Rabu, 06 April 2016

KIRIMI AKU BUNGA, MAWAR!

KIRIMI AKU BUNGA, MAWAR! 

Oleh: Wangsa Nestapa 

Catcher:
Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. 

"Kenangan tinggallah kenangan. Tak ada yang berarti selain duka dan air mata ataupun tawa bahagia. Kalau tidak kedua-duanya, bukan kenangan namanya." Aku bergumam dikelilingi cahaya yang berpijar mesra, menemaniku menuju suatu tempat terindah yang belum pernah kusinggahi. 

*** 
Beberapa saat lalu.... 
Hujan sempat membasahi tiap ruas jalan di sudut kota Serang. Banyak genangan air yang tercipta bersamanya, membuat jalan tampak begitu lengang dilalui kendaraan. Para pengemudi angkutan umum maupun pribadi, seolah begitu sungkan memalang-lintangkan kendaraannya. 

Lampu-lampu penghias jalan sudah mulai dinyalakan. Berwarna-warni. Lengkap dengan hiasan asmaul husna yang terpampang indah di bawahnya. Manis kelihatannya. 

Aku duduk seraya menikmati secangkir kopi hangat di bawah redupnya cahaya lampu kafé Meirasco. Sebuah kafé kecil yang terletak tak jauh dari perempatan jalan menuju Desa Ciloang. Meski kafé ini kecil, bukan berarti kecil pula pengunjungnya. Banyak muda-mudi yang datang kemari bersama pasangannya atau yang masih single sekedar duduk-duduk menikmati kehangatan suasana yang disajikan di tempat ini. Mulai dari anak SMP, SMA, hingga anak kuliahan, ramai singgah kemari. Walau terkadang, ada juga om-om dan tante-tante yang masih memiliki jiwa muda serta ingin kembali disebut remaja, mampir ke tempat ini. 

Letaknya yang strategis, musik yang melankolis, serta keapikan tatanan ruang kafé, sungguh terasa begitu harmonis dengan hati para pengunjung. Aku berbicara seperti ini, bukan karena aku dekat dengan si empunya tempat, melainkan sebagai sebuah ungkapan nurani yang menjalar dalam luar ruang sadar diriku. 

Hampir setiap hari, saat semburat jingga di langit menyambut pelita malam, aku berada di sini. Sekedar menikmati keestetisan kota, sekaligus menemui gadis pujaanku ditemani secangkir kopi panas yang biasa tersaji sebagai menu favoritku. Untuk yang lainnya…. tidak! Terlalu berat untuk isi kantongku. Meski sebenarnya, aku bisa mendapatkannya dengan cara gratisan. Karena pemilik kafé terlalu bersikap baik kepadaku. Namanya Mawar. Dia kekasihku. Meski begitu, harga diriku lebih mahal ketimbang secangkir kopi ataupun sajian lainnya untuk kuberikan kepada kekasihku. 

"Hai…!" Suara seseorang dari belakang membuatku panik seraya menepuk bahu kanan-kiriku dengan kedua tangannya. Aku menoleh, memelintirkan kepala untuk kemudian menemukan sosok yang sempat membuat jantungku blingsatan sebelumnya. 

"Oo… hei…!" teriakku histeris kala kulihat seorang cewek berdiri seraya tersenyum lebar ke arahku. Begitu cantik. Dengan rambut sanggul sederhana, ia terlihat sedikit sporty. Ditambah lagi kaos merah yang dikenakannya seperti menambah kecerahan di wajahnya. Ia mengecup pipi kananku. Emm.... 

"Sudah lama?" tanyanya kemudian. 

Aku mengarahkan pandangan mataku ke arahnya. "Terlalu sibuk ya? Sampai kedatangan gue aja lo enggak tahu?" balasku bertanya. 

Sesaat, ia balas menatapku. Dan tak lama kemudian ia pun mengangguk dengan kedua sudut bibir turun ke bawah. Aku pun tersenyum melihatnya. 

"Sorry deh…" kata Mawar. Aku cuma tertawa getir mendengar ia berkata seperti itu. 

"Ah, loe ini, War…. Mawar! Lagian, kenapa juga elo nanya kayak gitu. Lagak elo tuh, kayak enggak tahu gue aja," ujarku seraya menggeser letak cangkir kopi. "Gue kan tipe cowok yang enggak suka menghitung waktu. Apalagi untuk bertemu dengan sesuatu yang mampu membuat hati gue berlagak aneh. Seperti diri elo!" Kusentuh hidungnya yang bangir dengan jari telunjukku. Ia kembali tersenyum. Kali ini, dengan mengedikkan bahunya. 

Kuseruput kembali cairan hitam hangat dalam cangkir yang tergeletak di hadapanku. Hemmm… harum. Aroma kopi lekat betul tercium. Mawar kembali membantu dua orang kawannya melayani para pengunjung. Begitu bersemangat dia. Masih muda, namun bertekad bulat memiliki usaha dan penghasilan pribadi. Padahal aku tahu, nama kedua orang tuanya sering terpampang di media massa. 

Ayahnya adalah pemimpin di salah satu koran lokal daerah ini. Sedang ibunya, anggota calon legislatif daerah. Kalau bicara uang, jangan ditanya. Tapi ia keukeuh ingin bekerja. 

Setelah aku pikir, coba... mana ada anak muda mandiri seperti dia? Sebelumnya, aku enggak habis pikir kenapa dia berlagak lain dari anak-anak kaum borjuis lainnya. "Gue enggak mau jadi anak mami, Zar! Yang bentar-bentar minta ini, diturutin. Minta itu, dilakonin. Yang menentukan masa depan gue bukan bokap dan nyokap gue atau siapa pun, Zar! Melainkan Tuhan dan diri gue sendiri. Dan gue mesti mulai dari sekarang. Kalau enggak, kapan lagi coba? Gue enggak mau masa muda yang gue jalanin terbuang sia-sia dan enggak jelas juntrungannya!" Demikian yang Mawar utarakan kepadaku dahulu, saat kutanyakan alasannya bekerja setelah jam sekolah, di kafé ini. Mendengarnya, aku cuma tersenyum kagum padanya. Dan ternyata, hal itulah yang membuat aku merasa jatuh cinta pada dirinya. 

Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. Namun, rupanya hal semacam ini yang membuat aku semakin jatuh terperosok ke dalam jurang asmara yang dimilikinya. "Tuhan, jadikan aku kekasihnya!" pekikku suatu ketika. 

Beruntung, Tuhan mau mendengarkan doa jalanan yang kudendangkan. Hingga kini, hubunganku dengannya tetap langgeng. Sengaja, aku tak menginginkan sedikit pun polemik tumbuh di antara kami yang bisa membuat hubungan kami enggak jelas nantinya. Kami ingin disebut pasangan harmonis. Lagi pula aku sadar, cewek kayak Mawar, enggak banyak di pasaran. Seribu banding satu statistiknya. Sedang kalau memakai bahasa istilah, layaknya sekuntum mawar yang tumbuh sembunyi di balik rimbunan batang perdu. Seperti itu kiranya. 

Mawar bilang, dia ingin mengajakku main ke rumah. Dikenalkan pada papa dan mamanya. Deg… mendengarnya, aku langsung merasa seperti ada sebilah balok yang baru saja menghantam tengkorak kepalaku. Aku langsung limbung dan merasa begitu sulit untuk mengeluarkan kata dari dalam mulut. Lidah ini mendadak terasa kelu. Di pikiranku terbersit kalau orang tua Mawar nantinya hanya akan menjadi onggokan ketakutan yang tak pernah kuharapkan sebelumnya. Aku tak ingin mereka kemudian berpikir agar Mawar melepaskan diri dari genggaman erat tanganku setelah mengetahui siapa diriku. Pemuda urakan. Sekolah bandel. 

Secara logika, aku sadar, sebagai seorang penulis cerita di majalah remaja, mustahil bisa menyaingi gaji mereka. Padahal aku yakin, orang tua sekarang kebanyakan menginginkan anaknya memiliki pendapatan minimal setara dengan mereka. Maksimal, ya lebih! Dan aku, ketimbang menulis, lebih banyak mainnya. Dalam jangka sebulan, paling banter aku jebol tiga tulisan. Sedang kalau lagi hoki bisa lima hingga enam tulisan yang gol. 

Namun, aku yakin, punya banyak uang bukanlah segala. Toh Mawar juga enggak begitu menghiraukan nasibku yang satu ini. Kalau cinta sudah bicara, jangan ditanya mau ke mana! Begitu pepatahnya. Hidup apa adanya, adalah terbaik buat kita. Aku mengangguk ke arah Mawar tanda setuju untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Kali nanti. 

Untuk kesekian kalinya, kembali kuteguk cairan kopi. Ah… terasa makin nikmat di tenggorokan. Kurogoh isi tas dan kukeluarkan majalah remaja terbaru yang sempat kubeli tadi sebelum aku singgah di tempat ini. Salah satu cerpennya memuat tulisanku. Judulnya, Kenanglah Diriku. Dan di akhir tulisan, tertera: 

Buat Mawar, aku minta bunga hasil tangkaranmu donk! 

Segera, setelah ia datang dan duduk bersanding di sisiku, kusodorkan karyaku tersebut. Dan dari bibir tipisnya, ia langsung menyeloroh, begitu selesai membaca tulisanku. 

"Iya deh…! Nanti Mawar kirimin karangan bunga duka cita langsung ke depan pintu kamar elo!" ucapnya diiringi tawa renyah dari dalam mulutnya. Aku diam mendengarnya. 

"Enggak kok, Zar! Cuma bercanda. Enggak apa-apa, kan?" lagaknya manja mencubit daguku. "Emangnya, elo mau mati? Enggak, kan!" lanjutnya masih tertawa. 

"Ssst…." Aku menutup bibirnya yang ternganga dengan salah satu jariku. Mataku bulat menatapnya. Mawar cuma terpana. 

"Gue keceplosan, Zar! Sorry…" Kulihat mata Mawar berkaca-kaca. Kelopak matanya tiba-tiba saja tergenang. Kupeluk ia erat. Ia balas mendekapku. Hangat. 

Malam semakin larut. Kafé pun telah tutup. Mawar mesti istirahat untuk persiapan kuliah besok. Aku mengantarnya sampai pintu kendaraan yang akan membawanya sampai depan rumahnya. Kulepas genggaman tangannya. Perlahan, aku mendesah mesra di dekat lubang telinganya. 

"Jangan lupakan bunga untukku, Sayang..." Ia tersenyum lebar menatapku. Kulambaikan tangan ke arahnya. Mobil pun hilang jauh ditelan tikungan depan. 


*** 
Tiba di Cilegon.... 
Kuhela nafasku sejenak. Sedikit kugeser kaca jendela mikrolet. Dan tiba-tiba saja, kendaraan yang aku tumpangi oleng. Lajunya semakin kencang. Dua orang wanita berpakaian seksi yang duduk di depanku berteriak-teriak tak karuan. Matanya awas menatap ke depan. Sementara yang satu, berpegangan lengan kawannya. "Awas, Pak Sopir!" teriak salah seorang bapak mengingatkan pak sopir. Dan, tak lama kemudian... Brak! Aku mendengar suara benda beradu keras. Seperti suara ledakan. Tubuhku terpelanting jauh ke samping, menghantam dinding pintu mikrolet. Gelap. Sayup-sayup terdengar ada orang berteriak, "Tabrakan euy!" Lalu hening. 

Aku bangkit dan menengadah. Kulihat tubuhku bersimbah darah. "Ucapan elo menjadi nyata Mawar!" batinku. Hingga akhirnya, cahaya-cahaya itu datang menggandengku. Aku juga mencium bau wangi yang menebar di sekelilingku. Cahaya itu hangat, kadang gelap, kadang terang. Seakan membentuk bola-bola cahaya dan kemudian membawa aku ke ketinggian. Tubuhku melayang. Makin lama, makin cepat. Seperti cahaya meteor yang sering kusaksikan bersama Mawar di tepi pantai Selat Sunda dahulu. Melesat ke ujung langit. Semakin tinggi. Lalu mengecil. Sunyi. Hilang ditelan kelam. Gelap. 

"Segera, aku tunggu karangan bungamu… kekasihku, Mawar!" aku kembali bergumam untuk kesekian kalinya dan... untuk terakhir kalinya. (Didedikasikan buat Echy di BBS. Janjinya sudah terlunasi bukan?) 

Wangsa Nestapa, lahir di Serang, 17 Agustus '85. Arbituren MAN 2 Serang 2002-2003. Kini tinggal di Cilegon. Membuka galeri Lukisan pasir GialloBluart di BBS. Tulisannya tersebar di media massa lokal : Fajar Banten dan Radar Banten. Kini aktif di Pustaka Loka Rumah Dunia (PRD) serta Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang. Cerpennya tergabung dalam buku Antologi cerpen "Kacamata Sidik". Adress : Jl. Ketumbar Blok B1 No.6 BBS II Ciwaduk Cilegon 42415 

e- mail : jibal_duncan2001@yahoo.com 



(AnekaYess: Edisi ke-7 Tahun 2004, 19 Maret - 1 April 2004) 

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam


Cerpen Wawan Susetya
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid. 

Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai. 

Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)? 

Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua. 

Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu. 

Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang. 
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E….ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!

Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!" 

Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya. 

Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas. 

"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"

Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu. 

"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang. 

Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai. 

"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu. 

Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan. 

Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu. 

"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya. 

Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning. 

Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"

Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya." 

Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya. ***
(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi) 
Tulungagung, 9 Oktober 2003


Kerbau Desa Peralihan

Imron Supriyadi 

Kerbau Desa Peralihan

Kerbau di Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Yang berbeda adalah kerbau itu tinggal di Dusun Peralihan, di kawasan di pinggir selat Sunda. Tentang kapan kerbau sampai di Desa Peralihan tak ada yang tahu persis. Ada yang bilang, kerbau Desa Peralihan asalnya dari negeri Belanda, dibawa Asisten Wedana asal Belanda waktu jaman penjajahan dulu. Namun ada juga pendapat yang yakin kerbau Desa Peralihan datang dari tempat yang tidak diketahui entah dimana, lalu dijadikan tumbal, sebagai sesaji pencegah banjir. Menurut mereka, yang yakin tadi, banjir yang menimpa Desa Peralihan adalah simbol kemarahan Dewa. 
Jadi sejak itu seekor kerbau itu berhasil menghentikan banjir, maka kerbau dipercaya sebagai dewa penolong. Warga pun menyembah-nyembah kerbau. Kalau kerbau berak, orang segera berbondong-bondong berebut memunguti tainya, dan menyimpan di dalam lemari es. Besok paginya, tai dingin itu dijadikan sesuhunan, sebagaimana mereka menyembah Tuhan. 
Tapi paska kemerdekaan, ada larangan memelihara kerbau dari lurah baru, anak sulung dari lurah lama, cucu dari lurah yang lebih lama. "Sejak hari ini saya melarang dengan keras pemeliharaan kerbau. Kerbau adalah binatang yang susah diajak kompromi. Binatang ini, tidak mengetahui tempat yang bersih karena mandinya sajapun pakai lumpur. Kalau kerbau terus dipelihara, jelas akan merusak citra Desa Peralihan di Kabupaten Sukamenang", begitulah instruksi Lurah Desa Peralihan di hadapan ribuan warga yang berdesak-desakan di Balai Desa.
"Sekarang yang mesti kita pelihara adalah upaya melestarikan lingkungan hijau. Oleh sebab itu saya minta semua warga Desa Peralihan segera mengganti kerbau dengan tanaman. Nah, supaya tidak simpang siur dan kacau balau, kita putuskan memelihara Pohon Wuringin," sambung Lurah Desa Peralihan semakin mantap. Ia goyangkan sedikit pecinya pakai kedua tangan, dan meneruskan pidato dengan sejarah Pohon Wuringin. 
"Pohon Wuringin menurut nenek moyang kita bisa membawa berkah di kemudian hari. Dulu sebelum kita lahir, pohon ini merupakan sesembahan para leluhur. Oleh sebab itu jika tidak memelihara pohon ini sama saja dengan membunuh warisan leluhur," jelas Lurah Desa Peralihan, seperti pakar sejarah dadakan.
Instruksi ini menimbulkan protes warga. Kelompok pertama menentang larangan pemeliharaan kerbau. "Ini tidak bisa diterima. Larangan Lurah jelas melanggar hak asasi pemeliharaan binatang," kata seorang warga. Sedang kelompok kedua sebenarnya setuju dengan larangan kerbau, dan masuk jugalah ke dalam kelompok ini orang-orang yang tidak perduli dengan larangan kerbau tapi tak setuju dengan tanaman tunggal Pohon Wuringin. "Sesembahan kita selama ini bukan hanya Pohon Wuringin saja. Ini jelas melanggar kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan." Ada juga kelompok ketiga, yang jumlahnya paling sedikit. Mereka tidak perduli larangan kerbau dan juga tidak perduli Pohon Wuringin, tapi menentang segala bentuk perintah pemerintah. "Ini otokratis, dan jelas tidak bisa kita diamkan."
Esoknya seorang pegiat kelompok ketiga mengumpulkan warga Desa Peralihan di pinggir sungai. "Pelarangan ini, jelas bentuk penindasan baru. Kita tidak bisa menerima begitu saja perintah Lurah . Kita harus melawannya", kata pegiat itu di hadapan sekitar seratus tujuh puluh warga dari segala kelompok yang memprotes instruksi lurah. 
Tapi muncul persoalan baru. Tidak semua yang protes berani terus terang. Warga Desa Peralihan makin terpecah-pecah lagi. Masing-masing kelompok terpilah-pilah menjadi dua sub kelompok. Di satu pihak adalah mereka yang takut sama ancaman Lurah, dan mereka pun berbondong-bondong menjual kerbau ke pasar dan membeli Pohon Wuringin di koperasi, yang dikelola keponakan Lurah Desa. Tetapi bagi warga yang berani protes --walau ada yang sebelumnya sama sekali tidak suka kerbau-- mereka tetap memelihara kerbau.
Bagaimanapun lima tahun kemudian, Lurah Desa Peralihan yang menang. Para warga yang protes, entah dari kelompok yang manapun, kalah total karena Lurah Desa memotong putus jalur-jalur pendukung pemeliharaan kerbau. Semua kubangan lumpur di Desa Peralihan ditimbun dengan kerikil, lantas padang-padang rumput dijaga Hansip Desa sepanjang dua puluh empat jam, dan tai kerbau langsung diamankan petugas kebersihan desa sehingga tidak sempat diambil dan disimpan di dalam lemari es. Memelihara kerbau jadi sulit, juga tak ada insentifnya.
Di malam hari upaya yang lebih tegas untuk mensukseskan penghentian pemeliharaan kerbau dilakukan Barisan Pemuda Peralihan, yang dipimpin adik bungsu Lurah Desa. Setiap malam anggota Barisan Pemuda Peralihan, dengan badge Pohon Wuringin di sebelah dada bagian kiri jaket hitamnya, berkeliling desa untuk razia kerbau. Pernah dalam satu malam enam belas orang pendukung pemeliharaan kerbau diciduk Barisan Pemuda Peralihan. 
Dua hari kemudian sembilan orang sudah kembali ke rumahnya dan langsung menjual kerbaunya, lantas tiga orang pindah ke desa tetangga, yang tidak perduli warganya mau memelihara kerbau, kucing, kelinci ataupun menanam Pohon Sawo, Durian atau Akasia. Satu orang, yaitu pegiat yang dulu sempat mengumpulkan para warga di tepi sungai, diajukan ke pengadilan karena waktu diambil Barisan Pemuda Peralihan ditemukan ada buku Madilog karangan Tan Malaka di balik bantalnya. Sedang sisa tiga lainnya tak ketahuan nasibnya. Ada yang bilang mereka pindah ke kabupaten lain, tapi ada juga kabar-kabar kalau mereka sudah dihabisi Barisan Pemuda Peralihan. 
Kerbau memang benar-benar berhasil dilibas Lurah Desa Peralihan. Pelan-pelan kerbau hilang dari Desa Peralihan. Di sisi lain Pohon Wuringin mendapat dukungan luar biasa. Lurah Desa Peralihan mendirikan layanan pemotongan ranting, jadi warga tinggal melaporkan ke Balai Desa kalau ranting Pohon Wuringinnya sudah terlalu melebar kemana-mana. Pupuk urea dibagikan secara gratis tanpa batasan. Juga ada kompetisi Pohon Wuringin setiap tahun dan pemenangnya mendapat piala miniatur Pohon Wuringin yang terbuat dari tembaga. Bahkan setiap pidato Lurah Desa Peralihan selalu dimulai dan diakhiri dengan 'Suburlah Pohon Wuringin, Suburlah Desa Peralihan.'' 
Dan dalam setiap acara apapun, baik rapat umum di Balai Desa, pidato kelompok PKK, maupun membuka pertandingan tarik tambang di lapangan sepakbola, Lurah Desa Peralihan selalu mengumbar senyum kemenangan. Ia merasa menjadi orang yang paling berhasil merubah kepercayaan Desa Peralihan. Kerbau yang sebelumnya menjadi sesembahan warga Desa Peralihan sudah menjadi sejarah. Semakin banyak saja orang yang mengagung-agungkan Pohon Wuringin. Dukungan Lurah Desa Peralihan makin bertambah. Sudah tiga kali Lurah Desa Peralihan mendapat piagam penghargaan sebagai pemimpin teladan. 
Namun memasuki tahun ketujuh, kekuasaan Lurah Desa Peralihan mulai tergerogoti. Krisis keuangan pelan-pelan menohok kas Desa Peralihan dan Lurah tak bisa lagi meneruskan kebijakan pembagian pupuk tanpa batas, sementara larangan pemotongan ranting sudah dihapuskan, dan piala tahunan ditiadakan. Pohon Wuringin mulai gangguan karena daunnya, yang sudah tidak disapu oleh dinas kebersihan desa, menutupi semua jalanan desa. Menantu Lurah Desa pernah pula terpleset karena menginjak daun Wuringin yang basah dan dirawat di Rumah Sakit sampai satu minggu lebih karena geger otak. Pohon Wuringin pelan-pelan menggeser jadi bencana. 
Pada saat bersamaan tak ada lagi kiriman batu kerikil sehingga kubangan mulai muncul, dan hansip desa tidak bisa lagi menjaga padang rumput sampai dua puluh empat jam karena tidak dapat uang kopi tambahan. Kerbau-kerbau dari desa tetangga yang awalnya meraja-rela di padang-padang rumput Desa Peralihan, dan karena kerbau itu berak dimana-mana, mulailah ada orang yang mengumpulkan tainya untuk disimpan di lemari es, dan dijadikan sesuhunan. Mula-mula secara kecil-kecilan dan belakangan terang-terangan.
Karena insentif tai kerbau berkembang lagi, maka orang Desa Peralihan kembali bersemangat memelihara kerbau. Harga kerbau sempat meningkat satu setengah kali lipat selama satu bulan sebelum pemerintah kabupaten mengirimkan stok khusus ke Desa Peralihan untuk mengendalikan harga kerbau di tingkat kabupaten. Lurah Desa yang sempat tak perduli sama perdagangan kerbau akhirnya keluar juga dari kantornya untuk menerima kiriman kerbau dari Bupati. "Saudara-saudara, saya tidak suka kerbau tapi kalau aspirasi rakyat memang kerbau, saya siap mendukung sepenuhnya,'' kata Lurah Desa Peralihan. Dia goyangkan pecinya pakai tangan kirinya dan dia lanjutkan dengan pidato tentang ramalan banjir dan kerbau.
"Dinas Metereologi minggu lalu menyerahkan prakiraan banjir badang yang datang setiap delapan tahun sekali. Kita harus bersiap-siap menghadapinya, dan diperkirakan bulan depan musim hujan mulai turun," jelasnya mantap. Dihitungnya kerbau kiriman Bupati, dan ditanda-tanganinya tanda terima. "Lima ratus ekor. Komisi satu ekor dua ratus ribu perak... sudah cukuplah untuk ganti mobil baru,'' gumamnya sambil berbalik masuk ke kantor. 
Kerbau Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Lurah Desa Peralihan juga sama dengan lurah-lurah lainnya. Tetapi, kerbau tetap saja kerbau, lurah tetap saja lurah. Keduanya tak bisa berbuat banyak. Hanya sekedar simbol keagungan yang di-sembah-sembah. Dan ketika warga Desa Peralihan terhempas dengan masa paceklik, kerbau --dan juga lurah-- tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengoek layaknya kerbau yang ada di kandang.
Orang-orang pun kembali mengingat masa kejayaan Lurah Desa Peralihan. Kerbau tetap saja Kerbau. Di Desa Peralihan, sepertinya kerbau apapun --termasuk kerbau wasiat yang dulu katanya pernah menangkal banjir-- tidak bisa berbuat banyak. Sementara Pohon Wuringin yang mulai musnah menjalar kembali ke perut bumi, namun setiap waktu akan bersemi kembali. Dan kebesaran tak banyak bisa berbuat. Sebab kewibawaan atau kharisma kerbau --dan lurah-- cuma warisan nenek moyang.

Demang L. Daun, Palembang, 1999-2002

Kepada Perempuanku

Kepada Perempuanku -- Imron Supriyadi
Dikemas 21/12/2003 oleh Editor  
Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur.

Pagi menjelang fajar, aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek dan sedikit singkong rebus sudah masuk ke dalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengap. Suhu udara, suhu politik, dan etika kebudayaan di kampungku tak membuatku lebih tenang dari alam rahim ibuku. Aku harus pergi!

"Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", tanya Er yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Er adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin.

"Lebih cepat lebih baik. Sebab, sebentar lagi, orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu kenapa aku harus pergi ke hutan".

Er masih terpaku. 

"Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi". 

"Lalu, bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba Tri menyela pembicaraan aku dan Er. Tri adalah perempuan keduaku yang belum sempat kunikahi lantaran sampai tahun ini orangtuanya masih bersikeras untuk menyuap seseorang agar Tri menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak desakan menikah sebelum Tri mengharamkan suap.

"Kau tidak sendirian di sini, Tri. Banyak orang yang akan melindungimu. Masih ada Mang Arman, Mang Bidin, dan Wak Ujang. Semua akan menjagamu".

"Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", ibuku tak mau ketingalan melepas kepergianku. Ibuku adalah perempuan yang kuagungkan di alam raya ini. Sebab, tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir.

"Ini sudah menjadi tekadku, Bu," jawabku meyakinkan ketiga perempuan itu.

"Tapi, hutan bukan duniamu?!" 

"Tidak, Tri! Semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup di mana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur".

"Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu untuk menghindar dari kekalahan?"

"Cukup, Tri! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini yang tak mau lagi peduli bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk satu perubahan."

Ketiga perempuan itu hanya terpaku.

"Bu, dan kepada kalian berdua, Tri dan Er, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, aku akan kembali".

Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan lagi pusing dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam. 

Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening. Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum.

Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan.

Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali hanya ocehan burung yang terdengar samar. Seekor elang terlihat sedang mengejar induk pipit. 

Wush! elang berhasil menyambar burung induk pipit. Tak ada perlawanan, karena pipit hanya sendirian. Dan elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor pipit di sarangnya pasti masih menunggu induknya pulang dengan membawa makanan. Sayang, anak-anak pipit harus kehilangan induknya hanya lantaran seekor elang yang sewenang-wenang memangsa mahluk yang lemah.

Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku. Kemarin, Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, harus menginap di rumah sakit akibat dikeroyok lima oknum polisi karena becaknya tidak memiliki SIM--sesuai dengan Perda Nomor 39 Tahun 2002. Belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebusnya dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya kini harus mencari hidup sendiri sambil menunggu pembebasan Mang Likin.

Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada di atas kepala. Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan di sana. Crus! crus! beberapa kali aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku mempercepat langkah, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Paling tidak, aku bisa segera membasahi badan dan sesaat kemudian aku akan menemukan kesegaran.

Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Lama aku menunggu buaya itu pergi. Tapi, hampir tiga puluh menit, buaya itu tetap saja ada di situ. Sementara, hari mulai senja. Aku masih bertanya, apa gerangan yang hendak dilakukannya.

Menjelang Magrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya. Sepertinya, buaya hendak mencari mangsa. Sementara ratusan rusa tak begitu peduli terhadap bahaya yang mengancam. Byur! pyak! pyak! slep! gerakan cepat buaya tak diduga rusa. Seekor rusa harus menjadi korban keganasannya. Ratusan rusa lain terpaku. Tak ada perlawanan. Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air telah memunculkan ketakutan di setiap rusa.

Aku juga terpaku. 

Aku masih berpikir, apakah aku harus berenang menyeberangi sungai atau tetap di lereng ini. Malam mulai menjelang. Suara binatang terdengar bersahut-sahutan. Sementara, mataku sudah berat. Setelah seharian berjalan, aku belum sedetik pun memejamklan mata. Rasa kantuk tak tertahan. Aku terlelap. 

Sebuah auman singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, singa sudah mengintaiku. Aku masuk dalam semak-semak. Aku masih mengintip dari mana singa itu keluar. Auww! gludug! gludug! auwww! tiba-tiba seekor singa berguling-guling. Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, ia terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Hampir dua jam lebih, singa itu terguling-guling tak jauh dari tempatku bersembunyi. 

Lambat laun, singa melemah. Ia terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, ia tak bergerak lagi. Sementara, burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku coba mendekat. Sebuah luka menganga di lehernya. Sementara, dari dalam telinganya, jutaan semut merah sedang berpesta pora seakan mereka sedang dalam kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. 

Si raja hutan itu kini menjadi santapan burung pemakan bangkai, setelah sebelumnya dikeroyok oleh jutaan semut merah. Kenyataan ini jauh berbeda dengan nasib burung pipit, rusa dan Mang Likin yang menyerah begitu saja. Koloni semut kemudian membawaku satu kesimpulan, tak kata kalah jika orang-orang di kampungku bersatu melawan para penguasa desa sebagaimana semut membunuh raja hutan.

Hari itu juga aku pulang. Tak ada kata lain, aku harus pulang. Akan kukabarkan kepada orang kampung bahwa semut telah mengajariku untuk melawan. Jangankan elang dan buaya, seekor singa pun mampu mereka kalahkan.

Malam pertemuanku dengan tiga perempuanku menjadi bagian kebahagiaan tersendiri setelah dua hari berpisah. Dan, malam itu kukatakan pada para perempuanku.

"Ibu, Tri dan kau, Er, sampaikan kepada semua perempuan di desa ini, jangan pernah berhenti untuk sebuah perubahan. Sebab, kekalahan hari ini, bukan akhir dari perjuangan yang akan lebih panjang lagi".

"Siapa yang bakal membantu kita?"

"Ini," kataku menunjuk pada perut Er yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi.

Ibu, Tri dan Er terpaku.

Ada kata tanya di matanya.

"Dari janin-janin yang bersih inilah, bangsa ini akan berubah. Dan, kepada kalian perempuanku, sampaikan pesan ini kepada perempuan lain, janin inilah yang akan tumbuh dewasa, untuk melibas kesewenang-wenangan sebuah otoritas negara".

Sepertiga malam terakhir aku terbangun. Kutemui ibuku dan kedua perempuanku masih berzikir. Tak ada suara lain yang kudengar, kecuali keinginan ibu agar aku segera menikah. Mungkin ibu berharap agar isteriku segera melahirkan jabang bayi. Tunggu saja ibu, aku masih berjuang. **

Demang Lebar Daun-Palembang, 26 Mei 2003


Kembalikan Lidahku

Kembalikan Lidahku

Cerpen Sugito Hadisastro 

NGATIMIN paling suka merenung. Apalagi satu tahun terakhir ini, sejak dia diberhentikan dari tempat kerjanya. Sebuah perusahaan penggergajian kayu gelap. Bergelondong-gelondong kayu besar, ditebang di hutan pada malam gelap oleh orang-orang berpakaian gelap. Mengalir ke tempat penggergajian gelap.
Ngatimin bukan penebang, tapi pemotong. Meski tubuhnya kuat, ototnya lengkap, dia kurang berani bekerja dalam gelap. 
Dia jenis manusia yang suka terang-terangan. Tugasnya memotong kayu-kayu dengan gergaji tangan yang tidak bising. Hampir sepuluh tahun dia dan koleganya menghabiskan hari-harinya di tempat kerjanya yang sempit. Kayu-kayu berwarna-warni silih berdatangan. Dari jati, mahoni, bengkerai, punak, hingga jengkol, petani dan sengon. Semua tuntas di tangan Ngatimin. Menjadi lempengan-lempengan kecil yang tak dikenali asalnya.
Lalu datanglah angin malapetaka itu. Dengan dalih efisiensi, perusahaan mendatangkan mesin potong kayu hebat dari luar negeri. Tidak seperti dirinya, mesin itu tidak pernah mengeluh atau menuntut kenaikan upah. Dia dan temannya berhenti sudah. Sederhana sekali. Memang ada pesangon. Tapi mana cukup untuk bertahan sepanjang sisa hidup bersama satu istri, tiga anak, dan seorang mertua sakit-sakitan.
Ngatimin harus menggergaji apa? Gergaji kayu tuanya termakan karat. Anak istrinya harus makan. Dia juga. Berkumpul dengan tetangga perlu rokok. Dari mana duit untuk beli. Mau jualan es cendol atau mainan anak, modal dari mana. Mau bekerja serabutan, relasi tidak punya. Mau mencuri atau merampok, takut penjara. Ngatimin merasa kehabisan akal. Lalu dia merenung di gardu siskamling suatu malam.
Seorang kakek tua pemecah batu menghampirinya. "Kulihat kamu kurang tidur, anak muda. Matamu sembab, pandanganmu sayu. Boleh aku tahu sebabnya?"
Ngatimin berkata dalam hati. Peduli amat ini orang tua.
"Saya korban PHK. Sudah setahun lebih saya tidak bekerja. Saya makan keringat istri saya. Saya mencuci kotoran mertua saya."
"Kasihan. Tidak banyak orang yang mau berbuat kebaikan seperti Anda."
Ngatimin terkejut setengah mati.
"Anda bilang itu kebaikan?"
"Ya, kebaikan yang sangat langka."
"Omong kosong. Saya bosan begini terus. Saya benci diri saya sendiri. Saya ingin memotong kayu seperti dulu. Tolong, katakan pada saya di mana saya dapat memotong kayu. Persetan dengan kayu gelap atau kayu terang."
Orang tua itu menggumam, "Jika Anda berani, potonglah lidah Anda agar tidak selalu berkeluh-kesah."
Karena terlalu emosi dengan dirinya, Ngatimin sampai lupa bahwa orang tua pemecah batu itu telah pergi.
Ngatimin kembali merenung.
* * *
SAAT merenung, dia hindari pasar, tempat bermain anak, atau tempat ramai lainnya. Dipilihnya pohon asam tua di pinggir jalan desa ke arah makam. Suasana di situ sungguh menyejukkan hati. Berbeda dari suasana rumahnya yang panas. Di rumahnya benar-benar panas. Istrinya sering mengata-ngatai yang membuat hatinya panas. Mertuanya yang tinggal menunggu ajal pun sering berkata-kata memanaskan hati. Belum anak-anak. Belum tetangga-tetangga yang usil. Belum yang lain.
Ngatimin kadang-kadang ingin mati dengan cara tenang. Dia membayangkan dirinya tertidur di bawah pohon asam tua. Lalu datanglah angin kencang menerpa pohon asam. Pohon itu roboh dan menimpa dirinya. Lalu dia mati. Sangat sederhana, tanpa sakit. Namun ketika dia ingat gumam orang tua pemecah batu itu, dia lalu ingin memotong lidahnya agar tidak berkeluh-kesah.
Ngatimin bergegas mendatangi orang tua pemecah batu itu di tempat dia bekerja. Sebuah cekungan sungai kering karena terlalu lama kemarau. Orang tua pemecah batu sedang mengumpulkan batu yang hendak dipecah.
"Benar katamu, hai orang tua. Aku harus memotong lidahku agar tidak terus berkeluh-kesah," kata Ngatimin penuh semangat.
"Lalu?"
"Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotong lidah saya dengan sekali gerakan."
"Kalau tidak putus?" tanya si orang tua.
"Saya akan merasakan sakit."
"Sakit yang luar biasa," sambung orang tua.
Ngatimin membayangkan sakit yang amat sangat.
"Tapi bukankah itu lebih baik bagiku daripada aku mempunyai lidah yang selalu berkeluh kesah?" Ngatimin minta pertimbangan.
Orang tua pemecah batu terkekeh-kekeh.
"Anda menertawakan saya?" tanya Ngatimin tidak mengerti.
"Pertama, saya tidak punya pisau yang amat tajam. Kedua, saya belum pernah berjumpa dengan orang paling bodoh seperti Anda."
"Saya orang paling bodoh? Di mana kebodohan saya?"
"Di kepala Anda."
"Di kepala saya? Lalu saya harus bagaimana?"
"Potong kepala Anda. Kepala yang tidak berguna, buang."
Ngatimin berpikir keras.
"Kalau begitu, mana lebih dulu saya harus potong, lidah atau kepala?"
Orang tua pemecah batu berhenti memecah batu.
"Mintalah nasihat pada orang tua pencari ikan."
"Di mana saya dapat menemukan orang itu?"
"Itu dia orangnya."
Ngatimin menoleh ke arah orang tua pencari ikan yang sedang duduk di pinggir sungai menikmati kretek kelaras jagung. Ngatimin berjalan ke sana.
"Wahai orang tua pencari ikan, saya Ngatimin, datang kepada Anda untuk meminat nasihat. Saya punya kepala bodoh dan lidah suka berkeluh-kesah, menurut Anda mana yang pertama saya harus potong?"
Orang tua pencari ikan menghentikan isapan rokok kreteknya. Dengan penuh rasa heran dia pandangi orang muda di hadapannya itu.
"Nanti dulu. Saya ingin mendengar kenapa kepala Anda bodoh dan lidah Anda suka berkeluh-kesah?"
"Ceritanya amat panjang. Singkatnya begini, saya korban PHK. Saya tidak punya pekerjaan lagi. Saya tidak dapat memberi makan anak istri saya. Saya punya mertua yang cerewet. Saya ingin mati dengan tenang."
Orang tua pencari ikan berpikir sejenak. Katanya, "Saya selalu memberi nasihat orang sehabis merokok. Silakan merokok dulu. Ini bukan rokok betulan, tapi lumayan daripada mulut asam. Sudah berapa hari Anda tidak merokok?"
"Lebih dari satu bulan."
"Apa yang Anda kerjakan saat tidak bekerja dan tidak merokok?"
"Saya merenung memikirkan nasib saya yang buruk."
"Anda ternyata tidak sebodoh yang dikatakan orang pemecah batu itu."
"Kalau begitu saya tidak usah memotong kepala saya?"
"Benar sekali."
"Lalu lidah saya, apakah tetap harus saya potong?"
"Tidak juga."
"Tapi nanti saya suka berkeluh-kesah," Ngatimin protes.
"Itu terserah Anda."
"Kalau begitu saya akan tetap memotong lidah saya. Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotongnya sekali sabetan."
"Saya tidak punya pisau yang sangat tajam. Coba Anda temui orang tua pembunuh buaya. Dia mempunyai pisau yang Anda butuhkan. Jika Anda tidak tahu tempatnya, susuri terus tepi sungai ini sekitar dua jam. Semoga Anda berhasil."
Ngatimin heran. Orang tua pemecah batu ata pencari ikan itu biasa. Tapi orang tua pembunuh buaya? Terdorong rasa ingin tahu, dia datangi orang tua itu. Waktu dua jam tidak terlalu lama. Ketika akhirnya bertemu dengan orang itu, Ngatimin semakin heran. Pembunuh buaya ini seorang wanita bongkok. Bagaimana mungkin dia melawan buaya, apalagi membunuhnya.
Wanita tua itu sedang membersihkan giginya yang cokelat tua dengan campuran buah pinang, daun sirih dan tembakau susur.
"Hai, orang tua hebat, benarkah Anda seorang pembunuh buaya?"
"Benar. Dari mana Anda tahu saya ada di sini? Apakah ada buaya di dekat rumah Anda dan Anda memerlukan keahlian saya untuk membunuhnya? Saya baru saja membunuh tiga ekor buaya sekaligus. Itu lihat bercak darahnya di baju saya yang saya gantungkan di ranting pohon."
Ngatimin mengamati bercak darah yang masih segar di baju wanita itu.
"Oh, saya tahu Anda berada di sini dari orang tua pencari ikan. Saya hanya ingin meminjam pisau Anda yang sangat tajam."
"Untuk apa?"
"Untuk memotong lidah saya."
"Kenapa Anda ingin memotong lidah sendiri?"
"Lidah saya suka berkeluh-kesah."
"Maaf, saya tidak meminjamkan pisau kepada orang lain. Tapi kalau Anda meminta saya untuk memotongkan lidah Anda, saya akan melakukannya dengan senang hati."
"Apakah Anda pernah memotong lidah orang sebelum saya?"
"Belum. Kalau Anda mau, lidah Andalah yang kali pertama akan saya potong. Bagaimana? Sekarang atau nanti?"
"Pernahkah Anda memotong lidah buaya?"
"Jangankan lidahnya, yang lainnya pun biasa saya potong."
"Bagaimana nanti Anda memotong lidah saya?"
"Terserah Anda. Mau sekali potong atau dua kali atau dikerat-kerat dulu. Saya siap."
"Sekali saja."
"Boleh. Sekarang?"
"Bagaimana kalau lusa? Hari ini saya akan pulang pamitan keluarga saya dulu, supaya mereka tidak kaget bahwa setelah itu saya tidak punya lidah lagi."
"Silakan."
"Oh, ya. Berapa ongkos potong lidah?"
"Jangan tanya ongkos. Saya lihat dari wajah Anda, Anda tidak punya uang sama sekali. Bahkan dari pagi tadi Anda belum makan apa-apa. Betul, kan?"
Ngatimin diam. Kepalanya mengangguk.
"Nah, sekarang pulanglah. Saya tunggu lusa. Saya akan asah pisau saya biar lebih tajam."
Ngatimin lalu pulang. Di rumahnya yang panas, dia tidak menemukan siapa-siapa. Seorang tetangga yang melihatnya pulang, menghampirinya.
"Dari mana saja kamu, Ngat?"
"Mencari pekerjaan. Ke mana anak istri dan mertuaku?"
"Orang edan, kamu. Mertuamu mati kemarin. Kamu dicari ke mana-mana tapi tidak ketemu. Anak istrimu semua mencarimu."
Ngatimin terduduk lemas di bibir ambin. Perutnya lapar, haus. Mulutnya kering. Sepotong ubi rebus di meja, entah milik siapa lumayan untuk pengisi perut. Lalu matanya mengantuk.
Lalu, entah kapan harinya dia pergi menemui orang tua pembunuh buaya. Wanita itu sudah siap dengan pisaunya yang sangat tajam. Ngatimin diminta memperlihatkan lidahnya. Wanita itu menarik ujung lidah Ngatimin. Melihat mata pisau yang berkilauan, muncul rasa takutnya. Dia ingin pulang saja, membatalkan niatnya memotong lidah. Wanita itu sangat marah. Ditariknya lidah Ngatimin sekuat tenaga dan dengan sekali ayun, Ngatimin melihat darah segar mengucur dari mulutnya.
"Jangan, jangan. Saya ingin tetap punya lidah," teriaknya memekakkan telinga. Darah tetap mengucur. Wanita tua pembunuh buaya menyeringai sinis.
"Mana lidahku? Mana lidahku? Saya ingin tetap punya lidah," Ngatimin bangkit dari ambin tempatnya tidur dan berlari-larian tanpa tujuan. Istri dan anak-anaknya yang sudah kembali, kebingungan.
"Siapa yang mencuri lidahmu?" tanya istrinya sengit.
"Orang tua pembunuh buaya itu telah memotong lidahku. Tolong kembalikan lidahku," jawabnya antara sadar dan tidak.
Istri, anak-anaknya dan tetangganya saling berpandangan. Mereka tidak tahu kenapa Ngatimin berteriak-teriak seperti itu. Ngatimin terus berlari dan berlari ke pohon asam tempat dia biasa merenung. Kali ini bukan untuk merenung. (72)

Batang, Mei 2003 

Keluh Kesah Dari Baghdad

Keluh Kesah Dari Baghdad - Amang
Dikemas 25/04/2003 oleh Editor  

Bertemu Pandora, istri Epimetheus

TANPA sengaja aku bertemu dengan Pandora, istri Epimetheus di dalam bus kota.
"Lho, sendiri saja? Suamimu sedang dinas?" tanyaku.
"Iya, sendiri. Tidak, tidak. Epimetheus masih di rumah. Sudah lama tidak punya pekerjaan, jadi ia cuma menunggu di Olympus kalau-kalau ada pekerjaan yang dilimpahkan Zeus untuk segera ditangani. Dan karena itu, aku sekarang yang harus cari nafkah sehari-hari."
Oh, baru tahu aku kalau Pandora sekarang bekerja. 
"Hebat!" pujiku, "Tapi kamu kerja dimana sekarang?"
Jawabnya acuh pada pujianku, "Di hotel Indonesia."
"Oh ya? Berarti kita searah," ujarku senang.

* * *

Aku ingat saat pertamakali bertemu Pandora. Kejadian itu tak lama setelah Hephaestus, yang menyimpan banyak rasa seni, menjadi lumpuh. Pada waktu itu Zeus begitu marah kepada Hephaestus sehingga ia dilemparkan dari ketinggian Olympus. Selama tiga hari tiga malam ia jatuh sebelum sampai di tanah. Hingga kini Hephaestus menjadi cacat, tapi ia temanku.

Kepadaku, Hephaestus pernah bercerita tentang Pandora yang lebih halus dan lebih mungil daripada Aphrodite, istrinya. Dalam ceritanya, Hephaestus mengisahkan betapa ia siang-malam memberi sentuhan kemuliaan pada Pandora agar nantinya dapat dihadiahkan kepada Zeus sebagai ucapan maafnya. Tentu saja ia masih menderita karena terjatuh dari Olympus, tetapi itu kesalahannya sendiri. Nah, sewaktu hendak bertemu dengan Zeus itulah kali pertama aku bertemu Pandora. Kepadaku Hephaestus berbisik betapa ia amat mengagumi kemuliaan yang dimiliki Pandora dan aku menganggukkan kepala tanda setuju. Pandora begitu halus dan mungil serta jauh lebih cantik daripada Aphrodite, istri Hephaestus yang tak setia itu. Kerlingan matanya seperti sanggup menelan matahari dan senyum di bibirnya mengalahkan keindahan pelangi. Kukatakan ini kepadamu, karena Pandora memang sungguh cantik-menawan dan mulia.

Itu sebabnya, aku dan Hephaestus merasa senang manakala Zeus menerima Pandora dengan hati riang, tetapi kami tak menduga bahwa ia punya rencana rahasia. Kupikir waktu itu amat wajar bila Zeus akhirnya meminangkan Pandora dengan Epimetheus, kakak Prometheus. Tak ada yang menduga bahwa sebenarnya Zeus menjodohkan keduanya oleh karena rencana busuk yang hendak dijalankannya. Baru belakangan, setelah Prometheus menemuiku di kerimbunan taman Hera yang penuh mawar dan anggrek hutan, aku tahu rencana di balik keriangan Zeus.

Namun semua itu terlambat. Zeus telah terlanjur memberikan kotak bencana itu sebagai hadiah perkawinan Pandora-Epimetheus dan karena rasa ingin tahunya, Pandora membuka kotak berisi malapetaka itu dan sejak itulah manusia hidup sengsara karena wabah penyakit, kesedihan dan keputusasaan. Sejak itu aku tak bertemu Pandora.

* * *

Aku masih tertegun melihat Pandora. Sejak terakhir bertemu dan sekarang ini, ia tak berubah. Rasanya baru kemarin sore Hephaestus bercerita tentang Pandora dan hari ini aku bertemu lagi dengannya. Satu-satunya yang berubah adalah tempat pertemuan kami.

"Lumayan juga kerja di sini. Kondisinya jauh lebih baik dari hotel Palestine di Baghdad," jawab Pandora atas pertanyaanku tentang kondisi kerja di Indonesia. "Ya, sedikit kami mengeluh tentang bayaran tapi paling tidak bayaranku tidak dipotong atau dicicil."
"Oh, ceritakan padaku Pandora tentang Baghdad!" pintaku.
"Ah, kota seribu satu malam itu kini amatlah buruk. Tak ada listrik, tak ada air bersih dan tak ada cukup makanan untuk semua orang. Di jalan-jalan, debu-debu jalan bercampur keringat dan bau mesiu. 

Terlalu banyak kekerasan dan terlalu banyak Kalashinov. Di mana-mana orang bercerita tentang kedatangan prajurit marinir, tetapi di sudut-sudut banyak pasukan garda republik menyembunyikan tato pedang dan senjata laras panjang dengan tulisan "Kharis Jumhury Saddam" di bawah jubah jalabiya dan mencukur kumis mereka. 

Sehari tiga kali helikopter Cobra menderu masuk kota mengepung sisi timur sungai Tigris sebelum akhirnya tank-tank dan artileri menggempur kota itu dan tentu saja seperti yang kau baca di koran-koran, Hotel Palestine terkena hantaman rudal-rudal Tomahawk pasukan koalisi. Tiga wartawan mati, tapi banyak penghuni hotel yang tidak kalah berdosa terluka parah.

Kota seribu satu malam itu jadi kuburan raksasa. Rumah sakit tak lagi mampu menjalankan fungsinya, sementara bencana perang datang seperti wabah penyakit tak tersembuhkan. Aku menangis. Aku trauma. Aku takut. Sama seperti waktu pertama kali kotak dari Zeus itu kubuka dan kulihat awan malapetaka berisi penyakit, kesedihan dan keputusasaan menggelapkan langit dan menutup cahaya matahari seperti gerhana. Aku menangis dan terus menangis," isak Pandora padaku.

"Tapi ini kali bukan karena kesalahanmu, Pandora. Apa yang terjadi padamu itu cukup sekali saja dan untunglah di dasar kotak masih bisa kita temukan harapan," hiburku.

"Memang bukan salahku. Aku menangis bukan karena ini kesalahanku. Tetapi karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bencana perang ini jauh lebih kejam daripada kotak yang diberikan Zeus kepadaku dan suamiku. Mereka sama sekali tidak meninggalkan harapan. Di Baghdad, Tikrit, Basrah, kota-kota kecil lain di sepanjang sungai Eufrat dan Tigris beribu orang mati karena kesia-siaan."

"Sekali lagi ini bukan karena kesalahanmu, Pandora. Mereka memang tidak meninggalkan harapan karena mereka tidak begitu percaya lagi pada harapan. Mereka kini percaya pada demokrasi dan keseimbangan ekonomi." Namun Pandora sudah begitu penuh tangis dan kami berdua seperti sepasang kekasih yang sedang berkelahi di dalam bus kota.

Pandora menangis hebat dan mulai memukuliku. Katanya, "Kau ini! Mana bisa mereka percaya pada demokrasi dan keseimbangan ekonomi. Itu cuma bahasa propaganda dan cerita basi sebuah peperangan. Aku tahu itu dan karena itu aku pergi dari Baghdad. Terlalu banyak kebohongan dan terlalu banyak kemunafikan di sebuah negeri yang akan mati. Kau ini, dan semua penghuni dunia ini sudahkah lupa dan barangkali segera binasa bila kalian tak segera miliki harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan itu bukan karena kalian memiliki demokrasi dan keseimbangan ekonomi, tetapi karena kalian mulai menghargai kehidupan dan mengembangkan peradaban yang menjauhi peperangan. Kau ini! Apakah tak kalian lihat padaku akibat perbuatanku?"

Harapan. Cuma aku dan Hephaestus yang tahu kemana harus pergi mencarinya. Tapi rasanya percuma mencari harapan di peradaban ini, sejak Epimetheus ditugaskan Zeus untuk membuang harapan di kegelapan belantara Boven Digul. Sekali lagi aku menghibur Pandora, meski hatiku ikut menangis dan terluka karena frustasi.

Jakarta, 16 April 2003



Keberanian Manusia

Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Keberanian Manusia

Dari sebanyak itu peninggalan Jepang di kota kami, hanya sedikit sekali yang bisa kuingat. Ketika Jepang datang di situ, aku masih berusia tujuh tahun dan masih pakai celana monyet. Tapi sampai kini aku masih hafal lagu Kimigayo sebagai suatu kenang-kenangan masa kecil, seperti aku juga masih bisa mengenang bagaimana tentara-tentara Jepang itu sama-sama mandi telanjang di kali kota kami. Untukku sendiri ada peristiwa lucu, ketika seorang Jepang bertamu ke rumah kami untuk pertama kali. Dia menaiki sepedaku yang kecil, dan tiba-tiba sepedaku patah. Aku jadi geram dan menjerit dan mengambil batu dan melemparkan batu itu ke kepala Jepang itu. Batu itu batu kecil, sebesar genggaman telapak tanganku yang kecil, dan menimbulkan satu benjolan kecil di kepala Jepang itu. Tapi Jepang itu tersenyum saja dan sore harinya ia membawa sebuah mesin ketik yang diberikannya kepada ayah. Beberapa hari aku menangis kecil dan memaki-makinya dengan makian kecil. 

Tapi dendamku yang kecil tidak berurat berakar begitu lama, sehingga kemudian Jepang itu menjadi sahabat rumah kami. Aku ingat, namanya Dei-san. Satu hal yang aku tetap kagum padanya, karena berlain dengan tentara-tentara Jepang yang lain-lain, ia tidak mandi telanjang. Pernah kutanyakan padanya, kenapa ia tak mandi telanjang beramai-ramai di kali, dan ia menjawab pertanyaanku dengan memberikan sebuah kue moci yang enak sekali. Pernah pula kutanyakan kepadanya, kenapa ia tak punya pedang, dan dia menjawab bahwa pedangnya ketinggalan di Osaka, kampungnya, dan pedang hanya dipakai untuk bunuh diri atau membunuh musuh, Dan aku bertanya pula, kenapa orang saling membunuh. Dan Dei-san tidak menjawab apa-apa. 
Baru kemudian kuketahui, Dei-san hanya seorang koki. Tapi, biarpun aku tahu kemudian bahwa dia hanya seorang koki, namun persahabatanku dengan Dei-san tidak putus tapi semakin erat. Daripadanyalah aku tahu cerita-cerita Momotaro, dan daripadanyalah aku banyak belajar beberapa lagu. 

Daripadanyalah pula kemudian kuketahui, setelah persahabatan kami berlangsung tiga tahun lamanya, kenapa orang-orang di kota kami disuruh membuat gua di bukit-bukit kampungku dan mengapa perempuan-perempuan disuruh mengumpulkan batu-batu kali, dan mengapa tiap-tiap rumah menanam pohon jarak dan kapas, dan mengapa tiap-tiap rumah di sampingnya atau di burinya dibikin lubang perlindungan. 

Dei-san tidak memanggil namaku. Ia memanggilku dengan sebutan “kaibodan”. 

“Kaibodan” kata Dei-san suatu kali kepadaku. 

“Apa?” 

“Kamu berani naik kapal terbang?” 

“Berani, berani,” sahutku. 

Lalu Dei-san menunjuk ke sebuah bukit. Dari bukit itu sampai kerendahan lembah ada sebuah kawat yang besar, dan pada besoknya kulihat sebuah kapal terbang tidak melayang-layang di udara, tapi turun dari bukit itu meluncur ke lembah. 

“Untuk apa kapal terbang itu, Dei-san?” tanyaku. 

“Untuk berperang.” 

“Berperang dengan siapa, Dei-san?” tanyaku. 

“Berperang dengan Inggris dan Amerika,” 

“Kenapa kita berperang dengan Inggris dan Amerika, Dei-san?” 

“Karena kita berani.” 

“Kenapa kita berani, Dei-san?” 

Dei-san tidak menjawab. 

“Kenapa kita berani, Dei-san?” 

“Karena Amerika dan Inggris tidak boleh tembak kita.” 

“Kenapa Amerika dan Inggris tembak kita, Dei-san?” 

“Karena Amerika dan Inggris adalah musuh kita.” 

“Kalau orang tembak kita, Dei-san, itu artinya musuh kita?” 

“Ya, ya, kalau orang tembak kita itu artinya musuh kita dan kita musti tembak dia,” kata Dei-san dan kemudian dipusar-pusarnya rambutku. 

Percakapan itu sangat mengesan kepadaku. Kuceritakan pada ibu dan abang dan adik-adikku dan ayahku dan pamanku. Ayah,ibu, dan paman dan nenekku terdiam saja mendengar ceritaku. 

“Jangan dia disuruh ke rumah koki itu lagi ...,” kata ibu. 

“Ya, ya. Dia bijak dan pinter ngoceh,” kata nenekku. 

“He, kau tidak boleh datang-datang lagi ke rumah koki itu,” kata ayah, kali ini dipelototkannya matanya kepadaku. Aku heran kenapa ayah dan ibu dan nenek tidak membolehkan aku datang ke rumah Dei-san, sahabatku itu. 

“Dia kawanku. Dia baik,” kataku bersungut-sungut. 

“Dia musuh kita,” kata abangku. 

“Jangan kau omong begitu, Karel,” kata ibu sambil menjiwir telinga abangku.

Waktu mau tidur kutanyakan kepada abangku, kenapa Dei-san tiba-tiba jadi musuh kita, sedangkan dia sahabatku dan Inggris dan Amerikalah yang jadi musuh kita. Abangku mau menceritakan sebab-sebabnya, asal aku mau lebih memberikan telingaku untuk dijiwir. Aku memberikan telingaku yang kanan untuk dijiwir. 

“Sekarang ceritakanlah,” kataku. 

“Paman Oni ditembak Jepang,” kata abangku berbisik. 

“Paman Oni ditembak Jepang?” 

“Ya, Paman Oni ditembak Jepang.” 

“Tidak mungkin. Paman Oni musti ditembak Inggris dan Amerika dan bukan ditembak Jepang. Kau telah membohongiku dan aku musti ganti menjiwir telingamu,” kataku. Dan kujiwir telinga abangku. 

“Kujiwir lagi telingamu sekali lagi. Dan nanti kuceritakan apa sebab Paman Oni ditembak Jepang.” 
Kuberikan telingaku yang kiri sekarang, dan abangku menjiwirnya. 

“Ceritakanlah,” kataku. 

Abangku bercerita, bahwa tadi sore ayah baru saja menguburkan Paman Oni. Paman Oni telah ditembak oleh Jepang sebab mencuri makanan. 

“Uu salah Paman Oni. Kenapa dia mencuri. Bukankah kita dulu dimasukkan mami sama-sama di dalam kakus satu hari sebab mencuri uang di bawah bantal?” kucungirkan telunjukku ke hidung untuk membikin abangku malu. 

“Itu sebab Paman Oni lapar.” 

“Kenapa dia tidak makan?” tanyaku. 

“Karena Jepang itu cuma menyuruh Paman Oni kerja keras, tapi memberi makannya cuma secemil saja. Itu sebab Paman Oni lapar.” 

Aku berpikir sejenak. 

“Ya, memang. Itu sebab Paman Oni lapar dan mencuri,” kataku. 

“Karena Paman Oni mencuri, Jepang menembak dia,” kata abangku Karel. 

“Kenapa Paman Oni ditembak cuma sebab mencuri saja, dan kenapa kita dulu mencuri rambutan tidak ditembak Papa?” tanyaku. 

“Karena Paman Oni berkelahi melawan Jepang,” kata abangku. 

“Kenapa Paman Oni berkelahi melawan Jepang?” tanyaku. 

“Karena dia lapar. Karena dia berani,” kata abangku. 

“Karena dia lapar, Karena dia berani,” kataku mengulangi. 

Aku berpikir sejenak. 

“Kalau begitu memang betul-betul Dei-san musuh kita. Aku mau menembaknya,” kataku, menambahi lagi. 

“Kau berani menembak si Dei-san koki itu?” tanya abang. 

Aku terdiam. Aku lalu ingat Dei-san yang keringatnya busuk itu dan tubuhnya besar itu dan tiba-tiba aku takut padanya. Aku ingat, sedangkan sama temanku Dulhak saja aku tak berani, apalagi pada Dei-san, yang lebih besar. 

Tapi sejak itulah Dei-san kuanggap musuhku. Aku tak pernah lagi datang masuk ke dapurnya untuk mengharapkan bubur kacang hijau atau kue moci atau ingin belajar lagu Jepang. 
Esoknya, semalaman aku tak bisa tidur mengenang paman kami yang sudah mati itu. Paman Oni adalah pamanku yang baik dan tidak patut mati ditembak. Paman Oni penghabisan kali mengajak aku ke pasar malam dan melihat bioskop di tanah lapang. Aku ingat kembali lagu itu, dan di layar putih kelihatan pohon-pohon beruntuhan. Kuingat kalimat lagu itu: “Pohon ditebang dari hutan”. 

Dan kemudian pohon-pohon yang runtuh ditebang itu, hanyut dibawa air sungai. Kuingat lagu itu lagi; 

“Hanyut berkumpul di muara”. 
“Mari kerjakan jadi kapal”, kulihat kapal, dan kudengar lagi lagu dan bendera berkibar: 

“Untuk Asia Timur Raya”. 

Ingatanku mati di situ karena tiba-tiba kuingat lagi wajah paman Oni. Paman Oni mengatakan akan pergi ke hutan menebang kayu untuk bikin kapal pengawal laut, menunggu kedatangan musuh. 
Kenangan pada Paman Oni makin hari semakin kabur dan hilang, kenangan itu timbul kembali ketika beberapa waktu kemudian ada lagi pasar malam. Ketika itu aku duduk-duduk termenung di beranda dan ingat pada Paman Oni yang melarang aku menghembus-hembus karet pelembungan yang kudapat banyak sekali hanyut di air kali. Paman Oni marah-marah dan Paman Oni pun membelikan pelembungan berwarna di pasar malam. 

Kawan-kawanku mengajak pergi ke pasar malam. Aku menolak. 

“Kita dapat makanan roti keju. Dibagi-bagi,” kata kawanku. 

Kutolak. 

“Kami kemarin malam dapat limun. Tidak dibayar.” Kutolak. 

Tiba-tiba kulihat sepatu sepasang di dekat kakiku. Ketika kepalaku kuangkat, kulihat Dei-san berdiri di depanku, membawa sebungkusan besar entah apa isinya, bersenyum kepadaku, dan mengajak aku ke pasar malam. Kutolak. 

“Saya tidak mau,” kataku. 

Ketika ditariknya tanganku, aku berteriak, “Bagero!” 

“Nanda omaya!” katanya dan dipicitnya tanganku dengan gemas. 

“Nanda omay lu!” teriakku. 

Tiba-tiba kudengar suara ibuku memanggil namaku dan cepat-cepat aku lari ke dalam. Aku dicubit ibu dengan kukunya yang tajam dan aku menangis dan tiba-tiba tangisku berhenti sebab mendengar deru kapal terbang. 

Tiba-tiba kami dengar bunyi sirene. Dan kemudian abangku yang baru pulang dari pasar malam membawa sebuah kertas. Dia mengatakan bahwa Amerika dan Inggris akan membom kota kami. 
Semalaman aku tak puas-puasnya bertanya kepada abangku. 

“Kau ceritalah kembali Karel,” bujukku. 

“Kita harus masuk lubang perlindungan di belakang.” 

“Kenapa?” 

“Kita musti nyumput. Nanti kita bisa mati.” 

“Mati seperti Paman Oni?” 

Abangku tiba-tiba menarik selimutnya sebab ibu kami masuk ke kamar kami. Aku pun menarik selimutku dan ketika ibuku ke luar, kubuka lagi selimut dan bertanya, “Karel, Karel. Kau sudah tidur?” 

“Aku sudah tidur.” 

“Kenapa kau bisa ngomong kalau sudah tidur?” 

“Aku mimpi,” kata Karel. 

Besoknya ibu dan ayahku dan nenekku melarang kami pergi ke pasar malam, Dua hari kemudian kami mendengar lagi pesawat terbang, dan tidak lama kemudian mendentumlah dentuman yang menggegar, masuk ke dalam telingaku yang kecil. Malam itu adalah malam pertama kota menjadi gelap dan untuk pertama kami masuk lubang perlindungan. Tapi besok paginya, beberapa buah mobil dengan pengeras suara berkeliling pula di keliling kota kami dan berteriak-teriak mengatakan musuh sudah kalah dan mengundang orang-orang pergi ke pasar malam. Besok sorenya lagi mobil-mobil pakai pengeras suara itu berputar seputar kota lagi memanggil orang melihat pasar malam. Dan ketika abangku membawa lagi kertas yang katanya dijatuhkan dari pesawat udara, panggilan untuk datang ke pasar malam semakin riuh dan esok berikutnya sudah lebih sepuluh mobil memanggil-manggil. 

Ibu tetap melarang kami ke luar. Ibu mengatakan, dua hari lagi “Sekutu” akan membom kota. Dan memang, pada malam yang dikatakan ibu itu, menggelegarlah kota. Dan telingaku yang kecil mendengar bunyi yang sebesar itu kusumbat cepat-cepat dengan kapas dan gigiku cepat-cepat menggigit karet yang menyantol dengan tali dileherku. 

Tiba-tiba ayah masuk lubang perlindungan kami. 

“Sekutu membom pasar malam.” 

Kemudian ayah ke luar lagi. Dan ketika aku meminta ikut, ibu menjitak kepalaku. Datang lagi ayah. Ayah cuma berkata pada ibu, “Bukit Guha merah semua dimakan api.” 

“Bukit Guha?” tanya ibu. 

“Ya, Bukit Guha.” 

Lalu ibu memekik dan menangis, “Adikku ada di sana disuruh membikin terowongan.” 

“Bukan yang di selatan. Yang di utara,” kata ayah. 

Ibu menggenggam jarinya dan memelukku. 

“Syukur, syukurlah. Coba Pak ke luar melihat yang di selatan.” 

“Yang di selatan tidak dibom,” kata ayah. 

“Tapi cobalah lihat,” kata ibu. Ibu tampaknya agak marah. 

Kenapa ibu tampaknya marah pada ayah, dan kenapa yang di utara, dan kenapa ibu menangis, dan kenapa ibu masih memelukku dan berkata syukurlah dua kali. Aku tak tahu. Tapi kenapa ibu masih menangis kelika ayah ke luar lubang perlindungan dan kami mendengar bunyi dentuman lagi. 
Ayah masuk lagi ke lubang perlindungan. 

“Bukit di utara dibakarnya semua. Kota juga terbakar dekat gudang Sindenbu.” 

“Bukit selatan tidak.” 

“Guha selatan tidak.” 

“Syukur, syukurlah,” kata ibu. 

Sejak kejadian itu memang selama lebih satu minggu kota menjadi ramai kembali. Kami telah kembali pergi ke sekolah seperti dahulu. Dan kami melihat toapekong hancur, gudang Sindenbu hancur, rumah Haji Munap hancur. Di tiap-tiap rubuhan kehancuran itu aku dan kawanku berdebat dan tiap-tiap kami mempunyai cerita yang berlain-lain. 

Suatu sore, ketika aku minta izin untuk main tali ke rumah Wati, ibu melarang. Ibu berkata, sore itu seluruh isi rumah tidak boleh pergi kecuali ayah. Kami duduk-duduk di beranda ketika itu. 
Karel yang paling dulu melihat. Karel menjerit. Ia melihat ke jalan bengkel di belah utara, sambil menunjuk-nunjuk. 

Aku masih ingat dengan ingatanku yang kecil, serombongan beruk berbaris. Ibu menarik kami semuanya ke dalam rumah. Tapi kami diizinkan ibu mengintip. 

Kami tak bisa menghitungnya. Kami cuma bisa melihat berpuluh-puluh ekor beruk berbaris. Yang di depan besar sekali tubuhnya, dan kukira adalah kakek dari beruk itu. Ia berjenggot. Ia sebesar kakek dan seperti kakekku. 

Kemudian ia berdiri dan berhenti di depan rumah Somad. Lalu kami lihat berombongan mereka berbaris dan masuk ke pekarangan rumah Somad. Seorang Jepang memakai senapan tiba-tiba berhenti. Jepang itu berdiri seperti tentara bersiap. Seorang Jepang lain lagi sedang mengayuhkan sepeda lalu turun, dan berhenti, berhenti seperti orang bersiap. 

Kemudian kami melihat tentara-tentara Jepang yang bersenjata itu berdiri seperti patung. 

“Kenapa mereka tak menembaknya?” kata abang tiba-tiba. 

“Apa yang kau katakan, Karel?' tanyaku. 

“Mereka tak menembak,” kata Karel. 

“Menembak siapa?” tanyaku. 

“Menembak binatang-binatang itu,” kata abangku. 

“Mereka tak berani melawan binatang-binatang itu? Kenapa berani menembak Paman Oni,” tanyaku. 

Kuperhatikan wajah abangku, ingin tahu apa yang dimaksudkannya. 

Lalu abangku mengintip. Lalu aku juga mengintip, kami melihat beruk-beruk itu memanjati pohon pisang, pohon- pohon sawo, pohon-pohon pepaya di kebun Somad. 


“Kebun kita juga,” kata abang berteriak. 

Lalu abangku melompat ke ruang tengah, tapi tiba-tiba ibu menangkap tangannya. Dengan isyarat ibu memanggilku dan dengan isyarat telunjuk ibu menyuruh kami masuk kamar kami. 
Semalaman aku terus bertanya kepada abangku kenapa beruk-beruk itu datang sebegitu banyak, tapi abangku bertanya kepadaku kenapa Jepang-jepang itu tak mau menembak. Dan aku menjawab bahwa aku tak tahu. Abangku mengatakan bahwa aku goblok. Dan aku pun lekas-lekas mengaku bahwa aku goblok dalam hal itu, tapi aku bertanya pula, untuk apa beruk-beruk itu datang. Dari mana mereka datang? 

Biarpun hampir sampai pagi kami tak tidur, tapi kami tetap bangun pagi-pagi sebelum dibangunkan ibu seperti biasanya. 

Ibu menasihatkan agar kami tak ke luar rumah, sebab beruk-beruk itu masih banyak berkeliaran di seluruh kota. 

“Kenapa beruk-beruk itu, Mami? Kenapa mereka ke sini berkeliaran Mami?” 

“Mereka lapar?” 

Cepat-cepat kuikuti abangku yang mengintip di celah-celah dinding. Tiap-tiap beruk membawa sepelukan buah-buahan. Jalan sepi, tak ada seorang pun yang lewat dan juga tak ada satu kendaraan pun yang terdengar lalu. Juga tak ada seorang Jepang pun kelihatan. Tiba-tiba kuingat ayahku. 

“Ke mana ayah kita, Mami?” 

Pertanyaanku tidak dijawab ibu dan kuintip kembali dan celah-celah dinding sambil mengharap ayahku lewat. 

Tiada seorang manusia pun kelihatan. Kecuali binatang-binatang itu, yang kini tampak berkumpul-kumpul, seperti berbisik-bisik. 

“Mereka juga berkata-kata, Karel.” 

“Diam Pak Cerewet!” gerutu Karel. 

“Lihatlah, lihatlah mereka mengatur barisan,” kata Karel tiba-tiba. Kulihat dengan mataku yang kecil di lubang yang kecil. 

Beruk-beruk itu berbaris dan mulai berjalan menuju ke tengah kota, ke arah pinggir laut, ke arah bukit-bukit di selatan. 

Binatang-binatang itu kemudian bergerak makin jauh, sambil memeluk buah-buahan, dan ketika mereka semakin jauh, abang menoleh kepada ibu yang juga mengintip, lalu memberi isyarat menunjuk pintu. 

Ibu melarang dengan isyarat pula. 

Ibu mengintip lagi. 

Kemudian abang berteriak, “Jepang-jepang sudah ke luar rumah, Mami.” 

“Pak Somad dan Pak Gultom juga,” teriaknya. 

Ibulah yang membuka pintu rumah pertama kali. Tapi ketika itu kami sudah tak bisa melihat lagi binatang-bmatang itu. 

Ketika sore-sore kami melihat kebun kami yang sudah gundul, ayah baru pulang. 

“Binatang-binatang itu binatang-binatang punya perasaan,” kata ayah. 

“Kenapa Pa?” 

“Mereka cuma kelaparan, mengambil buah-buahan, lalu pergi.” 

“Dari mana mereka Pa?” tanyaku. 

“Dari bukit-bukit yang dibom dan terbakar itu.” 

Ketika makan malam, kami bercakap-cakap lagi tentang beruk-beruk itu. Biasanya selama ini kalau kami makan, terutama aku, dilarang sekali untuk ikut berbicara. Tapi saat itu, seakan-akan aku bebas sekali berbicara. Kutanyakan, dari mana beruk-beruk itu datang. Kutanyakan untuk apa beruk-beruk itu datang dan ke mana mereka itu pergi. 

Pada waktu itu, ada percakapan-percakapan ayah dan ibu yang tak bisa kumengerti, misalnya tentang kelaparan, beras, hutan terbakar dan Paman Oni dan tentang Jepang. 

Aku tak bisa menangkap dan mengingat keseluruhannya tentang peristiwa itu, karena waktu itu telingaku yang kecil dan pikiranku yang kecil dan aku merasa diriku kecil yang dilarang oleh orang-orang tuaku untuk menanyakan dan mendengarkan dan memikirkan soal-soal orang besar. Aku ingin bertanya banyak-banyak pada ayah, tapi aku takut akan dimarahi. 

Waktu itu aku memang masih kecil. 

TAMAT 

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer