Rabu, 06 April 2016

Kontradiksi

Kontradiksi

Oleh Muhammad Ridwan
Penulis adalah mahasiswa Univ. Widya Gama Malang

Aku benci wanita paruh baya itu, aku tidak begitu mengenalnya, dan aku punya banyak alasan untuk itu. Kecilku dalam dekapan nenek, remaja kuhabiskan dengan ayah, dan kini aku jauh dari mereka karena waktuku habis untuk kuliah. 

Sering sih aku jengah dengan keluargaku yang tidak mengenal figur seorang ibu. Beda dengan kebanyakan teman kuliah yang selalu memilih hilir mudik jika liburan. Yah, itu tadi, ibu mereka kangen atau apalah. 

Yang pasti, aku tidak punya alasan untuk pulang. Sekadar merasakan kehidupan yang sama seperti dulu atau sebagai sasaran empuk tetanggaku yang gemar bernyanyi tentang cerita keluargaku yang tidak pernah kering.

Justru beranjak dewasa, sikapku labil seperti dua sisi koin. Ada saatnya aku merindukan sosok ibu, saat lainnya aku tidak butuh. Atau kadang-kadang aku rindu sekaligus benci pada seorang ibu. 

Aku rindu setiap kali perasaanku tercabik dengan rengekan teman-teman pada ibu mereka. Aku juga bisa benci jika dongeng tentang ibuku berdengung. Ayah selalu bilang tetangga kita suka mendongeng tentang ibuku. Namun jelas terlihat ayah berusaha menutupi kerapuhannya sendiri.

"Eh, apa bu Ningsih masih sama Roy si pengangguran itu?" celetuk pedagang sayur. 

"Mm, Ibu nggak tahu ya? Sekarang bu Ningsih itu ke mana-mana selalu diantar Yamin, karyawan barunya itu," balas tante Iin yang diamini tetangga lain yang juga asyik mengerumuni pedagang sayur langganan di kompleks perumahanku.

Aku selalu telat mendengar satu kisah baru yang utuh tentang ibuku. Mereka selalu rapi mengemasnya. Seringkali aku menguping penggalan cerita yang simpang siur dan ayahku selalu diam.

"Lan, kamu nggak usah mikirin omongan orang tentang ibumu. Yang penting kamu konsen belajar, sebentar lagi kan kamu kuliah." Ayah selalu mengakhiri debat dengan klise. 

Itu dulu. Sekarang aku seorang mahasiswa, siap sebagai lelaki dewasa. Siap melangkah skeptis pada sosok ibuku yang konon senang menjelma sebagai dewi Amor di mana-mana.

Seandainya keberanian ini masih ada, ingin rasanya kujelaskan pada Dewi, Mitha, Santi, atau cewek mana pun yang berusaha dekat denganku. Terlalu abstrak aku membedakan cinta itu sendiri. Aku kadang berpikir, apakah cewek-cewek itu sama seperti ibuku? 

"Lan, aku nggak malu dengan perasaan ini. Asal kamu tahu, sejak dulu aku sudah ada rasa." 
"Kamu mau nggak jadi pacarku?"
"Lan, entar malam nonton yuk!"
"Lan, kayaknya si Inka naksir berat sama kamu."

Kata mereka aku tampan, unik, dingin, dan kaku. Aneh juga mereka penasaran ingin menaklukkan hatiku. Ibuku aja nggak butuh cowok tampan, malah kebanyakan biasa, kalau bisa dibilang jelek dan rata-rata sebayaku. Sekali lagi, apakah ibuku atau cewek-cewek itu yang punya cinta?

Aku tidak mau dicap paranoid. Pelan-pelan aku mulai terbuka pada kaum hawa. Apalagi wanita paruh baya seperti ibu kosku, penjual es cendol, ibunya teman-temanku, hingga dosenku sendiri. 

Aku berharap mereka tidak seperti ibuku. Aku sudah kenyang dengan nasihat-nasihat ibu kosku, sering tertawa lepas dengan ibu-ibu penjual es cendol, hingga terlalu sering berdebat dengan bu Rini, dosenku sendiri. 

"Lan, gimana persiapan seminar minggu depan?" tanya bu Rini yang sibuk menata paper kuliahnya. Tinggal aku sendiri di kelasnya. 
"Semua sudah disiapin Bu. Tinggal penyebaran brosur ke teman-teman mahasiswa," jawabku santai.
"Kamu ada kuliah lagi ya?"
"Nggak ada Bu. Aku mau langsung pulang, capek."
"Kebetulan saya juga mau pulang. Sekalian saya antar."
"Tapi Ibu…"
"Sudah, nggak apa-apa. Ayo!" potong bu Rini sambil berlalu ke arah parkiran.
Ini kesekian kalinya aku pulang kuliah bareng bu Rini dengan Baleno-nya. Risih juga mendapati seluruh mata penghuni kampus terfokus padaku. Belum lagi godaan teman-teman sekosku.
"Enak ya jadi asistennya bu Rini. Ke mana-mana bawaannya mobil," goda Budi gembrot yang sibuk mencekoki mulutnya dengan gorengan. 

Rasa capekku melebihi godaan si gembrot. Anak-anak yang lain ikutan nimbrung di ruang tamu, selalu kompak menggodaku. 
"Apalagi bu Rini kan sudah lama menjanda."
"Masa sih janda? Yang benar aja Di!"
"Iya, ngapain sih aku bohong?"
"Benar itu Bul! Apalagi pak Ismet, dosen lapuk itu lho! Ke mana-mana ngekor melulu sama bu Rini."
"Sebenarnya bu Rini itu cakep lho. Coba kalian pelototin deh setiap kali bu Rini mencopot kacamatanya."

"Pantesan cewek-cewek di kampus pada alergi sama bu Rini. Takut kalah saingan kali yee!"
Kudengar tawa mereka tidak beraturan. Hatiku geli mendengar mereka debat hingga lupa dengan obyekan mereka. 

Harus kuakui, hubunganku dengan bu Rini semakin kental. Aku sampai lupa kalau beliau adalah dosenku. Apalagi beberapa kali kegiatan kampus yang melibatkan bu Rini, aku juga turut di dalamnya. Katanya sih abilitasku memadai untuk itu. 

Kini bu Rini sudah terbiasa blak-blakan atau tepatnya cablak tentang segala tetek bengek problem pribadinya. Mengajakku mampir ke rumahnya, sampai memaksaku memakai Baleno-nya. 

Satu persatu kepingan cerita teman-teman menggantung di benakku. Semakin jelas dan terarah. Namun itu tadi, aku belum bisa mendefinisikan makna cinta itu sendiri. Tapi yang pasti aku punya satu alasan dari seribu alasan ibuku yang gemar bertualang. Dan aku yakin sampai detik ini ayahku belum punya jawaban atas ambruknya keluarga kami. Semoga tetap begitu.

Kebersamaan ini membuatku semakin malas untuk pulang. Aku terlalu sibuk untuk belajar segala hal dari bu Rini. Mulai dari kuliah edukasi hingga kuliah, maaf, Kamasutra.

"Hidup ini sering mempermainkan kita Lan. Ada kalanya aku bermain dengan intuisi dalam menyikapinya, namun sering nggak berperasaan. Tapi bukan berarti aku nggak punya perasaan terhadapmu." Terlihat bu Rini mencoba membaca air mukaku, menunggu senyum tipisku mengembang untuk kesekian kali. Tak ada paksaan dalam hubungan ini. Aku hanya mahasiswa yang terlelap dalam pelukan dosennya. 

Dindingku jebol. Bu Rini begitu luwes menuntunku ke dalam muara cintanya. Semakin kuat aku berontak, semakin dalam aku terseret dalam permainan ini. Apakah ibuku mengalami hal yang sama? Karma, bukan, karma, bukan, karma, bukan…ah persetan!

Kalian boleh menuduhku munafik, bertopeng, atau apa saja untuk menghakimi sikapku yang apatis. Aku hanya berharap kalian yang broken home tak terjebak dalam situasi yang aku alami. Aku kuatir kalian akan menjilat kembali tuduhan di atas. Karena, sejatinya kebencian dan keinginan itu sangat tipis bedanya. 
Apakah cinta sekompleks itu? Terserah kalian.

1 komentar:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer