Minggu, 27 Februari 2011

Kejujuran Sang Imam

Selepas sholat subuh, Imam Hanafi bersiap membuka tokonya, di pusat kota Kufah.
Diperiksanya dengan cermat pakaian dan kain yang akan dijual. Sewaktu menemukan pakaian yang cacat, ia segera menyisihkannya dan meletakkannya di tempat yang terbuka. Supaya kalau ada yang akan membeli, ia dapat memperlihatkannya. 

Ketika hari mulai siang, banyak pengunjung yang datang ke tokonya untuk membeli barang dagangannya. Tapi, ada juga yang hanya memilih-milih saja.

“Mari silakan, dilihat dulu barangnya. Mungkin ada yang disukai,” tawar Imam Hanafi tersenyum ramah. 

Seorang pengunjung tertarik pada pakaian yang tergantung di pojok kiri. 

“Bolehkah aku melihat pakaian itu?” tanya perempuan itu. Imam Hanafi segera mengambilkannya. 

“Berapa harganya?” tanyanya sambil memandangi pakaian itu. Pakaian ini memang bagus. Tapi, ada sedikit cacat di bagian lengannya.”
Imam Hanafi memperlihatkan cacat yang hampir tak tampak pada pakaian itu. 

“Sayang sekali.” perempuan itu tampak kecewa. 

“Kenapa Tuan menjual pakaian yang ada cacatnya?” 

“Kain ini sangat bagus dan sedang digemari. Walaupun demikian karena ada cacat sedikit harus saya perlihatkan. Untuk itu saya menjualnya separuh harga saja.” 

“Aku tak jadi membelinya. Akan kucari yang lain,” katanya. 

“Tidak apa-apa, terima kasih,” sahut Imam Hanafi tetap tersenyum dalam hati, perempuan itu memuji kejujuran pedagang itu. Tidak banyak pedagang sejujur dia. Mereka sering menyembunyikan kecacatan barang dagangannya. 

Sementara itu ada seorang perempuan tua, sejak tadi memperhatikan sebuah baju di rak.
Berulang-ulang dipegangnya baju itu. Lalu diletakkan kembali. Imam Hanafi lalu menghampirinya. 

“Silakan, baju itu bahannya halus sekali. Harganya pun tak begitu mahal.” 

“Memang, saya pun sangat menyukainya.” Orang itu meletakkan baju di rak. Wajahnya kelihatan sedih. 

“Tapi saya tidak mampu membelinya. Saya ini orang miskin,” katanya lagi. 

Imam Hanafi merasa iba. Orang itu begitu menyukai baju ini. 

“Saya akan menghadiahkannya untuk ibu,” kata Imam Hanafi. 

“Benarkah? Apa tuan tidak akan rugi?” 

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi saya rezeki yang lebih.”
Lalu, Imam Hanafi membungkus baju itu dan memberikannya pada orang tersebut. 

“Terima kasih, Anda sungguh dermawan. Semoga Allah memberkahi.”
Tak henti-hentinya orang miskin itu berterima kasih. 

Menjelang tengah hari, Imam Hanafi bersiap akan mengajar. Selain berdagang, ia mempunyai majelis pengajian yang selalu ramai dipenuhi orang-orang yang menuntut ilmu. Ia lalu menitipkan tokonya pada seorang sahabatnya sesama pedagang. 

Sebelum pergi, Imam Hanafi berpesan pada sahabatnya agar mengingatkan pada pembeli kain yang ada cacatnya itu. 

“Perlihatkan pada pembeli bahwa pakaian ini ada cacat di bagian lengannya. Berikan separo harga saja,” kata Imam Hanafi. Sahabatnya mengangguk. Imam Hanafi pun berangkat ke majelis pengajian. 

Sesudah hari gelap ia baru kembali ke tokonya. 

“Hanafi, hari ini cukup banyak yang mengunjungi tokomu. O, iya! Pakaian yang itu juga sudah dibeli orang,” kata sahabatnya menunjuk tempat pakaian yang ada cacatnya. 

“Apa kau perlihatkan kalau pada bagian lengannya ada sedikit cacat?” tanya Hanafi. 

“Masya Allah aku lupa memberitahunya. Pakaian itu sudah dibelinya dengan harga penuh.” kata sahabatnya dengan nada menyesal. 

Hanafi menanyakan ciri-ciri orang yang membeli pakaian itu. Dan ia pun bergegas mencarinya untuk mengembalikan sebagian uangnya. 

“Ya Allah! Aku sudah menzhaliminya,” ucap Imam Hanafi. 

Sampai larut malam, Imam Hanafi mencari orang itu kesana-kemari. Tapi tak berhasil ditemui.
Imam Hanafi amat sedih. 

Di pinggir jalan tampak seorang pengemis tua dan miskin duduk seorang diri. Tanpa berpikir panjang lagi, ia sedekahkan uang penjualan pakaian yang sedikit cacat itu semuanya. 

“Kuniatkan sedekah ini dan pahalanya untuk orang yang membeli pakaian bercacat itu,” ucap Imam Hanafi. Ia merasa tidak berhak terhadap uang hasil penjualan pakaian itu. 

Imam Hanafi berjanji tidak akan menitipkan lagi tokonya pada orang lain. 

Keesokan harinya Imam Hanafi kedatangan utusan seorang pejabat pemerintah. Pejabat itu memberikan hadiah uang sebanyak 10.000 dirham sebagai tanda terima kasih. Rupanya sang ayah merasa bangga anaknya bisa berguru pada Imam Hanafi di majelis pengajiannya. Imam Hanafi menyimpan uang sebanyak itu di sudut rumahnya. Ia tidak pernah menggunakan uang itu untuk keperluannya atau menyedekahkannya sedikitpun pada fakir miskin. 

Seorang tetangganya merasa aneh melihat hadiah uang itu masih utuh. 

“Kenapa Anda tidak memakainya atau menyedekahkannya?” tanyanya. 

“Tidak, Aku khawatir uang itu adalah uang haram,” kata Imam Hanafi. 

Barulah tetangganya mengerti kenapa Imam Hanafi berbuat begitu. Uang itu pun tetap tersimpan disudut rumahnya. Setelah beliau wafat, hadiah uang tersebut dikembalikan lagi kepada yang memberinya.

Keinginan Besar Muaffak

Suara azan subuh baru saja bergema dari menara masjid di pusat kota Damsyik. Muaffak dan isterinya segera menggelar sajadahnya. Keduanya lalu tanggelam dalam do’a yang khusuk. Lama sekali laki-laki itu bermunajat di atas sajadahnya. 

Ia baru beranjak setelah matahari memancarkan cahayanya yang hangat. Lalu bergegas menyiapkan peralatan sepatunya. Sebentar kemudian, ia pun mulai disibukkan dengan pekerjaannya. Ia memang mahir dalam memperbaiki sandal, sepatu, dan terumpah yang rusak. Muaffak, lelaki miskin namun ulet bekerja untuk memperbaiki keadaan hidupnya. Di rumah yang kecil dan sederhana, ia tinggal bersama isterinya yang sedang hamil. 

Muaffak mempunyai keinginan besar untuk menunaikan ibadah haji. Tetapi karena hidupnya yang tidak berkecukupan, keinginan itu hanya tinggal keinginan belaka. Sebab perjalanan haji dari Damsyik ke Makkah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. 

Namun, rupanya lelaki saleh itu tidak berputus asa. Ia selalu berbaik sangka dan bekerja dengan sungguh-sungguh. 

“Biarpun pekerjaanku hanya sebagai tukang sepatu, aku harus bisa menabung sedikit demi sedikit. Insya Allah jika tabunganku mencukupi, aku dapat beribadah haji juga kelak,” tekat Muaffak sunguh-sunguh. 

Dia semakin giat bekerja tanpa mengenal lelah. Setiap hari dicarinya order sepatu atau sandal orang yang rusak untuk diperbaiki. Dengan setia, isterinya selalu membantu Muaffak. Sampai bertahun-tahun kemudian, ia dapat mengumpulkan uang sebanyak tiga ratus dirham. Dalam benak dan perasaannya, Muaffak sudah dapat mengongkosi dirinya pergi naik haji dengan uang tabugan itu. Betapa gembira hatinya tidak terkira. Keinginannya untuk menginjakkan kakinya ke tanah suci, berdo’a di depan ka’bah, berziarah ke makam nabi saw, sebentar lagi akan terwujud. Ia tinggal menunggu musim haji tiba. 

Muaffak bertetangga dengan seorang janda miskin dengan beberapa anaknya yang yatim. Ia sering memperhatikan perempuan itu pulang hingga malam hari untuk mencari nafkah bagi anak-anaknya. 

Suatu malam, Muaffak melihat janda miskin itu baru pulang dengan membawa bungkusan. Rupanya ia baru saja mencari nafkah sekadarnya. Terlihat kesedihan dan kelelahan di wajahnya yang keriput. Anak-anaknya menyambut dengan suka cita dalam keadaan perut yang lapar. 

“Kasihan tetangga kita itu, dia banting tulang sendirian demi anak-anaknya,” desis isteri Muaffak. 

Beberapa saat kemudian, terciumlah bau sedap masakan dari kediaman janda miskin itu. Dan rupanya aroma masakan itu tercium pula oleh isteri Muaffak yang sedang mengandung itu. 

“Masya Allah! Masakan sipakah ini? Sedap nian kiranya....” bisiknya sambil menelan air liur. Tiba-tiba saja ia merasa ingin mencicipi masakan yang sedap itu.
Mungkin bawaan cabang bayi yang dikandungnya. 

Iapun segera mencari tahu darimana asal masakan itu. Begitu tahu kalau masakan tersebut dari rumah janda miskin itu, dimintanya Muaffak untuk menemuinya.
Demi menyenangkan hati isterinya Muaffak mendatangi rumah tetangganya.

“Maaf bu, iteri saya mencium bau masakan enak yang ibu buat. Ia menginginkan masakan itu barang sedikit saja. Bolehkah kami memintanya bu?” kata Muaffak baik-baik. 

Perempuan itu tertegun. Air mukanya berubah sedih. Lalu dengan pilu ia berkata, “Saya segan mengatakan asal-usul masakan ini. Tapi karena kebaikan kalian berdua, saya ceritakan yang sebenarnya. Sejak beberapa hari yang lalu, persediaan makanan kami habis. Dari kemarin saya sudah berusaha mencari nafkah, tapi tak memparoleh hasil. Padahal anak-anak saya butuh makan.” Sejenak perempuan itu menghela nafasnya yang berat. “Tadi saya menemukan bangkai keledai di jalan. Karena sudah lelah, saya nekat memotongnya lalu saya masak untuk dimakan. 

“Bangkai makanan itu haram bagi anda. Tapi halal bagi kami yang dalam darurat...,” katanya selanjutnya dengan mata yang berlinang. 

Muaffak terperanjat. Ia sangat iba. Lalu bergegas pulang. Diambilnya simpanan uangnya yang tiga ratus dirham itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berikan uang yang diperolehnya dari hasil kerja keras selama ini.
Padahal, uang itu sudah diniatkan untuk ongkos naik hajinya. 

“Terimalah uang ini untuk anak-anak yatimmu, bu,” ugkapnya dengan ikhlas.
Betapa terharunya janda miskin itu. Mereka tidak akan kelaparan lagi untuk waktu yang cukup lama. 

“Terimakasih, tuan sudah bermurah hati menolong kami dari kelaparan,” ucap perempuan itu tertunduk. 

“Saya tidak tahu bagaimana membalas kebaikan tuan. Semoga Allah akan membalasnya dengan rahmat yang berlimpah.“ 

Mendengar do’a permpuan itu, Muaffak menitikkan air mata. 

Musim hajipun tiba. Muaffak batal menunaikan ibadah haji karena uangnya sudah tidak ada lagi. Tapi hati laki-laki itu bahagia, bisa menolong kesengsaraan seorang janda miskin dan anak-anaknya yang miskin. 

Pada musim haji waktu itu, salah seorang ulama besar, Abdullah bin Mubarak, menunaikan ibadah haji. Suatu sore, seusai tawaf berkali-kali ia merasa sangat letih. Lalu, iapun beistirahat di Hijr Ismail. Antara tidur dan tidak, tiba-tiba ia mendengar percakapan dua malaikat. 

“Berapa orang yang menunaikan ibadah haji tahun ini?” 

“Enam ratus ribu orang.” 

“Kira-kira berapa orang yang hajinya diterima Allah?” 

“Tak seorangpun!” 

“Tapi seorang tukang tambal sepatu dari Damsyik yang bernama Muaffak diterima hajinya oleh Allah, kendati Ia tidak menunaikan ibadah haji. Dan berkat hajinya orang inilah, maka semua jamaah haji sekaranng diterima juga oleh Allah.” 

Begitu malaikat itu menghilang, Abdullah bin Mubarak tersadar dari setengah tidurnya.
“Masya Allah! Amal perbuatan apa yang telah dilakukan Muaffak? Begitu besar pengaruhnya disisi Allah...,” bisik Abdullah terpesona. 

Selesai ibadah haji, ulama besar itu bergegas ke Damsyik. Ia ingin sekali menemui Muaffak. Dan begitu bertemu, ulama itu langsung menceritakan kejadiannya waktu di Hijr Ismail. Muaffak sendiri baru menyadari, lalu bersyukur atas karunia itu kehadirat Allah. Muaffak lalu mengisahkan perjuangannya untuk mencapai cita-citanya yang ingin beribadah haji, tapi tidak jadi berangkat. 

“Saya tidak menyesal tidak jadi berhaji karena saya mengharap keridhaan Allah,” kata Muaffak. 

“Tuan, andalah seorang haji yang mabrur atas ridha Allah...,” kata sang ulama kagum.

Kebun-kebun Anggur yang Musnah

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang lelaki yang memiliki dua kebun yang luas dan lapang. Kebun-kebun itu ditanaminya dengan pohon anggur. Dianiara kedua kebun ini terdapat sebuah ladang yang juga cukup luas. Ladang ini seolah-olah menjadi pemisah bagi kedua kebun anggur. Oleh pemiliknya disekeliling kedua kebun anggur ini lantas ditanaminya dengan pohon-pohon kurma pilihan sebagai pagar.
Kebun-kebun dan ladang ini segera saja tumbuh lebat dan menghasilkan banyak buah-buahan. Buah-buah yang dihasilkan adalah buah-buah yang segar, besar dan seperti tidak pernah ada habisnya. 

Melihat itu semua, menjadi senanglah hati sang lelaki pemilik kebun. Apalagi melewati kedua kebun ini juga mengalir pula sebuah sungai kecil yang jernih airnya. Gemercik air sungai yang mengalir itu terdengar merdu dan menyenangkan. Sungguh, kebun dan ladang lelaki ini benar-benar indah dan membanggakan hati pemiliknya. 

Karena melimpahnya hasil-hasil kebun dan ladangnya, lelaki ini segera menjadi orang kaya yang disegani. Pengikutnya pun banyak. Mereka semua adalah orang yang terkagum-kagum pada kekayaan sang lelaki. 

Sementara itu sang pemilik dua kebun juga memiliki seorang kawan yang saleh dan taat kepada Allah. Kawannya ini juga memiliki kebun anggur. Kebun itu diolah dan dipeliharanya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hanya sayangnya, hasil kebun sang kawan tidaklah sebanyak dan sebagus hasil kebun milik lelaki pertama. 

Kadangkala dalam satu dua kesempatan, mereka bertemu dan bercakapcakap. Biasanya, lelaki pertama akan menyombongkan kekayaannya. 

"Ah, masih sedikit saja hasil kebunmu kawan? Kasihan sekali. Kau lihat? Hartaku jauh lebih banyak dari hartamu dan pengikutku juga banyak." 

Kawannya tidak begitu memperdulikan omongan itu, karena ia merasa telah mengolah kebunnya dengan sebaik-baiknya. Kalau hasilnya tidak sebaik dan sebanyak hasil kebun temannya itu ia yakin bahwa itu adalah ketetapan Allah yang sudah diperuntukkan baginya. 

Kesombongan lelaki ini rupanya semakin menjadi-jadi. Sehingga dia menjadi orang yang kufur atas nikmat Allah. Pada suatu hari lelaki ini memasuki kebunnya dengan congkak lalu ia berkata, "Ah, kebunku yang indah. Aku dapat merasakan bahwa kebun ini tidak akan binasa untuk selama-lamanya. Bahkan hari kiamat pun kuyakin tak akan tiba." Lalu diteruskannya perkataannya yang penuh ketakaburan itu. 

"Melihat kekayaan dan kedudukanku di tengah masyarakat, aku yakin seandainya ada kebangkitan dan kehidupan kembali, dan aku dikembalikan kepada Tuhanku, maka tentu aku akan berada disisiNya dengan kemuliaan dan keutamaan. Di sana Tuhanku akan memberi ganjaran yang lebih baik pula dari kebun ini. Karena Tuhanku telah memuliakanku dengan kebun ini,tentulah Tuhanku akan memberi kemuliaan pula kelak."

Omongan semacam ini diutarakannya pula pada kawannya yang mukmin sebagai sebuah ejekan. Dia ingin menunjukkan bahwa karena bekai kekayaannya jauh lebih banyak, maka ia lebih mulia dan utama dari si mukmin. 

Kawannya yang mukmin tak sedikit pun terpukau dengan kekayaan temannya. Ia justru memahami bagaimana temannya ini telah jatuh kedalam perilaku zalim. Maka dinasehatinya sang teman. 

"Apakah kamu akan kafir pada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari tanah, lalu dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Adapun aku, aku percaya bahwa dialah Allah, Tuhanku. Dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku." 

Temannya terdiam sejenak mendengar ucapan itu. Ketika itu kawannya yang mukmin menambahkan nasehatnya. 

Dan saat memasuki kebun, mengapa kamu tidak mengucapkan Masyaa Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billah (sesungguhnya semua ini terwujud atas kehendak Allah. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." 

"Hah!" sergah kawannya yang zalim. "Bagaimanapun aku lebih kaya dan lebih mulia darimu." 

Gemas sekali kawan yang mukmin ini mengetahui bahwa temannya tetap sombong dan kufur nikmat. Maka dilanjutkannya omongannya dengan tegas. "Kalau kamu menganggap aku lebih sedikit darimu dalam hal memiliki harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku kebun yang lebih dari pada kebunmu. Dan mudah-mudahan saja dia mengirimkan petir dari langit kepada kebunmu hingga kebunmu menjadi tanah yang licin, atau airnya surut ke dalam tanah hingga sekali-kali kamu tidak akan dapat menemukannya lagi. "Lalu ditinggalkannya temannya yang sombong dan zalim itu untuk dapat merenungi ucapannya. 

Keesokan harinya seperti biasa lelaki zalim itu mendatangi kebun kebanggaannya. Sudah tidak diingatnya lagi sindiran tajam kawannya yang saleh itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setibanya didepan kebunnya. 

"Ha? Dimana kebunku? Dimana kebunku yang indah dan subur itu?" ratapnya ketika melihat kebun-kebun dan ladangnya telah hancur semua. 

Pohon-pohon anggurnya roboh berikut para-para penyangga buahnya. Pohon-pohon kurmanya tumbang. Bahkan sungai-sungai yang selalu bergemericik itu lenyap pula ditelan bumi yang terbelah. 

Terduduk dipinggir tanahnya yang porak poranda, lelaki zalim itu menyadari bahwa seluruh kekayaannya telah musnah binasa. Tanpa terasa, dibolak-baliknya tangannya sebagai sebuah penyelesalan mengingat segala biaya yang sudah dikeluarkannya selama ini untuk mengolah dan memelihara kebun serta ladangnya. 

Hatinya kini dipenuhi rasa sesal. Ia telah kufur nikmat. Dan hanya dalam semalam, ternyata Allah telah mencabut semua nikmat itu dari hidupnya. 

Dengan berurai air mata lelaki itu pun berkata, "Aduhai, seandainya saja dulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Allah, mungkin nasibku tidak akan menjadi begini. Tetapi penyesalan yang datang terlambat tidak ada lagi gunanya. Kekayaan dan kemuliaan yang disangkanya abadi telah diambil oleh pemilik-Nya semula yaitu Allah SWT, maka tinggallah lelaki itu meratapi nasib buruk yang dipilihnya sendiri.

Hakim Yang Teguh

Setiap pagi Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi berangkat ke tempat kerjanya. Wajah dan sorot matanya tenang menyiratkan ke arifan pribadinya. Dari kearifannya itu pula keluar sikap dan pendiriannya yang teguh. Ia adalah seorang hakim yang disukai dan disegani masyarakat. 

Syuraih terbiasa menghakimi kalangan kaum muslimin maupun orang-orang bukan muslim. Di pengadilannya, Syuraih tidak membedakan antara pejabat atau rakyat kecil, kaya atau miskin, muslim atau bukan muslim. Jika ia bersalah tetap tidak boleh dibela. Semua orang mendapat perlakuan yang adil dan bijaksana. 

Hari itu Syuraih kedatangan Amirul mukminin, Umar bin Khaththab.
Rupanya, Khalifah Umar sedang mendapat masalah dengan seorang pedagang desa. Keduanya menghadap Syuraih untuk mendapatkan keputusan atas perkara yang dihadapinya. 

Dengan wajah tenang dan berwibawa Syuraih memimpin sidang pengadilan.

“Silakan Tuan pedagang, apa yang mau Anda sampaikan?” tanya Syuraih. 

“Pak hakim yang mulia, beberapa hari yang lalu Amirul mukminin membeli seekor kuda dari saya,” kata pedagang. 

“Tapi kemarin, tiba-tiba ia ingin mengembalikannya lagi dan meminta ganti,” lanjutnya. 

Syuraih lalu berpaling pada Khalifah Umar. 

“Dan sekarang giliran Anda, ya Amirul mukminin,” kata Syuraih. 

“Aku ingin mengembalikan kuda itu padanya karena kudanya cacat dan berpenyakit sehingga larinya tidak kencang,” kata Umar bin Khaththab. 

“Bagaimana Tuan?” tanya Syuraih lagi. 

“Saya tidak akan menerimanya lagi karena saya sudah menjual kuda itu dalam keadaan sehat dan tidak cacat,” sahut pedagang kuda itu. 

Syuraih mendengarkan semua keterangan dari kedua pihak dengan seksama. Lalu, Syuraih pun bertanya pada Umar bin Khaththab. 

“Apakah ketika Amirul mukminin membeli kuda itu, keadaannya sehat dan tidak cacat?” tanya Syuraih seraya menatap Umar. 

“Ya benar!” jawab Umar jujur. 

Hakim Syuraih pun memberi keputusan atas perkara itu. 

“Nah, kalau begitu, peliharalah apa yang anda beli. Atau bila ingin mengembalikannya kembalikanlah seperti ketika anda menerimanya,” tukas Syuraih dengan mantap. 

Hati Amirulmukminin merasa tidak puas. Kekecewaan memenuhi rongga dadanya. Hakim Syuraih berada dipihak pedagang desa itu. 

“ Begitukah keputusanmu, Hakim Syuraih?” tanya Umar setengah memprotes keputusan itu. 

Syuriah menganguk pasti. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. 

Khalifah Umar merenung beberapa saat. Benar sekali apa yang dikatakan hakim itu. Syuraih telah memberikan keputusan yang bijaksana dan penuh keadilan. Dengan lapang dada, Umar dapat menerimanya. Jangan mentang-mentang ia pejabat lalu harus selalu dimenangkan perkaranya. Sementara nasib rakyat kecil tidak diperhatikan. 

Begitulah, orang-orang selalu mempercayakan perkaranya diputuskan oleh Syuriah. Pengadilanya adalah tempat mendapatkan tempat yang seadil-adilnya. 

Hingga pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Syuriah tetap memangku jabatan hakim yang amat disegani dan dipercaya masyarakat kota Khuffah. 

Suatu hari, Khalifah Ali mendatangi Hakim Syuriah untuk mengajulkn perkara dengan seorang Yahudi. 

“Ada masalah apa, ya Amirul mukminin?” tanya Syuraih. 

“Pak Hakim, aku mendapatkan baju perangku ditangan orang ini. Padahal, aku tidak pernah memberikan atau menjualnya pada siapapun,” sahut Khalifah Ali. 

“Bagaimana pendapatmu, wahai Tuan Yahudi?” tanya Syraih pada lelaki itu.

“ Bukan! Ini baju perangku. Sebab, sekarang berada di tanganku.” Bantah orang itu tak mau kalah. Dengan bijaksana Syuraih menerima pendapat orang itu. Kemudian menoleh pada Khalifah Ali. 

“Bagaimana Anda yakin kalau baju perang itu milikmu?” tanyanya lagi pada Ali. 

“Aku yakin sekali. Karena satu-satunya orang yang memiliki baju perang seperti itu hanya aku. Baju perang itu terjatuh di suatu tempat. Dan kini, baju perang itu ada padanya. Bagaimana mungkin aku menjualnya di pasar?” 

“Aku tidak meragukan apa yang Anda katakan itu. Tapi Anda wajib mengajukan dua orang saksi untuk dijadikan saksi atas apa yang Anda akui itu,” kata Syuraih. 

“Baiklah, aku bersedia mendatangkan dua saksi,” kata Ali. Khalifah Ali begitu menyayangi baju perangnya. Karena baju itu, harta yang sangat berharga dan tinggi nilainya bagi Khalifah. Ia sangat berharap baju perangnya bisa dimilikinya kembali. 

“Pembantuku, Qanbar, akan kujadikan saksi. Dan satu lagi, Al-Hasan, anakku,” sahut Khalifah Ali bersemangat. Sudah pasti keduanya dapat dijadikan saksi atas kebenaran ucapannya. 

“Ya, amirulmukminin! Tidaklah sah kesaksian seorang anak terhadap ayahnya,” kata Syuraih mengingatkan ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. 

“Subhanallah! Kesaksian Al-Hasan, salah seorang pemuda penghuni surga tidak diterima,” ucap Ali mengeluh sedih. 

“Betul! Aku hanya tidak membolehkan kesaksian anak pada ayahnya,” tegas Syuraih tak bergeming. Pendiriannya berdasarkan ajaran Allah. Walaupun itu menyangkut khalifah besar, seorang ayah dari pemuda penghuni sorga yang telah disabdakan Rasulullah. 

Khalifah Ali menarik napas berat mendengar keputusan Syuraih. Hatinya kecewa. Ia merasa kalah dan tak dapat memiliki baju perangnya kembali. 

“Aku tidak punya saksi lain. Jadi, baju perang ini memang milikmu,” kata Ali menyerahkan baju perangnya pada orang Yahudi itu. Ya! Jauh di lubuk hati Khalifah Ali mengakui kalau Hakim Syuraih sudah bertindak benar. Apa yang di tetapkan Allah harus ditegakkan. Tak terkecuali terhadap dirinya yang seorang Khalifah! 

“Ya amirulmukminin!” Tiba-tiba Yahudi itu bersimpuh di hadapan Khalifah Ali. 

“Memang betul! Baju perang ini milikmu! Hari ini, aku melihat seorang hakim yang begitu teguh menegakkan ajaran Allah. Ia memenangkan aku. Sungguh! Aku lihat Islam melakukan kebenaran! Saat ini juga aku akan menjadi penganut Islam.......,” kata orang itu. 

“Pak Hakim yang mulia, sebenarnya, aku telah memungut baju perang Amirul mukminin sewaktu terjatuh pada peperangan di Siffin!” sahut orang Yahudi itu mengakui yang sebenarnya. 

Mendengar perkataan orang itu, khalifah Ali berubah wajahnya. Ia segera merangkul lelaki itu seraya tersenyum bahagia. 

“Karena kau sudah masuk islam, maka kuhadiahkan baju perang itu kepadamu. Dan juga kuda ini,“ sahut Khlifah Ali dengan tulus. 

Sungguh mengagumkan keputusan yang diberikan Hakim Syuraih!

Gadis Jujur

Khalifah Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik. 

Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik, Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu. 

“Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini,” kata anak perempuan itu. 

“Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit.” 

“Benar anakku,” kata ibunya. 

“Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah susu sangat banyak,” harap anaknya. 

“Hmmm....., sejak ayahmu meninggal, penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan,” kata ibunya. 

Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu. 

“Nak,” bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air, supaya penghasilan kita cepat bertambah.” 

Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibunya yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya. 

“Tidak, bu!” katanya cepat. 

“Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air.” Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli. 

“Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu,” gerutu ibunya kesal. 

“Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?” 

“Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita,” kata ibunya tetap memaksa. 

“Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!” 

“Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita menyembunyikannya,” tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang. 

Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya. 

“Aku tidak mau melakukan ketidak jujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,” kata anak itu. 

Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan pekerjaannya hingga beres. 

Di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu. 

“Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!” gumam Khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak meniggalkan gubuk itu. Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya. 

Keesokan paginya, Khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu. 

“Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya,” kata Khalifah Umar. 

“Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat.” 

Ashim bin Umar menyetujuinya. 

Beberapa hari kemudian Ashim melamar gadis itu. Betapa terkejut ibu dan anak perempuan itu dengan kedatangan putra Khalifah. Mereka mengkhawatirkan akan di tangkap karena suatu kesalahan. 

“ Tuan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu. Tuan jangan tangkap kami....,” sahut ibu tua ketakutan. 

Putra Khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan maksud kedatangannya hendak menyunting anak gadisnya. 

“Bagaimana mungkin? Tuan adalah seorang putra Khalifah , tidak selayaknya menikahi gadis miskin seperti anakku?” tanya seorang ibu dengan perasaan ragu. 

“Khalifah adalah orang yang tidak ,membedakan manusia. Sebab, hanya ketawakalanlah yang meninggikan derajad seseorang disisi Allah,” kata Ashim sambil tersenyum. 

“Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur,” kata Khalifah Umar. 

Anak gadis itu saling berpandangan dengan ibunya.
Bagaimana Khalifah tahu? Bukankah selama ini ia belum pernah mengenal mereka. 

“ Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku mendengar pembicaraan kalian...,” jelas Khalifah Umar. 

Ibu itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat bijaksana. Menilai seseorang bukan dari kekayaan tapi dari kejujurannya. 

Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin bangsa Arab.

Bening Hati Sang Nabi

Dalam hidupnya, Rasulullah SAW selalu bersifat rendah hati dan pemaaf. Tiada terhitung banyaknya cacian dan hinaan yang diterima beliau dari kaum kafir. Namun, beliau tetap berbuat baik terhadap orang-orang yang menghinanya itu. Salah seorang yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW adalah seorang nenek tua Yahudi. Kebetulan jika Nabi ke masjid selalu melewati rumah si nenek. Suatu hari Nabi lewat, si nenek sedang menyapu rumahnya. Buru-buru si nenek mengumpulkan sampah dan debu dari rumahnya. Ketika Nabi lewat di depan jendela, maka dilemparkannyalah sampah dan debu itu. Nabi terkejut, namun ia tidak marah begitu tahu siapa yang melemparnya. Malah Nabi mengangguk sambil tersenyum. “Assalamu’alaikum!” sapa Nabi. Nenek itu malah melotot kepada Nabi. “Enyah, kau!” kata si nenek. 

Keesokan harinya, Nabi lewat lagi di depan rumah si nenek. Masya Allah, ternyata si nenek sudah bersiap-siap lagi melempar Nabi dengan kotoran. Kali ini dia juga meludahi Nabi. Bagaimana sikap Nabi Muhammad? Lagi-lagi, Nabi hanya tersenyum dan berusaha membersihkan pakaiannya. Si nenek menjadi tambah marah karena Nabi SAW, tidak terpengaruh. 

Begitulah, beberapa hari Nabi lewat di depan rumah si nenek tersebut. Setiap kali itu pula ia menerima lemparan sampah dan debu. Nabi tetap saja tidak marah. Suatu kali Nabi SAW, lewat lagi di depan rumah sang nenek. Tapi, kali ini lain. Si nenek tidak kelihatan. Padahal, Nabi sudah bersiap-siap menyapanya. “Aneh,” pikir sang Nabi, “pasti ada sesuatu terjadi pada si nenek.” Nabi lalu mendatangi tetangga si nenek. “Apakah engkau tahu apa yang terjadi dengan nenek di sebelah rumah ini? Aku tidak melihatnya hari ini,” tanya Nabi. 

“Mengapa engkau begitu peduli pada dia, wahai Rasulullah? Bukankah ia selama ini menghinamu?” 

Nabi hanya tersenyum mendengar pertanyaan tetangga si nenek. Tetangga itu lalu menjelaskan bahwa si nenek itu tinggal sebatang kara, dan kini sedang sakit keras. 

Maka, bergegaslah Nabi Muhammad menuju rumah si nenek yang sedang sakit. Di rumah itu, Nabi membantu memasak makanan, mengambilkan air dari sumur, dan membersihkan debu-debu di rumah. Si nenek heran melihat ada orang yang membantunya. Ia berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Lalu, tahulah ia siapa sebenarnya yang membantunya. Begitu melihat wajah Nabi yang sangat tulus, nenek itupun menitikkan air mata. Selama ini tidak ada yang mau merawatnya. Tapi, justru orang yang selama ini dihinanya, dengan penuh kasih sayang merawatnya. Sungguh mulia hati orang ini. Si nenek lalu meminta maaf kepada Nabi. 

Begitulah salah satu kisah tentang kemuliaan dan kebeningan hati Nabi Muhammad SAW. Karena itu, para sahabat dan orang-orang yang pernah mengenal beliau begitu menyayangi beliau. Ketika beliau wafat, orang segagah Umar bin Khattab juga menangis tersedu-sedu. 

Nah, adik-adik, si nenek tadi juga akhirnya masuk Islam. Ia kemudian menjadi salah seorang muslimah yang taat. Banyak orang masuk Islam karena melihat akhlak Nabi Muhammad SAW, yang sangat luar biasa. Kita bisa meniru apa yang beliau lakukan kepada orang lain, termasuk musuhnya.

Abu Hanifah Yang Taat

Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat. 

Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya. 

Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali. 

“Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?” tanya Abu Hanifah. 

“Alhamdulillah......ibu baik-baik saja,” jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum. 

Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya. 

Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar. 

“Aku tak mau mendengar kata-katamu,” ucap ibu Hanifah. “Aku hanya percaya pada fatwa Zar’ah Al-Qas,” katanya lagi.
Zar’ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah. 

“Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,” pinta ibunya. 

Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar’ah Al-Qas. 

“Saudaraku Zar’ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat,” kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar’ah Al-Qas. 

Zar’ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah. 

“Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?” tanya Zar’ah Al-Qas. 

“Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda,” sahut Abu Hanifah. 

Zar’ah tersenyum, ”baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda,” kata Zar’ah Al-Qas akhirnya. 

“Ucapkanlah fatwamu,” kata Abu Hanifah tegas. 

Lalu Zar’ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega. 

“Aku percaya kalau kau yang mengatakannya,” kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar’ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah. 

Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.

Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya. 

“Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?” kata Umar bin Zar. 

Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya. 

“Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar,” kata Abu Hanifah. 

Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya. 

“Baiklah, kalau begitu apa jawaban anda atas pertanyaan ibu Anda?” 

Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan. 

“Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,” ucap Umar bin Zar sambil tersenyum. 

Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar. 

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer