Sabtu, 12 Maret 2011

URGENSI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN

Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah penganggur, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat. Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis. Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja. Panelis Agus Bastian menangkap gejala yang berkebalikan di lingkungan terdekatnya, Kota Yogyakarta. Di satu sisi bermunculan banyak entrepreneur muda yang kreatif. Mereka jeli menangkap peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus. Misalnya bisnis refil tinta, merakit komputer, jual beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu—sebelumnya tentu saja yang sudah lama melukis kaus—sama seperti rekan-rekan mereka di kota lain, seperti Bandung. Sebaliknya, pada saat yang sama, rekan-rekan mereka berebut tempat meraih kursi pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik berdesakan antre mendaftar, mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu merogoh kocek ratusan ribu untuk pelicin. Ditarik dalam konteks nasional, pengamatan Bastian itulah miniatur kondisi ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh lagi potret lemahnya jiwa kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk pada Februari 2008. Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik semakin membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan.

Kamis, 10 Maret 2011

TECHNOPRENEURSHIP : Inkubator Bisnis Berbasis Teknologi



Perubahan demi perubahan yang terjadi dari suatu zaman ke zaman berikutnya telah mengantarkan manusia memasuki era digital, suatu era yang seringkali menimbulkan pertanyaan : apakah kita masih hidup di masa kini atau telah hidup di masa datang. Pertanyaan ini timbul karena hampir segala sesuatu yang semula tidak terbayangkan akan terjadi pada saat ini, secara tiba-tiba muncul di hadapan kita. Masa depan seolah-olah dapat ditarik lebih cepat keberadaannya dari waktu yang semestinya, berkat kemajuan teknologi informasi.

Pendidikan TI Berbasis Technopreneurship

Oleh : Tata Sutabri 

Teknologi komunikasi dan informasi atau teknologi telematika (information and communication technology–ICT) telah diakui dunia sebagai salah satu sarana dan prasarana utama untuk mengatasi masalah-masalah dunia. Teknologi telematika dikenal sebagai konvergensi dari teknologi komunikasi (communication), pengolahan (computing) dan informasi (information) yang diseminasikan mempergunakan sarana multimedia.

Technopreneurship adalah sebuah inkubator bisnis berbasis teknologi, yang memiliki wawasan untuk menumbuh-kembangkan jiwa kewirausahaan di kalangan generasi muda, khususnya mahasiswa sebagai peserta didik dan merupakan salah satu strategi terobosan baru untuk mensiasati masalah pengangguran intelektual yang semakin meningkat ( +/- 45 Juta orang). Dengan menjadi seorang usahawan terdidik, generasi muda, khususnya mahasiswa akan berperan sebagai salah satu motor penggerak perekonomian melalui penciptaan lapangan-lapangan kerja baru. Semoga dengan munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global.

Ujian Entrepreneur

Seorang kawan baru saja di rumahkan (baca = PHK) dari kantornya. Kemudian memberitahu saya, lewat SMS, “Mas Alhamdulillah saya pensiun dini, dan akan segera bakar kapal,”. Bakar Kapal adalah istilah yang di populerkan oleh salah satu komunitas bisnis. Istilah inidinisbahkan kepada kisah kepahlawanan Thareq bin Ziyad, salah seorang panglima Islam yang terkenal. Ketika itu beliau menggelorakan semangat Jihad pasukannya, tatkala berhadahan dengan tentara salib, sesaat  setelah mendarat di Eropa dari perjalanannya menyeberang lautan dari Benua Afrika. Agar tidak ada pilihan bagi pasukannya untuk surut kebelakang, makah kapal yang telah menyeberangkannya, diperintahkan untuk di bakar. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali maju dan bertempur habis-habisan. Kemudian atas izin Allah, kaum muslimin ketika itu berhasil menaklukkan Benua Eropa.

Tetapi makna bakar kapal disini, disempitkan dari perpindahan kwadaran seseorang, dari comfort zonesebagai karyawan, menuju ke medan pertempuran sesungguhnya menjadi pengusaha (entrepreneur). Karena, jika tidak di-bakar kapalnya, ketika dia sudah bosan atas suatu pekerjaan dan/atau di PHK, maka dia akan mencari-cari, pekerjaan lagi. Dan ini akan menjadi perulangan yang tidak berhenti. Akan tetapi, jika orang itu telah mempunyai tekat baja, maka tidak ada pilihan lain kecuali “berjihad” menjadi entrepreneur. Karena dengan menjadi entrepreneur, akan memacu adrenalin. Sebab berbeda nuansanya dan rasanya, ketika seseorang berhasil menjual atau memenangkan sebuah pekerjaan/tender, ketika dia berposisi sebagaiemployee, bahkan direktur sekalipun tetapi bekerja diperusahaannya orang lain, jika dibandingkan dengan ketika dia menjadi pemilik alias entrepreneur itu sendiri.

Entrepreneur berjiwa PSSI

Apa kaitannya Entrepreneur dengan PSSI. Tulisan ini sama sekali tidak berhubungan dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yang lagi di tunggu prestasinya di ajang piala AFF itu. Ini juga tidak ada sangkut pautnya, dengan teriakan dipinggir lapangan dan di dalam Gelora Bung Karno, sampai dengan trending topic di twitter dengan hash tag #nurdinturun. Sama sekali bukan itu. Ini adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh sesorang yang ingin menjadi entrepreneur. Ini merupakankompas yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan berpindah kwadran, dari employee yang berada pada comfort zone, menjadi business owner, yang sarat akan hambatan dan rintangan. Ini juga modal bagi siapapun yang ingin mewarisi semangat Thoriq bin Ziyad untuk membakar kapalnya, dan pantang surut ke belakang, apalagi kembali ke masa lalunya.

Namun, bisa jadi ini hanya faktor kebetulan saja, atau mungkin saja anda menganggap saya sedang mencoba-coba untuk mencocok-cocokkan (otak-atik matuk, dalam bahasa Jawa), sehingga memaksakan penggunaan akronim itu. Tetapi percayalah saya sedang ingin berbagi untuk kita semua. Bahwa apa yang diuraikan pada akronim itu, ternyata bisa membekali seseorang untuk memulai bisnis. Baiklah saya coba uraikan satu persatu :

1. Prinsip

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa prin·sip n asas kebenaran yg menjadi pokok dasar berpikir, bertindak. Artinya sebelum memulai bisnis kita harus tahu betul, bahwa dalam berbisnis kita harus memegang prinsip tertentu dan memperjuangkan prinsip itu sampai menjadi kenyataan. Jika kita sebagai orang Islam, tentu saja harus memegang prinsip dalam menjalankan bisnisnya nanti sesuai dengan ketentuan(syari’at) Islam. Tidak sosialis tidak juga kapitalis. Sehingga dengan prinsip yang benar dan jelas, akan mendorong proses yang benar pula, dan selanjutnya menghasilkan out put yang halalan thoyiban. Prinsip inilah yang menjadi pijakan bagi entrepreneur, dan akan menjadi rel, bagi proses dan tahapan berikutnya.

Cara Cepat Bagaimana Mendatangkan Calon Konsumen yang Banyak

Kalau anda perhatikan, banyak pedagang kaki lima di pinggir jalan yang memasang besar-besar karton bertulisan misal,“HARGA MULAI 8 RIBUAN“. Kalau menurut anda, kira-kira apa tujuannya?

Sebenarnya sengaja atau tidak sengaja, mereka paham prinsip sederhana pemasaran, yaitu mendatangkan calon konsumen terlebih dulu. Perkara mau beli apa nggak, itu urusan belakangan.

Pertama kali saya tahu “jurus” ini dari teman SMP saya. Kebetulan ia jualan kambing pada saat menjelang Idul Adha. Waktu itu saya datang untuk sekedar melihat kambing-kambingnya. Ternyata ada banyak, baik yang gemuk maupun yang kecil.

Teman saya ini memasang spanduk berukuran cukup gede bertuliskan“JUAL KAMBING KURBAN HARGA 450 RIBU“. Terus saya tanya, “Harganya segitu ya?”. Ia jawab, “Ya, tapi yang itu…”, sambil menunjuk seekor kambing yang agak kecilan. “Yang penting pembelinya mau datang lihat kambing duluan, ntar kan mau beli”, katanya. Ternyata benar.

Franchise Edam Burger, Solusi Bisnis Modal Kecil…!

Burger… Siapa yang nggak kenal dengan makanan impor yang satu ini. Lapisan makanan terdiri dari roti, daging olahan, selembar keju, selada segar, irisan toma, dan mentimun, mak nyuss rasanya.

Apalagi kalau anda tambahkan saus mayonaise…makin nikmat. Makanya, banyak orang yang nggak pernah bosan dengan burger. Padahal fast food jenis yang satu ini sudah ada di Indonesia lebih dari 10 tahun yang lalu.

Nah, yang saya akan bahas sekarang adalah kesuksesan salah satu market leader di bisnis waralaba burger lokal, Edam Burger.

Menurut saya, Edam Burger relatif cukup dikenal. Franchisor-nya terpercaya. Untuk jenis franchise, modal yang harus dikeluarkan oleh franchises relatif kecil. Cukup dengan mengeluarkan 2,3 juta rupiah, si franchise sudah mendapat konter lengkap.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer