Sabtu, 05 Maret 2011

Dinding

Dinding-dinding itu terasa hampa. Makin hari warnanya semakin kelabu, seperti jiwanya ketika itu. Dinding-dinding itu tetap membisu padanya, seakan mati. Ya, seakan mati. Padahal minggu lalu mereka masih berbicang. Pagi, siang, dan sore mereka terus berdiskusi tentang politik. Tentang budaya. Tentang seni. Tentang filsafat. Kemunafikan, kebencian, dan kesesatan, mereka jadikan lelucon-lelucon segar. Tak penting, sekedar untuk tertawa. Tetapi, malam hari mereka tak pernah sempat berbincang.
"Banyak yang harus dikerjakan", katanya pada dinding."Aku harus menyelesaikan komposisiku. Konser diadakan empat bulan lagi. Tentunya aku harus memberi waktu pada para pemain untuk latihan. Kamu mau mengerti kan?"
Tiap hari berlalu seperti itu. Tidak pernah tidak. Tapi seminggu belakangan ini lain, sama sekali lain. Perbincangan yang menyenangkan itu hilang, dinding membisu, dan semangatnya menjadi tipis. Dinding-dinding itu tak pernah menyapanya lagi, tak pernah memanggilnya lagi. Lalu entah kenapa, inspirasinya tak lagi bisa mengalir. Rasa lapar, haus, dan kantuk juga tak lagi bisa dirasakannya. Yang diinginkannya hanya pembicaraan dengan dinding-dinding! Teman-temannya tak berhasil membujuknya, karena ia terus termenung. Apa boleh buat, akhirnya tak seorangpun mendekatinya. Dan ia terus sendiri. Sendiri bersama dinding-dinding yang membisu. Hidupnya seakan hilang, pikirannya mengambang. Dunia luar dinding sudah jelas tertutup baginya.
Sampai malam inipun, ia masih duduk termenung di pojok ruangan Kedua lengannya memeluk lututnya yang gemetar. Keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulitnya, bibirnya biru menutup rapat. Tiba-tiba suatu dorongan kuat muncul dalam dirinya. Dorongan itu membuat tubuhnya berdiri, dan rasa hampanya hilang dalam sekejap!
Lalu kedua tangannya merambah dinding-dinding, penuh kasih, penuh gairah.
"Aku tak bisa hidup tanpamu! Aku tak sanggup! Kembalilah padaku, dinding, aku ingin berjanji padamu saat ini. Aku berjanji tak akan lagi menghentikan pembicaraan kita, pagi, siang, sore, bahkan malam! Persetan dengan komposisiku! Aku tak akan lagi meninggalkanmu ke studio, ke gedung opera, ke supermarket, ke manapun! Aku tak akan keluar dari tubuh indahmu, dinding... Aku.... aku... mencintaimu!! Mmmuah... mmuaaach...!!!!!"
Kata-kata itu keluar dengan kuatnya, begitu kuatnya hingga mengubah dinding yang kelabu menjadi semu kemerahan.

270403 21:45 wib

 

 

1 komentar:

  1. semua bagus.hanya kalau bisa karakternya dan jalan ceritanya seperti tenggelamnya kapal van dewick.atau cintaku jauh dipulau/nyanyian cita dari laut tengah perjemahan.kalau puisi misalnya cintaku jauh dipulau.tapi teserah sang penulis yang penting.pembaca senang trikasih

    BalasHapus

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer