Aku kaget! Buat pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan dalam diri datangnya sesuatu keinginan untuk membunuh. Untuk menerkam mantri itu di kuduknya, menghisap darahnya sebanyak-banyaknya dari situ. Aku merasakan panas darahku mengujur tubuhku. 

Sang mantri agaknya menangkap suasana. Nalurinya memperingatkannya agar cepat berlalu dari situ. Ia takut. Tetapi kemantrijururawatannya yang sudah sekian puluh tahun itu memberikan kepadanya kemahiran unbtuk menyembunyikan perasaan dan pikiran yang sebenarnya. Demi untuk dinas! 
“Apa katanya?” tanyaku, tanpa aku sendiri ingin bertanya. 
“…anaknya, yakni kawan Tuan yang pulang tadi, sudah meninggal.” Dan bersamaan dengan ucapan mantri itu pun bergegas. 
“Meninggal?” 
Aku tak tahu apakah ucapan itu sungguh ada aku ucapkan. Untuk sekian kalinya bumiku kiamat. 
“Meninggal karena apa?” tanyaku lagi, dan sekalipun aku di dalam diriku menertawakan diriku: seolah untuk mati dibutuhkan sesuatu sebab. 
“Entah. Tetapi setiba dia di rumah, dia tiba-tiba demam panas. Ketika dokter yang dipanggil datang, dia meninggal.” 

Di dalam waktu yang sangat sekilas aku melihat picingan mataku, betapa rasa muakku yang tadi gagal mengambil sesuatu bentuk tertentu bagi dirinya kembali. Beberapa garis beterbangan, datang entah dari mana, bertemu, berbenturan dan mencoba saling merangkul satu sama lain. Gumpalan rangkulan itu kemudian berputar. Makin lama makin kencang dan menunjukkan warna yang silih berganti, silau-silau. Tiba-tiba entah disebabkan apa, gumpalan itu pecah. Garis-garis tadi beterbangan kembali dan entah ke mana. Bersama hilangnya mereka, mataku disilaukan oleh warna hitam yang berpijar…dan berakhir dengan bau ludah basi di dalam mulutku. 

“Oya Tuan,” kata sang mantri yang masih tegak di hadapanku. Agaknya dari tadi ia mengamati aku. Ia mengeluarkan selembar surat kabar yang terlipat dari dalam saku celananya dan menyerahkannya kepadaku. Tanpa aku ingini sendiri, surat kabar itu kuterima. 

“Ayah kawan Tuan tadi, menyerahkan surat kabar ini pada saya. Pesannya, agar saya serahkan kepada Tuan.” 

“Surat kabar? Surat kabar apa? Surat kabar siapa?” tanyaku berturut-turut, heran, bingung. 
“Mendiang kawan Tuan berpesan sebelum menghembuskan nafas terakhirnnya, agar kepada Tuan di sini diantarkan sebuah surat kabar.” 
“Buat bayar hutang,” katanya. Sang mantri lalu pergi. Bunyi langkah-langkahnnya yang semakin menjauh itu membuat gang-gang seolah tambah lengang. Tambah licin, bersih. Sebelah tanganku menggenggam surat kabar itu, yang sebelah lagi mencari pegangan, pada tembok. Aku terhuyung-huyung kembali ke dalam bilikku. Bilikku yang kecil, yang putih temboknya, malam itu bagiku punya warna hitam yang lebih lagi dari hitam…. 

Siasat Baru, XIII/655 
30 Desember 1959 




Laras di Atas Tumpukan Kertas



Laras di Atas Tumpukan Kertas

Oleh Dwi Agus Styawan
Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Malang

"Laras, kalau kamu tidak mau menuruti permintaanku, lebih baik hubungan kita tidak usah diteruskan lagi," bentak John pada Laras, pacarnya. Laras terdiam. Ia tidak percaya bahwa orang yang selama ini dicintainya tega berkata seperti itu. Laras mencoba untuk menegaskannya sekali lagi kepada John, tapi semuanya sudah terlambat. 

Sejak saat itu Laras berubah. Ia menjadi sangat emosional dan suka menyendiri. Suatu saat ia duduk di taman dekat rumahnya. Kata-kata putus yang keluar dari mulut John masih terngiang dalam benaknya. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tumpukan kertas usang yang sepertinya ikut menemaninya duduk sejak tadi. 

Ia menanyakan pada orang-orang di sekitarnya. Tapi, tidak ada yang tahu siapa pemilik tumpukan kertas itu. Laras membawa pulang tumpukan kertas tanpa nama tersebut dan langsung membacanya.

Hai diary, aku baru saja diputusin pacarku hanya karena aku tidak mau menuruti permintaannya. Kamu tahu nggak diary, dia mengajakku menginap di hotel. Hanya berdua di dalam kamar. Tentu saja aku menolaknya. Bagaimana pun, aku ini masih punya moral. Sampai detik ini pun sebenarnya aku masih belum bisa menerima hal ini. Apalagi dengan alasan yang dikatakannya. Sudah dulu ya diary, semoga saja aku bisa segera menemukan jalan keluarnya.

April 2003
"Ternyata tumpukan kertas itu merupakan curahan hati seseorang," gumam Laras. Tapi ada satu hal yang membuatnya heran, yaitu masalah yang dihadapi sang penulis, sama dengan apa yang dialaminya sekarang. Hal ini membuat Laras semakin tertarik dan iapun meneruskan membacanya.

Diary, maaf ya aku baru bisa menemuimu sekarang. Sebenarnya kejadian ini sudah basi. Yaitu sekitar sebulan yang lalu. Saat itu aku diajak papa dan mama untuk ikut pengajian rutin di masjid. Di sana aku mendengarkan ceramah yang kebetulan disampaikan oleh ustadz yang masih muda. Ia akrab dipanggil ustadz Faiz. Satu kata yang aku ingat adalah sholat. Diary, aku sadar bahwa aku terlalu sibuk dengan pacarku sampai aku lupa terhadap kewajibanku sebagai muslimah. 

Laras berhenti sejenak. Ia mengambil segelas air di sampingnya sekadar untuk membasahi tenggorokannya. Kemudian ia meneruskan.

Diary, sejak itulah aku mulai rajin sholat lima waktu. Suatu saat aku diajak adikku untuk sholat maghrib berjamaah di masjid. Di sana aku bertemu kembali dengan ustadz Faiz. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Tapi aku masih takut untuk memulainya. 

Akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapa. "Assalamualaikum," sapaku. "Waalaikum salam," jawabnya dengan ramah. "Ustadz, saya punya masalah. Apakah ustadz ada waktu untuk membicarakannya?" tanyaku kembali. "Ya, silakan," jawab ustadz Faiz singkat.

Ia langsung menuju ke dalam masjid. Aku mengikutinya dari belakang. Di sana aku menceritakan semua persoalanku dengan pacarku. 

Laras terlihat gembira sekali. Karena, entah disadari atau tidak, kertas-kertas itu merupakan petunjuk baginya. 

Diary, aku merekam semua jawaban dari ustadz Faiz. Sehingga, aku bisa menceritakannya padamu. Ustadz Faiz berkata bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan agar manusia bisa berkembang. Dan, naluri seksual itu merupakan fitrah manusia. Sehingga Allah tidak melarangnya, tapi hanya mengaturnya. 

Selanjutnya ia memaparkan beberapa dalilnya. Di antaranya surat An-Nur 31, bahwa Islam memerintahkan kepada wanita untuk menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Selain itu juga hadist nabi yang mengatakan bahwa tidak diperbolehkan laki-laki berduaan dengan wanita yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiga adalah setan. 

Ustadz Faiz menambahkan, bahwa Allah telah menegaskan dalam surat Al-Hasyr 7 bahwa manusia wajib mengambil apa yang diperintahkan oleh rasul-Nya. Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk menunda-nunda. 

Diary, aku langsung memotong penjelasannya. Aku bertanya tentang bagaimana hukum pacaran dalam Islam.

Laras kaget dengan pertanyaan itu. Selama ini ia tidak pernah berpikir tentang pacaran dalam Islam. Ia langsung melanjutkan membacanya. 

Ustadz Faiz menjawab bahwa kalau pacaran yang dimaksud adalah menjalin hubungan lawan jenis yang diselingi aktivitas seperti berpegangan, berpelukan, berciuman, bahkan sampai berhubungan seksual, maka haram hukumnya. Akan tetapi bila hubungan itu hanya sebatas pertemanan, tanpa diselingi aktivitas tersebut, maka itu diperbolehkan. Seperti ketika sedang sekolah atau dalam jual beli. Diary, mungkin ini adalah tulisan terakhirku. Aku ingin membagi pengalamanku dengan sesama kaumku, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. 

Juli 2003
"Laras, ada telepon dari John. Kamu mau menerimanya?" tanya mama yang tiba-tiba sudah ada di kamar Laras. 

Kebetulan Laras sudah selesai membaca kertas-kertas itu. Ia berjalan menuju meja telepon. Seolah-olah kakinya pun sudah tidak mau menemui John.

"Halo," kata Laras singkat.
"Laras, aku minta maaf. Aku terlalu egois. Aku sadar bahwa aku telah merendahkan harga dirimu sebagai wanita. Dan aku ingin kamu kembali padaku," kata John yang entah ada di mana.

Kata-kata itu terdengar sangat manis di telinga Laras. "Tidak John. Keputusanmu benar. Aku rasa, itulah jalan yang harus kita pilih. Dan sejak awal, hubungan kita sudah salah. Kalau kamu ingin minta maaf, minta maaflah pada Tuhan," jawab Laras yang langsung menutip telepon. 

Bersamaan dengan itu, adzan maghrib berkumandang. Laras bergegas mengambil air wudhu. Ia menyempurnakan wudhunya dan mengenakan mukenanya. 

Mukena yang tidak pernah ia pakai sebelumnya. Ia berdiri menghadap Tuhannya. Ia bersujud, memohon ampun pada-Nya, sambil berharap inilah jalan yang terbaik untuknya. 

Lagu yang Melindap



Lagu yang Melindap

Cerpen Beni Setia 
MATAHARI menyengat. Mengapungkan bau bacin kotoran dari parit setelah yang gagal digelontor buangan air mandi dan cucian rumah tangga. Aku menyimpan separuh karangan ke dalam disket, sambil melihat tanda waktu di sudut kanan layar monitor, ketika dari kamar Imay terdengar suara tape yang keras - lagu blues yang sayu. Aku mengintip dari jendela. Mengapa selalu CD yang sama, kenapa selalu pada jam yang sama? Seakan-akan mengingatkan agar aku tidak suntuk dengan pekerjaan, lantas bangkit dan mulai mempersiapkan mandi, makan, baca koran, dan beristirahat -seperti ia yang sudah bebas dari urusan rumah tangga dan bisa istirahat bermanja, bermalasan. Mungkin juga: waktu luang untuk bercinta.

Aku turun dengan tangga putar -lantai dua adalah ruang kerja dengan sebuah tempat tidur, los panjang mengikuti ruang serupa di bawah. Muncul di antara kamar tamu, dengan dapur sempit dan kamar mandi. Meloncat ke kamar mandi untuk mengguyur badan, berkeramas, dan menjemur handuk di teras terbuka buat menjemur di belakang. Menyalakan kompor, mempersiapkan air mendidih untuk kopi. Jalan ke depan untuk meraih koran yang disusupkan di celah pintu, dan tiga buah surat, sambil sekalian membuka pintu sehingga udara panas perkotaan -dan debu jalan- bergegas masuk. Memeriksa surat, melemparkannya ke meja, dan membalik-balik koran sambil jalan akan mempersiapkan kopi.

Meletakkannya di meja. Balik ke dapur. Mengiris dua sosis dan memarut -memanjang - dua wortel. Memasukkannya ke panci bergagang. Meraih dua bungkus mi dan mengeluarkan sachet bumbu agar bisa diremas sampai remuk. Memasukkannya, setelah satu berita selesai dibaca. Menunggunya sampai berita berikutnya selesai dibaca, dan ditutup dengan mematikan kompor gas. Balik ke depan, setelah menumpahkannya ke piring dan membawanya ke depan. Dan di sebelah Imay mengganti CD dengan lagu blues berikutnya. Apakah ia ingin ditelepon? Mengapa begitu atraktif minta diperhatikan? Aku bangkit. Jalan melintas halaman, ke kanan, ke arah jembatan selebar satu setengah meter, di mana di belakangnya, di atas parit: didirikan kios rokok. Untuk sekadar memberitahu Imay bahwa aku sudah bangun. Tapi semua itu sebenarnya untuk apa?


***

KOTA S sebuah noktah di kaki gunung nun di pedalaman. Pagi bagai pendaran kunang-kunang dengan udara dingin yang lama menjaga embun tetap utuh di jalanan, di batu, di daun, dan rumput-rumput dan karenanya orang-orang bagaikan terusir dari rumah ketika dipaksa bergerak ke kantor dan sekolah. Terkadang kabut tipis menjulur melayang-layang bagai ada setan tanah yang membakar ungun atau menggodok air di kedalaman.

Dan setelah itu, ketika matahari membelalak, segalanya jadi sunyi -hamparan senyap. Dan senja menjadi semacam ritual perpisahan sebelum orang-orang kembali memasuki ruang isolasi, asylum rumah yang hangat dengan obrolan intim. Berkumpul di lapangan, main sepak bola, main bola tangan, main kasti, main voli, dan sekadar berbincang di pojokan sampai hari padam dan masjid di barat membunyikan bedug dan melantangkan azan. Karenanya setiap orang tahu orang lain, dan karenanya semua orang tak mau jadi buku yang terbuka dan dibaca semua orang di kota S. Apa itu kelebihan atau justru kekurangan karena manusia bukan si individu otonom?

Di selatan, di jembatan dengan jeram kecil sekitar tiga puluh meter ke hilir, aku biasa berkumpul dengan kawan-kawan. Omong kosong atau membicarakan apa saja. Melihat hari petang dan serangga bagai bangkit dari remang pepohonan yang mengeriap oleh angin. Hampir tiap senja Juni -setelah belajar bersama denegan Esti- lewat dengan sepeda dan jaket warna gading yang mempunyai resluiting panjang di perut, dengan kerah berwarna lebih tua, dan dengan rambut sebahu yang menggerai oleh angin. Tubuhnya lampai, kurus -baru kelas 2 SMP- mengusung leher jenjang dan wajah opal yang dicungkup poni. Wajahnya menatap curiga, takut digoda, tetapi matanya - yang sipit - tampak cerlang. Kami sering bertatapan. Kami saling tersenyum - hanya tersenyum saja. Setidaknya sampai aku lulus SMP dan sekali ia berbicara dengannya. Tentang akan meneruskan ke mana dan menjadi apa? Aku menjawab, dan - di dalam batin - berjanji akan kembali untuk menjemputnya. Tapi sampai aku menikah aku tidak pernah bisa menepati janji itu.

Dan mungkin sejak itulah aku terobsesi oleh jaket berwarna gading, padahal sampai aku SMA aku tidak pernah punya jaket. Aku pernah minta dibelikan jaket, tapi tidak pernah dibelikan jaket. Ayah menyuruh aku berkerudung sarung bila ke luar malam, dan karenanya aku harus menabung agar bisa membeli jaket berwarna gading. Tak kesampaian karena kau keranjingan membaca dan membeli bacaan, sampai aku bisa menulis dan honor pertamaku sebagai cerpenis, ketika aku di PT, dibelikan sebuah jaket berwarna gading dengan kerah bahan kaus yang berwarna lebih tua. Lantas memakainya dengan bangga saat pulang ke S dan mampir di rumah Juni -tapi tak bertemu.

Aku, dengan bangga, mampir di rumah kos Juni, memamerkan jaket gading -dan perasaan ingin dirangkul kehangatan selembar jaket- dan ia tertawa saat diajak nonton dengan honor cerpen kedua.

Kami kencan tapi tak tuntas karena Juni punya agenda sendiri -aku mundur dan muak dengan jaket berwarna gading itu. Tetapi aku tidak tega membuangnya. Aku menghadiahkannya pada ibu dengan omongan pelobi besar - "Itu dibeli dengan gaji pertamaku, untuk Ibu!" Ibu bangga memakai jaket itu hingga Ayah menuntut agar aku membelikan jaket yang serupa. Aku menelan ludah tapi aku membelanjakan duit hasil dua cerpen untuk jaket gading berikutnya- untuk Ayah. Dan muak bila mereka bangga mengenakannya ketika aku pulang ke S. Muak kepada Juni, marah kepada Juni, tapi aku tak berdaya memarahi Juni sehingga aku memutuskan membeli jaket berwarna gading berikutnya, karena di dalam kerodongannya itu aku merasakan kehangatan merindukan Juni. Apakah ia ingat aku? Tahu kenapa aku cuma membeli jaket berwarna gading?


***

AKU menikah dengan Suhartinah. Pindah ke T dan konsentrasi menulis sambil melihat anak-anak bekembang - Arti jadi guru. Pernikahan yang aneh karena aku tidak bisa melepaskan diri dari rutin padahal akau masih ingin ada di tempat asing, sebagai cerpenis. Mungkin juga sesunyi menghenyak sambil berkipas memikirkan senja yang dingin di kota S, di mana aku tidak pernah punya jaket dan Juni lewat dengan memakai jaket gading dengan tubuh kaku lampai anak mau matang. Lantas aku membeli jaket warna gading, dan celana warna khaki atau coklat muda dan kaus dan baju putih, krem, dan gading yang serasi dengan jaket, tapi Arti tak ambil pusing. Ia sibuk dengan anak-anak, ia sibuk dengan murid-muridnya, dan sering lupa kalau aku belum sarapan dan dibuatkan kopi. Aku diam saja. Diam. Menghenyak dalam sunyi dan memikirkan senja yang dingin di kota S, dengan Juni yang lewat dengan sepeda - dan kencan kami yang hanya dua kali itu. Apa Juni ingat aku? Apa Juni masih mengingat itu dan mengenang aku?

Perkawinan yang tidak harmonis secara psikologis. Kami bercerai -dua anak kami ikut Arti. Aku pulang ke S tapi kemudian memilih kontrak di B. Lima tahun - sampai aku bisa membeli rumah tingkat, bekas garasi, dan memulai hidup baru di Jl X sebagai si Ayah yang terkucil sendiri. Terhenyak dan menghabiskan waktu untuk menulis untuk mencukupi kebutuhan, memberi tunjangan, dan menabung entah untuk apa dan siapa. Siang malam bekerja. Siang malam menulis. Siang malam melupakan kota S yang dingin dengan senja yang meremang dan reriapan daun dari pohon yang dijelujuri angin. Dan kemudian aku menyadari hal lain di sebelah: Imay membunyikan tape kuat-kuat ketika kerja rumah tangga selesai. Terkadang ia berteriak lantang, memanggil mi goreng keliling atau senyum-senyum menghampiri aku yang mencegat nasi goreng di depan rumah.

"Ia baru ditinggal mati suaminya. Tabrakan," kata Bi Iting, penjual rokok di kios di atas parit di kanan rumah. Aku tersenyum. "Ia adiknya Bu Imas," katanya menambahkan seperti menerangkan bahwa ia bukan pembantu tapi ipar Pak Obos, dan tante dari Nita dan Ilik. Aku tersenyum. Aku bersandar dan termangu. Apa ini memang jodohku? Kenapa aku justru teringat Juni dan ingin sekali bertemu Juni? Macam apa Juni sekarang? Apa selangsing dan selampai ketika SMA dahulu? Secantik dan percaya diri ketika ia mahasiswa dan mengambil jurusan kesekretarisan? Kemudian ia ke Jakarta sebagai sekretaris direktur di perusahaan asing? Kemudian pergi ke LN mengikuti bekas bosnya. Mapan sebagai eksekutif - meski tak ada berita ia menikah. Karenanya aku makin keranjingan jaket gading, kaus putih atau krem, celana khaki, dan roman-roman populer yang menceritakan cinta murni dari manusia pedesaan, yang meski direnggut dan dicampakkan oleh kemajuan teknologi tetap bisa menemukan asylum batin dari yang saling mencinta. Dan aku? Kenapa aku tidak menemukan surga itu?

Aku mengintip Imay dari jendela tingkat dua. Dan Imay tahu kalau aku suka mengintip dari jendela tingkat dua, ke kamarnya di lantai bawah, dan karenanya ia terkadang seperti tidak sengaja bertelanjang, menari-nari sambil membunyikan CD lagu blues keras-keras. Berputar-putar menari-nari seperti tak tahu diintip oleh aku. Aku memejam dan ingat Juni. Terkadang, dengan HP, aku menelepon, berpura-pura salah sambung. Imay menerima dan kami bertukar cakap beberapa kata. Lantas, di sore hari, ia mengikuti aku mandi - berbalas jebur dengan dipisahkan parit. Mungkin ia membayangkan diriku - padahal aku sendiri membayangkan Juni dan senja di kota S yang dingin. Lantas ada apa di antara kami? Lantas kenapa tanganku tidak bisa menjangkau Juni, dan tidak peduli pada Imay yang seperti sirsak matang siang dijolok dan tumpah ke gelas?

Karenanya aku mengetik dan terus mengetik hingga cerpen, novel, dan artikel muncul di mana-mana. Membuat anak-anakku senang, menyebabkan tabungan semakin bertambah, dan undangan bicara di mana-mana. Ya! Tapi aku makin rindu Juni. Apakah Juni tahu kalau aku merindukannya? Atau ia justru mengutuki aku yang tidak menyadari rindunya yang terpendam - padaku? Karena itu aku selalu berusaha melupakan Imay - seperti aku melupakan Arti dan kedua anakku - yang menggelepar nun di sebelah. Senantiasa.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer