Di jalan itu, tiga tahun lalu. Sinar remang lampu jalan menerpa wajah pucat Ningsih yang sebagai gadis zaman modern mungkin terlalu kuno. Tak ada polesan bedak dan goretan lipstik. Hanya alis tebal, hidung bangir dan kulit kuning gading merekah di wajahnya. Jam sebelas malam, biasa ia lewat ujung jalan ini. Dengan langkah cepat untuk mencapai peraduan. Lelah dan peluh terasa setelah seharian bertugas sebagai penjaga toko. Tak ada penyesalan setiap hari. Hanya ada harap menunggu akhir bulan untuk menerima uang jasa. Jasa melayani para pembeli dari siempunya toko. Sama dengan hari kemarin ia lewat. Senyumnya menebar terbawa angin malam. Aku yang sedang menghabiskan kretek putih untuk mengisi sepi coba membuka suasana.. “Sendiri lagi non.” Hanya gigi putih ratanya yang mengembang sesimpul. Menjawab sapaku . “Mau diantar tidak?”aku pun langsung melanjuti langkah pertama. “Ga papa, aku sudah biasa sendiri”, kali ini tak hanya senyum halus yang keluar, suara halusnya pun menjawab langkah pertamaku. Menerbangkan langkah selanjutnya. Cepat langkahku mengejar derap kakinya yang mulai melambat.Tak tahu angin mana yang membawa niatku ini. Angin ini begitu dingin, sedingin kuku maut yang akan menjemput tuannya. Akalku melayang dengan langkah kaki membarengi Ningsih. Gelap ujung jalan yang bernyalakan lampu jalan jadi begitu gelap malam ini. Di ujung jalan ini berdiri pos hansip yang hanya malam-malam tertentu ramai dengan warga yang bertugas. Pos ini menjadi tugu selamat datang bagi warga di dalam gang yang membelakanginya. Ketika dua pasang kaki kami mendekati pos hansip ini, sayup terdengar bisik halus. Kutengok sebentar wajah Ningsih. Tak terlihat bibirnya berucap. Kulempar pandang ke belakang. Aku hanya merasakan angin dingin itu lagi. Ku coba bertanya pada Ningsih, Ia tak berujar, tak satupun kata yang ia ucap, jawabnya pendek. Selimut tanya menghangatkan kepalaku. Sedetik, memutar hadap wajahku ke belakang. Memperlihatkan yang ada. Angin dingin yang kurasakan sejak tadi menerbangkan bayangnya. Memutar bola mataku, mengusik nadiku. Dua saat, bayangnya membentuk. Bisik sayupnya menjelas. Saat ini tak ada putaran waktu. Kulihat langkah kakiku dan Ningsih tak berhasil menapak lagi. Bayang ini mulai menarik jiwa. Dingin yang kurasa waktu bayang ini menembus jiwa.Ia menjilat merayu dan mangajak jiwa bersama. Bisiknya menjadi deretan kata “sudah dekat waktunya, kesempatan tak datang dua kali, itupun kalau aku masih berbaik hati memberimu satu.” Suara sandalku dan sepatu Ningsih menepuk jiwa. Sadarkan waktu yang sudah menggelinding lagi. Kali ini, aku hanya rasakan kehadirannya di balik punggungku.Benar katanya, tak ada satu kesempatan seperti ini bila ia tak berbaik hati memberiku satu. Begitu akal menelan bisiknya, pengap kurasa dadaku, tegang yang kurasa menjalar sampai kepala. Hidungku mencium harum dan kulitku merasakan rasa yang tak pernah terbayang. Sesaat rasa itu hilang, membimbing tanganku menarik Ningsih ke belakang pos hansip itu. Tak pernah kurasa tanganku begitu kuat. Kurasa bayangan ini ikut menarik. Wajahnya mulai menyingkap senyum pahit yang lalu sejenak terlihat bangga. Hembusan nafasnya wangi kemenyan sajen para dukun. Gerak tangannya melambai mengepal ke udara, kakinya berjingkrak layak para Indian menyajikan tari kemenangan perang. Semakin lama semakin cepat dan penuh ritme seakan ia sudah terbiasa. Senyumnya memekar seiring tarian kemenangannya. Tawanya semakin menjadi, kali ini terdengar lebih jelas seperti para penonton yang puas disuguhi hiburan sesuai uang yang mereka bayarkan”ha, ha, ha.”. Gerakanku terus memburu langkah tari kakinya. Nafasku seakan turut mengikuti irama tari kemenangan ini. Sorak sorainya terus menyemangati jiwa. Menggoda seluruh peluh untuk keluar dari sarang persembunyiannya. Tatap tajam matanya memompa seluruh aliran darah. Walau tak beraturan, terasa tak akan ada malam-malam dingin dalam dunia ini. Sempat kutengok Ningsih. Wajahnya menggambarkan suatu adegan perjuangan. Keinginan menolak dan keinginan yang terpendam. Kucoba mendalami khayalnya. Ia tertunduk, hanya bertumpu sepasang lututnya. Mulutnya mengambil aba-aba, siap keluarkan semua. Suaranya mulai muncul. Dimana Tuhan ketika umatnya membutuhkan. Seumur hidup aku selalu mencoba untuk berjalan di sisiNya. Hari ini, kubutuhkan bantuanNya. Tak ada, seakan Ia berlari menjauh. Tak ingin tahu perjuangan umatNya. Tapi, ku ingin berterimakasih atas kealpaanMu. Hari ini kutahu makna menjadi wanita. Terimakasih ku juga untukmu, Ali. Ningsih kembali tertunduk seiring kurasa segumpal rasa yang ingin meloncat menembus beban yang sekian lamanya menahan.Bahuku kembali membimbing mataku melihat bayang hitam itu. Bayangan yang punya banyak tangan. Sekelebat terlihat tariannya mulai menurunkan temponya. Jingkrak kakinya perlahan menyelaraskan lambai tangannya. Soraknya sayup tertelan jerit jangkrik yang menyaksikan drama pendek ini. Ia mulai berhenti menari. Berdiri dengan gagahnya setelah memenangkan perang kali ini. Wajah dinginnya terlihat. Tak ada sorak sorai kali ini. Senyumnya pun mulai menguap bersama semua peluh yang berjatuhan dari tubuhku.Rintih suara Ningsih membawa diri keambang sadar. Tak terasa sebutir air mata menetes. Dingin malam ini terasa lagi. Bayang hitam itu hanya memandang dan dengan senyum tipis memberiku kata-kata terakhirnya. “Ingat, kau harus membayar hutangmu atas satu kesempatan yang sudah aku beri.” Tanpa memberiku kesempatan untuk bicara, bayangnya mulai hilang tertiup angin. Gelap mulai mengelilingiku. Nyala lampu pos hansip samar menerpa wajah Ningsih. Akalku masih melayang. Bingung. Kenapa air mataku tak kuat lagi bergantung di kelopak mata. Apakah karena ku tak sempat berterimakasih atas kebaikannya atau…….Belum habis tanyaku, jerit Ningsih membalikkan semua keadaaan. Jeritnya membawa beberapa petugas siskamling kembali ke posnya. Kenapa Ningsih berteriak, bukankah tadi ia berterimakasih padaku? Belum hilang kabut tanya dalam kepalaku, kusadari diriku berada di dalam sel nomer empat puluh blok F, untuk tiga tahun yang kubayarkan atas hutangku.
Jakarta, 24 -1-2003
Deni Darmansyah Dikemas 02/04/2003 oleh Editor
Minggu, 20 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri yang Diunggulkan
Posting Populer
-
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karuniaNya, Penulis masih diberi kesempatan untu...
-
PROPOSAL KEGIATAN PAGELARAN SENI TARI SMAN 11 KAB. TANGERANG I. Latar Belakang Seni merupakan suatu yang tidak da...
-
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya, saya dapat menyelesaikan karya ilm...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar