Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahasa Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 24 Februari 2011

Hikayat Hang Tuah


Pada suatu ketika ada seorang pemuda bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud yang bertempat tinggal di Sungai Duyung. Semua orang yang tinggal di Sungai Duyung mendengar kabar bahwa Raja Bintan sangat baik dan bijaksana terhadap semua rakyatnya. Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu,



“Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang besar itu. Agar kita bisa memperoleh pekerjaan.”

“Mungkin benar perkataanmu.” Kata Dang Merdu.

Pada malam itu Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmud pun terbangun dan segera mengangkat serta menciumi Hang Tuah. Seluruh tubuh Hang Tuah bau wangi-wangian. Siang harinya Hang Mahmud menceritakan mimpinya kepada anak dan istrinya. Setelah mendengar mimpi suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan anaknya.

Dang Merdu memakaikan pakaian dan ikat kepala serba putih untuk Hang Tuah. Dang Merdu juga memanggilkan para pemuka agama untuk membacakan doa selamatan Hang Tuah.

“Adapun anak kita dijaga baik-baik dan jangan main terlalu jauh.” Kata Hang Mahmud kepada istrinya.

Keesokan harinya, Hang Tuah pergi ke pasar untuk membelah kayu untuk persediaan. Tiba-tiba ada pemberontak yang datang. Semua orang lari karena takut dibunuh oleh pemberontak itu. Lalu pemberontak menghunuskan kerisnya ke Hang Tuah. Maka ibunya berteriak dari atas toko, “Hang Tuah, cepat lari ke atas toko !”

Hang Tuah mendengar perkataan ibunya, maka ia pun langsung bangkit menunggu amarah si pemberontak. Pemberontak itu datang ke Hang Tuah dan menikamnya bertubi-tubi. Hang Tuah pun lompat untuk menghindari serangan pemberontak itu. Hang Tuah mengayunkan kapaknya ke kepala pemberontak itu dan pemberontak itu pun mati. Semua orang heran melihat keberanian Hang Tuah membunuh pemberontak tiu dengan kapak. Seorang anak pun berkata, “Kelak dia akan jadi perwira besar di negeri ini.”

Terdengarlah berita ini oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekui. Mereka berlari dan segera bertanya kepada Hang Tuah, “Benarkah engkau membunuh pemberontak itu dengan kapak ?”

Hang Tuah hanya tersenyum dan menjawab, “Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak.”

Kemudian karena kejadian itu, baginda raja tidak khawatir lagi dan mensyukuri karena adanya Hang Tuah. Namun ada pegawai istana yang iri hati terhadap Hang Tuah. Orang itu bernama Tumenggung beserta para pengikutnya. Tumenggung beserta pegawai istana yang lain berdiskusi tentang bagaimana membuat raja benci terhadap Hang Tuah. Setelah diskusi itu, mereka pun segera menghadap raja.

Mereka berlutut di hadapan sang Raja. Tumenggung pun mulai bicara,

“Hormat tuanku, saya telah mendenngar banyak berita pengkhianatan tentang orang kepercayaan tuan. Mungkin tuan tidak akan percaya.”

“Katakan saja. Apakah orang itu Hang Tuah ?” Tanya sang baginda.

“Ya, benar. Hamba melihat Hang Tuah berbicara dengan seorang perempuan di istana ini. Hamba takut ia melakukan sesuatu terhadap perempuan ini.” Adu Tumenggung.

Setelah mendengar hal itu, sang baginda murka. Dan ia segera memerintahkan Tumenggung untuk mengusir Hang Tuah.

“Pergilah ! Singkirkan si durhaka itu !” Marah sang baginda.

Setelah kejadian itu Hang Tuah tidak pernah terdengar lagi. Namun ia tidak mati. Konon ia menjadi wali Allah dan ia berada di sungai Perak. Di sana ia menjadi raja segala Batak dan orang hutan.

 

Unsur Intrinsik :

1. Tema : Hang Tuah si Pemberani

2. Tokoh dan karakter : - Hang Mahmud => penyayang

- Dang Merdu => penurut

- Hang Tuah => cekatan, pemberani

- Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekui => selalu ingin tahu

- Baginda Raja => bijaksana, baik hati namun mudah terhasut

- Temanggung => iri hati

 

3. Unsur ekstrinsik : moral dan agama

 

Hikayat Si Miskin

Ada seorang suami istri yang dikutuk hidup miskin. Pada suatu hari mereka mendapatkan anak yang diberi nama Marakarma, dan sejak anak itu lahir hidup mereka pun menjadi sejahtera dan berkecukupan. Ayahnya termakan perkataan para ahli nujum yang mengatakan bahwa anak itu membawa sial dan mereka harus membuangnya.Setelah membuangnya, mereka kembali hidup sengsara. Dalam masa pembuangan, Marakrama belajar ilmu kesaktian dan pada suatu hari ia dituduh mencuri dan dibuang ke laut. Ia terdampar di tepi pantai tempat tinggal raksasa pemakan segala. Ia pun ditemukan oleh Putri Cahaya dan diselamatkannya.

Mereka pun kabur dan membunuh raksasa tersebut. Nahkoda kapal berniat jahat untuk membuang Marakarma ke laut, dan seekor ikan membawanya ke Negeri Pelinggam Cahaya, di mana kapal itu singgah.

Marakrama tinggal bersama Nenek Kebayan dan ia pun mengetahui bahwa Putri Mayang adalah adik kandungnya. Lalu Marakarma kembali ke Negeri Puspa Sari dan ibunya menjadi pemungut kayu. Lalu ia memohon kepada dewa untuk mengembalikan keadaan Puspa Sari. Puspa Sari pun makmur mengakibatkan Maharaja Indra Dewa dengki dan menyerang Puspa Sari. Kemudian Marakrama menjadi Sultan Mercu Negara.

Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin

#Tema            :Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.

#Alur               :Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.

#Setting/ Latar :

-Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.

-Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan,

#Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

#Amanat :

  • Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.

  • Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oranlain.

  • Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan  rendah hati.

  • Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.

  • Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

  • Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

  • Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.


Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin

1. Nilai Moral

  • Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

  • Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.


2. Nilai Budaya

  • Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.

  • Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.


3. Nilai Sosial

  • Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

  • Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.


4. Nilai Religius

  • Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

  • Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.


5. Nilai Pendidikan

  • Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

  • Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

Hikayat Patani

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu.

Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang lakilaki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa.

Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu. Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon."

Maka sembah segala menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga."

Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu."

Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung."

Arkian setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya."

Maka titah baginda: "Baiklah esok pagipagi kita berburu"

Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagipagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekirakira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menurut anjing itu.

Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing itu?"

Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini."

Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua lakibini duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya.

Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini."

Maka titah baginda: "Apa nama engkau?"

Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani."

Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu. Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masing-masing dengan ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai.

Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.

Unsur-unsur intrinsik karya sastra Melayu klasik tersebut.

Ada beberapa ciri-ciri yang dapat Anda identifikasi dari karya sastra Melayu klasik tersebut, di antaranya:

•menggunakan bahasa Melayu klasik

•menghubungkan cerita dengan kejadian alam atau tempat,

•berkisah tentang kerajaan (istana sentris)

Unsur-unsur Ekstrinsik

1.Tema adalah dasar cerita sebagai titik tolak dalam penyusunan cerita.
2.Alur atau plot adalah struktur penceritaan yang di dalamnya berisi rangkaian kejadian atau peristiwa yang disusun berdasarkan hukum sebab akibat serta logis. Alur tersebut ada yang berupa alur maju, alur mundur, atau alur campuran.
3.Penokohan adalah pelukisan atau pendeskripsian atau pewatakan tokoh-tokoh dalam cerita.

4.Latar atau setting merupakan tempat, waktu, dan keadaan terjadinya suatu peristiwa.
5.Amanat adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam cerita.

Hikayat 1001 Malam

Oleh : Fuad Syarifudin Nur

Pada suatu hari, tinggallah seorang Raja dengan permaisurinya di sebuah Istana megah. Sang Raja sangat kecewa terhadap istrinya yang selingkuh. Ia pun menaruh dendam yang sangat dalam terhadap permaisurinya, bahkan terhadap semua wanita. Setiap wanita dianggapnya tidak berbudi. Permaisuri dibunuhhnya untuk melampiaskan dendamnya itu. Setiap wanita yang mati, dibunuh olehnya. Setelah hampir habis wanita terbunuh oleh Raja yang kejam itu, sampailah giliran anak mentrinya. Sang mentri sangat sedih, karena bila ia tidak dapat mencarikan wanita untuk Raja, berarti ia akan dibunuh dan bila ia memberikan anak wanitanya, berarti anak wanitanya akan dibunuh.

Salah Asuhan

Oleh: Abdul Moeis

Corrie de Bussee, gadis Indo-Belanda yang cantik, lincah dan menjadi dambaan setiap pria yang mengenalnya. Corrie berteman dengan Hanafi dari sejak kecil. Hanafi sendiri adalah laki-laki muda asli Minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat- baratan. Bahkan cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Karena selalu bersama-sama akhirnya mereka saling mencintai. Tapi cinta mereka itu tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa, jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda dan sampai menikah, mereka akan dijauhi oleh para keluarganya dan orang lain. Corrie pun akhirnya pergi yang tadinya tinggal di Minangkabau menjadi di Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari Hanafi dan meneruskan sekolahnya di sana. Akhirnya ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu Hanafi, gadis Minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adat sukunya. Ibu Hanafi ingin menikahkan Hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yaitu Sutan Batuah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Tapi Hanafi awalnya tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Akhirnya dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena Hanafi tidak mencintai Rapiah, Rapiah hanya diperlakukan seperti babu di rumahnya. Mungkin Hanafi juga menganggap Rapiah itu tidak ada, jika banyak temannya orang Belanda yang datang ke rumahnya. Hanafi dan Rapiah dikarunia seorang anak laki-laki yaitu Syafei. Suatu hari, Hanafi digigit anjing gila, maka dia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi Hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Di Betawi, Hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu Hanafi dan Rapiah pun sangat sedih, tetapi walaupun Hanafi seperti itu, Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan Ibu Hanafi. Perkawinannya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, sampai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh Hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit Kholera dan meninggal dunia. Hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, Hanafi pun pulang kembali ke kampung halamannya dan menemui ibunya. Pekerjaannya Hanafi hanya termenung saja dan tidak terlalu bergairah. Hanafi sakit, kata dokter dia minum sublimat dan akhirnya dia meninggal dunia.

Unsur Intrinsik :

1. Tema          : Adat istiadat

2. Alur             : Alur maju

Novel ini menceritakan bagaimana awal Hanafi dan Corrie berteman hingga mereka meninggal

3. Setting           : Tempat : lapangan tenis di Minangkabau, rumah Corrie dan rumah Hanafi di Minangkabau, Betawi (Jakarta) dan Semarang

4. Suasana      : Penyesalan : Hanafi menyesal telah menyakiti hati Corrie

5. Perwatakan :

- Hanafi : egois dan keras kepala

- Corrie : baik dan mudah bergaul

- Rapiah : sabar dan lembut

- Ibu Hanafi : sabar

- Syafei : berani

6. Amanat         : Jangan memaksakan suatu pernikahan yang tidak diinginkan oleh pengantin tersebut, karena akhirnya akan saling menyakiti keduanya.

 

Unsur Ekstrinsik :

Nilai adat istiadat : Adat istiadat pada saat itu tidak memperbolehkan seorang wanita atau pria dengan perbedaan bangsa, bersatu untuk saling mencintai

Nilai pendidikan : Kepindahan Corrie ke Semarang untuk meneruskan sekolahnya disana

 

Mirza Buncis

Sebenarnya Jaya menunggu reaksi keras lagi kasar dari Mirza dengan jawabannya. Tapi ini lain, Mirza membisu. Menatapnya tenang seperti laut tanpa ombak. Akhir dari tatapan itu, dia tersenyum. Senyum yang tak bisa Jaya mengerti. Hujan pertama akhirnya jatuh pada November, setelah terserang gersang yang hampir saja meretakkan bumi. Bukannya menjadi anugerah buat Yani, tapi sebaliknya, membawa bencana. Dan semua itu karena ulah Mirza, Kawazaki Ninja-nya yang meraung masuk halaman sekolah, melaju seolah di jalanan umum. Genangan air yang kebetulan sejajar dengan posisi langkah Yani, digilas ban dengan sengaja, hingga air keruhnya terpercik ke seragam Yani.  Yani ingin berteriak, mencaci, menyumpahi, bahkan melemparnya dengan batu yang kebetulan tergeletak di dekatnya, tapi Yani merasa itu percuma. Di pihak Mirza, bukannya menghentikan motor lalu minta maaf, malah berbalik dan mengedipkan mata kiri ke arah Yani. Kedipan yang mengejek lagi sinis. Bukan hanya di mata Yani, hampir semua penghuni sekolah, utamanya cewek, menangkap sosok Mirza sebagai cowok kurang ajar. Mungkin lebih tepat lagi disebut bejat. Penampilannya saja sudah urakan, telinga dan hidung ditindik, rambut dicat pirang, ujung kemeja tak pernah masuk dalam celana, bahkan jarang dikancing, hingga otot-ototnya yang kekar nampak jelas terbalut kaos ketat. Melihat penampilan seperti itu di mal, mungkin wajar-wajar saja, tapi ini di sekolah. Meski statusnya sekolah swasta, ini tempat orang-orang yang ingin dididik. Namun swasta-nya itulah yang membuat Mirza bisa berbuat seenak perut. Papanya adalah pemilik yayasan sekolah ini, jadi guru pun tak berani “memberinya pelajaran” jika dia benar-benar telah kurang ajar. Mirza pun semakin mengannggap dirinya sebagai “tuhan”.

 

Oleh: S. Gegge Mappangewa

Rabu, 23 Februari 2011

SITI NURBAYA (Kasih Tak Sampai)

Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang terkemuka di kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih.
Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal itu tidak dikehendaki oleh rentenir seperti Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda Sulaiman. Maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yang lainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan tak sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Datuk Maringgih. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tak berdaya agar melunasi semua hutangnya. Boleh hutang tersebut dapat dianggap lunas, asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya, puterinya, kepada Datuk Maringgih.
Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh Datuk Maringgih. Yaitu menyarahkan puterinya Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgih untuk dijadikan istri.

Selasa, 22 Februari 2011

Legenda Sangkuriang

Pada jaman dahulu kala, di tatar Parahyangan, berdiri sebuah kerajaan yang gemah ripah lohjinawi kerta raharja. Tersebutlah sang prabu yang gemar olah raga berburu binatang, yang senantiasa ditemani anjingnya yang setia, yang bernama "Tumang".

Pada suatu ketika sang Prabu berburu rusa, namun telah seharian hasilnya kurang menggembirakan. Binatang buruan di hutan seakan lenyap ditelan bumi. Ditengah kekecewaan tidak mendapatkan binatang buruannya, sang Prabu dikagetkan dengan nyalakan anjing setianya "Tumang" yang menemukan seorang bayi perempuan tergeletak diantara rimbunan rerumputan. Alangkah gembiranya sang Prabu, ketika ditemukannya bayi perempuan yang berparas cantik tersebut, mengingat telah cukup lama sang Prabu mendambakan seorang putri, namun belum juga dikaruniai anak. Bayi perempuan itu diberi nama Putri Dayangsumbi.

Alkisah putri Dayngsumbi nan cantik rupawan setelah dewasa dipersunting seorang pria, yang kemudian dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang yang juga kelak memiliki kegemaran berburu seperti juga sang Prabu. Namun sayang suami Dayangsumbi tidak berumur panjang.

Suatu saat, Sangkuriang yang masih sangat muda belia, mengadakan perburuan ditemani anjing kesayangan sang Prabu yang juga kesayangan ibunya, yaitu Tumang. Namun hari yang kurang baik menyebabkan perburuan tidak memperoleh hasil binatang buruan. Karena Sangkuriang telah berjanji untuk mempersembahkan hati rusa untuk ibunya, sedangkan rusa buruan tidak didapatkannya, maka Sangkuriang nekad membunuh si Tumang anjing kesayangan ibunya dan juga sang Prabu untuk diambil hatinya, yang kemudian dipersembahkan kepada ibunya.

Ketika Dayangsumbi akhirnya mengetahui bahwa hati rusa yang dipersembahkan putranya tiada lain adalah hati "si Tumang" anjing kesayangannya, maka murkalah Dayangsumbi. Terdorong amarah, tanpa sengaja, dipukulnya kepala putranya dengan centong nasi yang sedang dipegangnya, hingga menimbulkan luka yang berbekas. Sangkuriang merasa usaha untuk menggembirakan ibunya sia-sia, dan merasa perbuatannya tidak bersalah. Pikirnya tiada hati rusa, hati anjingpun jadilah, dengan tidak memikirkan kesetiaan si Tumang yang selama hidupnya telah setia mengabdi pada majikannya. Sangkuriangpun minggat meninggalkan kerajaan, lalu menghilang tanpa karana.

Setelah kejadian itu Dayangsumbi merasa sangat menyesal, setiap hari ia selalu berdoa dan memohon kepada Hyang Tunggal, agar ia dapat dipertemukan kembali dengan putranya. Kelak permohonan ini terkabulkan, dan kemurahan sang Hyang Tunggal jualah maka Dayangsumbi dikaruniai awet muda.    Syahdan Sangkuriang yang terus mengembara, ia tumbuh penjadi pemuda yang gagah perkasa, sakti mandraguna apalgi setelah ia berhasil menaklukan bangsa siluman yang sakti pula, yaitu Guriang Tujuh.

Dalam suatu saat pengembaraannya, Sangkuriang tanpa disadarinya ia kembali ke kerajaan dimana ia berasal. Dan alur cerita hidup mempertemukan ia dengan seorang putri yang berparas jelita nan menawan, yang tiada lain ialah putri Dayangsumbi. Sangkuriang jatuh hati kepada putri tersebut, demikianpula Dayangsumbi terpesona akan kegagahan dan ketampanan Sangkuriang, maka hubungan asmara keduanya terjalinlah. Sangkuriang maupun Dayangsumbi saat itu tidak mengetahui bahwa sebenarnya keduanya adalah ibu dan anak. Sangkuriang akhirnya melamar Dayangsumbi untuk dipersunting menjadi istrinya.

Namun lagi lagi alur cerita hidup membuka tabir yang tertutup, Dayangsumbi mengetahui bahwa pemuda itu adalah Sangkuriang anaknya, sewaktu ia melihat bekas luka dikepala Sangkuriang, saat ia membetulkan ikat kepala calon suaminya itu. Setelah merasa yakin bawa Sangkuriang anaknya, Dayangsumbi berusaha menggagalkan pernikahan dengan anaknya. Untuk mempersunting dirinya, Dayangsumbi mengajukan dua syarat yang harus dipenuhi Sangkuriang dengan batas waktu sebelum fajar menyingsing.

Syarat pertama, Sangkuriang harus dapat membuat sebuah perahu yang besar. Syarat kedua, Sangkuriang harus dapat membuat danau untuk bisa dipakai berlayarnya perahu tersebut.

Sangkuriang menyanggupi syarat tersebut, ia bekerja lembur dibantu oleh wadiabalad siluman pimpinan Guriang Tujuh untuk mewujudkan permintaan tersebut.   Kayu kayu besar untuk perahu dan membendung sungai Citarum, ia dapatkan dari hutan di sebuah gunung yang menurut legenda kelak diberi nama Gunung Bukit Tunggul. Adapun ranting dan daun dari pohon yang dipakai kayunya, ia kumpulkan disebuah bukit yang diberi nama gunung Burangrang.

Sementara itu Dayangsumbi-pun memohon sang Hyang Tunggal untuk menolongnya, menggagalkan maksud Sangkuriang untuk memperistri dirinya.

Sang Hyang Tunggal mengabulkan permohonan Dayangsumbi, sebelum pekerjaan Sangkuriang selesai, ayampun berkokok dan fajar menyingsing ……. Sangkuriang murka, mengetahui ia gagal memenuhi syarat tersebut, ia menendang perahu yang sedang dibuatnya. Perahu akhirnya jatuh menelungkup dan menurut legenda kelak jadilah Gunung Tangkubanparahu, sementara aliran Sungai Citarum yang dibendung sedikit demi sedikit membentuk danau Bandung.

Minggu, 20 Februari 2011

Birahi Terlarang

Namaku Sonya Van Vossen. Entah mengapa Mamiku menggunakan nama keluarganya di belakang namaku, padahal ayahku bukan orang Belanda asli tapi keturunan Indonesia. Namanya Patrick Wibisono. Hal itu dilakukannya mungkin untuk mempertegas identitas kebelandaanku. Usiaku sembilanbelas tahun. Masih muda memang. Aku lahir dan dibesarkan di Rotterdam. Walaupun namaku Belanda, orang bilang aku ini lebih mirip dengan imigran Asia dibandingkan orang Belanda pada umumnya. Wajahku memang wajah oriental. Hidungku tidak mancung, rambutku tebal dan tidak sepirang Mamiku, hanya kulitku yang putih. Orang bilang hal yang paling menarik pada diriku selain kecantikan adalah pembawaanku yang tenang dan murah senyum. Tinggiku 170 centimeter dan berat 50 kg. Cukup ideal untuk seorang wanita. Aku berasal dari keluarga yang bahagia. Tetapi sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Papi meninggal pada saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Sejak itu aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayang seorang ayah, tapi untunglah sebagai anak semata wayang Mamiku sangat memanjakanku. Dia selalu mengabulkan setiap keinginanku. Setiap akhir pekan dia mengajakku berbelanja, berwisata atau sekedar jalan-jalan keliling Rotterdam. Semua kebutuhanku terpenuhi. Semasa kecilku dulu Mami selalu menyempatkan waktunya untuk mengantarkanku kursus balet dan piano. Aku juga suka menyanyi. Di sekolahku dulu aku selalu terpilih untuk mengikuti berbagai perlombaan nyanyi dan paduan suara. Aku juga aktif sebagai penyanyi di gereja tidak jauh dari rumahku. Sejak di sekolah menengah pertama aku juga sangat menyenangi kesusastraan. Berbagai novel, puisi, sampai naskah drama klasik maupun kontemporer kulahap habis. Selain menguasai Bahasa Belanda dan Indonesia, aku juga bisa berbahasa Inggris dan Jerman serta sedikit Bahasa Jawa. Aku menyelesaikan sekolah menengahku di Rotterdam. Dan sempat kuliah di Leiden, sebelum memutuskan untuk datang ke Indonesia. Sejak kecil Mamiku memang sering menceritakan tentang keindahan negeri leluhur Papiku itu. Daerah tropis yang kaya, sawah dan ladang yang hijau, dan sang surya yang selalu terbit sepanjang hari. Semua itu hanya ada dalam angan-anganku, sampai akhirnya Mami mengijinkan aku untuk cuti dari kuliahku dan mengunjungi Indonesia. Impianku akhirnya menjadi kenyataan. Aku juga sangat bersyukur, sahabatku Rita bersedia menjadi pemanduku yang setia mengelilingi negeri kepulauan yang ternyata sangat luas ini. Setibanya di Jakarta kami hanya sempat menginap semalam di rumahnya dan besoknya kami langsung ke Tasikmalaya dan Garut, kemudian ke Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya, dan akhirnya Bali. Sayangnya setiba di Bali, Rita harus cepat-cepat balik ke Rotterdam karena tidak bisa meninggalkan kuliahnya terlalu lama. Tetapi kesendirianku di Bali tidak berlangsung lama setelah aku berkenalan dengan seorang pemuda Indonesia asli yang simpatik, namanya Bagus. Lelaki yang akhirnya mencuri hatiku.
Sonya menutup catatan kisah pribadinya yang ditulisnya pada malam menjelang tidur setahun yang lalu, hari ketika pertama kali ia berkenalan dengan Bagus. Kini di malam ini, gadis itu masih terdiam dalam lara. Batinnya menangis. Haruskah kekasihnya itu terenggut darinya hanya karena pengakuan Om Bambang dan Tante Mirna yang sungguh tidak masuk di akal itu? “Pada saat aku menceraikan Mamimu, dia sedang mengandung. Dan waktu itu kami sepakat, Bagus akan ikut ayahnya sedangkan bayi yang dikandungnya akan ikut ibunya.” Begitu kata Om Bambang getir. “Maksud Anda…” ”Ya, kau adalah bayi yang dikandungnya waktu itu. Kau adalah putriku. Dan Bagus tidak mungkin menikahi adik kandungnya sendiri!” Begitulah jawaban Om Bambang siang tadi kepada Sonya dan Bagus. Bagus menertawakan lelucon gila itu, tetapi hati Sonya seperti disayat belati yang panas. Luka dan melepuh. Benar-benar gila! Mereka memang sudah kehabisan akal untuk memisahkan cinta Sonya dan Bagus. Sonya merasakan sejak semula Tante Mirna memang sangat membenci kehadiran dirinya dalam kehidupan Bagus. Kehadiran Sonya merupakan penghalang bagi ambisi isteri Om Bambang itu untuk menjodohkan anak tirinya itu dengan Sasha keponakannya. Namun yang membuat Sonya tidak habis pikir, mengapa Om Bambang ayah kekasihnya yang semula begitu baik padanya itu, ikut-ikutan dengan lelucon gila itu? Apakah Om Bambang telah dipengaruhi oleh Tante Mirna? Ataukah Om Bambang kini pun sudah tidak senang dengan kehadiran dirinya? Entah. Keinginan Sonya saat ini hanya satu, ia harus menanyakan langsung hal itu kepada Maminya di Rotterdam. Akan tetapi sampai kini Maminya tidak juga bisa dihubungi. Sejak siang tadi entah sudah berapa kali Sonya menelepon ke rumah maupun ke ponsel Maminya, tetap saja gagal. “Ayahku memang orang Indonesia, tetapi beliau lahir dan meninggal di Netherland. Namanya Patrick Wibisono. Beliau meninggal duabelas tahun yang lalu, ketika aku berusia 7 tahun,” kata Sonya mencoba menjelaskan kepada mereka siapa diri dia sebenarnya. Tapi sayang, Om Bambang dan Tante Mirna tetap tidak mempercayainya. Bahkan setelah Sonya memperlihatkan potret mendiang ayahnya itu, kedua orang itu tetap tidak mempercayainya. Om Bambang tetap bersikukuh. “Aku tidak mengenal siapa laki-laki yang kau sebut ayah itu, tetapi aku tetap yakin kau adalah putriku.” “Tidak, aku adalah putri dari Patrick Wibisono!” “Mamimu bisa saja menikah lagi setelah kembali ke Negeri Belanda, akan tetapi bayi yang dikandungnya sembilanbelas tahun yang lalu itu adalah anakku!” sanggah Om Bambang menatap tajam ke arahnya. Suaranya bergetar. Sonya memang tidak bisa membuktikan kalau Patrick Wibisono itu adalah benar-benar ayah kandungnya, akan tetapi Sonya dapat merasakan ia telah mengenal dan akrab dengan ayahnya itu sejak ia dilahirkan ke dunia ini. Ayahnya itu begitu menyayanginya, sayang ia terlalu cepat pergi untuk selamanya ketika Sonya masih begitu membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Apapun yang dikatakan oleh kedua orang itu, Sonya tetap yakin kalau ayahnya adalah Patrick Wibisono dan Michelle ibunya bukanlah wanita yang dikatakan Om Bambang sebagai mantan isterinya itu. Wajah lukisan wanita yang terpampang rapi di kamar Bagus itu sekilas memang sangat mirip dengan wajah Maminya, tetapi itu belum cukup bagi Sonya untuk meyakini kalau lukisan itu adalah benar-benar wajah Maminya. Di dunia ini ada begitu banyak orang yang mempunyai wajah yang mirip, walaupun mereka tidak punya hubungan kekerabatan sedikitpun. “Aku rasa kalian keliru,” sahut Sonya ketika itu mencoba meyakinkan. “Baiklah… Kalau kau tetap tidak yakin kalau aku adalah ayahmu, kau boleh menanyakan langsung kepada Mamimu. Kami juga akan menunggu kabar dari Mamimu, bahkan kalau perlu kau boleh mengajak Mamimu ke Denpasar,” kata Om Bambang ketika itu bijak. Dan saat itu juga Sonya berpamitan untuk pulang ke rumah kontrakannya. Bagus mencoba menahannya, “Sonya… Kamu nggak usah terburu-buru pulang, kamu bisa menelpon Mamimu dari sini.” “Maaf aku harus pulang sekarang, setelah menelpon Mami aku akan segera memberi tahu kalian,” elak Sonya. “Kamu nggak apa-apa kan?” tatap Bagus gusar. “Oh, nggak. Aku baik-baik aja kok,” jawab Sonya mencoba tersenyum. “Aku antar kau pulang.” “Nggak usah, aku akan menelponmu nanti.” Setelah memberi satu kecupan di pipi Bagus, Sonya segera berlalu dari hadapan pria pujaannya itu. Ia tahu hati kekasihnya itu hancur, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta yang telah mereka jalin selama setahun, sekarang tercabik. Jam di dinding berdetak duabelas kali, malam semakin larut. Angin malam serasa menusuk tulang. Sonya tetap tidak bergeming di tempatnya. Matanya terasa berat untuk dipejamkan, walaupun daster sutera yang dikenakannya telah siap menemani sampai ke peraduan. Dari jendela kamarnya, ia memandangi malam yang nampak hitam kelam tanpa gemerlap bintang. Mendung menggantung di angkasa, sebentar lagi akan turun hujan. Sesaat kemudian rinai-rinai hujan telah membasahi rerumputan halaman rumahnya. Sonya mencoba mengenang kembali awal pertemuannya dengan Bagus di Kuta Square. Ia tidak menyangka keinginannya untuk mengunjungi tanah kelahiran ayahnya, justru mempertemukannya dengan seorang pria yang akan menjadi kekasihnya. Pertemuan yang akhirnya diikuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, sampai akhirnya Sonya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sambil memperlancar Bahasa Indonesianya di Bali. Selama setahun, hari-hari indah telah mereka lalui berdua. Bagus begitu menyayangi dirinya, Sonya seperti menemukan kembali figur seorang ayah yang telah hilang belasan tahun yang lalu. Bahkan Bagus sering memperlakukannya seperti adiknya sendiri. Sonya merasa begitu tentram dan damai bersama kekasihnya itu. Mereka begitu menikmati indahnya cinta. Namun setelah Bagus menyampaikan niatnya untuk menikahinya, segalanya berubah drastis. Apa yang diungkapkan Tante Mirna diterima begitu saja oleh Om Bambang. Ia tidak mengerti bagaimana Tante Mirna bisa mengungkapkan hal yang tidak masuk di akal itu dan bagaimana pula sampai Om Bambang bisa menerimanya tanpa bukti yang jelas, kecuali mencocokkan tanggal kelahirannya dengan kepergian mantan istri Om Bambang ke Negeri Belanda. Begitu mudahnya mereka mengklaim dirinya sebagai putri Om Bambang yang entah di mana itu. Ia harus menerima kalau Bagus adalah kakak kandungnya, oleh karena itu mereka tidak mungkin menikah. Ia dipaksa mengakui hal yang tidak diyakininya sama sekali!
Sonya merebahkan tubuhnya di peraduan, ia merasakan keletihan yang amat sangat. Gadis ini berusaha menenangkan pikirannya, lalu perlahan dipejamkannya matanya walau terasa berat. Di tengah gemiricik air hujan, sayup terdengar suara deru mesin kendaraan di luar sana. Siapa gerangan? Sonya segera bangkit. Di balik keremangan lampu taman dan hujan yang mengguyur nampak sebuah VW biru metalik yang amat dikenalinya berhenti tepat di halaman depan rumah. Itu mobil Bagus. Dugaannya benar, seorang pria atletis keluar dari jok depan. Bagus nampaknya sendirian. Sonya bertanya-tanya. Ada apa dengan kekasihnya itu, tidak biasanya dia datang larut malam begini tanpa memberitahukan maksud kedatangannya terlebih dahulu. Atau mungkin dia takut Sonya tidak akan mengijinkannya berkunjung malam-malam begini, sehingga dia tidak menyampaikannya? Sonya melihat pemuda pujaannya itu berlari-lari kecil menuju teras. Hujan yang mulai deras itu pasti membasahi sekujur tubuhnya. Sonya buru-buru ke ruang tamu untuk menyambut Bagus. Dia pasti kedinginan kalau terlalu lama menunggu di luar. Sebelum Bagus memencet bel yang kedua kalinya, Sonya telah membuka daun pintunya. Sesosok pria tampan yang amat dikenalinya berdiri di ambang pintu. Senyumnya mengambang. Walaupun sekujur tubuhnya basah kuyup, pemuda itu tetap menebar senyum ceria, manis sekali. Seketika jantung gadis itu berdesir. “Hai…” sapanya mesra. “Hai…” balas Sonya tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. “Boleh aku masuk?” “Please…” sambut Sonya membuka pintu selebar-lebarnya. “Dalam keadaan basah seperti ini?” tanya Bagus bimbang. “Tidak mengapa, aku akan sediakan handuk dan pakaian untukmu,” jawab Sonya. “Trims.” Bagus melangkah masuk. “Aku ambilkan handuk untukmu.” Sonya segera menutup pintu, kemudian bergegas meninggalkan Bagus. Namun pemuda itu menghalangi, “Nanti saja, aku ingin bicara denganmu.” “Tapi, nanti kamu kedinginan. Sebaiknya kamu keringkan dulu tubuhmu baru kita ngobrol,” Sonya memberi saran. ”Nggak kok, sudah biasa,” tolak Bagus. Sonya mengurungkan niatnya, lalu melangkah ke hadapan Bagus. “Mengenai apa?” “Mengenai siang tadi,” jawab Bagus memulai percakapan. Sonya hanya terdiam. “Apa kamu masih mempercayai kata-kata mereka?” tanya Bagus sambil menatap kedua bola mata bening gadis itu. Sonya menarik nafas kemudian menghembuskannya pelan. “Aku tidak tahu,” jawabnya gusar. Sonya terdiam sesaat, lalu ia melanjutkan, “Sejak siang tadi aku berusaha menghubungi Mami tetapi selalu gagal.” “Kamu tidak perlu menghubungi Mamimu!” kata Bagus cepat. “Kenapa?” “Apa yang mereka katakan itu semuanya bohong. Mamimu pasti tidak akan mengakui cerita bohong itu!” kata Bagus berapi-api. Sonya hanya membisu. “Sonya… Mereka berusaha memisahkan kita berdua dengan segala cara, tetapi aku tidak sebodoh itu,” kata Bagus lagi dengan senyum sinis. Sonya tetap membisu. “Mereka hanya menduga-duga, lalu mengarang cerita dengan harapan kita mau mempercayainya begitu saja.” kata Bagus lagi mencoba meyakinkan gadis itu. Sonya tetap tertunduk dalam diam, kegalauannya memuncak. Bagus mengangkat wajah kekasihnya itu dengan lembut, “Kamu yakin dengan apa yang mereka katakan?” Sonya menggeleng. Bagus memegangi kedua pundak gadis itu, “Aku sangat mencintaimu, Sonya. Tidak ada yang bisa memisahkan kau dari aku meskipun dia orang tuaku sekalipun!” kata Bagus mantap. Sonya masih diliputi kebimbangan, “Bagaimana kalau apa yang mereka katakan itu memang benar?” tanya gadis itu risau sambil menatap kedua bola mata pemuda itu. Bagus menghela nafas, lalu, “Percayalah sayang, apa yang mereka katakan itu hanya untuk membatalkan rencana pernikahan kita.” “Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Sonya penuh harap. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk mengatasi masalah ini. “Segera menikah!” kata Bagus cepat. Sonya tersentak, “Menikah?” “Ya! Aku akan menikahimu walaupun tanpa persetujuan kedua orang tuaku. Aku rasa ini satu-satunya cara untuk menghentikan sandiwara yang penuh dengan kebohongan itu. Besok kita ke Singaraja, di sana aku punya seorang teman yang bisa membantu pernikahan kita!” kata Bagus bersemangat. “Itu tidak mungkin!” elak Sonya. “Mengapa?” “Kita tidak mungkin melakukan hal yang senekat itu. Aku harus menelpon Mamiku dulu. Aku khawatir…” Sonya tidak meneruskan kalimatnya. “Apa yang kamu khawatirkan?” desak Bagus. “Aku khawatir, apa yang dikatakan Papamu itu benar,” jawab Sonya pelan tidak bisa menyembunyikan kebimbangannya. Bagus kembali mengehela nafas kecewa, “Ah, Sonya… Kamu masih juga mempercayainya?” “Bukan begitu, aku rasa kemungkinan itu bisa saja terjadi pada kita,” kata Sonya berusaha berpikir logis. “Bull shit!” timpal Bagus sengit. “Kau telah termakan oleh kata-kata mereka!” katanya lagi. Sonya hanya terdiam. Emosi Bagus memuncak, “Baiklah. Kalau itu pilihanmu, apa boleh buat. Tapi satu hal, aku tetap tidak akan mempercayai apapun yang mereka katakan. Dan aku sudah bersumpah untuk menikahimu sekarang atau tidak sama sekali! Selamat tinggal!” Dengan sigap Bagus melangkah ke arah pintu dan membukanya. Sonya berusaha menghalangi, “Sudah larut malam, hujan belum reda. Sebaiknya kamu nginap di sini saja.” Bagus tidak menghiraukannya, pemuda itu tetap melangkah keluar. “Please…” Sonya memelas, tetapi pemuda itu tetap melangkah ke mobilnya. Sesaat kemudian VW biru metalik itu bergerak meninggalkan halaman rumah itu. Sonya hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian Bagus dari teras. Dadanya terasa sesak, tanpa terasa air bening telah mengalir deras membasahi pipinya. Setelah ayahnya, kini pria yang paling dicintainya itu pun telah pergi berlalu meninggalkannya sendirian dalam sepi. Sonya tetap tidak bergeming di tempatnya berdiri. Melihat itu Bagus membalikkan kendaraannya, seperti ada sesuatu yang menghalangi kepergiannya. Pemuda itu tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian. Ia khawatir kalau terjadi sesuatu pada gadis manisnya itu. Bagus kembali menghampiri gadis itu yang masih terpaku dalam diam. “Maafkan aku Sonya…” sahutnya parau. “Hujan semakin deras. Masuklah, nanti kau sakit,” bujuknya lagi lembut. Gadis itu tetap terdiam, hatinya galau dalam emosi. Bagus mencoba menenangkan, dipegangnya kedua bahu gadis itu, “Aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin melihat kau bersedih seperti ini.” Gadis itu menahan isak, lalu membenamkan wajahnya dan menangis di dalam dekapan kekasihnya itu. “Kumohon, jangan tinggalkan aku,” katanya terisak. Bagus memeluknya erat. Malam ini Sonya merasa begitu damai dalam pelukan Bagus. “Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu,” bisik Bagus terdengar begitu syahdu di telinga gadis itu. “Sungguh?” “Ya, mulai saat ini tidak ada lagi orang yang bisa memisahkan kita berdua!” Keduanya pun larut dalam emosi yang memuncak. Bagus merenggangkan dekapannya, lalu diangkatnya wajah gadis itu. Ia ingin melihat wajah kekasihnya itu. Kedua bola mata indah itu nampak sembab, air bening masih mengalir pelan di kedua pipinya yang merah padam. Bagus dapat melihat duka yang amat mendalam di wajah kekasihnya. Sesaat dikecupnya kening gadis itu lembut. Kemudian dipandanginya bibir pucat yang masih bergetar menahan tangis, lalu dikecupnya mesra. Gadis itu merasakan dadanya berdesir kencang. Ia tak kuasa menghindarinya. Pemuda itu memberikan kecupan kedua, dan kali ini gadis itu menyambutnya hangat. Seketika itu juga emosi mereka tak tertahankan lagi. Kedua bibir mereka terlanjur bertemu, gejolak darah muda dua sejoli yang tengah dimabuk asmara ini semakin menggelora. Perasaan rindu yang selama ini tertahankan, mereka tumpahkan malam itu. Sonya belum pernah merasakan cumbuan kekasihnya itu seperti malam ini. Satu-dua kecupan mesra tidak dirasakannya lagi. Pemuda itu mencumbuinya tidak seperti biasanya, begitu menggebu-gebu. Dalam beberapa saat tubuhnya telah terseret oleh desakan pemuda itu dan kini punggungnya telah tersandar ke dinding, namun pemuda itu terus mendesak dan menekannya. Sonya merasakan tubuhnya mulai basah oleh keringat. Sesaat pemuda itu menghentikan cumbuannya, napasnya tersengal-sengal. Keduanya saling pandang. Hujan semakin deras. Sonya merasakan tubuhnya terangkat, Bagus menggendongnya memasuki ruang tamu. Perlahan diturunkannya gadis itu di atas sofa, namun gadis itu tetap tidak melepaskan pelukannya. “Aku sangat mencintaimu, Sonya,” bisik pemuda itu dengan nada bergetar. “Jangan tinggalkan aku,” sambut Sonya penuh harap. Bagus memandangi bibir merah Sonya yang merekah, lalu dikecupnya. Gadis itu pun menyambutnya hangat. Percintaan mereka semakin alot sampai kegerahan memaksa mereka untuk menanggalkan satu per satu pakaian yang mereka kenakan, sampai tak ada selembar benang pun di tubuh mereka. Kini tak ada lagi yang menghalangi tubuh mereka untuk saling bersentuhan, keduanya begitu menikmati gesekan demi gesekan kulit mereka yang basah oleh peluh. Dalam keadaan yang serba polos itu keduanya saling mendekap, sampai akhirnya tubuh mereka pun bersatu. Derasnya hujan dan gelegar petir mengiringi setiap gerakan, peluh dan desahan dua orang anak manusia yang berlainan jenis itu.
Dari jendela kamar Sonya menyaksikan sang surya perlahan naik, bias sinarnya menyilaukan mata. Daster suteranya kini telah membalut tubuhnya kembali setelah semalam Bagus mencampakkannya di lantai. Diliriknya pemuda itu yang masih terlelap, nampaknya ia sangat letih setelah menghabiskan seluruh energinya semalam. Pemuda yang sangat dicintainya dan semalam telah menodai kegadisannya. Ia bimbang apakah ia harus menyesali apa yang telah mereka lakukan semalam. Yang pasti ia sangat menikmati setiap cumbuan dan keuletan pemuda itu. Apa yang selama ini tertahankan, segalanya telah mereka tumpahkan semalam. Ia merasakan pemuda itu telah mengekspresikan cintanya yang menggebu-gebu melalui keuletannya semalam. Tiba-tiba sepasang tangan kekar mendekap tubuhnya dari belakang, sebuah kecupan selamat pagi hinggap di pipi kanannya. “Kau baik-baik saja, sayang?” bisik pemuda itu lembut. “Iya,” jawab gadis itu pelan. Sonya membalikkan tubuhnya, kini ia dapat melihat wajah kekasihnya itu. Sesaat mereka saling bertatapan mesra. “Bersiaplah kita akan segera berangkat ke Singaraja untuk meresmikan perkawinan kita,” kata pemuda itu bersemangat. Seketika keceriaan pada wajah gadis itu memudar. “Kenapa? Apa kau belum siap?” tanya pemuda itu. Kegalauan nampak jelas di wajah Sonya, “Bukan itu. Terus terang aku masih khawatir kalau apa yang dikatakan Papamu itu memang be….” Sebelum Sonya meneruskan kalimatnya, Bagus buru-buru menempelkan jari telunjuknya ke bibir gadis itu, “Jangan ucapkan itu lagi, sayang.” Bagus mengangkat wajah murung kekasihnya itu sampai kedua wajah mereka saling bertemu. “Semalam kita telah melakukan segalanya. Siapapun kita dan apa pun hubungan di antara kita, yang jelas kita telah melakukan hubungan suami-istri. Sekarang kita tinggal meresmikannya dalam sebuah lembaga perkawinan. Ini harus kita lakukan karena aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku semalam. Aku tidak ingin kau hamil tanpa seorang suami.” Sonya melepaskan dekapan pemuda itu. “Tapi apa kata orang nantinya?” timpal gadis itu dengan suara bergetar, kedua bola mata beningnya berkaca-kaca. Kerisauan yang memuncak tergambar jelas di wajahnya yang putih bersih. “Persetan dengan mereka semua!” kata pemuda itu lantang tidak dapat mengendalikan emosinya. Sonya hanya diam, sesaat keduanya membisu dalam sepi. Bagus kembali mengangkat wajah gadis itu, “Sayangku… Kalau itu memang benar, kedua orang tua kitalah yang harus dipersalahkan karena mereka yang telah memisahkan kita sampai kemudian kita bertemu secara tak sengaja. Aku seorang pria dan kamu seorang wanita, kita bertemu dalam keadaan tidak saling mengenal sebagai saudara. Adalah hal yang wajar kalau kemudian kita saling jatuh cinta. Dan sekarang aku ingin menikahimu. Apakah itu salah? Semua ini tidak akan terjadi kalau kedua orang tua kita tidak memisahkan kita begitu saja tanpa adanya komunikasi sama sekali. Lalu, mengapa kesalahan mereka harus kita yang menanggungnya? Itu tidak adil, Sonya.” Mendengar penuturan Bagus, gadis itu tidak dapat lagi membendung air mata yang mengalir deras di pipinya. Hatinya begitu teriris dengan kenyataan pahit yang harus mereka alami. Bagus memeluknya erat, tangisnya ditumpahkan dalam dekapan pemuda pujaannya itu. Sesaat mereka larut dalam emosi. Setelah segala kekesalan mereka tercurahkan, pemuda itu berusaha meredakan kesedihan kekasihnya itu. Dibelainya lembut rambut hitam panjang yang tergerai, lalu, “Semuanya sudah terjadi sayangku. Tidak ada seorang pun yang dapat memisahkan cinta kita berdua. Sekarang mari kita hadapi bersama, apapun resikonya.” Sonya merasakan setiap sentuhan pemuda itu membangkitkan gairah cintanya. Diangkatnya wajahnya, lalu dipandanginya wajah tampan pemuda itu yang tersenyum manis padanya. “Percayalah, aku akan selalu bersamamu. Tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan kita,” kata pemuda itu meyakinkan. Sonya melihat kesungguhan di wajahnya. Kesungguhan itu perlahan mulai menyurutkan kegalauannya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kencang mengusir keresahan yang tadi mendera. Hatinya mulai terasa lega kini. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Ia sangat mencintai pemuda itu dan ia akan memberikan segalanya demi cinta mereka, apapun resikonya. Sekarang ia merasa perlu untuk lebih dulu mengecup bibir pemuda itu. “Terima kasih,” ucapnya lembut. Akhirnya kedua sejoli ini pun kembali terlena dalam buaian asmara. Sejuk udara pagi semakin menambah kegairahan mereka. Usia mereka memang masih terlalu muda untuk menahan gejolak asmara dan birahi yang memuncak. Pagi itu mereka melakukannya untuk yang kedua kalinya. Mereka tidak memperdulikan lagi sarapan pagi yang telah siap di meja samping tempat tidur. Sonya begitu menikmati desakan pemuda itu, bayang-bayang ketakutan dan kegelisahan yang tadi mendera telah hilang seketika di tengah deru nafas mereka yang terus berpacu. Kini ia tidak perduli lagi akan semua resiko yang mungkin akan terjadi, semuanya akan mereka hadapi bersama. Pemuda yang amat dicintainya itu kini telah menjadi miliknya dan tidak lama lagi akan menjadi suaminya. Meskipun demikian Sonya tetap berharap Maminya akan segera datang dan mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Om Bambang adalah tidak benar, sehingga Bagus akan menjadi suaminya yang sah.
Sonya tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti saat ini, sebentar lagi sebuah lembaran baru dalam sejarah hidupnya akan terbuka. Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menyandang predikat sebagai Nyonya Bagus, pemuda yang telah mengubah hidupnya dari seorang anak Mami yang manja menjadi seorang wanita dewasa. Pak Gani akan menjadi wali bagi Sonya, sedangkan sahabat mereka Hendra dan Reza telah siap menjadi saksi perkawinan mereka di hadapan Pak Rahmat sebagai Penghulu. Mereka merasa tidak perlu menceritakan persoalan mereka secara detail kepada keempat orang ini karena itu bisa menjadi penghalang rencana pernikahan mereka berdua. Yang mereka tahu rencana perkawinan mereka berdua tidak direstui oleh kedua orang tuanya masing-masing. Pak Rahmat merasa bertanggung jawab untuk segera menikahkan dua sejoli yang sedang dimabuk asmara ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi Pak Rahmat mereka terlihat terlalu akrab untuk sekedar dikatakan pacaran. Setelah memikirkan untung-ruginya, pria sentengah baya itu memutuskan untuk menikahkan mereka tanpa wali orang tua. Di salah satu ruangan di rumah Pak Gani, calon mempelai pria telah duduk di hadapan Sang Penghulu dan Pak Gani. Sementara Reza dan Hendra duduk di sampingnya. Siang itu Bagus mengenakan jas berwarna hitam dan hem putih dipadukan dengan dasi berwarna biru langit serta peci yang menutupi rambutnya. Kostum itu dipinjamkan oleh Pak Gani. Walaupun kelihatan kurang pas dengan postur tubuhnya, pemuda itu tetap kelihatan tampan dan rapi. Sedangkan Sonya sendiri yang sedang menunggu di kamar sebelah nampak begitu anggun dengan kebaya berwarna pink yang dipadukan dengan kerudung dengan warna senada. Gadis itu tidak bisa mengusir kegugupannya, keringat membasahi keningnya yang putih. Perasaannya galau dan bercampur-baur antara senang dan haru. Sesaat lagi mereka akan resmi sebagai suami-istri tanpa kehadiran kedua orang tua mereka. Ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi pada dirinya. Tapi, ah, sudahlah, semua sudah terjadi. Yang pasti, sebentar lagi aku akan menjadi Nyonya Bagus! batinnya mantap. Pak Rahmat menatap Bagus, “Nak Bagus sudah siap?” Pemuda itu mengangguk pasti, “Ya, saya siap.” Pak Rahmat tersenyum, untuk kesekian kalinya ia menikahkan dua sejoli tanpa kehadiran orang tua mereka masing-masing.
Ijab kabul baru saja akan dimulai ketika seseorang mengetuk pintu dan membukanya. Bu Ayu, isteri Pak Gani telah berdiri di ambang pintu, “Maaf… Nak Bagus, di luar ada orang dari Denpasar ingin segera bertemu. Katanya sangat penting.” Seketika Bagus tergeming, dipalingkannya wajahnya ke arah Bu Ayu. “Siapa dia?” tanyanya dengan wajah tegang, irama detak jantungnya tidak beraturan. “Katanya, Pak Bambang,” jawab Bu Ayu. Bagus bangkit dari duduknya, “Papa?” Ia tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Degup jantungnya semakin kencang. Di kamar sebelah, Sonya mulai gelisah. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Kalau dia memang orang tuamu, sebaiknya temuilah mereka dahulu,” kata Pak Rahmat bijak. “Pak Penghulu, aku minta nikahkan kami sekarang juga. Setelah itu baru aku temui mereka. Aku tidak ingin mereka menghalangi perkawinan kami,” pinta Bagus penuh harap pada Pak Penghulu. “Tidak mungkin, kamu tidak mungkin menikahi adik kandungmu sendiri anakku!” Suara lantang dari seorang wanita yang bukan suara Bu Ayu begitu membahana di ruangan itu. Seketika Bagus tersentak, matanya melotot. Seorang wanita bule tinggi semampai telah berdiri di samping Bu Ayu. Usianya sekitar empatpuluhan, namun masih kelihatan cantik dan anggun. Mata birunya berkaca-kaca. Sonya sangat mengenali suara wanita itu, keingintahuannya memuncak. Gadis itu tiba-tiba muncul dari pintu ruang sebelah. “Mami!” pekik Sonya seketika. Dia bukan saja terkejut oleh kedatangan Maminya itu yang secara tiba-tiba, akan tetapi lebih terkejut lagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Maminya barusan. “Kalian berdua adalah anak dari hasil perkawinan kami berdua,” sahut Pak Bambang pula tiba-tiba telah berdiri di sisi Sang Mami. “Sonya anakku… Apa yang dikatakan Pak Bambang itu benar, Bagus adalah kakak kandungmu… Kalian berdua lahir dari rahimku…” kata wanita itu lagi dengan suara tertahan. Mendengar itu, Sonya tergagap sesaat. Keterkejutan dan ketidakpercayaan bercampur baur dalam dirinya. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak, tidak mungkin Mami. Aku mencintai Bagus…” Gadis itu menahan isak, nafasnya terasa sesak. Bagus segera menggandeng tangan kekasihnya itu, “Tidak, kalian semua berdusta! Hari ini juga kami akan menikah, kalian tidak bisa menghalangi kami!” teriaknya sengit. “Mami mohon, sayang. Jangan lakukan…” pinta Sang Mami, terisak. “Semua ini adalah kesalahan Mami. Sejak bercerai dengan Papamu, Mamilah yang memutuskan hubungan dengan Papamu dan Bagus. Mami tidak menduga kalian akan bertemu di sini,” ratap Sang Mami berurai air mata. “Semua ini kesalahan kami berdua, kamilah yang pantas dihukum. Tapi sekali lagi kami mohon jangan lakukan perkawinan itu, kalian adalah anak-anak kami,” pinta Pak Bambang penuh harap. Sonya merasakan hatinya telah hancur lebur kini, kebahagiaannya musnah seketika. Dalam kekalutannya, gadis itu melepaskan genggaman tangan Bagus dan berlari meninggalkan mereka semua. Melihat itu wajah sang Mami pucat pasi, kepalanya terasa pening dan pandangannya gelap. Wanita itu jatuh pingsan dalam pelukan Pak Bambang. Bagus mencoba mengejar kekasihnya itu, namun Pak Rahmat menghalanginya, “Jangan, biarkan dia menenangkan pikirannya.” Semuanya memang harus berakhir…
Ya, semuanya memang harus berakhir. Itu keputusan kami berdua. Hubungan cinta kami memang tidak akan mungkin dapat dilanjutkan lagi. Terlalu banyak aturan dan norma yang harus kami langgar kalau hubungan kami tetap dilanjutkan. Status kami sebagai kakak-beradik yang lahir dari rahim yang sama harus kami terima sebagai suatu kenyataan yang tak dapat dibantah. Aku senang, Bagus akhirnya mau menerima kenyataan ini, walaupun sangat berat baginya. Mungkin ia tidak mengetahui aku pun mengalami kekecewaan yang sama, bahkan mungkin lebih menyakitkan. Aku berusaha untuk tetap tegar menghadapi semua ini. Seandainya saja mereka tahu betapa hancurnya hatiku ini ketika mengetahui pria yang sangat aku cintai dan telah aku serahkan sepenuhnya diriku padanya sebagai bukti cintaku, ternyata adalah saudara kandungku yang tidak boleh aku nikahi dan menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Itulah kenyataan pahit yang harus kami terima. Dan aku sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya. Biarlah waktu yang membawaku pergi dari kenangan indah yang berakhir duka ini.
Bagus mempercepat langkahnya, pesawat Garuda tujuan Amsterdam setengah jam lagi tinggal landas. Suasana di terminal keberangkatan malam itu cukup ramai, namun ia tetap berusaha melemparkan pandangannya ke semua arah sampai akhirnya pandangannya tertuju kepada seorang gadis yang dicarinya. Bagus mencoba mengejar sebelum gadis itu masuk ke ruang tunggu keberangkatan. “Sonya!” sahutnya lantang. Gadis itu menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Tatapannya nampak sayu, awan mendung masih menggantung di wajahnya. “Aku mohon kamu membatalkan keberangkatanmu sambil menunggu Mami vit kembali dan kalian bisa berangkat bersama,” pinta Bagus penuh harap. Gadis menggelengkan kepala. “Aku harus segera berangkat. Tidak apa Mami menyusul belakangan,” kata gadis itu dengan suara tertahan. Emosinya terpancing, kedua bola mata indahnya berkaca-kaca. Akan tetapi ia berusaha agar air bening itu jangan sampai jatuh ke pipinya. Air matanya sudah terlalu banyak terbuang. Ia juga tidak ingin pemuda yang amat dicintainya ini bersedih melihat penderitaan batinnya. Ia berusaha tersenyum walau terasa pahit. “Please…” pinta Bagus lagi. Gadis itu kembali menggeleng, “Aku baru saja mendapat tawaran untuk mengajar Bahasa Indonesia di Leiden, aku tidak ingin membuang kesempatan ini.” Bagus menghela nafas, “Baiklah kalau begitu, aku ingin memberikan bingkisan ini untukmu.” Pemuda itu menyodorkan bingkisan kecilnya. Sonya menyambutnya, “Terima kasih. Setibanya di sana aku akan berkirim surat kepadamu.” Bagus mengangguk tersenyum, “Jaga dirimu baik-baik.” Sesaat keduanya saling bersitatap mesra. Sonya memberikan kecupan perpisahan, Bagus menyambutnya hangat. “Aku tidak akan bisa melupakanmu, Sonya,” kata Bagus getir. “Aku juga,” balas gadis itu dengan suara bergetar. Mereka tidak bisa membayangkan kerinduan yang akan mendera. Mereka pun kembali larut dalam emosi. Keduanya berpelukan erat, cukup lama. Bagus lalu merenggangkan dekapannya. Kini giliran dia yang harus memberikan kecupan perpisahan, dan Sonya menyambutnya antusias. Bibir mereka kembali bertemu. Seperti magnet, keduanya kembali terlibat dalam ciuman panjang seakan tak ingin lepas. Sampai akhirnya Sonya tersadar. “Cukup, sayang,” elaknya halus sambil melepaskan dekapan Bagus. “Oh, maafkan aku.” Bagus segera sadar apa yang mereka lakukan barusan di depan orang banyak. “Kau tidak boleh mencium adikmu seperti ini,” kata gadis itu tersenyum. Bagus ikut tersenyum pahit, “Ya, kau benar.” Sonya segera meraih tas jinjingnya, “Selamat tinggal.” Gadis itu segera berlalu meninggalkan Bagus, meninggalkan semua kenangan indah dan pahit yang telah mereka lalui bersama. Ia sudah memutuskan untuk kembali ke negeri kelahirannya dan berharap tidak akan bertemu lagi dengan kekasihnya itu.
Sebulan kemudian Bagus menerima surat dari Negeri Belanda :
Dear, Bagus.
Aku bersyukur karena aku bisa memenuhi cita-citaku untuk menjadi seorang guru. Kini aku telah aktif kuliah lagi sambil mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Leiden. Aku berharap semua ilmu yang aku dapatkan selama berada di Indonesia bisa aku manfaatkan di sini. Sayangku, terus terang sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, melupakan semua yang pernah kita lakukan. Masa-masa indah kita berdua di Kuta, Tanah Lot, Nusa Dua, Ubud, dan di kamar tidurku. Aku masih selalu berharap kau ada di sisiku, membelaiku, mencumbuku, menggendongku, dan meniduriku. Kau selalu ada dalam fantasiku. Aku amat sangat mencintaimu, karena itu aku harus meninggalkanmu. Kita diciptakan bukan untuk saling mencintai sebagai sepasang kekasih tetapi sebagai kakak dan adik. Untuk melupakan semuanya, hari-hariku kuisi dengan berbagai kegiatan yang sangat padat. Aku berharap suatu saat kelak kita akan berjumpa lagi setelah kita menemukan pasangan hidup kita masing-masing dan mempunyai anak yang lucu-lucu. Semoga. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Sekian.
Dari adikmu, Sonya

14 Nopember 2000
William Makanja Dikemas 12/04/2003 oleh Editor

Belahan Hati

She’s my soulmate. Itulah yang selalu ada dalam pikiranku akhir-akhir ini. Semenjak aku tidak berhubungan lagi dengannya, aku merasakan rindu yang mendalam.
Aku seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di kota ini. Teman-teman memanggilku dengan julukan "marmud". Entah apa maksudnya. Tapi nggak masalah, yang penting keakraban.
Musim panen telah tiba. Ujian yang diselenggarakan oleh setiap kampus menelurkan bibit mahasiswa baru. Seperti biasa, calon mahasiswa harus meminta izin pada para penghuni lama. Mereka harus kenal dengan seniornya. Mereka berusaha mendapatkan tanda tangan. Itulah tradisi yang biasa kami jalankan setiap tahun.
Wow, pandanganku terpaku pada seseorang yang berdiri di tengah kerumunan calon mahasiswa.
"Yud, kamu tahu cewek rambut panjang yang pakai kacamata itu? Kayaknya aku pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana ya?"Yudi menjawab, "Ah, itu mah dejavu! Aku juga sering mengalami hal seperti itu," katanya.
"Iya, tapi yang ini lain!" timpalku. "Hei Mud, udah deh, nggak usah ngayal melulu. Entar juga kan dia nyamperin kita buat minta tanda tangan. Kalau kamu memang udah kenal dia, kita lihat aja nanti," kata Yudi.
Hingga masa perkenalan selesai, aku belum kenal sama dia. Nggak terasa satu semester aku lalui dengan hasil yang cukup memuaskan. Semester genap sudah berjalan dua minggu, tugas-tugas kuliah menumpuk.
"Permisi Mas, selamat malam."Di saat aku lagi sibuk dengan tugas-tugas kuliah, seseorang berdiri di balik pintu dan tersenyum.
"Lagi ngapain? Serius amat sih?"Aku nggak tahu harus ngomong apa.
"Kok nggak dipersilakan masuk?"Setengah sadar setengah nggak, aku mempersilakan tamuku masuk. Aku sungguh nggak menyangka. Saat itu, aku hampir melupakannya. Eh, malah dia muncul di depan pintu kamarku.
"Tahu alamatku dari mana?""Dari teman-teman," jawabnya.
Lalu kami berkenalan. Dia biasa dipanggil Nyaa oleh teman-temannya. Kami ngobrol panjang lebar. Dia seperti sudah kukenal sebelumnya, obrolan kami nyambung.
Ternyata, tujuan utamanya datang ke tempat kosku adalah untuk pinjam gunting. Katanya untuk mengerjakan tugasnya. Yang aku nggak habis pikir, kenapa nggak pinjam ke teman lain. Ah, tapi itu nggak penting. Yang penting aku bisa kenalan dengannya. Sungguh, bergulirnya roda nasib memang nggak bisa diprediksi.
Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Satu semesterpun berlalu. Ujian akhir semester juga sudah selesai. Hasilnya cukup memuaskan meski agak berat. Ini semua tak lepas dari bantuannya. Kami saling membantu dalam hal apa pun. Hubungan kami sudah seperti kakak adik saja. ***Sudah setengah tahun. Sekarang dia tinggal di luar kota. Kami masih berhubungan via telepon atau SMS.
Suatu hari ketika aku meneleponnya. "Mas, main ke rumah dong!" Nada bicaranya penuh harapan.
Aku menjawab, "Aduuh, Nyaa. Sekarang aku nggak bisa. Kamu tahu sendiri kan, liburan ini aku kerja."
"Sudah kuduga, pasti nggak mau main ke rumah," balasnya lalu menutup telepon.Aduh, gawat. Akhirnya tekadku bulat. Akhir bulan aku gajian dan berangkatlah aku naik kereta api.
Aku sampai di rumahnya meski harus mencari-cari dulu alamatnya. Benar-benar nggak aku duga. Keluarganya baik, ramah, aku merasa seperti keluargaku sendiri. Sayang aku hanya menginap dua hari di rumahnya. Setelah aku pulang, aku tetap menelepon dia. Bahkan bisa beberapa kali sehari. ***Hubunganku dengan Nyata sudah berlangsung satu tahun. Aku benar-benar merasa yakin bahwa dialah pasanganku.
Malam Valentine, aku membuatkan film animasi yang bercerita mengenai kisahku dan dia selama ini. Kukemas film itu dalam sebuah CD yang imut.
Kami sudah janjian untuk bertemu di tempat kosnya jam sembilan malam. Waktu itu turun hujan gerimis. Dengan pakaian agak basah kutekan bel. Ting tong!
Di dekat tempat kos Nyaa, sebuah mobil terparkir. Aku nyaris pingsan, dua orang keluar dari mobil sambil mengenakan jaket. Nyaa dan seorang cowok yang pernah aku lihat di kampus tetangga.
Melihatku, Nyaa berlari menghampiri. Dengan agak gugup dia berkata, "Maaf."Aku nggak banyak berkata-kata. Kuberikan bingkisan kecilku. Aku nggak jadi mengungkapkan isi hatiku.
Malam itu begitu dingin. Hujan pun semakin deras. Aku pamit pulang. Tengah malamnya, dia meneleponku sambil mengucapkan terima kasih. Dia memberitahuku bahwa cowok yang tadi bersamanya adalah pacarnya.***Hari demi hari kulalui dengan biasa-biasa saja. Aku sudah jarang berhubungan dengan Nyaa. Paling-paling SMS. Tapi kadang-kadang aku masih percaya kalau dia itu pasangan jiwaku. Entah benar atau nggak. Karena, dia sulit untuk dilupakan meski kini sudah dua tahun berlalu.

Oleh: Yahya Rifandaru
Penulis adalah mahasiswa ITS

Bayang-Bayang

Si Dali bukan orang biasa. Sudah jadi tokoh. Bahkan tokoh luar biasa. Hidupnya selalu dalam cahaya yang bersinar terang. Gemerlap dengan warna-warni yang aduhai indahnya. Lebih dari pelakon utama di atas panggung sandiwara.
Karena pelakon Julius Casar, atau King Lear, atau Macbeth hanya gemerlap pada sebatas bidang panggung. Apalagi bila layar panggung telah turun atau di luar gedung sandiwara para pelakon kembali jadi manusia biasa. Adakalanya mereka menjadi seperti orang kere yang selesai melakonkan Gatotkaca pada wayang wong masa lalu. Sedangkan Si Dali berada seperti pada panggung dunia yang tak lagi dibatasi oleh sepadan negara. Kata orang, Si Dali jadi begitu karena dia tidak pernah hidup dalam kegelapan. Kegelapan malam maupun kegelapan siang. Artinya dia hidup selalu dalam terang benderang, penuh cahaya.
Makanya Si Dali terus diiringi bayang-bayang. Bayang- bayang yang banyak. Ada yang pendek ada yang panjang, ada yang gemuk ada yang kurus. Tentu saja kemanapun dia pergi selalu diiringi bayang-bayang. Karena memang bayang-bayang itu bayang-bayangnya sendiri. Sebagai bayang-bayang, bayang-bayang itu senantiasa meniru apa saja yang dilakukan Si Dali. Baik Si Dali makan atau tidur, jalan-jalan atau berzina.
Tak sekalipun bayang-bayang itu terpisah dari dia. Dan Si Dali yakin benar, bayang-bayang itu ada karena dia.
Tanpa dia, bayang-bayang itu semua sirna. Karena itu semua bayang-bayang memerlukannya. Sangat memerlukannya. Berbeda dengan orang lain, yang tidak pernah peduli dengan bayang- bayangnya sendiri. Karena mereka suka hidup bergelap-gelap di tempat gelap. Seolah-olah bayang-bayang tidak menjadi makhluk penting. "Bayangkan", kata Si Dali pada bayang- bayangnya sendiri ketika dia lagi nongkrong di closet: "Jenis manusia apa yang hidup tanpa bayang-bayang, selain manusia gelap yang suka bergelap-gelap?"
Si Dali juga membiarkan bayang-bayang menirukan dengan amat persis apa saja yang dilakukan Si Dali. Apa salahnya bilamana semua bayang-bayang itu meniru apa yang dilakukannya. Karena peniruan tidak merugikannya. Bagaimana pun persisnya peniruan itu, satu hal yang tidak akan diperoleh bayang-bayang, yaitu serba kenikmatan yang diregup Si Dali. "Tirulah oleh kalian serba apa yang aku lakukan, tapi jangan coba-coba berkhayal akan ikut menikmati apa yang aku regup. Karena serba kenikmatan bukan hak kalian. Itulah adalah aksioma."
Kegemerlapan hidup Si Dali yang terang-benderang itu sampai juga ke telinga istana. Lalu raja memanggil perdana menteri dan menanyainya.

"Benar, Paduka." jawab perdana menteri, yang tahu benar kemana ujung ceritanya.
"Bunuh dia." perintah raja.
Setelah merenung perdana menteri berkata: "Apa Paduka tidak ingin melihat lebih dulu macam apa Si Dali itu?"
"Kalau begitu tangkap dia. Bawa kesini." kata raja. "Membunuh dan menangkap orang memang kekuasaan Paduka. Tapi jika dia dibunuh atau ditangkap, dia akan jadi lebih besar dari kadarnya. Dia akan menjadi mitos sejarah. Dengan mitos itu rakyat terbius untuk berdemonstrasi. Bayangkan, Paduka. Demosntrasi masa ini biadabnya bukan main."
"Maksudmu?"
"Undang dia. Rangkul dia. Supaya Paduka tetap lebih besar dari Si Dali."
"Kalau begitu undang dia. Elu-elukan seperti mengudang gladiator atau artis top." kata raja.
Si Dali bukan tidak berpikir dengan asumsi. Menurutnya dia akan diangkat jadi warga kehormatan negara. Barangkali sekurang-kurangnya menjadi Perdana Menteri atau Menko seperti yang berlaku di Indonesia. Tapi jabatan itu membutuhkan lidah yang panjang dari akal. Maka dia akan menolaknya. Demikianlah ketika Si Dali sampai di istana, dia disambut oleh barisan pagar ayu yang berdada busung dan berpantat tonggeng seperti penari jaipong. Ruang istana bermandikan cahaya gemerlap. Raja dengan pakaian bermanik dan berbintang lapis-berlapis pada kiri-kanan dada, bahkan sampai ke perut buncitnya. Raja menanti di tengah ruangan yang luas. Begitu megah dan perkasanya raja dilihat oleh Si Dali. Lebih mempesona daripada raja ketoprak yang dili- hatnya di televisi.
Cahaya lampu yang bersinar marak di ruang itu, tidak memberi bayang-bayang pada raja. Tapi di dinding penuh berjajaran para pejabat kerajaan dengan isteri masing- masing. Itulah bayang-bayang raja, pikir Si Dali. Tiba-tiba seluruh lampu meredup. Lampu sorot dari dinding kiri menyinar tajam ke arah ratu yang muncul di ujung ruang. Bayang-bayang mengiringi. Raja memperkenalkan Si Dali kepada ratu. Si Dali membungkuk ketika bersalaman. Tapi bayang-bayang Si Dali seperti memeluk erat bayang-bayang ratu. Keduanya jatuh bergumul di lantai. Si Dali memandang berkeliling. Di sepanjang dinding terlihat seperti bayang-bayang hitam, yang seperti menatap ketiga orang yang berada di tengah ruang. Ketika semua lampu menyala kembali, Si Dali tidak melihat bayang- bayangnya. Bayang-bayang ratu pun tidak. Sampai pulang pun bayang-bayangnya tidak mengikutinya. Dan ketika dia menyalakan lampu di ruang tamunya, dia melihat bayang-bayang raja yang bertubuh buntal duduk mengalai di sofa.
"Kamu bukan bayang-bayangku." kata Si Dali. "Mestinya kamu bersama raja. Mengapa kamu di sini?"
"Aku kesal. Muak. Sakit hati. Raja punya banyak bayang-bayang. Semuanya berlidah panjang. Sehingga aku yang setia sejak waktu lahirnya, tidak diperdulikan lagi." kata bayang-bayang raja itu.
"Terus?"
"Ketika aku lihat bayang-bayang kamu mengikuti bayang- bayang ratu, sehingga kamu kehilangan bayang-bayang kamu sendiri, aku pikir kebih baik aku ikut kamu. Karena kamu toh perlu bayang-bayang. Aneh bin ajaib kalau seorang tokoh seperti kamu tidak punya bayang-bayang." kata bayang-bayang itu.

Sebagai seorang tokoh besar yang senantiasa punya gagasan diluar jangkauan manusia kebanyakan. Kemudian Si Dali menawarkan pergantian posisi kepada bayang-bayang raja. Dia jadi bayang-bayang raja dan bayang-bayang raja jadi dia. "Kamu ingin jadi bayang-bayang raja?" tanya bayang- bayang itu.
"Oh, tidak. Sampai mati pun aku tidak mau. Aku cuma mau menyamar jadi kamu. Selama satu hari saja. Oke?"
"Oke."
Sebagai bayang-bayang, Si Dali begitu leluasanya masuk istana yang berlapis-lapis pengawalannya. Leluasa pula memasuki seluruh ruang yang banyak dan beragam-ragam disain dalam istana itu. Semua megah, bahkan spektakuler. Ada ruang seperti yang ditemui dalam film Star Trek. Ada yang seperti taman dalam film The Last Day of Pompeye. Namun tidaklah begitu menakjubkan mata Si Dali.
***
Ketika Si Dali yang lagi menyamar dalam bentuk bayang- bayang raja memasuki Ruang Sidang Kabinet, kabinet lagi bersidang dibawah pimpinan perdana menteri. Persis di waktu perdana menteri sedang berkata: "Nah, Tuan-Tuan sudah tahu, macam apa tokoh yang bernama Si Dali. Dia krempeng seperti Nashar. slebor seperti Affandi. Matanya melotot seperti.....seperti.....siapa, ya?" Sejenak dia terdiam ketika ingat pada seorang presiden, yang dirasanya tidak etis kalau diucapkan. Selanjutnya katanya lagi: "Ya, seperti Picasso bila mengambil contoh maka pelukis. Dia jadi tokoh karena sering, sangat sering, dipublikasi oleh pers dan televisi. Pidato atau khotbah atau ucapannya se- ring dikutip, puisinya dinyanyikan dalam berbagai pertunjukan sastra dan musik. Apa tidak begitu?"
"Dia tidak akan jadi apa-apa kalau tidak ada pers dan televisi. Makanya tidak bisa dibandingkan dengan raja. Raja tetap jadi raja, meski tidak ada publikasi." kata seorang menteri.
"Baiknya, larang saja pers dan televisi mempublikasikannya." usul menteri yang lain.
"Larang-melarang itu sudah kuno. Tidak cocok dengan semangat reformasi." kata perdana menteri pula.
"Kalau begitu, imbangi dengan banyak-banyak mempublikasikan raja?" usul yang lain lagi mengusul.

"Seperti kita semua tahu, raja tidak punya kegiatan apapun yang berharga untuk dipublikasikan. Apa pantas raja sedang makan, sedang tidur dipublikasikan?"
"Sekali lagi saya peringatkan. Pakailah bahasa yang baik dan benar ke alamat raja. Raja tidak makan, tapi santap. Tidak tidur, tapi beradu. Tidak sakit, tapi gering. Tidak minum, tapi dahar. Tidak berbaju, tapi.....Tapi apa, ya? kata perdana menteri dengan sedikit keras.
"Kalau begitu raja tidak akan pernah mati, ya?" bisik seorang menteri kepada rekannya di sebelah kiri.
"Memang. Tapi wafat," jawab yang ditanya.
"Untuk hal-hal yang sakral atau dipandang sakral perlu menggunakan bahasa kuno, seperti kebiasaan orang Indonesia yang memakai bahasa Sanskerta yang kuno untuk menamakan bangunan baru yang disakralkan," kata menteri yang duduk di kanan menyela.
"Jadi masalah Si Dali itu apa, sih?" tanya menteri yang mengenakan seragam jenderal dengan segala asesori tanda jasanya.
"Si Dali terlalu termasyhur. Populer. Lebih dari raja." jawab perdana menteri. "Itu membahayakan kredibilitas kerajaan."
"Raja sendiri berpendapat apa?"
"Tidak ada pendapatnya karena memangnya raja tidak punya suatu alat untuk berpikir."
"Nah, kalau raja sendiri tidak perduli, kenapa kita ribut?"
"Apa kata dunia internasional, apabila raja sudah begitu, tapi para menteri diam saja? Dunia internasional akan mengatakan kita semua goblok," kata perdana menteri dengan nada yang agak tajam.
Pada saat semua anggota kabinet saling memandang oleh kebingungan, Si Dali melompat ke tengah ruangan. Katanya setengah berteriak: "Kabinet macam apa ini. Bicara tentang kepentingan diri sendiri. Bicarakanlah tentang nasib rakyat yang setiap tahun dilanda banjir atau kebakaran hutan.
Setiap waktu kena peras, kena tipu atau rampok atau ditembak oleh oknum-oknum bersenjata. Keadilan dimafia aparat, sejak polisi sampai jaksa, terus ke hakim. Anggota dewan minta disuapi supaya program pemerintah disetujui."
Tapi anggota kabinet itu tidak ada yang acuh. Mereka masih terus berbicara dengan sesamanya. Padahal menurut Si Dali, dia telah bicara setengah berteriak sambil mengedari ruang di tengah-tengah persidangan itu. Tiba-tiba dia sadar pada dirinya yang tengah menjelma jadi bayang-bayang raja. Dengan berlari kencang dia kembali ke rumahnya untuk membebaskan dirinya dari bayang-bayang raja. Untuk kembali menjelma ke jati dirinya sendiri.
Selama berlari Si Dali berkata pada dirinya: "Bayang- bayang tetap bayang-bayang. Meski bayang-bayang raja sekalipun, tidak ada yang hirau. Para menteri raja pun tidak hirau. Kalau bayang-bayang raja tidak diacuhkan orang, apa peduliku. Tapi pada bayang-bayang raja ini ada aku. Mengapa mereka tidak peduli?"

Dalam berlari Si Dali terus bebicara pada dirinya sendiri. Kadang-kadang dia bertanya, kadang-kadang mengomel. Adakalanya juga dia memaki dan berteriak-teriak marah. Akhirnya dia marahi dirinya sendiri, yang mau menyamar sebagai bayang-bayang, meski bayang-bayang raja. Tiba-tiba larinya melambat dan terus melambat. Di bawah naungan mahoni yang tumbuh berderet di sepanjang jalan dia mulai terenung. Dalam renungannya kian menjadi jelas baginya, bahwa bayang-bayang akan selamanya jadi bayang-bayang. Bayang-bayang raja tetap bayang-bayang raja. Kalau raja mati, meski bayang-bayangnya tidak ikut dikubur, dia tidak lagi berfungsi. Yang berfungsi ialah bayang-bayang raja pengganti. Bayang-bayang raja lama lenyap. "Kalau saat ini raja pemilik bayang-bayang ini mati, apa jadinya aku?"
Sambil berlari kencang sepanjang jalan ke rumahnya, Si Dali berteriak keras: "Aku tidak mau lenyaaap. Tidak mau lenyaaap."
*** Sampai di rumah ternyata pintu rumah ternganga. Di dalam semuanya hitam. Tidak satupun lampu yang nyala atau cahaya yang masuk. Tapi dia tahu persis letak sesuatu benda atau ruang demi ruang. Meski berlari tidak satu benda pun tersenggol. Meski tersenggol, oleh karena bayang-bayang tidak akan menggeser, apalagi merusak. Maka dia langsung menghambur ke kamar tidurnya, yang ketika pergi dulu sebagai bayang-bayang raja. dirinya lagi mengalai di ranjang.
Tapi Si Dali tidak menemui dirinya di sana. Lalu dicarinya dengan perasaan cemas ke seluruh ruang yang gelap itu. Betapa seluruh ruang telah diarungi, betapa lama waktu dalam menyigi, dia tidak menemui dirinya. Simpul hatinya, dirinya yang dipakai bayang-bayang raja pasti sudah keluar rumah pergi bertualang dalam kehidupan yang nyata. Tapi kemana dia? Dia telusuri seluruh jalan dan pelosok kota sampai ke sudut-sudut yang kumuh pun dia cari. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berkelana. Entah berapa hari, entah berapa malam.
Akhirnya, ketika rasa putus asa telah sampai ke ujung hidupnya, dia melihat seorang laki-laki kere. Duduk terkulai di bangku dalam taman luas Lapangan Merdeka di pusat kota. Laki-laki itu kurus kerempeng. Lusuh dan mengenas- kan. Laki-laki itu tidak lain dari dirinya yang jelmaan bayang-bayang raja. Sebagian hati Si Dali demikian gembira karena telah menemukan kembali jati dirinya. Tapi sebagian lain hatinya demikian risau. Dia melihat dirinya yang dipakai orang lain. Tak obahnya seperti lusuh baju dipakai oleh bukan pemiliknya sendiri. Sampai dia ragu sejenak, apa memang itu Si Dali yang sosok paling populer di masa itu.
"Hai, Dali. Kemana saja kamu. Berhari-hari aku telah mencarimu." kata Si Dali pada dirinya yang disandang oleh bayang-bayang raja itu.
"Aku? Aku mencoba menikmati hidup di dunia nyata seperti manusia. Aku kira meski aku palsu akan lebih baik daripada bayang-bayang. Tapi tidak satu pun nikmat yang aku dapat." kata bayang-bayang raja yang memakai tubuh Si Dali. "Kemudian aku yakin, bahwa aku hanya bayang-bayang. Tidak mungkin hidup sebagai manusia yang utuh. Lalu aku mencari kamu untuk bertukar tempat kembali, agar aku bisa hidup menurut kodratku sendiri. Berhari-hari aku mencari kamu. Kemana saja kamu?"
"Aku juga mencari kamu agar aku bisa kembali ke duniaku lagi." kata Si Dali.
"Terlambat sudah."
"Terlambat?"
"Raja sudah Wafat. Di kubur atau di neraka raja tidak perlu bayang-bayang. Bagaimana aku kembali jadi diriku, sebagaimana kamu bisa kembali jadi jati dirimu? Akan jadi apa aku dengan tubuhmu. Tidak akan jadi apa-apa, tahu?" kata bayang-bayang raja yang mamakai jasad Si Dali. Terasa mengenaskan suaranya.
"Ayo, kita berganti jadi jati diri kita sendiri lagi." kata Si Dali.
"Aku mau. Tapi tak mungkin aku kembali jadi bayang- bayang raja karena raja sudah wafat."
"Artinya?"
"Tidak mungkin itu. Sebagai Si Dali kau telah kehilangan bayang-bayangmu sendiri. Bayang-bayangmu takkan kau peroleh lagi karena dia lebih suka hidup di istana." "Maksudmu?"
"Ya, setiap bayang-bayang berbakat demikian."
"Aku tidak perlu bayang-bayang. Aku hanya perlu diriku sendiri."
Lawan Si Dali menggelengkan kepala. "Kau tidak berarti apa-apa tanpa bayang-bayang."
"Sekarang aku ini jadi apa?" tanya Si Dali yang bayang- bayang.
"Mendingan dari aku yang jadi manusia palsu." kata ba yang-bayang yang jadi Si Dali.
Si Dali yang perjalanan hidup pernah gemerlapan begitu terpana dan terus terpana entah sampai apabila dan hingga kemana.
10 November 1999.

Bayang Hitam

Di jalan itu, tiga tahun lalu. Sinar remang lampu jalan menerpa wajah pucat Ningsih yang sebagai gadis zaman modern mungkin terlalu kuno. Tak ada polesan bedak dan goretan lipstik. Hanya alis tebal, hidung bangir dan kulit kuning gading merekah di wajahnya. Jam sebelas malam, biasa ia lewat ujung jalan ini. Dengan langkah cepat untuk mencapai peraduan. Lelah dan peluh terasa setelah seharian bertugas sebagai penjaga toko. Tak ada penyesalan setiap hari. Hanya ada harap menunggu akhir bulan untuk menerima uang jasa. Jasa melayani para pembeli dari siempunya toko. Sama dengan hari kemarin ia lewat. Senyumnya menebar terbawa angin malam. Aku yang sedang menghabiskan kretek putih untuk mengisi sepi coba membuka suasana.. “Sendiri lagi non.” Hanya gigi putih ratanya yang mengembang sesimpul. Menjawab sapaku . “Mau diantar tidak?”aku pun langsung melanjuti langkah pertama. “Ga papa, aku sudah biasa sendiri”, kali ini tak hanya senyum halus yang keluar, suara halusnya pun menjawab langkah pertamaku. Menerbangkan langkah selanjutnya. Cepat langkahku mengejar derap kakinya yang mulai melambat.Tak tahu angin mana yang membawa niatku ini. Angin ini begitu dingin, sedingin kuku maut yang akan menjemput tuannya. Akalku melayang dengan langkah kaki membarengi Ningsih. Gelap ujung jalan yang bernyalakan lampu jalan jadi begitu gelap malam ini. Di ujung jalan ini berdiri pos hansip yang hanya malam-malam tertentu ramai dengan warga yang bertugas. Pos ini menjadi tugu selamat datang bagi warga di dalam gang yang membelakanginya. Ketika dua pasang kaki kami mendekati pos hansip ini, sayup terdengar bisik halus. Kutengok sebentar wajah Ningsih. Tak terlihat bibirnya berucap. Kulempar pandang ke belakang. Aku hanya merasakan angin dingin itu lagi. Ku coba bertanya pada Ningsih, Ia tak berujar, tak satupun kata yang ia ucap, jawabnya pendek. Selimut tanya menghangatkan kepalaku. Sedetik, memutar hadap wajahku ke belakang. Memperlihatkan yang ada. Angin dingin yang kurasakan sejak tadi menerbangkan bayangnya. Memutar bola mataku, mengusik nadiku. Dua saat, bayangnya membentuk. Bisik sayupnya menjelas. Saat ini tak ada putaran waktu. Kulihat langkah kakiku dan Ningsih tak berhasil menapak lagi. Bayang ini mulai menarik jiwa. Dingin yang kurasa waktu bayang ini menembus jiwa.Ia menjilat merayu dan mangajak jiwa bersama. Bisiknya menjadi deretan kata “sudah dekat waktunya, kesempatan tak datang dua kali, itupun kalau aku masih berbaik hati memberimu satu.” Suara sandalku dan sepatu Ningsih menepuk jiwa. Sadarkan waktu yang sudah menggelinding lagi. Kali ini, aku hanya rasakan kehadirannya di balik punggungku.Benar katanya, tak ada satu kesempatan seperti ini bila ia tak berbaik hati memberiku satu. Begitu akal menelan bisiknya, pengap kurasa dadaku, tegang yang kurasa menjalar sampai kepala. Hidungku mencium harum dan kulitku merasakan rasa yang tak pernah terbayang. Sesaat rasa itu hilang, membimbing tanganku menarik Ningsih ke belakang pos hansip itu. Tak pernah kurasa tanganku begitu kuat. Kurasa bayangan ini ikut menarik. Wajahnya mulai menyingkap senyum pahit yang lalu sejenak terlihat bangga. Hembusan nafasnya wangi kemenyan sajen para dukun. Gerak tangannya melambai mengepal ke udara, kakinya berjingkrak layak para Indian menyajikan tari kemenangan perang. Semakin lama semakin cepat dan penuh ritme seakan ia sudah terbiasa. Senyumnya memekar seiring tarian kemenangannya. Tawanya semakin menjadi, kali ini terdengar lebih jelas seperti para penonton yang puas disuguhi hiburan sesuai uang yang mereka bayarkan”ha, ha, ha.”. Gerakanku terus memburu langkah tari kakinya. Nafasku seakan turut mengikuti irama tari kemenangan ini. Sorak sorainya terus menyemangati jiwa. Menggoda seluruh peluh untuk keluar dari sarang persembunyiannya. Tatap tajam matanya memompa seluruh aliran darah. Walau tak beraturan, terasa tak akan ada malam-malam dingin dalam dunia ini. Sempat kutengok Ningsih. Wajahnya menggambarkan suatu adegan perjuangan. Keinginan menolak dan keinginan yang terpendam. Kucoba mendalami khayalnya. Ia tertunduk, hanya bertumpu sepasang lututnya. Mulutnya mengambil aba-aba, siap keluarkan semua. Suaranya mulai muncul. Dimana Tuhan ketika umatnya membutuhkan. Seumur hidup aku selalu mencoba untuk berjalan di sisiNya. Hari ini, kubutuhkan bantuanNya. Tak ada, seakan Ia berlari menjauh. Tak ingin tahu perjuangan umatNya. Tapi, ku ingin berterimakasih atas kealpaanMu. Hari ini kutahu makna menjadi wanita. Terimakasih ku juga untukmu, Ali. Ningsih kembali tertunduk seiring kurasa segumpal rasa yang ingin meloncat menembus beban yang sekian lamanya menahan.Bahuku kembali membimbing mataku melihat bayang hitam itu. Bayangan yang punya banyak tangan. Sekelebat terlihat tariannya mulai menurunkan temponya. Jingkrak kakinya perlahan menyelaraskan lambai tangannya. Soraknya sayup tertelan jerit jangkrik yang menyaksikan drama pendek ini. Ia mulai berhenti menari. Berdiri dengan gagahnya setelah memenangkan perang kali ini. Wajah dinginnya terlihat. Tak ada sorak sorai kali ini. Senyumnya pun mulai menguap bersama semua peluh yang berjatuhan dari tubuhku.Rintih suara Ningsih membawa diri keambang sadar. Tak terasa sebutir air mata menetes. Dingin malam ini terasa lagi. Bayang hitam itu hanya memandang dan dengan senyum tipis memberiku kata-kata terakhirnya. “Ingat, kau harus membayar hutangmu atas satu kesempatan yang sudah aku beri.” Tanpa memberiku kesempatan untuk bicara, bayangnya mulai hilang tertiup angin. Gelap mulai mengelilingiku. Nyala lampu pos hansip samar menerpa wajah Ningsih. Akalku masih melayang. Bingung. Kenapa air mataku tak kuat lagi bergantung di kelopak mata. Apakah karena ku tak sempat berterimakasih atas kebaikannya atau…….Belum habis tanyaku, jerit Ningsih membalikkan semua keadaaan. Jeritnya membawa beberapa petugas siskamling kembali ke posnya. Kenapa Ningsih berteriak, bukankah tadi ia berterimakasih padaku? Belum hilang kabut tanya dalam kepalaku, kusadari diriku berada di dalam sel nomer empat puluh blok F, untuk tiga tahun yang kubayarkan atas hutangku.

Jakarta, 24 -1-2003
Deni Darmansyah Dikemas 02/04/2003 oleh Editor

Batas Akhir

Sore yang indah. Semburat mega merah mewarnai hamparan langit biru sehingga tampak perpaduan yang membuat hati tenang. Angin dingin berhembus perlahan namun mampu membuat semua orang yang berkunjung di alun-alun kota bunga ini melipatkan kedua tangannya di dada.
Suasana yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Parjo, pemilik perawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan senyum menawan. Namun saat ini, senyum itu seolah telah lenyap. Hanya tampak guratan-guratan ketuaan yang datang terlalu cepat dari usia yang sebenarnya. Rambutnya yang biasa tersisir rapi kini mawut karena tak terurus. Telapak kakinya yang biasa bersepatu kini hanya bersandal selop berdebu.
Parjo sudah duduk berjam-jam di bangku itu. Salah satu bangku di pojok timur. Sesekali tangannya menggaruk kepala. Dia sedang menyesali runtutan kejadian naas.
Parjo mengentakkan kakinya. Dia membuang nafas sembari mengepalkan tangan penuh kekesalan. Giginya yang kuning menggemeretak.
"Sialan!" kata Parjo lirih.
Utang yang cukup besar telah menghancurkan Parjo dan keluarganya. Gara-gara uangnya dibawa kabur jahanam edan. Tapi siapa yang salah? Mengapa dia percaya saat ditawari Martono untuk melipatgandakan uangnya lewat arisan tersebut?
Ealah, cek gobloke to yo…Sampai-sampai dia mempertaruhkan uang sekolah karena dialah yang menjabat sebagai bendahara di SMA Lawak Waru II.
Semua kejadian itu berawal saat Martono, tetangganya datang sembari membawa beberapa lembar kertas yang terlipat menjadi empat bagian. Di sana bertuliskan tawaran untuk mengikuti arisan berhadiah mobil dan sepeda motor. Hanya dengan membayar 25 juta rupiah maka orang itu bisa membawa mobil Esusune Panther. Mobil yang hanya akan dipakai orang-orang berduit. Konon, mobil itu sangat mahal. Sungguh tawaran yang menggiurkan.
Beberapa hari Parjo memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar 25 juta tersebut. Akhirnya, dia memutuskan untuk meminjam uang sekolah untuk ikut arisan seperti dikatakan Martono. "Nanti kalau sudah dapat mobil, gampanglah untuk mendapat gantinya," pikir Parjo.
Hari demi hari berlalu dan terasa lambat bagi Parjo setelah dia memberikan uang 25 juta yang diambilnya dari kas sekolah pada Martono. Dia menantikan mobil yang dijanjikan Martono sepekan lalu.
Rasanya sudah tak sabar lagi untuk mengendarai mobil yang menjadi idaman setiap orang itu. Pasti semua roang akan mengelukannya. Dia akan tampak gagah di belakang setir dan dia akan menggunakan mobil untuk mengajak Martini kencan dan melamarnya. Martini yang selama ini me nolak ajakan makan malam atau nonton bioskop itu kini akan menerima ajakannya. Hati Parjo berdegup kencang membayangkan hal-hal indah yang akan segera dilaluinya.***Seminggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, jenuh sudah penantiannya. Parjo harus mencari tahu apa yang terjadi. Martono yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar Jo. Sebentar lagi kamu pasti sudah bisa mengendarai Esusune Panther. Sekarang perusahaan sedang mengurus surat-suratmu." setiap kali Parjo mengemukakan pertanyaan kapan mobil yang dijanjikan bisa didapatkannya. Parjo hanya manggut-manggut dan berusaha menyabarkan hatinya.
Tapi, kesabaran orang pasti ada batasnya. Parjo tidak bisa selamanya diam menunggu sedangkan jabatannya kini dipertaruhkan karena sudah memakai uang sekolah.
Parjo mencari-cari Martono yang sejak dua minggu lalu menghilang ditelan bumi. Parjo tak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah bagaimana caranya mendapatkan kembali 25 juta yang dibawa Martono.
Kepala Parjo mumet. Capek dan stres pontang-panting mencari Martono. Istri Martono pun tak tahu ke mana suaminya pergi. Menurutnya, Martono meninggalkannya tanpa pesan secuil pun.
"Sompret koen No!" umpat Parjo. Kepercayaan sudah luntur oleh lelehan-lelehan kesabarannya saat menantikan janji yang kunjung datang. Parjo sadar dia telah dikhianati. Tapi, bagaimana caranya menemukan pengkhianat busuk itu?
Suatu ketika, saat Parjo baca koran sambil ngopi, dia dikejutkan oleh salah satu berita yang ada di harian Nggreget Pos. Di situ, diberitakan tentang para nasabah CV yang mengajukan tuntutan tentang uang mereka yang dijanjikan akan dilipatgandakan dengan mengikuti sebuah arisan. Parjo sadar benar CV Mbujuk inilah yang dikatakan Martono, yang akan memberikannya Esusune Panther. Berarti dia…***Dari hari ke hari, hanya itulah yang diberitakan koran-koran. Parjo bingung harus ke mana meminta bantuan. Masalahnya, banyak orang yang telah menjadi korban seperti dirinya. Banyak di antara mereka yang mempunyai kerugian lebih besar dari dirinya. Ada yang mencapai 1 miliar karena dia membawa uang orang-orang di sekitarnya. Orang seperti inilah yang disebut pentolannya alias top leader.
Akhirnya, apa yang dilakukan Parto pad auang sekolah tercium oleh Kepala Sekolah SMA Lawak Waru. Hal ini terungkap ketika ada inspeksi dari pengawas pusat yang memeriksa pembukuan dan melakukan pengecekan di bank. Menurut keterangan bank, telah terjadi transaksi keluar sebesar 25 juta rupiah.
Semua orang tahu bahwa Parjo telah melakukan penggelapan uang. Orang-orang yang dulu dekat dengannya kini menjauh dan mencemoohnya.
Apa yang ditakutkan Parjo terjadi sudah. Semua orang menjauh, begitu juga dengan ibu dan adik-adiknya. Mereka merasa malu dengan apa yang telah dilakukan Parjo. Parjo yang selalu dianggap contoh bagi adik-adiknya, kini adalah pengangguran miskin dan membuat mereka kehilangan sawah yang terpaksa dijual untuk menyelamatkan kakaknya dari penjara.***Parjo masih duduk termenung dan tenggelam dengan segala perasaan yang bergelayut di benaknya. Kini dia sedang memutar otak untuk mencari jalan agar bisa mengembalikan sawah keluarganya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyetujui tawaran dari seseorang yang dikenalnya tiga hari lalu di alun-alun tempat dia duduk sekarang.
Dikeluarkannya kartu nama yang disimpannya sejak orang dengan perawakan kurus berjaket kulit itu memberikan kepadanya. Parjo telah membulatkan tekadnya. Dia bersiap untuk pulang ke rumah, mandi, berganti pakaian, dan mencari alamat yang diberikan orang itu padanya.
Parjo akan berdagang sekarang. Berdagang barang yang berukuran kecil namun bisa membuat orang sangat bahagia. Apalagi orang-orang ketagihan yang menganggap barang tersebut lebih berharga dari nyawa sendiri. Dagangannya ini akan membuatnya cepat kaya.
Selesai makan, Parjo naik angkutan dan turun di gang Cabul. Dia menelusuri gang dengan hati-hati. Tampak keadaan sekitar yang kumuh, dengan coretan menghiasi tembok di kanan kiri. Bau pesing sesekali tercium. Tapi dia bertekad untuk menempuh jalan itu, apa pun taruhannya. Parjo terus melangkah sampai akhirnya…
"Argh!" Terdengar suara teriakan orang dari arah depan. Parjo mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Parjo akhirnya menemukan asal suara tersebut. Di hadapannya kini terdapat ruangan yang cukup luas. Kejadian di depannya membuatnya terkejut. Laki-laki yang memberikan kartu nama kepadanya roboh di lantai bersimbah darah. Di sekelilingnya penuh laki-laki bermuka seram. Salah satunya membawa senjata tajam yang dipenuhi darah.
Belum sempat Parjo berpikir, laki-laki yang membawa pisau berkata pada laki-laki di sekitarnya. Dalam waktu singkat, mereka berubah posisi mengepung Parjo.
"Habisi roang ini. Jangan sampai menjadi bukti untuk polisi. Ayo!" Semua laki-laki yang ada gang tersebut langsung mengeroyok Parjo dan menghajar tanpa memberi kesempatan pada Parjo alasannya datang.
"Ampun…aku…aku…bukan…aku…ini…salaaah…ampun…tidak…argh!" Kata-kata itu mengakhiri perjalanan hidupnya setelah senjata tajam menghujam perutnya berulang-ulang. Lirih dia berkata, "Nasib…nasib…aku kalah taruhan sak durunge (sebelum, Red) main."

Oleh: Maratul Khasanah
Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Malang

Balon Cinta Okinawa

Terlalu banyak cinta dalam kehidupan ini, kata Ohida, lelaki tua janggut putih sambil duduk termenung di atas tikar menghadap meja penghangat. Pandangannya terpusat pada pintu rumahnya yang setengah terbuka. Teh teguk terakhir mencairkan butiran-butiran salju musim dingin yang turun hebat. Senja yang muram. Badai baru saja reda. Diraihnya baju tebal dan ikat penutup kepala. Di beranda Ohida melepas balon. Pelan-pelan balon itu mengudara. Ohida tidak ingin balon itu tersangkut lagi di pohon Sakura seperti hari kemarin. Matanya yang cekung tak berkedip demi memastikan balon bergambar seorang perempuan dalam warna merah jingga itu terbang mengudara. Ohida berharap balon miliknya tak hanya sampai di Okinawa atau Tsukudajima atau kempes dan jatuh di danau Suwa.Tiap hari Ohida melepas satu balon. Sebuah surat ditalikan pada ujung penyumbat udara. Tiap hari pula Ohida melukis wajah seorang perempuan. Kadang, di sela kesibukannya mengurus, Tagawa, cucunya paling cerewet dan suka usil, Ohida merancang gambar seribu perempuan yang akan dilukis esok hari. Hari ini perempuan itu mengenakan Kimono merah bara. Dua supit menancap di rambutnya.Telah ribuan surat kukirim, kata Ohida, tapi aku tak pernah menerima balasan. Di manakah perempuan itu sekarang. Ohida termenung sambil memandangi samurai yang tergantung di dinding. Dia teringat ketika pertama kali cintanya tertancap pada seorang gadis Jawa, Sumirah. Semula, Ohida tak begitu mencintai Sumirah. Tapi Samurai berbungkus kulit rusa Jawa inilah yang kemudian menggores hatinya. Pagi itu, di bulan Maret 1944, Ohida memimpin satu regu pasukan PETA. Dia ditugaskan menghadang sekutu yang hendak memasuki pinggiran kota Sakagiri."Satu jam lagi Sekutu tiba. Hadang dan hancurkan." Komandan Nomihara berdiri tegak. Matanya nanar. Urat nadinya menegang. Marah. Geram"Haik. Tap. Tap. Tap." Pasukan berangkat menuju arah matahari senja. Pada kilometer tiga dari pusat kota, dua lemparan tombak ke arah bukit Sakagiri, desingan mortir menghentikan gerak laju pasukan itu."Tiarap!" Ohida meloncat ke parit sawah diikuti yang lain. Ada tidak kurang lima kali dentuman dahsyat meluluh lantakkan radius tujuh lompatan kuda dari tempat mereka sembunyi. Tanah muncrat. Asap mengepul. Satu lagi dentuman mortir mematahkan pohon trembesi. "Bidik senjata ke arah senja. Tahan. Jangan tembak dulu. Tunggu sampai asap menghilang." Setengah berteriak Ohida memberi perintah sambil tiarap seraya menghapus wajahnya yang kuyup terkena muncratan lumpur sawah. Sebuah mortir meledak lagi. Kali ini tepat di tengah pasukan. Potongan-potongan tubuh melenting ke udara. Darah menyembur. Terdengar erangan sakit, entah siapa, lalu diam. Ohida memandangi tubuh-tubuh pemuda Jawa itu hancur seperti daging cincang. Bersamaan dengan itu dua tentara sekutu mendekat. Peluru diobral. Lima lagi yang bergelimpangan."Nippon keparat." Seorang prajurit sekutu menarik pelatuk. Moncong senapan itu mengarah ke Ohida. Dia tak ingat apa-apa lagi kecuali kilatan samurai memantulkan cahaya senja. Dua tubuh ambruk. Tentara Sekutu itu terpenggal lehernya. Sarpan berlobang kepalanya.
***
Salju tipis. Sebuah pintu rumahnya membukakan pemandangan gunung Fuji. Serombongan bangau melintas, O, Gunung Fuji yang tegak tempat para dewa bersemayam. Ohida menatap Fuji dengan pandangan Merapi (di sanalah dia untuk terakhir kalinya menggenggam tangan Sumirah). Dua hari kemudian Ohida sudah berada di atas dek kapal dengan tangan terikat. Mulutnya disumpal kain. "Kaisar tak ingin Nippon sejati jatuh cinta dengan perempuan tanah jajahan. Tapi kau melakukan juga, Ohida." Ohida diam. Bungkam. Tak ada alasan membantah komandan seperti juga tak ada alasan untuk menjelaskan budi baik Sarpan yang menyelamatkan nyawanya. Ohida ingin membalas itu : dengan cinta. Dan butir-butir salju menempel di ranting Sakura. Ohida membayangkan pastilah pegunungan Totomi disaput kabut gelap. Ohida lalu mengambil secarik kertas. Dituliskannnya sebaris puisi tentang burung bangau yang terbang lelah lalu jatuh di kawah Merapi. Tubuhnya gosong. Aroma bulunya yang terbakar dihirup para Dewa. Dengan langkah gontai Ohida beranjak menuju halaman. Satu balon lagi dilepaskannya. Sebuah amplop terbungkus selendang batik kusam itu pelan-pelan lenyap dari pandangan Ohida. Kini Ohida berharap balon itu akan terbang jauh, jauh sekali menyeberangi samudera luas. Ohida tersenyum. Diraihnya samurai itu lalu pelan-pelan dihunusnya. Samurai yang putih bersih seperti salju. Ohida tersenyum. Salju menetes merah bersamaan kilatan samurai menancap di perutnya. Di ujung samudera surat itu dibaca, entah oleh siapa : untuk Sumirah. (***)
Jogja-Solo, Maret 2002
Cerpen Sholihul Hadi

Balada Seekor Panda

Siang ini kebun binatang Ragunan kedatangan seekor binatang. Seekor Panda. Panda kecil yang lucu dan menggemaskan, Panda itu didatangkan khusus dari negeri seberang.
Kedatangan Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu menambah koleksi jenis binatang yang mendiami kebun binatang kebanggaan ibukota ini menjadi lebih dari 260 jenis spesies binatang. Semua berasal dari seluruh wilayah Nusantara juga beberapa tempat dari belahan dunia lain.
Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu masih terlihat lelah setelah menempuh perjalanan jauh melalui udara. Ia tidak banyak bergerak dan hanya duduk dan diam. Sesekali bergerak untuk menghilangkan kaku-kaku di badannya. Sekarang ia ingin beristirahat dan menikmati tidur siangnya yang pertama kali di bumi Indonesia.
Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu bukan Panda sembarang Panda. Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu adalah seekor Panda yang berbakat besar. Ia dapat bermain badminton. Setelah tidur dan makan tiga kali sehari, Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu mulai kelihatan segar dan bertenaga. Ia bergerak ke sana kemari memeriksa keadaan sekeliling kandangnya.
"Selamat pagi Panda, selamat pagi Panda...," teriak seekor Nuri dari sebuah sangkar besar yang tertutup tepat di sebelah kandang Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu berdiri pada sebuah gundukan tanah yang tinggi. Ia mencari sumber suara itu.
Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu bingung. Ia tidak mengerti bahasa Melayu. Ia hanya mengerti bahasa tempat asalnya. Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu hanya tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya ke arah burung-burung itu.
"Hei Nuri, apa benar Panda itu bisa bermain badminton?" tanya Poksai pada Nuri.
"Itu yang kudengar dari petugas kebun binatang," teriak Nuri.
"Wah hebat sekali dia, bisa jadi maskot kebun binatang ini," sahut Poksai manggut-manggut.
"Bisa saja," teriak Nuri lagi.
Burung-burung lainnya pun ikut berkicau, berteriak-teriak dan berkoar-koar membicarakan penghuni baru kebun binatang ini, tetangga dekat mereka.
Sore harinya beberapa petugas terlihat masuk ke dalam kandang Panda kecil yang lucu dan menggemaskan lalu memeriksa keadaannya. Ah, dia sehat secara fisik dan tidak tertekan secara mental. Semua beres. Mereka pun mulai mengajak Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu bermain-main. Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu pun sangat senang. Ia bergerak lincah.
Kemudian para petugas itu mengajaknya bermain badminton. Wow, luar biasa ternyata Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu benar-benar dapat bermain badminton dengan hebat. Ia bisa menjadi seekor juara dunia badminton jika terus berlatih. Setelah satu jam mereka bermain-main petugas meninggalkan Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu sendiri di kandangnya.
Berita tentang kehebatan si Panda kecil yang lucu dan menggemaskan benar-benar bisa bermain badminton tersebar cepat di kalangan para binatang. Mereka pun ramai membicarakan kelebihan yang dimiliki calon bintang kebun binatang itu. Seorang maskot baru telah lahir. Mereka terus ribut berkicau, mengaum, mengembik, berkaok-kaok, berteriak, menjerit, mendesis dan menggeram.
Sejak saat itu, kebun binatang Ragunan mulai dibanjiri pengunjung yang antre ingin melihat tingkah laku atau pun atraksi kehebatan Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu. Mereka penasaran dengan isu-isu, berita-berita, kabar burung, informasi di sejumlah media massa, televisi, koran, radio, internet, SMS, papan reklame, selebaran, obrolan di warung kopi, lokalisasi, kafe, bar sampai panti pijat. Banyak pula yang datang sekedar untuk bermesraan, menghilangkan sumpek, stres atau sekedar mencuri kesempatan dalam kesempitan.
Begitu melihat Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu, mereka berteriak dan bertepuk tangan sangat meriah melihat tingkah laku dan atraksi yang diperagakan Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu. Berbagai komentar meluncur dari mulut mereka.
"Ah, lucunya....,"
"Begitu menggemaskan....,"
"Ibu..., aku minta dibelikan Panda seperti itu ya,"
"Wah hebat, bisa bermain badminton!"
Dalam sekejap Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu telah menjadi seekor maskot baru kebun binatang ini. *******************
Awal tahun. Kalendar dengan angka lebih. Semangat nyaris sama dengan tahun lalu. Masalah lama. Keruwetan, kesumpekan, kekusutan, pertikaian, kerusuhan, kekisruhan, perselisihan yang bikin teler, puyeng, pusing, eneg, demam dan sekarat.
Krisis terus berlanjut, memasuki babak, ronde, adegan-adegan, sekuel, trilogi, bab-bab yang panjang, monoton, melelahkan, menjengkelkan sekaligus merontokkan semua urat-urat dan organ kehidupan. Semua terkena imbas. Tak terkecuali para binatang itu. Mereka mulai kekurangan makanan. Pihak pengelola hampir kehabisan dana untuk menyumpal mulut dan mengganjal perut para binatang dan perut mereka sendiri.
Proposal tambahan dana jadi tumpukan berkas map di departemen. Keadaan ini semakin lama semakin memburuk dan mengancam kelangsungan hidup para binatang terutama binatang pemakan daging.
Para binatang itu pun sibuk berpikir. Mereka rapat memecahkan masalah serius yang mengimbas dunia mereka. Singa besar terus mengelus surai lebatnya, Buaya muara tua itu hilir mudik di kolamnya, Jerapah berjalan mondar-mandir, Kuda Nil sibuk mangap, Beruk sibuk ngorok. Poksai, Nuri, Jalak berbaris termanggu. Gajah terus menggaruk kepalanya. Orang Utan sibuk cari kutu.
Akhirnya Buaya muara tua itu buka suara. "Satu-satunya jalan kita harus menarik pengunjung untuk datang lagi ke tempat ini,"
Semua setuju.
Tapi bagaimana menarik pengunjung untuk datang kemari? Sedangkan untuk makan saja manusia-manusia itu juga kesusahan. Buaya muara tua itu kembali bicara, "Percayalah manusia-manusia itu butuh hiburan saat ini dan di tempat ini ada seekor binatang yang mampu melakukan rencana ini."
Mereka saling berpandangan.
Mungkinkah satu dari mereka? buaya itu buka mulut lagi, "Dia seekor binatang yang bisa membuat manusia merasa manusiawi, dekat dan tidak takut akan dicaplok saat dekat dengannya, dia adalah si Panda."Ah tentu saja si Panda itu. Yang kini sudah tumbuh besar. Akhirnya disepakati untuk melaksanakan ide tersebut.
Dua tahun sudah berlalu. Panda kecil yang lucu dan menggemaskan itu sudah tumbuh menjadi seekor Panda besar tetapi gerak-geriknya tetap saja mengundang senyum. Keberadaannya tidak lagi mengundang kegemparan. Ia lebih mirip binatang lokal lainnya. Panda itu sudah mengerti bahasa Melayu, doyan tempe, gado-gado, nonton wayang dan mendengarkan musik campursari dan suka joget dangdut. Ia cinta kebun binatang ini.
Panda besar itu menanggapi rencana itu dengan antusias. Ia berencana akan melakukan sebuah atraksi spektakuler. Ia akan menantang manusia bermain badminton. Rencana itu pun disambut baik pihak pengelola yang sudah kehabisan akal. Dimulailah promosi ke seluruh masyarakat.
Dalam beberapa hari, berbondong-bondong pengunjung membanjiri pintu-pintu loket. Mereka rela antre, berpanas-panas dan membayar lebih mahal untuk sebuah pertunjukkan terhebat sepanjang sejarah olahraga badminton dibandingkan melihat tv, membaca koran, mendengar radio yang berisi berita, informasi, isu-isu yang tidak pernah membawa kegembiraan dan sedikit angin segar.
Panda besar itu mulai beraksi. Melakukan service, dropshot, rally-rally panjang diakhiri smash tajam. Penantang pertama kalah, kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi semua pengunjung puas, terhibur dan terus bertepuk tangan bagi Panda besar. Panda besar terus dielu-elukan seluruh manusia dan semua binatang. Ia seorang pahlawan saat itu.*********************
Hujan turun dengan deras, suara petir terdengar sahut-menyahut memecah kesunyian malam. Semua binatang lebih banyak terdiam dan beristirahat. Malam ini Panda besar itu terbaring lemah tak berdaya di kandangnya. Panda besar itu sakit. Ia terlalu lelah terus menerus bertanding badminton melawan tiap pengunjung hingga melupakan kesehatan dirinya. Tapi ia lakukan semua ini demi kebun binatang ini.
Tubuhnya menjadi kurus, ia malas makan. Panda besar itu merintih kesakitan. Kemana dokter dan petugas lainnya? Pikir Panda besar itu. Ia merasa ajalnya sudah dekat. Ia sekarat. Ia pasrah jika memang sudah waktunya.
Di saat genting muncul dokter dan petugas kebun binatang. Dokter itu memeriksanya.
"Sudah berapa lama sakit?"
"Tiga hari yang lalu,"
"Ia terserang virus yang sama dengan Anoa dan Cenderawasih tapi ini lebih parah,"
"Prioritas utama kami memang hewan lokal yang langka dokter,"
Dokter itu hanya menggumam perlahan.
"Tapi ia akan sehat kembali setelah mendapat antibiotik ini,"
Dokter menyuntik Panda besar itu. Lalu memberi beberapa petunjuk kepada petugas. Mereka keluar meninggalkan Panda besar itu sendiri.
Mendengar perkataan petugas kebun binatang tadi, Panda besar sangat sedih dan terpukul. Ia merasa sebagai seekor binatang yang tak berharga. Apa beda dia dengan binatang lainnya? mereka sama-sama binatang. Tetapi kenapa ia mendapat perlakuan yang berbeda dengan binatang lainnya. Panda besar itu menangis sedih di sudut kandangnya. Ia harus menerima kenyataan pahit ini. Begitu sedihnya sang Panda besar hingga dadanya terasa seperti disayat sembilu. Panda besar berteriak, mengerang, merintih mencoba melepaskan segala perih yang menyayat hatinya tapi semuanya teriakannya ditelan gemuruh petir dan suara hujan.
Malam ini Panda besar sangat sedih, begitu sedihnya hingga pada pagi harinya Panda besar itu ditemukan telah mati membeku.************************

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer