LEBIH HITAM DARI HITAM (Karya: Iwan Simatupang)
Dikemas 20/10/2002 oleh Editor
Sejak hari pertama aku dirawat di bagian penyakit jiwa rumah sakit ini, segera ia menarik seluruh perhatianku. Ia mempunyai kepala besar dengan bentuk khas. Bahkan boleh dikata seluruh perawakannya adalah khas. Bahkannya mengamati seseorang, memulai bicara, menyudahi kalimat-kalimatnya dan berhenti berbicaranya tertegun dan segan. Adakah ia macam orangnya yang disebut berpribadi itu? Aku tak tahu.
Akan tetapi, selekas itu ia menarik perhatianku, tak selekas itu aku bisa mengadakan kontak dengannya. Aku pun bukanlah orang yang secepat itu ingin dan dapat mengadakan hubungan dengan seseorang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Aku mempunyai keseganan yang oleh kawan-kawanku sering dicap sebagai keangkuhan.
Apa boleh buat? Sudah watakku. Aku tak mampu berbuat apa-apa terhadapnya, betapa pun pada hakikatnya besar keinginan dariku untuk mempunyai kawan—banyak kawan.
Tetapi, pada suatu hari ia sudah tegak di hadapanku dan serta merta merampas surat kabar yang sedang kubaca ketika itu. Karena terperanjat oleh tindakannya yang tanpa basa-basi itu, aku tak dapat berbuat apa-apa, tak dapat berkata apa-apa. Ia segera duduk di atas sebuah bangku di pojok dari ruang tengah itu, lalu berlagak membaca. Sebenarnya panas hatiku memerintahkan aku pergi kepadanya. Merampas surat kabar itu kembali darinya. Kemudian menjewer kupingnya atau mengayunkan sebuah tinju pada mukanya. Tetapi segera aku menangkap suasana: suasana ruangan. Suasana sekitar, juga suasana yang ada dalam diriku: mengapa aku di sini? Mengapa ia di sini?
Suatu perasaan kelu mengembus di dalam hatiku, kelu yang bikin marah padam. Tinjuku yang sudah mengepal, jari-jari jadi terentang kembali. Entah mengapa, dadaku sesak dengan napas panas: aku punya rasa simpati dengan dia, dengan si kepala besar. Ya, dengan semua orang miring dan gila yang sedang dirawat bersama aku di sini. Pipiku sudah basah keduanya dunia menghenyakkan dirinya ke dalam diriku. Dunia kutimang. Kasihku padanya tak terhingga…
“Mengapa Saudara tak jadi marah?” Tiba-tiba menggeledek suara si kepala besar. Ia sudah tegak kembali di hadapanku. Surat kabar tadi sudah digulungnya jadi semacam pentung pemukul, tangan kirinya menolak pinggangnya.
“Ayo jawab! Mengapa Saudara tak jadi marah tadi?” Geledeknya kembali setelah dilihatnya betapa sukar aku mengambil sesuatu sikap yang layak bagiku terhadapnya pada saat itu.
“…Mengapa saya mesti marah?” tukasku, bimbang, malu.
“Kau mesti marah! Mesti marah!” teriaknya. Kali ini ia melompat-lompat, akhirnya meniarap di atas ubin, sambil menangis tersedu-sedu. Bimbangku semakin jadi. Kekaburan semakin merebut setiap ruang kosong dalam diriku.
“Aku tidak ingin dikasihani, tahu? Tidak mau! Kau, setan, iblis, algojo!” teriaknya.
Aku merasa diriku bersalah. Tetapi tak jelas bersalah karena apa. Perasaan-perasaan begini sebenarnya tak asing lagi bagiku. Akhir-akhir ini ia bahkan semakin jadi-jadinya menghunjam diriku. Sering aku memergoki diriku dalam keadaan lesu sekali, payah, sedang aku tak tahu mengapa. Berkali-kali aku meneliti diriku, apakah ini barangkali tidak sama dengan apa yang disebut “kekosongan” yang banyak dipertanyakan dalam banyak roman dan drama modern itu?
Tetapi setiap kali aku mencoba meneliti serupa itu, setiap kali pulalah aku harus kecewa. Bagaimana mungkin kepadatan perasaan dan pikiran serupa ini dapat disebut kekosongan? Perasaanku gemuruh, menggelegak panas dan dingin melimpah ruah ke segenap penjuru.
Kosong
Tidak!
Pikiranku memacu dalam keadaan terang-benderang : seolah seluruh persoalan yang ada di bawah kolong langit ini menyatakan diriku dalam keadaan yang kemilau padaku, dan aku tinggal memecahkannya saja.
Kosong?
Surat kabar tadi kini sudah bukan surat kabar lagi. Ia telah lusuh. Bagian-bagiannya beterbangan ke sana kemari.si kepala besar telah berhenti terisak-isak. Dengan mata yang masih basah ia mengirimkan beberapa senyum manis padaku. Ia tegak mengulurkan tangannya padaku. Cepat tangannya kuburu dan kusergap. Alangkah panasnya air mataku yang membasahi tangannya itu. Ia kugenggam erat. Suatu panas yang membara, tetapi sekaligus menyeramkan, menjalar dari jari-jarinya ke dalam seluruh tubuhku. Entah mengapa aku mesti berlaku demikian, aku tak tahu. Bahkan aku tak peduli. Huruf-huruf dari pengertian “segan” dan “harga diri” memang masih sempat kulihat berpijar dalam kalbuku, tetapi dengan cepat yang menderu, ia kulalui saja. Aku laju mendengus ke depan, entah arah ke mana, aku tak tahu, tak peduli.
Kami berdua yang berpeluk-pelukan begitu, tentulah merupakan tontonan bagi hadirin di situ. Hadirin yang terdiri dari kawan-kawan sekedudukan sosial—orang-orang miring dan mereka yang ada di luar lingkungan sosial kami itu, yakni juru rawat, dokter dan para kerabat dari pasien yang sedang berkunjung saat itu. Pada wajah mereka itu tampak iba kasihan mengambang dengan padatnya. Mereka ini adalah agaknya manusia-manusia dari jenis humanis-akhir-jaman, manusia-manusia budak dari hati nurani yang primer. Sikap pertama mereka di segala kejadian adalah: Kasihanilah!
Beberapa dari mereka itu, terutama dari jenis wanitanya sudah ada yang bahkan menghapus-hapus air mata dengan sapu tangan … karena lucu.
Tetapi hatiku terdenyak paling nyeri adalah ketika mengamati jenis ketiga dari publik kami. Mereka itu adalah dari jenis yang tidak ada unjukkan reaksi apa-apa pun. Muka mereka tetap mempertahankan kerentangan jangatnya, sedikit pun tak berkerut: tak menangis, tak tertawa. Melihat wajah-wajah yang indiferen inilah napasku mulai jadi sesak. Kelilingku mulai berputar, setiap zarah udara yang masuk ke dalam rongga dadaku membawa rasa henyak, sesak…
Aku bangun dari tidurku esok harinya. Begitu aku mengenali kembali putih tembok bilikku, aku tegak melompat dan memacu keluar. Tetapi, si kepala besar tak tampak olehku. Mantri juru rawat yang selalu kuhadiahi senyum manis, melihatku, agaknya mengerti siapa yang sedang kucari.
“Dia sudah pergi, Tuan,” katanya.
“Kemana?” tanyaku.
“Pulang ke rumahnya. Semalam, tiba-tiba ia minta agar familinya datang mengambilnya pagi ini juga. Apabila ia tidak diambil pulang hari ini juga, ia mengancam akan bunuh diri. ‘juga di rumah sakit jiwa masih banyak alasan untuk bunuh diri!’ begitu dia mengancam.”
“Apa jawab familinya?”
“Tadi, pagi-pagi benar, pukul setengah enam mereka dengan heran memuncak. “Mengapa mesti pukul setengah enam?”
“Entah, Tuan. Itu permintaannya sendiri.”
“Tetapi, bagaimana bisa seorang pasien meninggalkan rumah sakit pula setengah enam pagi? Kan kantor belum buka?” tukasku, dengan nada seolah akulah pemimpin rumah sakit ini.
“Entah, Tuan.” Sambil berkata demikian cepat ia pun berlalu.
“Aneh, sungguh aneh!”
tetapi…tiba-tiba aku melihat di dalam ingatanku wajah salah seorang dari publikku yang kemarin: tertawa geli, lucu. Aku tertawa. Sungguh geli. Lucu! Siapa lagi yang meninggalkan rumah sakit pukul setengah enam pagi-pagi buta, kalau tidak orang yang miring? Aku tertawa, makin lama makin keras. Terbahak-bahak, membuat para sesama pasien, juru rawat dan dokter yang mulai masuk berdatangan pagi itu, melihat padaku dengan wajah takut campur heran.
Sore itu langit sangat cerah. Sama dengan cerahnya aku lari dalam diriku. Buku yang sejak dua hari ini tertangkup terbengkalai di bawah bantalku dapat kubaca lanjut beberapa halaman lagi. Di sekelilingku terdapat suasana yang beroleh larasnya dengan perasaanku ketika itu. Pasien-pasien lainnya seolah sepaham semuanya dengan aku, demikian pula para juru rawat yang bekerja sore itu. Perasaanku meluap dengan kebutuhan untuk meneriakkan ke seluruh dunia betapa bahagianya ketika itu.
Para kerabat pasien-pasien mulai berdatangan. Tampak dan kedengaran keriuhan dari setiap mereka datang itu. Jantung para pasien yang melonjak-lonjak karena beroleh kunjungan itu berarti kiriman makanan, minuman, rokok, kadang diiringi dengan sayang dan cium seolah tampak berlompatan keluar tubuh mereka dan berkeliaran di sekitar sambil menari-nari kegirangan.
Tiba-tiba namaku dipanggil. Aku menoleh. Seorang lelaki menjinjing sebuah bungkusan datang padaku. Dia tak kukenal. Setahuku ia pun tak kenal aku. Hatiku berdentang cepat. Kepalanya! Kepalanya menyerupai…si kepala besarku, sahabatku. Tak pelak lagi! Aku berpacu datang mengelu-elukannya. Alangkah kecewanya aku, ketika kulihat dari dekat bahwa raut mukanya adalah dari benua di bumi lain. Tidak, dia bukanlah si kepala besarku! Langkah-langkah seolah direm dengan sendirinya. Aku menghentikan lajuku, kemudian terbalik dan cepat lari masuk ke dalam bilikku.
“Bagaimana dengan bungkusan ini? Di dalamnya ada makanan.”
“Bawa pulang!” teriakku.
Lama ia menatap aku. Pandangnya membikin bumiku berputar. Kepalanya yang sebangun dengan sesuatu yang sangat mesra sekali artinya bagiku, mengambil bentuk yang semakin besar, kian lama kian besar juga. Tiba-tiba kepala itu demikian besarnya, hingga ia mendekap aku dalam ranjangku.
Kembali itu perasaan ambivalen merebut seluruh diriku: Aku ingin dengan terharu menyentuh kepala tersebut. Tetapi pada saat yang bersamaan itu juga ingin menerjangnya. Aku ingin memecahkannya. Aku ingin mengucapkan kata-kata paling merayu padanya sedangkan di bagian lain dari rongga mulutku sudah tersedia kata-kata yang paling keji dan kasar baginya.
Sesudah proses begini berlaku kurang lebih tiga menit lamanya, aku pun biasanya jadi lemah, payah sekali. Aku merasa kebutuhan untuk berkeringat, akan tetapi aku hanya dijengkelkan oleh perasaan bahwa bintik-bintik keringatku enggan keluar. Hangat-hangat kuku yang melembahi seluruh kujur tubuhku, membuat payahku semakin jadi.
Keseluruhan dari keadaan diriku yang beginilah yang tadi kusebutkan sebagai kekosongan. Kekosongan, yang sebenarnya merupakan vitalitas yang tak tentu arahnya, yang hanya merupakan lonjakan hayat yang liar belaka, seliarnya.
Keputihan tembok kian nyata dalam penglihatanku. Aku siuman. Tetapi tokoh yang membuat aku bingung tadi sudah tak ada di ambang pintuku lagi. Kepala besar yang khas itu sudah pergi. Kekosongan jenis baru terasa padaku kini. Cepat aku bangun, memburu keluar.
Tetapi di luar hanya ada gang kelewat bersih, kelewat kosong. Tamu-tamu pengunjung lainnya agaknya sudah pulang semua, sedangkan pasien-pasien lain sudah masuk ke dalam bilik masing-masing. Aku melihat pada jam dinding ruang tengah. Setengah delapan malam, sudah! Tiba-tiba suara yang kukenal, menyergapku dari belakang, “Dia sudah pergi, Tuan.”
“Ke mana?” tanyaku.
“Pulang, ke rumahnya.”
Ia diam. Aku diam. Ia agaknya menantikan reaksiku. Sedangkan aku menantikan kelanjutan dari pemberitahuannya. Diamku akhirnya tabrakan juga dengan diamnya itu. Ia mengalah.
“Oya Tuan. Sebelum dia pergi, ia masih sempat berkata-kata dengan saya, tadi sebentar.”
Aku mulai muak dengan mantri juru rawat ini. Segala sesuatu pada dirinya, yang selama ini menimbulkan simpati pada diriku, tiba-tiba membuat aku mual. Ingin aku dia tak ada. Aku kaget! Buat pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan dalam diri datangnya sesuatu keinginan untuk membunuh. Untuk menerkam mantri itu di kuduknya, menghisap darahnya sebanyak-banyaknya dari situ. Aku merasakan panas darahku mengujur tubuhku.
Sang mantri agaknya menangkap suasana. Nalurinya memperingatkannya agar cepat berlalu dari situ. Ia takut. Tetapi kemantrijururawatannya yang sudah sekian puluh tahun itu memberikan kepadanya kemahiran unbtuk menyembunyikan perasaan dan pikiran yang sebenarnya. Demi untuk dinas!
“Apa katanya?” tanyaku, tanpa aku sendiri ingin bertanya.
“…anaknya, yakni kawan Tuan yang pulang tadi, sudah meninggal.” Dan bersamaan dengan ucapan mantri itu pun bergegas.
“Meninggal?”
Aku tak tahu apakah ucapan itu sungguh ada aku ucapkan. Untuk sekian kalinya bumiku kiamat.
“Meninggal karena apa?” tanyaku lagi, dan sekalipun aku di dalam diriku menertawakan diriku: seolah untuk mati dibutuhkan sesuatu sebab.
“Entah. Tetapi setiba dia di rumah, dia tiba-tiba demam panas. Ketika dokter yang dipanggil datang, dia meninggal.”
Di dalam waktu yang sangat sekilas aku melihat picingan mataku, betapa rasa muakku yang tadi gagal mengambil sesuatu bentuk tertentu bagi dirinya kembali. Beberapa garis beterbangan, datang entah dari mana, bertemu, berbenturan dan mencoba saling merangkul satu sama lain. Gumpalan rangkulan itu kemudian berputar. Makin lama makin kencang dan menunjukkan warna yang silih berganti, silau-silau. Tiba-tiba entah disebabkan apa, gumpalan itu pecah. Garis-garis tadi beterbangan kembali dan entah ke mana. Bersama hilangnya mereka, mataku disilaukan oleh warna hitam yang berpijar…dan berakhir dengan bau ludah basi di dalam mulutku.
“Oya Tuan,” kata sang mantri yang masih tegak di hadapanku. Agaknya dari tadi ia mengamati aku. Ia mengeluarkan selembar surat kabar yang terlipat dari dalam saku celananya dan menyerahkannya kepadaku. Tanpa aku ingini sendiri, surat kabar itu kuterima.
“Ayah kawan Tuan tadi, menyerahkan surat kabar ini pada saya. Pesannya, agar saya serahkan kepada Tuan.”
“Surat kabar? Surat kabar apa? Surat kabar siapa?” tanyaku berturut-turut, heran, bingung.
“Mendiang kawan Tuan berpesan sebelum menghembuskan nafas terakhirnnya, agar kepada Tuan di sini diantarkan sebuah surat kabar.”
“Buat bayar hutang,” katanya. Sang mantri lalu pergi. Bunyi langkah-langkahnnya yang semakin menjauh itu membuat gang-gang seolah tambah lengang. Tambah licin, bersih. Sebelah tanganku menggenggam surat kabar itu, yang sebelah lagi mencari pegangan, pada tembok. Aku terhuyung-huyung kembali ke dalam bilikku. Bilikku yang kecil, yang putih temboknya, malam itu bagiku punya warna hitam yang lebih lagi dari hitam….
Siasat Baru, XIII/655
30 Desember 1959
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny