Sabtu, 30 April 2011

Dinner Pertama

Dinner Pertama - Agustinus Wahyono

Dikemas 12/04/2003 oleh Editor

Semangkuk bulan tergeletak di jendela apartemenmu. Pecahan-pecahan pelangi elektrik menggerayangi dinding-dinding gedung jangkung yang bertaburan di kotamu. Semenjak aku memasuki ruang apartemenmu, kamu telah membuat aku terpesona. Tata interior apartemenmu yang artistik, serba biru keunguan. Lampu tempel yang redup. Dadaku ikut berdegup. Hiasan dinding karyamu sendiri. Lukisan-lukisan dan foto-foto hasil jepretanmu. Atmosfir ruangan yang sejuk dan wangi. Mungkin memang telah kamu persiapkan sebelum kedatanganku tadi.

“Inilah tempat merenungku yang pernah aku ceritakan dulu pada Abang. Silakan Abang duduk. Abang mau minum apa?”

“Seperti dalam perbincangan kita, Say… aku minta juice jambu monyet saja.”

Kamu tersenyum. Senyummu begitu membuatku tersenyum. Alangkah anggunnya kamu, Say. Baru kali ini aku melihat keanggunanmu yang nyata. Sehari-hari biasanya kamu hanya berjins dekil, kaos oblong dan hem berukuran luas. Dandanan khas seniwati. Tidak neko-neko seperti peragawati atau yang merasa diri peragawati. Ya, malam ini penampilanmu pun anggun. Baju panjang biru laut berbahan lembut dengan dua tali di pundak kanan kiri. Rambut panjangmu lepas, lentur alami.

Kamu datang membawa dua gelas panjang seperti yang sering kutonton di film-film. Entah gelas apa namanya. Tapi tinggi, langsing dan lekukannya feminis.

“Silakan dicicip, Yang.”

Aku ingat, kamu sering menyebutku “Yang” atau berasal dari kata “sayang”. Mesra sekali sebutanmu itu. Aku sering kali berbunga-bunga bila kamu bilang begitu. Ah, biarlah dulu bunga-bunga itu. Aku mau mencicipi minuman olahanmu, Say. Bah! Juice jambu monyet sungguhan! Aku terbelalak.

“Kenapa, Yang? Aneh?”

“Di kota yang selalu bermandikan pecahan pelangi ini masih ada jambu begini?”

“Tidak sih. Tapi aku sudah menyimpan jambu ini puluhan tahun. Aku selalu meletakannya pada suhu yang dingin konstan agar tetap terjaga. Sebab, dulu, aku berangan-angan bahwa aku akan menikmatinya dengan seseorang yang bisa menghargai jambu ini seperti aku pun menghargai jambu ini.”

Lalu kamu tersenyum, dan duduk di sofa yang ada di hadapanku. Aduhai sekali. Kamu betul-betul membuatku tersenyum senang, Sayang. Kupandangi sosokmu lekat-lekat. Rambutmu yang panjang, ah, ingin rasanya kubelai. Ah, aku tidak tahan untuk tidak menyentuhmu, wahai pesona!

“Sayang, kamu cantik sekali malam ini.”

“Ah, Abang hanya ingin menyenangkan hatiku.”

“Jujur, malam ini aku merasa sangat istimewa sekali.”

Aku alihkan kerinduanku menyentuh pipimu yang putih mulus itu dengan mengambil gelas berisi juice jambu monyet itu. Kuseruput perlahan. Aku ingin sungguh-sungguh menikmati rasanya. Apakah kamu juga jago membuat juice, apalagi dari buah jambu monyet yang berusia puluhan tahun.

Slurp! Eh, enak! Sungguh! Benar-benar hebat! Mataku berbinar-binar sebagai mana ekspresi keriangan yang tercipta dari secicipan juice jambu monyetmu.

Kamu tersenyum manis, lebih manis dari juice jambu monyet yang mengisi dua gelas cantik kita.

“Say, aku bahagia sekali memandang pesonamu malam ini.”

“Abang belum melihat sewaktu aku bangun dari bobok sih. Serem!”

“Kamu bangun dari bobok, itulah aslimu. pasti asli, tanpa make up sialan itu.”

“Yang, aku nggak bisa pakai make up. Aku lugu banget. Nggak bisa dandan. Selama ini aku cuma fokuskan pada perawatan kulit saja.”

“Kalau begitu, aku tidur di sini saja ya, supaya bisa melihat wajah aslimu ketika kamu baru bangun tidur.”

“Idiiiih… Abang genit deh,” responmu sembari mencubit lenganku agak lama.

Aku meringis, menahan cinta yang mengalir dari cubitanmu. Kubiarkan saja begitu. Matamu melotot sedikit, tapi menambah pesonamu kian menggemaskanku. Dadaku berdebar kencang. Ingin rasanya aku mengambil jemarimu dan mencium di punggung telapak tanganmu yang putih mulus itu.

Semakin kubiarkan, cubitanmu tidak lagi terasa sebagai cubitan, tetapi seperti hendak memegang lenganku. Ah, aku semakin tidak tahan. Terpaksa kujamah jemarimu dengan jemari lenganku yang lain. Kuremas sesaat. Dadaku seperti tersiram air es. Nyes!

“Sayang, aku merindukanmu siang dan malam. Aku sering menitipkan salam terkangen yang pernah kumiliki itu. Kutitipkan lewat angin, rombongan awan, camar, layar perahu, lampu mercusuar, para pelaut, kapten kapal, para bajaklaut, atau apa saja, untukmu seorang.”

Aku masih meremas hangat jemarimu. Kadang kutempelkan di pipiku. Dan, telapaknya aku buka. Kuciumi, dan kutempelkan lagi di pipiku. Jemari yang mulus dan wangi. Kukumu terawat sekali tanpa memakai pewarna kuku.

“Bang, aku malu.”

“Malu?”

“Semalam aku nunggu Abang. Aku pengen nelpon Abang. Lalu aku melukis.”

“Pasti lukisanmu bagus.”

“Entahlah. Yang jelas, ada kerinduan yang teramat dalam yang aku tumpahkan disana.”

“Rindu untuk keluarga?”

“Bukan.”

“Untuk pacarmu?”

Kamu tersipu. Ah, malah ingin mencium pipi merah semu itu.

“Boleh aku tahu kamu kangen siapa?”

“Aku malu, Bang.”

“Pakai saja jaketku ini.”

“Tuh kan…”

“Lha katamu, malu. Memang bajumu itu anggun, tapi pundak mulusmu begitu… hmmmm… Gara-gara itu kamu malu?”

Kulihat kamu tersipu. Senyummu terus mengembang bagai kembang eidelwes. Rambutmu bergoyang-goyang. Hmmm… indah sekali.

“Sungguh, aku malu. Aku takut aku yang GR.”

“Aku juga GR kok. Kita sama-sama GR.”

“Aku kangeeeeeeen ama Abang!” jeritmu lirih sembari segera berbalik meremas jemariku.

“Aku juga kangen kamu, Sayang.”

“Tuh kan, Abang cuma mau menyenangkan aku.”

Ah, kamu begitu deh. Haruskah kubawakan orang-orang di sekitar rumahku agar mereka bersaksi di hadapanmu bahwasannya aku merindukan dirimu, Sayangku? Kurasa tidak perlu. Bisa bikin repot. Bisa mengganggu acara dinner pertama kita ini. Tetapi, maksudku, aku bicara jujur saja begitu padamu. Apa susahnya jujur, meski sepertinya aku harus menanggung malu padamu.

“Bang, aku kangen tenan ama Abang.”

Aduh! Aku meringis lagi. Kamu kangennya berduet dengan mencubit. Seperti tadi, dan ini lama juga. Aku malah pengen memelukmu segera. Toh hanya kita berdua dalam ruangan ini. Tidak ada siapa-siapa.

“Say, kita jadi dinner nggak nih?” kataku lirih, karena aku sedikit terpancing pada keinginan untuk memelukmu dan lain-lain.

“Oh iya! Sorry, Yang.”

Kamu melepaskan cubitan sayang itu. Aku merasa kehilangan. Ah, aku menyesal, kenapa mengingatkan soal dinner segala. Bukankah orang jatuh cinta biasanya kurang berminat soal makan? Ah, sayang sekali cubitan cinta itu telah berakhir.

Kamu menarik tanganku perlahan. Aku tahu maksudmu. Aku pun bangkit, dan berjalan ke arah yang hendak kita tuju. Mendadak aku mendekapmu dari belakang. Kulingkarkan kedua lenganku di pinggang rampingmu. Kukecup rambutmu. Hmmm harum.

“Aku rindu padamu, Say.”

“Mmmmm…”

Kemudian aku lepaskan lagi. Kamu menoleh ke arahku dengan rona agak cemberut. Barangkali kamu kecewa karena kemesraan itu cepat aku lepaskan.

“Kasihan masakanmu itu. Jangan sampai mereka menggigil, Sayang.”

Kamu tersenyum. Berarti kamu sudah paham maksudku tidak meneruskan kemesraan itu.

Beriring kita menuju meja mungil yang telah menunggu kehadiranku sejak aku di rumahku. Dua kursi telah menganga, menanti pantat kita menyumpalnya. Di sebelah kita ada jendela lebar, menampilkan lukisan asli panorama laut lepas dan gedung-gedung jangkung bertabur kunang-kunang. Panorama yang luarbiasa!

Kamu menghidupkan dua batang lilin di antara jarak kita. Syahdu. Lalu kamu bangkit, dan berjalan agak cepat keluar kursi. Satu per satu lampu-lampu elektrik kamu padamkan. Tinggal dua lampu tempel yang berada di dinding dekat pintu masuk kamar. Itu pun hanya sekadarnya saja. Rupanya kamu sengaja hendak membuat fokus temaram di meja makan mungilmu. Dua lilin merah jambu mulai meliuk-liuk, menjamu.

Aku masih menunggumu di kursi itu. Kamu berjalan ke arah satu set tape dect. Kamu menghidupkan sesuatu. Suara piano mengalun merdu. CD ‘Fall in Love with Classics’ yang baru kamu beli tadi pagi. Setelah itu kamu berbalik menuju tempat kita akan memulai dinner pertama ini. Dadaku berdebar-debar. Karena memang baru kali ini kita dinner di apartemenmu, sekaligus untuk membuktikan kepiawaianmu mengolah masakan.

“Sorry, Yang, agak lama.”

“Nggak apa-apa, Say. Kamu betul-betul romantis! Sudah anggun, romantis lagi!”

“Tuh kan. Abang paling pintar kalau sudah memuji.”

“Ehm, mending begitu, dan pujian Abang kan realistis dan relevan. Lebih mending lagi daripada memaki dan mengumpat habis-habisan.”

Kamu tersenyum saja. Selalu tersenyum. Ah, ingin rasanya aku mengulum senyummu itu. Ah, ingin!

Kamu sudah duduk manis di kursi makan. Perlahan tapi tegas kamu mulai mengambil piringku, dan menuangkan nasi di situ. Kulihat caramu menuangkan nasi, begitu hati-hati, sepertinya kamu tidak rela satu butir nasi pun terjengkang dari kerumunannya. Bentuknya pun kamu atur sedemikian indah, selayaknya sentuhan seniman meja makan. Setelah itu kamu serahkan padaku seraya menyuguhkan senyum manismu.

“Ehmmmm… terima kasih, Sayang.”

Kamu tersenyum lagi. Senyummu manis lagi. Aku lirik sedikit ke luar jendela yang menghadap laut lepas. Aku yakin, kapal-kapal di laut lepas dan mercusuar tua yang mengintip di jendela apartemenmu itu iri melihat romantisme ini. Biarkan saja mereka cemburu. Bukan urusan kita.

Ah, inilah acara dinner pertama kita. Begitu merasuk dalam sanubariku. Begitu mengaduk-aduk jutaan kata cinta yang telah sekian tahun mengendap dalam jiwaku. Berkali-kali aku menyesali diri, kenapa baru sekarang berjumpa denganmu, Say.

***

Kicau burung-burung membangunkanmu dari lelapmu. Kamu lihat burung-burung, entah dari mana, tiba-tiba bernyanyi di jendela apartemenmu. Kamu melongo pada panorama pagi di jendelamu. Kamu kucek-kucek matamu, memastikan penglihatanmu sendiri.

Ah, mungkin aku bermimpi semalam, pikirmu ketika menyadari sesuatu. Tetapi burung-burung itu nyata sekali.

Kamu melirik ke meja di depanmu. Dua gelas berisi juice jambu monyet masih utuh di situ. Kamu segera bangkit dengan kimono yang terbuka melambai-lambai, berjalan menuju meja komputermu.

“Say, sorry, Abang belum bisa datang pada acara dinner pertama kita malam ini. Tapi sungguh, Abang rindu mendayu-dayu padamu,” tulisanku masih terselip di sana dalam keadaanku offline.

Kamu cemberut.

******

babarsariyogya, 28/03/2003

1 komentar:

  1. wow.... cerita yang sangat panjanga dan bagus..... terima kasih ceritanya kepada Saya semoga bermanfaat

    BalasHapus

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer