Korupsi
Bab pertama
Sepeda itu telah tua. Pernikelan dan tjatnya sudah lama kabur digantikan oleh karat menebal disana-sini.
Akupun sudah tua. Kebesaran dan keagunganku telah padam. Jang tinggal hanya umurku jang tua dan kelemahan jang tambah lama tambah menggerumiti tenaga. Presis sepeda itu dengan karatnja yang kian menggerumiti besi dan badjanja.
Tip hari dengan sepeda tua jang berkerait-kerit bunjinja itu aku masuk dan pulang kerdja diantara lalulintas kota Djakarta jang bertambah riuh.
Aku hanja seorang pegawai, dan tetap seorang pegawai. Kakekku pegawai dan bapakkupun pegawai. Sebenarnja aku harus berterimakasih masih punja sumberpenghasilan. Tetapi ada banjak hal jang menjebabkan hatiku berontak.
Telah duapuluh tahun aku djadi pegawai - kumulai dari magang. Tetapi kian hari kian berkurang sadja harta benda dan umurku. Lemari agung jang dahulu menghiasi ruang-depan sudah lima tahun ini hilang disita orang karena hutang tidak terbajar. Sepeda-motor jang dahulu mendjadi kebanggaanku, hasil simpanan selama sepuluh tahun, telah lama melajang. Aku tidak tahu kini siapa jang mempunjainja. Sepeda tua itulah gantinja. Perhiasan isteriku, jang dahulu kerapkali dikagumi orang, sudah lama-lama berubah bentuk mendjadi surat-surat pegadaian jang tidak berharga karena tidak tertebus.
Tambah lama dinas kepegawaian ini, tambah terondollah rasanja. Dan disamping itu anak bertambah banjak djuga. Itulah pula sebabnja mengapa selalu teringat olehku pepatah Arab:
Apabila orang miskin mengharapkan uang, ia mendapat anak. Apabila orang kaja mengharapkan anak ia mendapat uang.
Dan barangkali dalam sepuluh tahunn jang akan datang tambah tiga atau empat lagi anak ini. Lihatlah jang sudah ada sekarang! Dahulu tjuma Bakri. Sekarang? Bakar, Basir dan Basirah. Kadang-kadang aku malu pada diriku sendiri mengharapkan satu atau dua diantara mereka mati, agar kemiskinan ini ikut berkurang agak sedikit. Dan apa bila pikiran demikian berkundjung dibenakku, segera aku berdoa dan memohon kepada Tuhan jang pemurah agar mereka kelak tidak mengalami kesulitan seperti aku, ajahnja.
Ah, dahulu mendjadi pegawai negeri adalah suatu penghormatan. Kebesaran malah. Dan aku harap anakkupun mendjadi pegawai. Itulah sebabnja mereka kuberi huruf pangkal B seperti namaku Bakir, agar sedikit atau banjak memperoleh tuahku dan bisa mendjadi pegawai pula. Kuharapkan dengan huruf pangkal itu mereka mendapatkan kedjajaan sebagaimana halku dahulu. Tapi beginilah keadaanja sekarang.
Dahulu aku mempenjai rumah sendiri. Sekarang demikian pula. Tetapi beberapa kamar, itupun jang terbaik dan terdepan letaknja, terpaksa disewakan. Kini dipergunakan sebagai warung oleh satu keluarga Tionghoa. Mula-mula memang sedap rasanja menerima beberapa ribu rupiah uang kuntji. Tetapi setelah uangkuntji habis dimakan, jang tinggal hanja keributan jang tiada habis-habisnja. Tjuma dimalamhari kami dapat hidup tenang. Kami tinggal dibagian belakang, sebuah bilik, sebuah ruangtamu dimana anak-anak tidur ditikar dimalamhari, sebuah dapur dan kamarmandi jag harus dipergunakan bersama-sama dengan keluarga Tionghoa didepan.
Kami ingin mendapat tempattinggal aman. Kami butuh uang untuk mengusir warung didepan. Anak-anak sudah besar dan hatus melandjutkan sekolahnja. Ah, dahulu sekolah hanja kebanggaan, kebesaran dan pangkal segala tjita kemuliaan. Sekarang hanja suatu kewadjiban jang biasa sadja.
Betapa sempit rasa hidupku, kering, dan kelabu, ialah waktu suatu kali anak-anakku berlari-larian mendapatkan aku dengan paras berseri-seri. - Pak, pak, aku lulus! Bulan muka masukkan aku ke SMA.
Itu beberapa bulan jang lalu. Kemudian disusul lagi oleh jang lain.
- Pak, pak. Aku djuga lulus.
- Anak-anakku tiada jang bodoh, kataku menjambut kegirangannja.
- Bulan depan aku minta masuk SMP, sambung anak kedua si Bakar.
Semua itupun harus kupikirkan. semua itupun harus mendapat sumberpenghasilan untuk memungkinkannja. Bila tidak, akan terabalah kemungkinan hidup hidup mereka kelak. Malam datang. Berkali-kali aku bangkit-tidur, tapi achirnja kurebahkan djuga tubuh - tuaku dirandjang. Disamping istriku tidur njenjak tetapi aku tetap gelisah. Banjak diantara kawan-kawan jang mudjur dalam penghidupannja terkenang olehku. Dan achirnja terniatlah dalam hati, seperti sudah djamak dimasa ini: KORUPSI.
Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnja baik dimulut maupun dihati: koripsi, korupsi, korupsi. Achirnya teguhlah niatku untuk mengerdjakannja djuga. Berdegung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi. Tiap dinding dan tiap benda dikamar serasa merasa ikut menggigilkan kata jang itu-itu djuga: korupsi! korupsi!
Ah, alangkah sakit hatiku ini - merasa harus meninggalkan sedjarah jang lama, jang telah kubangunkan dari hari kehari - untuk memasuki, untuk mereguk sedjarah baru, sedjarah kemegahan dimana tidak ada batas jang menghalangi. Alangkah sakitnja dihati harus mengutjapkan selamat tinggal kepada kebiasaan jang dilakukan tiap hari, tiap detik.
Dalam keriuhan pemilihan, dalam kebalauan itu, akupun djatuh tertidur.
(Berlanjut...)
Pramoedya Ananta Toer
Tjetakan Kedua
N.V. Nusantara
Bukittinggi - Djakarta
1961
Tidak ada komentar:
Posting Komentar