Harga Sebuah Cinta
Oleh Paulus Eka Tanaya
Penulis adalah mahasiswa UK Petra Surabaya
Aku menoleh pada Jimmy yang kulihat asyik mengemudikan mobilnya. Aku takut! "Akankah dia tahu?" tanyaku dalam hati sambil memandangi wajah blasterannya.
"Ada apa?" tanyanya halus melihat tingkahku. Aku menggeleng.
"Ayolah, jangan begitu. Mamaku bukan monster yang akan menerkammu," katanya sembari memegang tanganku, memberiku dorongan kekuatan.
"Come on Tasya. Jangan memasang wajah seakan-akan kamu akan mengalami hukuman gitu dong," celetuknya. Alunan Bryan Adams kesukaanku mulai menyapa telingaku, membuatku merasa sedikit terhibur.
Mobil BMW itu mulai memasuki pekarangan yang luas. Perasaan rendah diri itu mulai muncul kembali.
"Kita turun," suara Jimmy seakan-akan memberi gong kematian padaku.
Aku mulai mengenalnya saat aku melaksanakan kerja praktik sehubungan dengan kuliahku. Mula-mula hubungan kami biasa aja. Namun semenjak Jimmy sering mengajakku keluar, aku mulai merasakan sikap Jimmy yang mulai berubah.
Aku tahu bahwa Jimmy menaruh perasaan padaku tapi aku juga sadar bahwa kami sangat jauh berbeda. Aku adalah seorang gadis dari panti asuhan kecil di pinggiran kota dan tak tahu asal-usul.
Kuliah pun berkat beasiswa yang kudapat dan biaya hidup kudapat dengan cara memberi les pada murid SLTP dan SLTA. Sedangkan Jimmy adalah anak semata wayang dari pengusaha besar di Surabaya.
"Tas, kamu percaya kan kalau kekuatan cinta akan mengalahkan apa aja?" ujarnya waktu itu. Saat ia memintaku menjadi pacarnya untuk kesekian kalinya. Aku mengangguk, setuju dengan perkataannya.
"Kekuatan cinta yang kita miliki akan mengalahkan perbedaan itu," katanya kemudian. Aku menunduk lesu, "Tapi Jim…"
"Tolong beri kesempatan padaku untuk membuatmu percaya padaku."
Lalu aku mulai memberanikan diri untuk membuka diriku atas cinta yang diberikan Jimmy padaku. Hubungan kami memang berjalan lancar ketika tiba-tiba Jimmy mengatakan akan mengenalkan aku pada mamanya sebagai bukti keseriusan hubungan kami.
Ketika mendengar hal itu, aku merasa hubunganku dengan Jimmy akan segera berakhir. Dan hal itu terbukti. Setelah dua minggu pertemuanku dengan mamanya, tiba-tiba ia menyuruh Jimmy untuk melanjutkan sekolah ke New York. Aku tidak lagi merasa terkejut akan keputusan mamanya yang kudengar dari mulut Jimmy.
"Aku tidak akan pergi," kata Jimmy.
"Mama seharusnya tidak memberi keputusan secara sepihak begini. Aku tahu semua ini cuma alasan mama buat memisahkan aku denganmu," lanjutnya kesal.
"Dengarkan aku. Tidak pernah sekali pun aku mengenal orang tuaku. Jujur aku ingin sekali merasakan kasih sayang mereka. Kamu jauh lebih beruntung. Jadi, janganlah kamu membuang keberuntungan itu. Orang tuamu kini hanya tinggal mamamu. Beliau memang keras tapi itu mama kandungmu. Dia akan melakukan apa pun yang terbaik untukmu," kataku.
"Mama ingin memisahkanku denganmu. Apa kamu tidak tahu itu? Atau kamu memang ingin mengakhiri hubungan ini. Makanya kamu mendukung keputusan mamaku?"
"Jangan salah sangka. Aku juga ingin hubungan ini tetap berjalan. Tapi apakah dengan kamu melanjutkan sekolah hubungan ini akan putus?" Aku menggeleng. "Kita masih bisa berhubungan. Apa salahnya kita membahagiakan orang tua kita? Percayalah, jika kita memang jodoh, pasti suatu saat kita bersatu lagi," lanjutku.
Tapi Tuhan, hatiku perih ketika mengatakannya. Kuatkan aku Tuhan. Ini demi kebaikannya.
Dear Diary,
Hari ini sudah hampir satu tahun aku memutuskan hubungan dengan Jimmy. Banyak surat dan e-mail yang dikirimkan Jimmy padaku. Namun tak satu pun yang kubalas. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya namun aku tak bisa. Mama Jimmy kemarin datang padaku dan ia kembali mengingatkanku akan perjanjian yang pernah kami sepakati.
Diary, setahun yang lalu aku mendapat kabar dari om Ridwan, dokter yang merawat bunda, pengurus panti asuhan. Katanya bunda terserang kanker dan harus segera dioperasi. Aku bingung. Berapa banyak uang yang harus kusediakan untuk menyelamatkan nyawa bunda?
Tapi memang Tuhan mempunyai rencana. Saat aku menanyakan biayanya di kantor administrasi, mama Jimmy mendengarnya. Beliau mengajukan kesepakatan yang tak pernah terlintas di benakku.
Mama Jimmy akan menanggung semua biaya untuk mengoperasi bunda dengan syarat aku harus menjauhi Jimmy. Untuk selamanya. Waktu itu aku bingung, Diary.
Di satu sisi aku sayang pada Jimmy. Di sisi lain bunda sedang tergolek lemas di ranjang rumah sakit, menunggu untuk dioperasi. Akhirnya kesepakatan itu terjadi. Mama Jimmy menyuruh Jimmy ke New York untuk sekolah. Dan, mamanya menyuruhku untuk mendorong Jimmy agar mau menuruti kemauannya.
Maafkan aku, Jim. Karena aku menghargai cinta kita hanya sebatas rupiah. Namun aku benar-benar terjepit. Apakah aku salah Diary?
Diary, hari ini aku mengirimkan fotoku bersama Leo, sahabatku, kepada Jimmy. Mungkin Jimmy akan benci padaku. Aku siap menerima kenyataan itu asalkan Jimmy melupakanku. Melupakan cinta yang dulu pernah kami rajut. Sekali lagi, maafkan aku Jimmy.
Cepat-cepat kuhapus air mata yang mengalir tanpa sanggup kutahan ketika mendengar pintu diketuk.
"Kamu menangis lagi Sayang?" tanya bunda menghapus sisa air mata di pipiku.
Aku tersenyum. Menggeleng.
"Cobalah mulai menata hidupmu di Jogjakarta. Kamu sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan besar di sana. Jangan menyia-nyiakan kesempatan ini anakku."
"Bunda, tolong jangan beritahukan alamatku di Jogjakarta pada siapa pun ya?"
Bunda tersenyum. "Sekarang lekas tidur agar besok tidak bangun kesiangan."
"Malam Bunda."
Surabaya, besok aku akan meninggalkan kota ini, kota dimana banyak kenangan manis dan pahit yang kualami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar