Sabtu, 30 April 2011

Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau

Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau itu--oleh Jafar G. Bua
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor

KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.

Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.

Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.

“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.

Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”

Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.

“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.

“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.

Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.

“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.

“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.

Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”

Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.

Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”

Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.

***


PANAS mulai membakar kampung itu. Perempuan muda tadi belum juga berhenti bicara. Sejujurnya aku tak bisa jenuh mendengarkanya berbicara di hadapanku. Siapa yang tak bersenang hati menjadi lawan bicara perempuan muda sepertinya. Cuma aku malu, karena aku telanjang. Benar-benar telanjang. Sementara perempuan muda itu, tubuhnya berbalut kain batik panjang. Di telinganya tersisip kembang liar. Ada giwang berbentuk hati tersemat di kedua anak telinganya. Namun ia tak jengah mengajakku berbicara. Bahkan sesekali ia memukul paha telanjangku. Atau mencubit pangkal lenganku, galibnya perempuan-perempuan muda berbicara dengan lawan jenisnya. Aku kian jengah.

“Bersama yang lain aku membantu perempuan dan anak-anak belajar melupakan duka lara mereka. Pertikaian bertahun-tahun ini memang telah membuat orang ramai saling melupakan. Aku sedih melihatnya. Ingin aku memaki-maki mereka yang telah mengobarkan api pertikaian ini. Tapi aku hanya seorang perempuan,” ucapnya lirih.

Aku kian merasa bersalah. Padahal dulu aku bangga menenteng senjata rakitan yang aku pelajari cara membuatnya dari seorang tentara yang tinggal di dekat rumahku. Ia pula yang mengajarkan aku bagaimana mengintai musuh dan berperang di malam hari. Katanya ia dulu seorang gerilyawan yang dilatih tentara Kujang Siliwangi untuk melawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) dan Pemerintah Republik Rakyat Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Ia mengaku kecewa ketika usai pemberontakan-pemberontakan itu mereka dicampakan oleh para pejabat Tentara Nasional Indonesia (TNI). Aku percaya apa katanya. Sebab di rumahnya aku melihat ia bergambar dengan sejumlah teman-temannya yang berbaju loreng dan menenteng senjata.

“Ya, aku tahu itu,” kataku pendek, setelah beberapa jenak aku terdiam.

Tiba-tiba ia berkata dengan suara keras, mengejutkan aku. “Semua orang pun tahu itu. Namun mereka justru menyebarkan permusuhan, mengobarkan pertikaian. Hasilnya, arang, abu dan jasad-jasad tak bernyawa yang dibawa hanyut sungai. Bahkan ada yang tak sempat diurusi keluarganya.” Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku lalu hanya bisa meminta maaf, sebab telah melukainya. Ia pun memahaminya.

“Aku paham. Tapi untuk menyelesaikan akibat itu semua, maaf saja tak cukup. Kita harus berbuat. Meski kita tahu, kita akan melalui masa-masa sulit sampai semua orang mampu memahami bahwa hidup yang damai itu lebih baik untuk untuk mereka,” katanya, mengajari aku.

***

MATAHARI kian tak bersahabat. Aku pikir ini hampir setengah dua belas siang. Terbakar rasanya kulitku yang telanjang ini. Benar-benar telanjang. Sementara ia tak jengah juga melihat ketelanjanganku. Apakah ia memang perempuan muda atau malaikat yang diutus menghukumku? Entah. Aku juga tak mau tahu. Sebab rasanya aku senang bisa bertemu perempuan muda yang cantik jelita itu.

Tiba-tiba di jalanan orang ramai berteriak, “hoi, para perusuh memasuki kampung. Cepat menyelamatkan diri.” Dari jauh terdengar gelegar senjata dan dentuman bom. Jalanan lebih ramai dari biasanya. Lalu lalang orang membuatku memperhatikan ke mana gerangan perempuan muda yang bersamaku tadi. Aku mencarinya di semak-semak, di kolong dangau, siapa tahu lantaran takut ia lalu lari bersembunyi. Namun ia tak ada. Ku sapu semak-semak dan bukit-bukit tanah di depanku, ku jelajahi saluran-saluran di antara petak-petak sawah, tak juga tampak batang hidungnya. Sementara kampung mulai menyala. Api berkobar di mana-mana. Lenguhan kerbau, juga cicit ayam menambah riuh. Aku pun turut lari. Masih dengan ketelanjanganku. Benar-benar telanjang.

“Oh, ada pula yang aku lupakan. Aku tak tahu siapa nama perempuan muda tadi. Siapa tahu aku bisa bersua dengannya kembali,” gumanku, sambil melayangkan pandangan di antara orang ramai. Ia tak juga tampak. Aku menyesal tak memperhatikannya tadi.

“Hoi, ayo lari. Semua rumah telah dibakar perusuh. Masjid, gereja, pura, wihara, klenteng, telah pula dibakar. Ayo lari. Sebab bukan tak mungkin giliran kita sesudahnya.” Tak tahu lagi aku, siapa yang berteriak-teriak itu.

Aku pun terus berlari, mengikuti arah orang ramai itu. Sebab sejatinya aku tak tahu kampung itu. Pagi tadi aku datang dan begitu saja berjalan-jalan. Pagi tadi aku serasa memang penduduk di kampung ini, namun siang ini aku benar-benar tak yakin. Bahkan apakah aku memang benar-benar bertemu dengan perempuan muda tadi, yakinpun aku tidak. “Aneh,” kataku, mengatasi suara riuh rendah di sekelilingku.
Cuma aku ingat kalau tadi ada yang mengkhotbahiku tentang perdamaian dan hidup berdampingan, tentang pertikaian ini dan segala macamnya. Itu saja, tak lebih. Untungnya aku pun teringat, siapa diriku. Aku dikuburkan di ujung kampung itu. Aku mati ketika sebutir peluru meluncur dari moncong sebuah senjata rakitan. Matinya aku membuat geger atau bisa jadi sadar orang ramai sekampung. Sebab selama ini, akulah yang membakar-bakar hati mereka untuk mengangkat senjata melawan orang-orang yang kusebut perusuh. Sementara aku tak yakin lagi sekarang, apakah mereka benar-benar perusuh atau akulah perusuh itu.

Poso-Morowali-Palu, Juni 2003

| Jafar G. Bua | Wartawan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu | Kini bekerja dan menetap di Palu | Cerita-cerita pendeknya dimuat di cybersastra.net | http://www.cybersastra.net | dan Harian Fajar, Makassar | http://www.fajar.co.id | e-mail: jgbua@jgbua.cjb.net atau jgbua@yahoo.com | Phone (0451) 455 719 | HP 0815 163 1379 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer