Kuasa Cinta - Robert
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor
Ketidak berdayaan Hani membuat dirinya sadar bahwa ini adalah termasuk misteri ilahi. Siapa yang tahu tentang percintaan Adam dan Hawa di Surga. Hanya Tuhanlah yang tahu. “Mengapa Tuhan mengaruniai manusia dengan nafsu?” Hani merasa benci dengan nafsunya sendiri. Entah, mungkin ia pernah ‘diperbudak’ oleh nafsu, bukan malah memberikan ‘motifasi’. Hampir seharian otak Hani diperas untuk memikirkan hal-hal yang dulu tidak pernah dipikirkan. Mengapa hal ini harus terjadi? Bagaimana dengan orangtuaku?
File-file yang ada di otaknya dipanggil satu-persatu dan diajaknya diskusi tentang makna eksistensialisme. Hani semakin ragu dengan dirinya, sebab menurut kesimpulan sementara bahwa ada itu sama dengan tidak ada. Sedangkan tidak ada sama dengan ada. Kalimat ini bikin pening Hani, ia tak tahu mengapa ia sampai berkesimpulan seperti itu. “Lalu yang salah siapa?” tanya Hani sambil berfikir dengan gaya memegang kepala.
Kekesokan harinya ia pergi ke perpustakaan kampus, mencari buku-buku yang dapat memberikan kontribusi bagi dirinya. Ia ternyata ‘berjumpa’ dengan Einstein lewat Einstein’s Dreames. Seketika Hani terpana dengan kalimat yang menarik, “Waktu adalah lingkaran, baik untung atau rugi akan berulang secara persis dalam kehidupan. Ini adalah sebuah pertanyaa besar yang sebelumnya belum pernah terlintas dalam pikirannya, walau sudah berhari-hari ia ingin memecahkan dunia. Apa mungkin kejadian di dunia suatu saat akan terulang dengan persis? Apakah ini yang dinamakan reinkarnasi? Mungkin iya dan mungkin bukan. Ia semakin bingung dan tak dapat lagi membaca huruf demi huruf, kata-kata demi kata. Ia pindah ke pojok perpustakaan, ia tampak berfikir dan merenung. Malam harinya ia tidak bisa tidur, membolak-balik tubuh di atas kasur, mengambil guling lalu ditaruhnya, mengambil bantal lalu dilempar.
Suasana sepi dan sunyi biasa ia alami di rumah sejak masih kecil, ibunya wanita karir, sedangkan ayahnya seorang profesor yang hari-harinya dihabiskan dengan cairan-caiaran kimia dan tabung-tabung eksperimen di laboratorium belakang rumah. Tak punya teman, apalagi bisa bermain dan ketawa-ketiwi. Tak pernah terdengar suara tertawa di rumah Hani. Yang ada hanyalah buku-buku berserakan dimana-mana, dipojok dan disudut ruangan hanya ‘dihiasi’ oleh buku-buku yang tidak pernah ditata dengan rapi. Cukup intelek tapi jorok. Sejak di bangku kuliah Hani mulai memahami arti hidup yang sebenarnya. Bukan yang tercermin seperti di rumah. Satu-persatu ia jadikan pelajaran, walaupun ia masih sering dibohongi oleh teman-temannya.
Hari demi hari pergaulan Hani semakin luas. Di rumah ia hidup dengan buku-buku ayah dan ibunya, sedangkan di kampus ia bergaul dengan teman-teman yang sejak kecil belum pernah ia rasakan. Pulang larut malam, itu tak menjadi masalah karena ia tidak pernah di atur oleh orang tua. Mereka hanya peduli dengan dunianya masing-masing.
Sekarang ia juga punya banyak teman di luar kampus, mereka sangat baik dengan Hani, saking baiknya sampai pada akhirnya Hani lepas kendali dan tidak pernah pulang lagi. “Cinta… cinta… oh… cinta….. sungguh aku belum pernah merasakan sebelumnya.” Puja Hani terhadap cinta.
Ciputat, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar