Malam masih dua setengah jam lagi berlalu sebelum pagi tersenyum. Orang-orang kampung masih terlelap, mungkin masing-masing mereka masih akan kebahagian dua buah mimpi lagi sebelum ayam jantan pertama memamerkan suaranya yang parau.
Di malam yang hening bening kesukaan maling dan hantu-hantu gentayangan tersebut terlihat dua orang laki-laki kekar sedang duduk berhadapan, mereka saling menatap mata manusia di hadapannya lekat-lekat, lalu seorang dari laki-laki itu berkata, “Keluarkan pisaumu Lukman! Asahlah. Malam ini semua harus selesai, segala hutang-piutang dan persoalan antara kita harus selesai.”
“Aku tidak perlu pisau. Pisau tidak menyelesaikan persoalan, Suman.”
“Pisauku ini akan melukaimu, bahkan bukan tidak mungkin, ia akan membantuku menghilangkan nyawamu.” Ancam laki-laki yang bernama Suman.
“Aku tidak takut karena hari ini lidahku akan lebih tajam dari pisaumu.”
“Kalau begitu bersiaplah. Kau akan kutusuk.”
“Aku tidak takut. Tapi, sebelum kau tusukkan pisaumu itu ke jantungku dengarlah dulu kata-kataku.”
“Apa lagi yang ingin kau katakan?”
“Aku tidak meniduri istrimu. Kami hanya minum segelas kopi menunggu kau pulang.”
“Selama tujuh musim hujan kau hanya minum segelas kopi menunggu aku pulang bersama Marfuah? Omong kosong macam apa ini, ha!? Setiap malam selama tujuh musim hujan kau bertandang ke rumahku hanya untuk meminum segelas kopi? Apakah kau tidak mampu membeli kopi?”
“Aku mampu, tapi bagaimana mungkin aku bisa menikmati kopiku sementara Marfuah istrimu terus-menerus menitikkan air mata menunggu kepulanganmu?”
“Lalu kau menghiburnya dengan imbalan segelas kopi? Begitu!?”
“Tidak. Imbalannya bukan segelas kopi, karena aku mampu membeli segelas kopi.”
“lalu apa imbalannya, keparat?”
“Rasa puas.”
“Rasa puas!? Anjing! Jadi kau betul-betul meniduri istriku? Keparat kau!”
“Kau salah paham.”
“Persetan! Enyahlah ke neraka jahanam!” Lalu Suman menerjang ke arah Lukman, dihunjamkannya belati yang tergenggam di tangan kanannya ke dada Lukman. Lukman terkapar, darah mengalir, namun di bibirnya tersungging senyum tulus.
Sambil berkelonjotan, Lukman memanggil Suman, katanya, “Suman, sahabat masa kecilku. Aku tidak meniduri istrimu. Rasa puas yang kumaksud bukan rasa puas seperti yang ada di kepalamu. Aku menemani istrimu selama tujuh musim hujan menantikan kepulanganmu, sejak kutemani istrimu tidak lagi menangis melainkan menantikanmu dengan penuh pengharapan. Aku merasa puas karena bisa menghibur Marfuah, istrimu, jadi aku bisa menikmati kopiku tanpa rasa bersalah. Adalah sangat tidak manusiawi ketika aku membiarkan istrimu menangis sedangkan aku malah asyik menikmati kopi pahitku, kawan.”
Lukman berkelonjotan, darah terus mengalir dari dadanya, kemudian diam, tak bergerak, mati. Suman tak tahu harus berbuat apa, ia hanya tertawa sementara hatinya terluka. Suman menjadi gila, bila salah seorang dari kalian sempat bertemu dengan seorang pria kekar berambut gimbal dan sambil tertawa ia mengucapkan kata ”Mati” ia adalah Suman yang telah membunuh sahabat dari masa kecilnya hanya karena segelas kopi.
Nologaten, 25 February 2003.
Sembari menunggu sarapan pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar