Aku baru saja terdiam dalam himpitan bumi yang basah karena hujan. Aku terdiam dalam sunyi sepi sendiriku. Sangat gelap, hitam, pekat. Sayup-sayup terdengar suara tangisan seorang perempuan meraung-raung di atas sana. Aku sangat mengenal suara itu. Itu suara Ivo, istriku tercinta. Tidak berapa lama kemudian, suara itu perlahan-lahan lenyap ditelan derasnya guyuran hujan di sore itu. Kini aku merasa tidak ada siapa-siapa lagi di atas sana, mereka telah pergi meninggalkanku sendirian di sini. Bahkan istri dan anak-anakku yang amat aku sayangi itu telah juga pergi berlalu. Mereka meninggalkanku begitu saja dalam kehampaan. Tetapi tiada yang perlu kukecewakan, tidak ada gunanya menunggui jasad kaku terbungkus kain kafan yang telah dihimpit bumi ini. Aku sudah siap. Sebentar lagi malaikat-malaikat itu mungkin akan datang dengan pertanyaan-pertanyaannya yang standar. Pertanyaan-pertanyaan yang telah kuketahui sejak kecil dari guru ngajiku dan aku sudah siap dengan jawaban-jawabanku kalau memang malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang. Siapa Tuhanmu? Maka aku akan menjawab Allah; Siapa nabimu? Maka aku akan menjawab Muhammad; Apa kitabmu? Maka aku akan menjawab Al-Quran. Beres. Aku sudah menghafalnya di luar kepala jauh sebelum aku sadar kalau suatu saat aku pasti akan mengalami hal seperti ini, terkurung dalam sepi. Kalau malaikat-malaikat itu benar-benar akan datang, aku begitu yakin akan lulus ujian. Lalu, aku akan tidur nyenyak sampai hari kebangkitan datang.
Sesaat kemudian kutemukan jasadku dalam kabut tiada batas. Aku merasa tubuh telanjangku menggigil kedinginan. Aku bisa merasakan kulitku yang membeku, bibirku kaku, gigiku berisik, lidahku kelu. Dalam kebekuanku, aku mencoba untuk menggerakkan jasadku yang kaku, tetapi tak bisa. Jasadku betul-betul telah kaku. Saat ini aku memang telah menjadi mayat. Kutengadahkan mukaku ke atas yang ada hanya kabut, kabut, dan kabut. Aku terdiam dalam sepi kegelisahanku. Sepi, sepi, sepi. Aku terkurung dalam sepi. Aku masih diam dalam sepiku, ketika sesuatu tiba-tiba menghentakkan sepiku. Bumi disekelilingku bergemuruh, lalu berguncang seperti gempa. Guncangannya sangat keras, entah berapa skala richter. Aku panik, akan tetapi apa daya aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku merasakan kehadiran makhluk lain selain aku di sini. Mungkin malaikat yang pernah dikatakan oleh guru ngajiku itu saat ini telah berada di sini bersamaku. Sepintas dalam kegelapan kabut, kulihat dua sosok asing menghampiriku. Mungkin mereka itulah malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Entah mengapa ketakutan tiba-tiba mencengkramku. Tubuhku semakin menggigil, bergetar sekencang guncangan bumi barusan. Kini dua makhluk asing itu telah berdiri dihadapanku, memandangi jasadku. Kabut membuat mereka tidak dapat terlihat dengan jelas, samar-samar yang terlihat hanya sosok tubuh mereka dan benda berbentuk seperti palu godam dalam genggamannya. Aku semakin yakin inilah kedua malaikat itu, Munkar dan Nakir. Aku merasa perlu untuk lebih dahulu mengucapkan salam pada mereka berdua, tetapi entah mengapa lidahku terasa berat dan bibirku seperti terkunci. Aku pikir mungkin ini karena tubuhku yang membeku, sehingga aku sulit untuk menggerakkan bibir dan lidahku. Aku mencobanya lagi, tak bisa. Aku coba lagi, tetap tak bisa. Aku tetap tak mampu mengucapkan sepatah katapun, bahkan untuk menggerakkan bibir pun aku tetap tak mampu! Ada apa denganku?
“Siapa Tuhanmu?!” Suara itu begitu menggelegar. Aku tersentak dalam keterkejutan yang amat sangat, aku merinding dalam histeria ketakutan. Malaikat itu menanyakan, siapa Tuhanku. Ya, siapa Tuhanku. Tentu aku akan menjawab Allah. Dan aku harus segera menjawabnya! Aku mencoba menjawabnya, akan tetapi kedua bibirku tetap tak mampu kugerakkan. Sedikitpun tak mampu, kaku. Aku mendengar jantungku berpacu begitu cepat, tubuhku merinding sejadi-jadinya. Peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhku. Dalam suhu yang begitu dingin, entah mengapa keringat justru mengucur deras di seluruh tubuhku. Ketakutan menderaku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Mulutku terkunci, tubuhku kaku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku betul-betul tak mampu berbuat apa-apa lagi. Aku pasrah…
“Siapa Nabimu?!” Gelegar suara itu kembali menyentakku. Mereka menanyakan siapa nabiku. Aku tahu jawabannya adalah Muhammad. Aku begitu ingin menjawabnya, tetapi lagi-lagi aku hanya bisa diam dalam kebekuanku. Aku pasrah lagi…
“Apa kitabmu?!” Untuk yang ketiga kalinya gelegar suara itu kembali menyentakku. Mereka menanyakan apa kitabku, mereka menanyakan Al Quran. Oh, seandainya bisa, aku ingin sekali menjawabnya. Aku tahu jawabannya, aku ingin menjawabnya. Namun lagi-lagi aku hanya bisa terdiam dalam kebekuanku. Kini, aku benar-benar pasrah…
Aku masih tidak mengerti, mengapa aku bisa menjadi bisu begini. Mulutku benar-benar terkunci. Bukankah inderaku yang lain dapat berfungsi dengan normal? Bukankah sesungguhnya aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu? Kalau aku tidak dapat menjawabnya, lalu apa gunanya pengetahuanku selama ini tentang Tuhan, nabi, dan kitab yang ditanyakan oleh malaikat-malaikat itu? Aku ingin memprotes, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Aku yakin Tuhan pasti tahu kegelisahanku saat ini, tetapi mengapa Dia tidak jua menolongku? Dimanakah Dia saat ini? Ah, betapa kecewanya aku, apa yang aku bayangkan dulu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang aku alami saat ini! Ingin rasanya aku memberontak atau setidaknya berunjuk rasa seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang bayaranku dulu, tetapi aku tak mampu. Saat ini aku hanyalah makhluk kaku yang tak berdaya.
“Apa saja yang telah kau lakukan selama hidupmu di dunia?!” Bentak salah satu dari mereka, gelegar suaranya semakin keras membahana. Aku semakin panik, kegelisahanku memuncak. Pertanyaan apa lagi ini? Aku belum sempat menjawab ketiga pertanyaan tadi, malaikat yang angkuh itu sudah memberiku satu pertanyaan lagi. Apa saja yang telah kulakukan selama hidupku di dunia? Aku yakin, yang mereka tanyakan adalah perbuatan baikku selama di dunia. Selama ini aku telah melakukan begitu banyak perbuatan baik. Aku sering menjadi donatur pembangunan mesjid, aku banyak membantu pesantren dan panti asuhan, aku membayar zakat, aku melaksanakan shalat lima waktu, dan aku pun sudah berhaji. Aku rasa sudah cukup banyak amalanku selama ini. Aku ingin mengungkapkan semuanya, akan tetapi lagi-lagi aku tak mampu. Mulutku masih terkunci. Semua kata-kata yang ingin aku ungkapkan terhenti hanya sampai di tenggorokanku.
“Jawablah wahai manusia!” bentaknya sangat keras, bagai gelegar petir menghentakku. Aku kembali larut dalam histeria ketakutan yang tiada tara. Aku ingin menjawabnya, tetapi mulutku masih terkunci juga. Adakah sesuatu yang lain yang dapat membantuku menjawabnya?
“Selama hidupku aku telah mengambil hak orang lain yang bukan hakku…” Suara itu terdengar begitu jelas, tapi aku tidak tahu dari mana asalnya. Suara itu sangat dekat, begitu dekat. Seperti menjadi bagian dari diriku. “Aku telah mencuri uang rakyat,” katanya lagi. Aku masih mencari-cari sumber suara itu, ketika ia kembali berucap, “Aku telah menerima begitu banyak sogokan, melakukan korupsi untuk memenuhi nafsu keserakahanku dan untuk kepentingan golonganku.” Astaga! Betapa terkejutnya aku ketika sadar dari mana suara itu berasal. Suara itu berasal dari kedua tanganku! Apa lagi ini? Aku semakin tidak mengerti! Apa yang dikatakan oleh kedua tanganku itu memang benar, tetapi mengapa mereka yang harus menjawabnya? Bukankah fungsi mereka bukan berbicara tetapi memegang? Mulutku memang terkunci, tapi aku tidak pernah memberi mereka otoritas untuk berbicara? Betapa lancangnya mereka! Seandainya bisa ingin rasanya aku memotong kedua tangan penghianat ini! “Aku memang sering mendermakan uang untuk pembangunan mesjid, membantu pesantren dan panti asuhan, dan membayar zakat. Akan tetapi aku melakukannya hanya karena mengharapkan pujian orang dan sebagian besar uang itu berasal dari hasil korupsiku,” kata tangan sial itu lagi. Aku merasakan hatiku panas terbakar emosi! Tapi apa dayaku, hanya sampai di situ kemampuanku. Aku memang melakukan korupsi, tapi semua itu aku lakukan karena tuntutan hidup. Gajiku sebagai pejabat penting aku rasa belumlah mencukupi semua kebutuhan selama hidupku, terutama untuk menunjang eksistensiku sebagai orang terpandang. Apakah salah kalau aku juga ingin menikmati hidup yang serba berkecukupan selama di dunia? Kalau tidak melalui korupsi, lalu dengan cara apa lagi aku bisa mendapatkan semuanya? Hanya itu kemampuanku.
Penderitaanku ternyata tidak berhenti sampai di situ. Bukan hanya tanganku, anggota tubuhku yang lain pun ikut-ikutan menyalahi fungsinya. Mereka berlomba-lomba untuk mengungkapkan semua hal negatif yang pernah aku lakukan selama hidupku di dunia. “Aku sering berbohong untuk mengelabui banyak orang.” “Aku sering menyalahgunakan jabatanku dengan melakukan kolusi.” “Aku sering berzina dengan banyak wanita.” “Aku sering melakukan perbuatan syirik dengan mendatangi dukun untuk memperoleh dan mempertahankan jabatanku.” “Aku pernah melecehkan lembaga peradilan dengan memberikan keterangan palsu di depan hakim.” “Aku juga suka memfitnah orang yang tidak aku sukai!” Betapa teganya mereka. Ingin rasanya aku membela diri, tapi aku tak sanggup. Mulutku masih tertutup rapat, membisu. Tidakkah malaikat-malaikat itu mau mendengar pembelaanku, ataukah mereka tidak membutuhkannya lagi?
“Kami sudah tahu apa yang menjadi alasanmu melakukan itu,” kata salah satu malaikat itu. “Ketahuilah kehidupan di dunia hanyalah sementara, lalu untuk apa kau melakukan semua tindakan tercela itu untuk kehidupan yang sementara?” kata yang satunya lagi. Aku mendengarnya, hanya itu yang bisa aku lakukan. “Apa gunanya ilmu agama yang selama ini kamu dapatkan? Bukankah mengambil hak orang lain, berbohong, bersaksi palsu, menyalahgunakan jabatan, berzina, syirik, dan memfitnah adalah perbuatan yang tercela dan dilarang agama? Bukankah semua perbuatan tercela yang kau lakukan itu selalu bertentangan dengan hati nuranimu?” tanyanya beruntun. “Ya,” jawabku dalam hati. Aku akui setiap melakukan tindakan itu, hati nuraniku selalu gelisah. “Lalu, mengapa kau melakukannya?” tanyanya lagi. Aku tersadar seketika, “Astaghfirullah! Masih bisakah aku memohon ampun?” “Terlambat,” kata kedua malaikat itu bersamaan. “Terimalah siksa kuburmu sampai hari kebangkitan datang.” Sesaat kemudian kedua malaikat itupun berlalu bersama kabut, meninggalkanku dalam sunyi sepi sendiriku.
Lamat-lamat kudengar suara gemerincing lonceng-lonceng bersahutan di sekitarku. Begitu nyaring. Semakin lama semakin nyaring, memekakkan gendang telingaku. Menusuk ke seluruh urat syarafku. Bunyi itu begitu lama menyiksaku. Ketakutan datang seketika menjemputku. Aku tercekam dalam histeria ketakutan yang amat sangat. Tubuhku yang sedari tadi terasa beku dan basah oleh keringat dingin, merinding sejadi-jadinya. Berguncang sedemikian dahsyatnya. Sesaat kemudian, aku merasakan sekujur tubuhku seperti terbakar dalam bara api yang menyala-nyala. Sangat panas. Membakar kulitku sampai melepuh, memanggang dagingku sampai ke tulangku. Sayup-sayup kudengar suara rintihan orang-orang yang terpanggang dalam bara api, rintihan yang memilukan. Inikah awal dari siksa kuburku?
Oh, Tuhan… Seandainya aku bisa memilih, aku ingin hidup sekali lagi. Sebentar saja… Berilah aku hidup barang beberapa hari saja. Aku berjanji akan berbakti kepadamu dan menebus segala dosa-dosaku. Aku akui, semua ini karena keraguanku selama ini kepada-Mu. Aku akan menjalankan segala perintah-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu dengan ikhlas. Berilah aku kesempatan sekali lagi untuk membuktikannya. Oh, Tuhan… Adakah kau dengar rintihanku ini?
Terlambat, Bung!
Jakarta, March 7th 2002
Adn@n Dikemas 19/04/2003 oleh Editor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar