Rabu, 06 April 2016

Aku adalah Gubernur Ikan

Aku adalah Gubernur Ikan
Menguasai wilayah laut di seantero jagad. Tapi, karena aku harus tunduk pada konstitusi laut, aku hanya mendapat bagian kecil untuk menggunakan kekuasaan dan memanfaatkan aset di tempat aku dipekerjakan. Pada awalnya, gerakan dan wewenangku masih harus tunduk dengan Nyi Roro Kidul, Sang Penguasa Laut. Namun, akhirnya aku mendapat sedikit kebebasan, setelah ada pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Kelautan. Akhirnya, sedikit banyak, aku bisa mendapat keleluasaan dalam mengambil kebijakan, kemana ikan-ikan ini harus aku bawa.

Aku adalah Gubernur Ikan. 
Asalku dari seberang. Namun, karena mendapat surat sakti dari Nyi Roro Kidul, aku akhirnya diorbitkan sebagai Gubernur Ikan. Pada awalnya, aku maju mundur untuk menjabat sebagai Gubernur Ikan. Sebab, jauh sebelum aku menjadi Gubernur Ikan, aku sudah menjabat sebagai Staf Pasukan Anti Pukat Harimau, yang bertugas menyelematkan kehidupan dan kelangsungan hidup mahluk laut. Tapi, setelah aku pikir-pikir, akhirnya aku harus memilih. Tetap menjadi Staf Pasukan Anti Pukat Harimau, dan sepanjang sejarah akan menunggu perintah, atau aku harus keluar dari Korp Pasukan Anti Pukat Harimau, lalu aku menjadi penguasa sebagian laut di sebuah pulau? Dua pilihan terus berkecamuk. Sementara, dalam lintasan benaku, ada satu pertanyaan, siapa dan kelompok mana yang bakal menjadi alat untuk memuluskan obsesiku menjadi Gubernur Ikan?
Dan pada malam Jumat Kliwon, tepat pada tanggal kelahiranku, kudapatkan kesimpulan, setelah sebelumnya, Sang Mbau Rekso (Sang Penguasa Jagad Maya) memberi petunjuk. 
"Aku harus keluar dari Staf Pasukan Anti Pukat Harimau, dan mengambil alih Gubenur Ikan". Inilah keputusan yang akhirnya kuambil.

Aku adalah Gubernur Ikan. 
Sama seperti mahluk lain, yang punya rasa kekhawatiran, kalau-kalau saja, setelah aku lepaskan posisiku di Staf Pasukan Anti Pukat Harimau, tiba-tiba aku tak terpilih menjadi Gubernur Ikan. Jika ini yang terjadi, aku benar-benar sial dua belas! "Ah, aku akan coba meminta restu pada Jenderal, siapa tahu, aku tetap bisa rangkap jabatan. Jadi, kalau tak terpilih, aku bisa kembali ke Korps, kalau terpilih, baru lepas dari Korps". 

Aku adalah Gubernur Ikan. 
Sama seperti adat Timur. Demi tegaknya konsitusi, aku juga harus sanjo, ke rumah Jenderal. Pada siang menjelang sore, aku benar-benar sanjo ke rumah Jenderal, Kepala Pasukan Anti Pukat Harimau. Tujuanku untuk meminta restu dari Sang Jenderal untuk memberi rekomendasi agar aku direstui menjadi Gubernur Ikan tanpa harus keluar dari Korps. 

"Apa-apaan kau! Bagaimana mungkin kau bisa menjadi Gubernur Ikan, jika kau tidak keluar dari Korps. Itu melanggar kode etik Korps. Ini memalukan!" Jenderal benar-benar berang dengan gagasan konyolku.

Aku benar-benar merasa menjadi tolol di depan jenderal. Padahal, sebelumnya, aku sudah mendapat sederet penghargaan dalam beberapa operasi. Tapi, sore ini aku hanya bisa tertunduk lesu dan pulang dengan langkah gontai. Tak ada yang kudapat, hanya sebuah kemarahan belaka. Malam Jumat Kliwon, aku menangis sejadi-jadinya, mengadu pada Sang Mbau Rekso.

"Cucuku, bangkitlah!" sebuah suara menggema dari asap hitam.
Aku tergeregap. Keringat bercucuran. Aku menjadi gagap.

"Ssssssiapa, sssiapa.. kau?!"

Suara itu malah mentertawakanku.

"Bukankah kau yang meminta agar aku hadir untuk membantu dan mengabulkan keinginanmu menjadi Gubernur Ikan?

"Oh, ..iiiiya..iya…!. Kalau begitu kau adalah…"

"Cucuku, dengar dengan hikmat!"

Aku mulai membuka telinga lebar-lebar.

"Apa yang harus kulakukan, Nyi?

"Untuk meminta izin kepada jenderal, kau bisa manfaatkan sekelompok Ikan Seluang. Sebab, di antara sekian banyak ikan, hanya Ikan Seluang yang pintar bermain di tengah arus. Dan jangan lupa, buatlah koalisi palsu dengan sekelompok Bunglon, yang setiap waktu bisa berubah warna dan memiliki kemampuan melakukan negosiasi".

"Satu lagi, kamu juga harus mengumpulkan sekelompok Ular berkepala dua yang siap membidik lawan, sekaligus menjadi spionase peta politik lawan. Jika itu mampu dilakukan, kau bakal berhasil menjadi Gubernur Ikan".

Aku adalah Gubernur Ikan. 
Aku kini berhasil memanfaatkan Ikan Seluang, Bunglon dan ribuan Ular Berkepala Dua. Dan Sang Jenderal pun akhirnya tunduk dengan tim suksesku dan mengeluarkan rekomendasi perizinan untuk menjadi Gubernur Ikan. Jadilah aku sekarang Gubernur Ikan.

Sejak menjadi Gubenur Ikan, aku menempati ruang khusus yang mungkin mirip dengan Singgasana Nyi Roro Kidul. Semua fasilitas lengkap. Dari pendingin ruangan sampai pemanas ruangan telah tersedia. Untuk mencukupi dan melayani keseharian, aku tinggal panggil pasukan Ikan Belido, Ikan Seluang, dan para Ular Berkepala Dua.

Aku adalah Guberrur Ikan.
Aku banyak memiliki kemampuan untuk menghalau kekuatan lawan. Apalagi hanya sekadar kelompok katak yang hanya bisa hidup dengan melompat-lompat. Semua hal yang sepele. Semua karakter mahluk air ada di dalam genggamanku. Aku kini bisa bernapas lega dan hidup di atas segalanya. Tak siapa pun bisa menggeser posisiku sekarang. Semua wiayah ini menjadi kekuasaanku.

"Siapa yang menghadang atau menghalangi gagasanku harus berhadapan dengan aku".

Aku adalah Gubernur Ikan.
Aku kini bangkit untuk merajai semua mahluk air. Dan kawasanku memang kawasan rawa yang membuatku tak begitu sulit untuk meramu sedemikian rupa tentang bagaimana wilayahku ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat air.

*** 

Kebanggaan dan kepongahan Gubernur Ikan tak membuat sadar kalau wilayah kerjanya yang sebelumnya adalah kawasan air, sudah separuh lebih menjadi daratan. Dan perluasan daratan yang telah memakan kawasan air ini sepertinya tidak dicermati oleh Gubernur Ikan. Dia hanya asik dengan apologinya sebagai bekas staf Pasukan Anti Pukat Harimau dengan sederet prestasi. Sehingga, saat berhadapan dengan kelompok makhluk darat, Gubernur Ikan menjadi gagap. Belum lagi, serangan Ikan Lou Han sebagai ikan pendatang juga telah mengancam keberadaan wibawa Gubenur Ikan.

Berbagai macam kegagapan muncul. Kelompok air yang sebelumnya mengamanatkan agar Gubernur Ikan memperjuangkan hak-hak makhluk air, makin lama makin terlupa. Gubenur Ikan akhirnya terbuai dengan tawaran materi dari sekelompok mahluk darat. Mahluk darat telah berhasil mengkooptasi pola pikir Gubenur Ikan yang sebelumnya memang tak berpengalaman di kawasan darat.

"Tuan Gubenur Ikan, kami dari perwakilan mahluk darat menawarkan agar Tuan bisa merelakan sebagian wilayah air di kawasan kekuasaan Tuan untuk kami jadikan permukiman rumah kaca," kata salah satu perwakilan mahluk darat saat menghadap Gubenur Ikan.

"Why Not?! Kalau memang itu bisa memberdayakan masyarakat saya".

"O, pasti, Tuan. Dengan rumah kaca, nanti masyarakat air di sini bisa lebih leluasa menikmati hidup dengan berbagai pandangan dari dalam rumah kaca yang di dalamnya juga kami isi dengan air. Dan masyarakat air di dalam rumah kaca itu akan kami beri makan setiap hari tanpa harus memeras keringat. Dan Tuan bukan saja menjadi Gubenur Ikan, tetapi Tuan juga akan menjadi Gubenur Rumah Kaca".

Sejak itu, Gubenur Ikan membentuk Tim khusus, untuk mencari pasukan air yang benar-benar mengerti tentang seluk beluk konstruksi bangunan rumah kaca. Ratusan makhluk air diseleksi menurut seleranya sendiri. Dua hari kemudian, semua jenis makhluk pembawa kabar berita diundang untuk mengekspose tentang tim yang akan melakukan pengawasan dalam pembangunan rumah kaca.

Gagasan ini ternyata mendapat protes dari kelompok oposisi darat. Ratusan makhluk oposisi dari kawasan darat mendatangi kantor Gubenur Ikan guna meninjau ulang terhadap pembentukan tim itu. Sebab, menurut salah satu perwakilan oposisi, tim yang dibentuk Gubenur Ikan ada beberapa makhluk yang berkepentingan untuk menenggelamkan kawasan darat.

"Kalian tidak bisa menduga buruk seperti itu!", Tukas Gubenur Ikan dengan nada tinggi." Kalian harus melihatnya secara jernih. Kalau wilayah air di kawasan ini bisa rapi dengan rumah kaca, yang di dalamnya berisi air, maka kawasan ini akan menjadi indah dan rapi. Dan sekali lagi, ini sudah menjadi keputusan saya, dan saya tidak akan merubahnya. Titik," katanya dengan emosi.

"Kami hanya memberi masukan. Persoalan diterima atau tidak, itu urusan Anda. Ini kami sampaikan, agar kita semua terselamatkan dari banjir besar yang berkemungkinan akan menimpa kita bila kita tidak berhati-hati dengan pembangunan rumah kaca!," jawab perwakilan oposisi darat dengan nada yang tak kalah emosionalnya dengan Gubenur Ikan.

Usulan dari oposisi darat terbuang begitu saja. Sementara, Gubenur Ikan tetap memilih mengorbankan wilayah airnya dijadikan perumahan rumah kaca dan pusat pembelajaan. Pusat-pusat pembuangan dan resapan air mulai tertutup. Kawasan darat mulai tergenang air. Luapan air tak bisa dicegah lagi. Semua kotoran bertumpuk. Semua makhluk sulit membedakan, mana kotoran, mana makhluk. Manusia, hewan, gembel, Gubernur Ikan, dan Jenderal Penguasa Laut sulit dibedakan. Warnanya sudah sama dengan sampah dan tinja. Sementara, kelompok opsisi darat, masih terus mencoba mendayung sampan untuk mencari katup-katup air yang masih tersumbat. Sambil berzikir, berpikir dan terus berjuang, kelompok oposisi darat masih terus mengincar Gubenur Ikan untuk segera digulingkan. Tetapi, kelompok oposisi darat memang harus bekerja keras, sebab mereka masih sulit membedakan mana Gubenur Ikan dan mana tinja. Semua sudah berpadu.

Demang Lebar Daun-Palembang, 22 April 2003

Gitar Itu Masih Berdenting

Gitar Itu Masih Berdenting


Oleh Fatma Dewi F.S.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Negeri Surabaya

Belajarlah mendengarkan hati
Dan biarkan jari-jarimu bergerak
Mengikutinya…
Faya memberanikan diri menerima gitar yang kusodorkan padanya. Dia memeluknya seperti memeluk bayi kecil. Begitu hati-hati. Selintas kulihat matanya memandangku ragu-ragu. Aku tidak mau dia berubah pikiran, jadi aku balas memandangnya.

Bukan dengan pandangan meragukan, melainkan dengan pandangan meyakinkan. Aku berani menjamin string-string itu tidak akan melukai jarinya.

Sebagai permulaan, aku mencontohkan beberapa chord dasar. Faya mengikuti gerakanku satu persatu. Masih sangat kaku. Lalu aku mulai memetiknya.

Aku mainkan sebait lagu yang mudah diikuti. Aku sempat berharap dia bisa mengikutiku seperti sebelumnya. Sayang harapanku kelewat muluk. Kali ini semuanya tampak berantakan. Tidak peduli chord apa pun yang dia tekan, bunyi yang dihasilkan selalu sama.

Bunyi "prek prek" yang menyiksa pendengaran. Tapi aku tidak gampang menyerah. Aku tahu tidak ada awal yang mudah. Yang namanya proses pasti butuh waktu.

Sepertinya Faya membaca pikiranku. Dia melonggarkan gitar dalam pelukannya. Matanya seakan mengatakan upaya kami akan sia-sia. Dia mau mengurungkan niatnya.

Aku tidak suka itu. Aku sudah berjanji akan membantunya sampai bisa. Setidaknya, memainkan sebuah lagu saja.

Tanpa permisi langsung aku raih tangannya. Aku bantu jari-jarinya menekan chord dengan benar. Lalu kusuruh dia menirukanku sekali lagi. Syukurlah, bunyi yang dihasilkannya kali ini sudah lebih enak didengar.

Melihatku menghela nafas, diapun tersenyum. Ada kelegaan yang memancar dari senyumnya.

Sejak saat itu, kami mempunyai jadwal khusus setiap minggunya. Jadwal itu disesuaikan, bergantung kapan aku ada waktu luang.

Faya sama sekali tidak punya talenta musik. Dia buta nada. Dia jarang mendengarkan lagu-lagu. Tapi semangatnya yang besar itu membuatku optimis. Nanti, entah kapan, Faya akan mengejutkanku dengan sebuah keajaiban. Aku hanya perlu menunggu.

Lalu kau akan mengerti, ternyata
Hidup ini
Sebuah lagu
Iramanya mengalun dalam tiap
Helaan nafasmu
Debaran jantungmu
Aliran darahmu

Akhirnya, saat itu tiba juga. Minggu-minggu yang kami lewati berdua terasa begitu singkat. Aku sulit mempercayainya. Faya masih belum fasih memetik string gitar maupun mengganti chord. Dia masih belum bisa memainkan satu lagu secara utuh. Meskipun aku sudah berusaha semampuku.

Seandainya boleh, aku ingin mencegahnya agar tidak pergi. Tugasku masih belum selesai. Janji itu belum kupenuhi.

Faya harus berangkat sekarang juga atau semuanya terlambat. Kanker yang dideritanya sudah mencapai stadium empat. Itu berarti dia harus menyerahkan nyawanya di ujung pisau bedah. Di ruang operasi.

Ada binar kehidupan yang menyala di matanya, saat aku memainkan lagu untuknya pertama kali. Dia tersenyum lebar dan bertepuk tangan. Senyum yang lebih bermakna dari sejuta kata.

Kami bertemu di rumah sakit. Orang boleh bilang pertemuan kami sebuah kebetulan. Tapi bagiku itu adalah nasib.

Faya mengajarkan padaku apa artinya bertahan hidup. Dia mengajarkan padaku bagaimana caranya menghargai hidup. Dia datang dalam hidupku sebagai penolong saat aku tersesat. Bukan sebagai korban yang harus dikasihani. Itu sebabnya aku sangat ingin mengabulkan keinginannya. Memberikan apa yang memang layak diterimanya.

Sayang sekali, aku gagal.
Faya sangat ingin bisa bernyanyi sambil diiringi gitar yang dipetiknya sendiri. Dia ingin memupuk keberaniannya untuk menghadapi kenyataan. Menurutnya, lagu-lagu itu mampu memberinya kekuatan lebih.

Aku tidak tahu bagaimana dia bisa berpikiran begitu. Hanya, laporan medisnya menyatakan kalau kondisinya membaik tiap kali kami bertemu dan belajar memainkan lagu.

Dan sekarang, Faya harus menghadapi peperangannya seorang diri. Aku tidak lagi bisa membantunya. Mungkin kekuatan yang diharapkannya belum sempurna. Tapi aku yakin dia cukup kuat untuk bertahan.

Sebelum dia dibawa ke ruang operasi, aku memainkan lagu kesukaannya dengan gitar yang selama ini dipakainya belajar. Aku lihat dia menangis.

Faya, selama gitar itu masih berdenting, pisau bedah seperti apa pun tidak akan membuatmu merasa sakit. Aku berani menjamin.




GERIMIS INI TURUN UNTUKMU

GERIMIS INI TURUN UNTUKMU


Saat pertama kali kuinjakkan kaki di kota kecamatan, yang pertama kuingat bukanlah wajah Jailu. Wajah dalam foto yang pernah dikirimkan untukku. Berlembar-lembar surutnya! Itulah yang hadir di benakku saat turun dari bu. Hijau jalan menuju desanya, dalam kejauhan menembus bukit dengan aspal kerikil, membuatku hampir tak percaya bahwa Jailu bisa menulis surat dengan kalimat yang begitu lugas, lincah dan tak pernah ada kesalahan ejaan dalam tulisannya di surat.

Tahu nggak Nin, saat menerima suratmu yang kemarin aku baru pulang dari sekolah. Tak peduli belum makan siang, aku langsung lari masuk kamar untuk membaca suratmu. Tapi suratmu nggak kubaca, berhari-hari! Aku kesal denganmu. Kamu nggak fair, aku sudah capek-capek ke kota kecamatan untuk berfoto lalu kirim ke kamu…eeh kamu nggak membalasnya dengan selembar fotomu pula.

Atau kamu mau mutusin persahabatan kita? Hanya karena wajahku di foto sangat kampungan, kulit hitam bahkan berkesan berdebu? Jengkel! Nin, apa kamu nggak tahu? Mencari sahabat nggak boleh lihat dari kulit luar. Banyak orang yang tampang keren tapi di balik dadanya yang ada hanya benci, iri dan tamak. Buah manis berulat di dalamnya!

Entah kalimat cacian apalagi yang ada dalam suratnya, aku tak menghafal semua. Tapi cacian itu tak membuatku marah apalagi kesal, aku bahkan tersenyum lalu menyusun rencana untuk menemuinya di desa.

Bukannya aku tak mau mengirim foto untuk Jailu, tapi aku takut, setelah melihat fotoku dia malah tambah kecewa dan tak mau berteman lagi denganku. Memang iya sih, cari teman tak boleh hanya melihat kulit luarnya, tapi yang pasti jika dia tahu siapa diriku yang sebenarnya, aku yakin dia akan tambah jengkel dan tak mau berteman lagi denganku.

"Masih jauh, Pak?" tanyaku pada sopir angkot yang membawaku ke desanya setelah tadi turun di terminal bus kecamatan.
"Mungkin malam baru tiba, jam tujuh paling cepat!"
Kulihat jam di pergelanganku. Baru jam tiga sore, berarti masih empat jam. Sebenarnya aku betah dengan perjalanan ini, jalan desa yang diapit gunung-gunung menjulang dengan perkebunan kol dan bawang merah menghampar hijau di kaki gunung. Tapi aku penasaran ingin melihat air muka Jailu saat melihat sosokku yang sebenarnya. Kecewakah, marah atau bahkan tambah suka padaku? Aku yang ingin membuat surprise untuknya, tapi aku yang seolah ingin mati penasaran.
"Kenal dengan Jailu, Pak?"
Aku mencoba bertanya, bukankah orang-orang kampung biasanya saling mengenal satu sama lain. Tidak seperti orang kota yang dengan tetangga pun kadang tak kenal.
Sopir itu melirikku, mungkin jika tak takut mobilnya salah jalur dan masuk jurang yang mengapit jalan desa, dia pasti akan menatapku lama-lama.
"Kenal, anak Pak Hasan. Mau ke sana, kamu keluarganya dari kota, ya?"
Aku mengangguk. Sangat kutahu, bohong itu dosa. Tapi untuk mengaku bahwa aku dan Jailu bersahabat, sopir itu pasti tak percaya. Tapi kebohongan itu akhirnya membuatku bungkam saat pak sopir menyerangku dengan berbagai pertanyaan tentang keluarga Jailu. Padahal yang kutahu, tidak lebih dari Jailu yang masih duduk di Sekolah Dasar.
"Jailu anaknya nakal. Bukan hanya di kampung, bahkan terkenal sampai ke tetangga kampung, namanya dikenal sebagai anak nakal."
Aku tersentak. Kuingat kembali surat-surat Jailu yang menurutku jauh dari kesan nakal seperti yang baru saja kudengar. Pembukaan suratnya selalu dengan salam, bahkan memintaku rajin belajar, salat dan patuh pada orangtua. Terlebih, Jailu selalu titip salam untuk mama dan papaku saat menutup suratnya.
Aku menggeleng. Rasanya tak percaya bahwa Jailu anak nakal. Kubuka tas lalu mengambil fotonya yang kuselip di diary-ku. Semakin tak percaya melihat foto itu, sangat jauh dari kesan nakal. Aku semakin tak mengerti. Mungkin benar, seseorang tak boleh dinilai baik atau buruknya, hanya dengan melihat kulit luarnya.
"Dia bahkan tak naik kelas tahun ini!"
Dadaku bergemuruh tak karuan. Saat penumpang yang duduk tepat di samping kiriku berucap, menambah daftar keburukan Jailu. Mungkin penumpang itu melihat mimik ketakpercayaanku hingga memperjelasnya lagi dengan kalimat yang kali ini membuatku tambah bisu.
"Anakku yang sekelas dengan dia sering menangis saat pulang sekolah. Kalau bukan pensil, bukunya yang diambil paksa oleh Jailu. Guru di sekolahnya pun mengaku kewalahan."
Jalan desa mulai gelap. Kabut menggulung pekat, turun dari pegunungan yang mengapit jalan desa. Adzan maghrib berkumandang. Rumah penduduk yang tidak terlalu rapat telah diterangi lampu minyak.

Aku mendesah. Selama ini Jailu tak pernah bercerita dalam suratnya bahwa listrik belum masuk kampungnya. Juga tak pernah bercerita bahwa dia tidak naik kelas, padahal suratnya yang terbaru tiba di tanganku saat musim liburan tiba. Aku jadi ragu, jangan-jangan banyak lagi kebohongan Jailu yang terungkap saat bertemu nanti. Tentu saja aku tak berhak marah dengan kebohongannya itu, karena aku pun tak pernah bercerita tentang siapa diriku sebenarnya.

Jailu… Jailu! Entah harus tertawa atau sebaliknya saat menyebut nama itu. Pertama melihat nama dan fotonya terpampang di rubrik Sahabat Pena, majalah anak-anak, membuatku tegoda untuk mengerjainya dengan mengajaknya bersahabat.

Nama desanya yang sebelumnya tak pernah kudengar membuatku yakin dia anak kampung. Tapi bukan itu yang membuatku tergoda untuk mengajaknya bersahabat pena, juga bukan wajahnya di foto yang begitu polos berkesan lugu. Cita-citaku menjadi penulis. Lebih dari Khairil Anwar atau J.K. Rowling-nya Harry Potter sekalipun. Aku akan tetap menulis, hingga saat tintaku habis, cita-cita itu tak 'kan pernah pupus. Kalimatnya di majalah itu yang membuatku tergoda.

Lalu jika kampungnya sesunyi dan terpencil seperti ini, dari mana dia kenal J.K. Rowling, bahkan majalah anak-anak terbitan ibu kota itu bagaimana bisa dia tahu alamatnya? Anak-anak di kota pun paling cuma kenal Harry Potter, bukan J.K. Rowling. Aku menggeleng penuh ketakmengertian. Kesan Jailu sebagai anak nakal berganti menjadi anak "aneh" menurutku.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah berdinding anyaman bambu, beratap daun rumbia. Cahaya lampu yang menyala redup dari dalam rumah pun menandakan, rumah itu hanya diterangi pelita. Bukan lampu petromaks seperti kebanyakan yang kulihat di sepanjang jalan tadi.
"Itu rumah Jailu."
Aku masih tertegun menatap rumah yang lebih pantas disebut gubuk itu. Telunjuk sopir angkot pun masih lurus ke arah rumah itu. Dia mengangguk, meyakinkanku bahwa itu adalah rumah Jailu. Didahului dengan desah napas, aku turun dari mobil dan melangkah pelan menuju rumah Jailu. Lelah dan penat masih melemaskan persendianku. Juga keraguan pada diri Jailu membuatku belum berani mengetuk pintu. Mungkinkah Jailu mau menerimaku sebagai sahabat, bukankah aku telah membohonginya. Menulis dalam suratku bahwa aku masih duduk di bangku SD padahal tahun ini aku sudah naik kelas dua SMU.

"Untuk pulang pun rasanya mustahil. Jalan terbaik, juga jalan satu-satunya adalah mengetuk pintu, lalu memperkenalkan diri sebagai Nina, sahabat penanya dari kota. Bukan hanya itu, aku pun harus memberinya pengertian bahwa persahabatan tak hanya berpantang sekedar melihat kulit luar, tapi juga umur. Keinginanku untuk bersahabat dengan Jailu, tulus dari hati. Semoga dia mau memanggilku 'Kak Nina'," batinku sambil mengetuk pintu.
"Ada Jailu, Bu?"
Wanita setengah baya yang kuyakin ibu Jailu itu menatapku heran.
"Jailu menemani ayahnya ke kebun."
Keningku berkerut. Meski aku orang kota, setahuku kerja kebun itu waktunya siang.
"Belum pulang dari kebun ya, Bu?"
"Dia nginap di sana, sudah seminggu. Akhir-akhir ini tanaman kami sering diganggu babi kalau malam. Jadi harus dijaga! Jailu kan libur…"
Kalimatnya terhenti. Aku yakin, ketakberaniannya melanjutkan kalimat ada hubungannya dengan pembicaraan tadi di angkot, tentang Jailu yang tak naik kelas.

"Sepertinya malam ini aku belum bisa bertemu dengan Jailu. Entah kenapa, ada yang aneh, bergemuruh di balik dadaku saat mengingat Jailu. Akankah dia menerimaku sebagai sahabat? Ah, semoga!" batinku sambil menarik selimut pemberian ibunya. Kupaksa pejamkan mata meski tak lelah.

Tak seperti biasa, aku yang rajin mandi pagi bahkan sering kena marah bila berlama-lama di kamar mandi karena banyak yang mau pakai, kali ini tidak. Kampung Jailu yang berada di kaki gunung, membuatku seperti membeku kedinginan. Ibunya yang ramah bahkan menertawaiku karena masih menggunakan selimut yang semalam kupakai tidur, padahal aku sudah duduk di beranda depan, menunggu kedatangan Jailu.
"Biar nggak dingin, selimutnya dilepas lalu olahraga pagi."
Kucoba mengikuti saran ibu Jailu, tapi baru semenit lepas dari selimut, aku melipat tangan di dada lalu mencari jaket.

Teh yang masih mengepul kuseruput hati-hati, demi menghangatkan tubuh. Kulihat ibu Jailu tersenyum lagi melihat tingkahku. Kubalas senyumnya dan mencoba bertanya banyak tentang Jailu.

Ada rasa enggan di wajahnya untuk bercerita tentang Jailu. Tapi menyadari kedatanganku yang dari jauh hanya untuk bertemu Jailu, membuat mulutnya terbuka juga.

Diakuinya bahwa Jailu nakal, sangat nakal! Tapi dia pun menyadari, kenakalan itu ada karena Jailu tak puas dengan keadaannya. Jailu punya cita-cita tapi lepas SD dia harus melepas seragam sekolahnya.

"Dari mana kami ambil uang untuk membiayainya. Nak Nina lihat sendiri keadaan kami. Apalagi, untuk masuk SMP dia harus ke kota kecamatan. Kampung ini hanya punya sekolah SD."

Kurasa air mataku ikut menetes. Cerita selanjutnya semakin memerihkan. Tentang Jailu yang sering bolos sekolah, sering didapat di kantor pos kecamatan. Tak jarang ayahnya memukulnya jika dengar kabar Jailu habis bolos sekolah hanya untuk ke kantor pos dan tak tahu cari apa di sana. Aku tahu, pasti Jailu ke kantor pos untuk mengirim surat padaku.

Perjuangannya untuk menjadi sahabatku ternyata begitu berat. Dia pasti kecewa karena aku bukanlah Nina yang masih seumur dengan dia. Menyesal aku telah membohonginya, padahal maksudku baik. Aku takut dia tak mau menjadi sahabatku hanya karena aku sudah sekolah di SMU.

Padahal aku suka sekali membaca surat-suratnya. Ceritanya polos dan punya gaya bahasa yang indah, sedikit pun tak menandakan dia masih duduk di bangku SD. Ternyata bohong demi apa pun, ujungnya adalah sesal, seperti yang kualami sekarang. Tapi semoga Jailu bisa mengerti bahwa persahabatan tidaklah harus dengan orang yang seusia.

"Majalah itu hampir tiap malam dibaca Jailu, seolah tak pernah bosan," cerita ibunya lagi sambil memperlihatkan sebuah majalah anak-anak untukku. "Majalah itu dikirimkan oleh teman sekolahnya dulu tapi kini pindah ke kota. Hingga kini temannya masih sering mengirimkan majalah untuknya."

Aku yakin, majalah anak-anak itulah yang memperkenalkanku dengan Jailu. Bakat menulis Jailu memancing dia untuk mengirim biodata dan fotonya ke majalah itu. Hingga akhirnya, aku yang sering membeli majalah anak-anak untuk adik sepupuku, dipertemukan dengan biodata Jailu.

Kisah persahabatan itu pun mengalir. Aku yang tak punya adik, merasa dianugerahi adik setelah bersurat-suratan dengan Jailu.

Matahari belum juga muncul. Kabut masih menguasai perkampungan. Masih dengan jaket tebal, aku bergerak ke kamar. Memastikan bahwa robot, mobil-mobilan dan juga komik yang kubawa untuk Jailu sebagai tanda persahabatan, tak ketinggalan.

Saat hadiah itu kupastikan tak tertinggal dan hendak kukeluarkan dari tas, tiba-tiba suara ribut dari luar rumah membuatku urung mengeluarkannya. Aku berlari keluar dan berharap Jailu yang baru pulang dari kebun.

Mataku seakan tak percaya menatap kedatangan Jailu. Ya, aku tak salah, dia adalah Jailu, meski kedatangannya diantar oleh beberapa orang. Ibunya menangis histeris, ayahnya terpaku dalam diam. Tubuh Jailu lemas di atas tandu yang ditempatinya terbaring.

"Jailu…"
Tak ada reaksi. Jailu masih memejam mata meski masih kulihat gerak turun naik di dadanya. Kucari dan kurasa denyut nadi di pergelangannya, masih ada.
"Jailu, aku Nina, sahabat penamu."
Perlahan matanya terbuka, redup sekali tatapannya.
"Benar, aku Nina. Aku datang mencarimu, Jailu!"
Mata redupnya jelas tak percaya bahwa aku adalah Nina. Semua karena bayangannya tentang diriku adalah seorang anak SD yang seusia dengan dia.
"Pecayalah, Jailu! Aku Nina, sahabat kamu. Aku memang salah karena membohongi kamu. Tapi kamu pernah bilang kan, memilih sahabat tak boleh hanya melihat kulit luarnya. Kamu juga harus tahu, Jailu, persahabatan tak memandang usia atau apa pun."
Mata redup Jailu menatapku lagi. Lama sekali! Masih ingin kutatap mata itu, tapi kembali padam. Membuatku panik.
"Jailu!"
Kurasakan tangannya yang dari tadi kugenggam, kini balas menggenggam. Juga kulihat senyum dari bibirnya yang sudah mengering. Sebuah pertanda bahwa dia menerimaku sebagai sahabat.
"Jailu!"
Tak ada reaksi. Tatapan redupnya pun tak ada. Kosong, hampa! Meyakinkanku bahwa Jailu telah pergi.
Kulabuhkan tubuh ke pelukan ibunya yang semakin tak bisa menahan tangis. Ayahnya berusaha tegar meski tetap kecolongan karena air matanya tak berhenti mengucur.
Tak hanya sedih, kulihat sinar sesal di matanya. Seolah merasa tak pernah membahagiakan Jailu, bahkan sering memukulnya. Dia pun tak pernah menyangka, hanya sehari terserang demam tinggi dan terkadang menggigil kedinginan, akan membawa Jailu pergi dalam keabadian. Dia pergi bersama malaria yang menjangkitinya.
Sedih memang. Tapi tetap kusabarkan hati bahkan mencari celah terkecil dari kejadian ini untuk kusyukuri, karena Tuhan masih mengijinkanku untuk menjelaskan semuanya pada Jailu, tentang diriku yang sebenarnya. Penuh kecewa, kumasukkan kembali robot, mobil-mobilan, dan komik yang akan kuberikan untuk Jailu. Semua ini bukan untuknya, Tuhan tak mengijinkanku untuk menandai persahabatanku dengan Jailu, dengan materi. Gerimis tiba-tiba turun, tanpa mendung, apalagi petir. Dan bukankah sekarang musim kemarau?
"Aku yakin, gerimis ini turun untukmu, Jailu," desis batinku. Seolah langit tak tega membiarkanmu pergi tanpa air mata. Semua karena langit tahu ketulusan hati juga perjuanganmu mencapai cita-cita, untuk menjadi penulis.

Langit ingin memperlihatkan pada semua orang, Jailu, bahwa kepergianmu harus ditangisi, meski kamu dikenal sebagai anak nakal. Ah, kamu bukannya nakal, tapi tak puas dengan keadaanmu. Tapi inilah takdirmu yang terakhir, harus kamu terima keadaan ini. Semoga kamu merasakan damai di sana!


Free Smoke Area

Free Smoke Area

Oleh Amalia Suryani
Penulis adalah mahasiswa ITS Surabaya

Tidak kusangka salah satu benda kesayanganku jadi pemicu masalah antara aku dan Maya. Benda itu bukan motor Tiger unguku, celana belel atau miniatur-miniatur Mercy-ku. Benda itu murah, gampang didapat, dan selama ini tidak pernah absen menemaniku. Benda itu rokok.

Aku lupa bagaimana awalnya sampai Maya begitu sensitif tentang ini. Bayangkan! Aku yang biasanya menghabiskan satu pak sehari dipaksanya berhenti. Itu namanya penyiksaan!

"Terserah kamu Don. Pokoknya aku nggak betah ngobrol sama orang yang bau rokok. Apalagi dengan santainya merokok di depanku."

"Tapi May, kamu dulu nggak pernah komplain soal rokok."
"Itu sebelum aku tahu gimana hebatnya benda jelek itu ngerusak tubuh kita."
Ah, dia nggak tahu sih nikmatnya mengisap lintingan tembakau itu.
"Aku akan sangat senang kalau kamu mau berhenti sedikit demi sedikit."
"Susah, May…"
"Kamu belum nyoba."
"Sudah."
"Bohong!"

Aduh, ketus sekali dia. Coba kalau aku nggak sayang…"May, aku kan punya hak untuk merokok." Aku berusaha merajuk. Dia tersenyum.
"Dan aku punya hak untuk menghirup udara yang bebas asap rokok." Maya menatapku.

"Don, di dunia ini ada banyak sekali orang macam kamu. Apa jadinya bumi ini kalau generasinya pada kecanduan rokok? Aku ingin mengubah hal itu. Kamu bantu dong!"

Aku mendengus sebal. "Sok idealis."
"Don, gimana aku ngajak anak-anak kampus sementara cowokku sendiri perokok berat?"
Huh. Tadi sok tegas, sekarang mulai keluar manjanya. "Tauk. Aku ke kantin dulu. Lapar."
Kuseret kakiku asal-asalan. Meninggalkannya yang pasti sedang gondok kuadrat.
***
Semua berawal saat dia bergabung dalam Solidaritas Perokok Pasif, perkumpulan yang terbentuk setelah seminar tentang rokok dan dampak-dampaknya digelar di kampus beberapa bulan lalu. Sejak itu, hari-hari Maya dipenuhi rapat-rapat penyusunan program pemasyarakatan lingkungan bebas rokok di kampus. Aku yang mengantar dan menjemputnya. Waktu itu dia belum terlalu cerewet. Tapi setelah kudengar mereka akan mengadakan kampanye antirokok, Maya jadi superekstrem.

***
"May, kalau kamu benar sayang aku, kamu terima aku apa adanya dong. Yang ada adalah Doni yang suka merokok."
Esok malamnya setelah pertengkaran itu, aku coba berbaikan.
"Kamu bau rokok!"
"Ya ampun May, kamu keterlaluan!"
"Don, kalau kamu tetap seperti ini, paru-parumu bisa bolong. Kamu bisa kena kanker, belum lagi…"
"Nggak usah dijelasin aku juga udah tahu."
"Kalau begitu kamu bego banget. Udah tahu tapi sok gengsi nggak mau berhenti."

Ugh, menyebalkan! Kuambil rokokku lalu kunyalakan. Di depannya. Tidak mengacuhkan tulisan besar di dinding teras: Free Smoke Area. Tapi belum sempat menyala, direbutnya rokok itu lalu dibuangnya. Kuambil rokok kedua. Maya merebutnya lagi. Rokok ketiga, lagi-lagi dirampasnya. Rokok keempat, hei, dia membiarkannya. Aku menang!

"Kamu pulang aja deh," ucapnya ketus.
Tanpa menunggu reaksiku, dia masuk rumah dengan membanting pintu. Rokok tidak jadi kuisap. Aku memandanginya lalu membuangnya bersama-sama tiga rokok sebelumnya. Kurasa aku kalah.
***

Maya belum juga menghubungiku. Padahal aku yakin dia akan menyerah dan minta maaf. Aku sendiri berat hati untuk meninggalkan rokokku tersayang.

Kampanye sudah mulai berjalan. Poster, karikatur, dan spanduk menghiasi kampus. Sebal aku melihatnya. Tapi mereka berhak melakukan itu. Dan aku berhak merokok.

Akhir minggu ini, parade band plus basar dilangsungkan. Bodoh. Mana ada anak band bersih rokok? Dan sekarang justru band yang dipakai sebagai alat kampanye.

Aku sengaja singgah di stan Maya. Kulihat ada buku-buku yang 100 % menghina dina rokok. Kucomot satu. Kulihat judulnya. Tentang orang-orang yang kencanduan rokok tapi berhasil keluar dari ketergantungannya.

Kulirik Maya. Dia sibuk menjelaskan pada pengunjung hal-hal yang sebetulnya sudah jelas. Dia tidak melihatku atau pura-pura tidak melihatku?

"Mulai tertarik nih?" Akhirnya dia menyapa.
"Nggak juga. Aku kangen sama yang jaga stan," godaku.
"Kamu sial Don. Karena penjaga stan ini ingin memberimu buku itu cuma-cuma." Maya menunjuk buku di tanganku.
"Nggak tertarik." Kuletakkan buku itu.
"Sudah kubilang, buku itu buat kamu. Terserah mau kamu apain."
Ah, senyum menyebalkan itu lagi. Sebelum kepalaku meledak, aku pergi dari sana.
"Hai Don!"
"Hei, Fer. Ngeband?"
"Yoi. Aku gabung band baru. Bandku bintang tamu di sini."
"Hebat," pujiku. Nggak heran sih. Fery jago main berbagai alat musik. Terutama gitar. Aku pernah dikalahkannya pada festival band waktu SLTA dulu.
"Buku apaan?"
"Eh, bukan punyaku." Cepat-cepat kukibaskan buku itu. Kalau Fery melihat judulnya, bisa malu aku.
"Wah, buku bagus tuh. Aku berhenti merokok juga dibantu buku itu."
Ha? Aku ternganga. Fery yang ngajarin aku merokok dan sampai terakhir ketemu, waktu festival band, levelnya jauh di atasku. Dan sekarang dia bilang sudah berhenti?
"Berhenti?"
"Sama sekali. Memang butuh waktu dan pengorbanan. Kamu sendiri?"
"Masih. Kenapa berhenti Fer?"
"Kita tahu jeleknya rokok. Dulu aku sebal waktu disuruh berhenti. Tapi setelah aku ke dokter dan tahu kalau paru-paruku sudah mirip permukaan bulan, aku ngeri. Bahkan dokter bilang aku bisa kehilangan kakiku kalau aku masih bandel. Aku menyerah."

Aku terdiam. Dampak-dampak itu aku sudah tahu. Sebenarnya apa yang membuatku enggan berhenti? Gengsi?

"Paling susah kalau ngumpul teman-teman. Tapi lambat laun mereka mendukung juga. Aku siap-siap dulu Don. Sebentar lagi giliranku."

Aku tersenyum. Kubuka buku dari Maya. Kubaca sedikit dan aku tidak menyangka kalau aku tertarik. Ah, aku kok jadi ingin mencoba berhenti ya?

***
Maya kelihatan capek. "Sudah mau pulang?"
"Mau nganter?"
"Yap."
"Kubereskan ini dulu."
"Kubantu." Maya tersenyum. Dia masih manis meski terlihat kuyu.
"May, bukunya oke. Buku sialan itu berhasil mempengaruhi aku." Kucoba mencairkan suasana.
Senyum terulas di wajah Maya.
"Jangan diam aja dong."
"Aku senang begomu sudah hilang."
Cewek ini tangguh benar. "Aku sadar nggak ada alasan terus menjalani kebiasaan buruk ini."
"Dari dulu juga begitu."
"Yang romantis dikit dong May."
"Oke, pacarku sayang. Aku seneeeng banget kamu mau ciba berhenti merokok."
"Tapi nggak sekaligus lho."
"Iya aku tahu. Kurangi sedikit demi sedikit. Aku bakal jadi pengawas yang galak. Don, anggap ini sebuah kontes."
Aku mengernyitkan dahi.
"Bisa berhenti berarti menang."
"Hadiahnya?"
"Tentu saja kamu jadi sehat?"
"Itu saja?" tanyaku nakal.
"Hatiku, itu grand prize-nya."
"Jadi selama ini kamu belum memberi hatimu?"
"Belum semuanya." Dia tertawa menang. Tapi aku senang karena akan kumenangkan hatinya.
"May, aku sayang kamu."
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, dan…perang dengan yayang!

GANTUNGAN KUNCI

GANTUNGAN KUNCI, oleh: Aisyah Tidjani
Dikemas 04/11/2003 oleh Editor


“Jangan biarkan aku sendiri!” Gantungan kunci itu bergumam.
“Apa maksudmu?” Tanya Azam, tuan gantungan kunci.
“Fungsikan aku sebagai benda yang mampu menampung banyak kunci!”
“Oh..., itu? Nantilah, jangan sekarang. Aku tidak terlalu membutuhkan kunci-kunci.” Ungkap Azam, malas-malasan.
“Tapi, bukankah tidak ada salahnya jika Tuan membeli satu kunci saja dan memanfaatkannya. Kalau merasa cocok, Tuan bisa membeli kunci lebih banyak lagi.” Gantungan kunci mulai memohon. Sang Tuan pun tidak sampai hati untuk tidak mengabulkannya.
“Toh, semua itu demi kebaikan Tuan juga.”
“OK..., OK..., nanti sore kau tidak akan kesepian lagi.” Akhirnya Azam mengiyakan permintaan benda kesayangannya itu.
*********
Azam memasuki satu toko penjual kunci. Pelayan toko menyambut kehadirannya dengan senyuman.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya sang pelayan.
“Sebenarnya aku hanya menginginkan satu kunci saja untuk menemani gantungan kunci ini.” Jawab Azam sambil menunjukkan gantungan kuncinya.
“Tuan, disini terdapat banyak kunci. Tuan bisa memilih sendiri kunci mana yang cocok dengan kondisi Tuan dan gantungan kunci yang Tuan tunjukkan itu!” Dengan sikap ramahnya, sang pelayan menemani Azam memilih-milih kunci yang cocok. Kunci-kunci itu berderet rapi, dengan identitas dan papan nama masing-masing. Azam memperhatikan kunci-kunci itu satu persatu. Semua jenis kunci terdapat disana. Dari ukuran kunci terkecil sampai ukuran terbesar dengan identitas dan warna yang berbeda.
Sederet kunci yang pertama, dengan papan nama bertuliskan “Jatidiri” adalah kunci-kunci berwarna putih berukuran sedang. Disampingnya terdapat juga sederet kunci berwarna kuning yang mempunyai label “Tujuan”. Dan masih ada satu deret lagi bernama “Usaha”, warnanya hijau, ukurannya lebih besar. Azam mulai memilih-milih dengan cermat dan hati-hati. Sebab, untuk saat ini semboyannya adalah: Adanya pertimbangan yang matang sebelum mengambil satu keputusan. Akan tetapi, ketika menemukan sesuatu yang baru, ia sangat rakus untuk mencoba semuanya. Sedangkan Azam sendiri selama ini belum pernah bergelut dengan kunci-kunci berlabel itu. Maka, diambillah satu kunci dari setiap deretan kunci yang ada. Padahal niat semula ia hanya akan membeli satu kunci saja. Diantara nama kunci-kunci tersebut adalah Jatidiri, Tujuan, Sasaran, Target, Usaha, Semangat, Kemauan, Sabar, Optimis, Percaya diri, Do’a, dan masih banyak lagi kunci-kunci lain dengan bentuk, warna dan nama yang berbeda.
Azam dan gantungan kuncinya yang sudah tidak sendiri lagi itu telah meninggalkan toko kunci dengan senyum kepuasan. Azam pun tidak sabar lagi untuk segera mencoba kunci-kunci itu satu persatu. Masih terngiang kata-kata sang pelayan sebelum mereka pergi: “Tuan harus bersyukur! Sebab, kaki dan hati Tuan tidak salah menunjukkan jalan. Tuan memasuki toko yang tepat untuk satu kebahagiaan. Kalau sekali saja Tuan memasuki toko yang salah, Tuan tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan itu.”
“Terima kasih.” Azam menyahut sopan. Hanya dua kata itu yang bisa ia ucapkan. Karena ia tidak benar-benar memahami ucapan sang pelayan tadi. Yang ia ketahui sekarang hanyalah gantungan kunci yang telah dipenuhi kunci-kunci baru dan siap dicoba.
*********
“Terima kasih, Tuan. Dua minggu telah berlalu dan selama itu pula aku tidak kesepian lagi.” Gantungan kunci menyapa Azam.
“Kamu senang?” Tanya Azam
“Ya, sangat senang sekali. Dan yang lebih membuatku senang adalah kondisi Tuan yang semakin membaik.” Ungkap gantungan kunci.
“Oyah? Maksudnya?”
“Saat ini, tatkala Tuan berenang di lautan, Tuan tidak lagi tenggelam. Tatkala menyusuri jalan penuh kerikil, Tuan sudah tidak tersandung lagi. Tatkala mendaki gunung yang tinggi, Tuan tidak terjatuh kembali. Dan Tatkala berniat menyeberangi sungai, Tuan tidak lagi kebingungan mencari perahu untuk membawa Tuan ke seberang.” Dengan semangat membara gantungan kunci meyakinkan Azam tentang perubahan yang dialami tuannya itu. Azam tampak berpikir dan bertanya dalam hati “Benarkah semua itu aku alami?” Ia tidak terlalu menyadari hal itu, tapi barangkali telah merasakanya. Sebab, setelah mendengar kata-kata gantungan kunci kesayangannya itu, ia bisa lebih menikmati senyumannya sendiri.
*********
Lima tahun berlalu. Kini, Azam telah hidup bahagia didampingi gantungan kunci yang setia membawakan kunci-kunci miliknya. Kunci-kunci yang selalu memberikan jalan keluar ketika ia kebingungan. Kunci-kunci yang senantiasa memberikan terang ketika lampu mulai temaram. Kunci-kunci yang sudah berumur lima tahun, namun warnanya sedikit pun tidak memudar. Sampai saat ini, gantungan kunci merasa segalanya akan berjalan lancar dan aman-aman saja selama kunci-kunci itu masih di tangan Azam. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja Azam meninggalkan gantungan kuncinya di rumah. Namun bukannya sedih, dia justru pulang ke rumah dengan muka berseri-seri. Gantungan kunci keheranan.
“Apakah yang terjadi, Tuan?”
“Hari ini aku melewati satu toko kunci baru yang sangat menarik perhatianku. Aku mencoba masuk, dan ternyata tidak sia-sia.” Azam bercerita penuh semangat.
“Apakah yang membuat hal itu tidak sia-sia, Tuan?”
“Ya, karena aku adalah pengunjung kesepuluh pada hari ini. Dan setiap pengunjung kesepuluh, berhak mendapatkan berapapun kunci yang dikehendaki, tanpa uang tapi dengan barang. Artinya, aku berhak memilih barang apa yang akan aku posisikan ia sebagai uang.” Azam menjelaskan panjang lebar. Gantungan kunci manggut-manggut tanda mengerti.
“Lalu, barang apa yang akan Tuan gunakan itu?”
“Aku ingin mengganti semua kunci yang telah kumiliki selama lima tahun itu dengan kunci-kunci yang baru.”
“Apa? Apakah Tuan sudah memikirkannya dengan matang?”
“Iya. Lagipula apa salahnya jika aku merasa bosan dengan kunci-kunci lama, dan ingin hidup bersama kunci-kunci baru. Agar aku bisa lebih menikmati hidup ini.” Gantungan kunci tidak bisa terlalu banyak membantah. Ia hanya berharap agar kebahagiaan yang dirasakan bersama kunci-kunci lama akan terulang kembali.
*********
Lima tahun kemudian, gantungan kunci tidak lagi ceria seperti dulu. Dia tidak menemukan lagi kebahagiaan itu. Tidak pada kunci-kunci baru, tidak juga pada kehidupan tuannya. Sedangkan Azam, ia belum menyadari penyebab semua ini dan belum sadar, bahwa kunci-kunci lamanya itu jauh lebih baik dari yang baru. Ia hampir tidak menyadari semua itu, jika tidak bertemu lagi dengan pelayan toko kunci yang ditemuinya sepuluh tahun yang lalu. Pelayan toko itu masih mengingat Azam dan gantungan kuncinya. Cuma, ia tidak menemukan kunci-kunci yang dijualnya sepuluh tahun lalu pada besi gantungan kunci itu. Pelayan toko itu hanya menggeleng dan berkata “Tuan harus sadar, bahwasanya hati dan kaki Tuan salah menunjukkan jalan. Tuan telah memasuki toko yang salah untuk satu kebahagiaan. Pesan ini sudah pernah aku peringatkan, tapi Tuan belum benar-benar memahami hal itu.”

Kairo, 12 Agustus 2003




Gadis Pecinta Kupu-kupu

Gadis Pecinta Kupu-kupu
Dikemas 26/01/2004 oleh Editor
oleh C. Lilik K P.

Gadis Kecil Pecinta Kupu-kupu

“Aku merindukan kupu-kupu,” Kata Mirah pada Atma. “Kalau engkau baik padanya, kalau ia menyukaimu, ia akan hinggap dengan lembut dan tersemat di dadamu”
“Mengapa kupu-kupu ?”
“Karena ia masa kecilku.”

Senja. Angin Menoreh menyusup ke lembah-lembah. Bocah-bocah Menoreh mulai menaikkan layang-layang mereka satu demi satu ke angkasa. Mereka beruntung, para Penunggu Angin yang menghuni bebatuan besar di puncak-puncak pegunungan itu mengutus anak-anak angin untuk menemani mereka bermain-main dengan kemudaan dan cuaca.

Dan anak-anak angin pula yang merasuki orang-orang tiap kali sinden dan wiraswara pertunjukan dusun menyanyikan kidungan rakyat menyeru nama-nama mereka yang purba . Maka para penari pun lantas larut ke dalam tepukan kendang hingga pagi tiba. Hanya air kembang, sesajian, dan sang empu yang mampu mengikat mereka dalam arena keteraturan. Anak-anak angin mengisi bebatuan, pohon-pohon dan sendang-sendang. Anak-anak angin merapat di batu, di pohon, dan menjadi sahabat setiap bocah-bocah dusun. Mereka bercanda dan bercengkrama tiap kali bocah-bocah itu mencebur diri dalam hijau air sendang atau berloncatan di sela-sela bebatuan dan pohonan, laksana kera-kera yang dengan nakal seringkali turun mengganggu tanaman warga dusun-dusun Menoreh Utara.

Menoreh adalah ibu setiap kanak yang terlahir, dan Para Penunggu Angin yang dengan arif mengirim kidung kehidupan lewat nyanyi daun-daun ibarat Bapa bagi bocah-bocah ingusan itu.

Dan dari anak-anak Menoreh, lahirlah seorang Mirah. Dan Mirah cinta pada kupu-kupu, sebab kupu-kupu yang pertama mengenalinya sebagai seorang sahabat yang hangat dan penuh asih. Dulu, ketika ia belum mengenali cinta pada siapa saja, seekor kupu-kupu besar dengan sayap koyaknya terkulai tanpa daya jatuh ke pangkuannya, menjadi isyarat pembuka tentang hidup dan pusaran makna-makna.

Tapi menyematkan seekor kupu-kupu gajah di dada tentu bukan hiasan yang manis buat siapa saja.
“Ia terlalu besar untuk sebuah bros” tutur ibunya.
Kata-kata yang terdengar menyakitkan buat Mirah kecil, yang tak pernah mengijinkan apa dan siapa saja hinggap di dadanya, bahkan bagi Rofik, yang sejak kanak-kanak selalu dibayangkan Mirah sebagai kekasihnya. Kalau toh kini ia mengijinkan kepala Atma merapat ke dada dan pangkuannya, itu lantaran kini ia telah menemukan cinta yang lebih kuat dari kupu-kupu, walau mungkin tak lebih agung dari itu.

“Aku tak membandingkan cintamu dengan seekor kupu-kupu. Tapi kupu-kupu tak pernah meminta, ia hanya menyerahkan dirinya, dan begitulah kau akan mengenalinya sebagai hidup dan berharga.” Kata Mirah perlahan sambil mengusap rambut Atma di pangkuannya. Teduh rumpun bambu menyejukkan mereka, sekalipun masing-masing dari daun-daunnya menyimpan takjub mencemburu.
“Aku tak menuntut apa-apa darimu, aku hanya mencintaimu. Sekalipun cinta adalah sebuah kata-kata baru bagiku. Sebab aku hanyalah seorang murid dalam hal ini. Sebagai misteri ia terlalu agung bagiku, sebagaimana secara fisik, ia terasa teramat memuakkan. Dan aku belum lagi berani bercinta. Ajari aku dengan cinta kupu-kupumu.”
Mirah dan Atma menatap sahabat-sahabat mereka memainkan layang-layang di langit-langit Dusun Klonthangan. Angin dari puncak Watu Adeg menyusup ke rumpun-rumpun bambu, mengggoyang topeng-topeng barongan di rumah Kang Amin.
“Barate teka !” Seru Muhfid menunjuk ke pucuk-pucuk pohon di puncak-puncak bukit yang bergoyangan ditiup angin. Bocah-bocah yang menanti di jalanan dusun pun berlarian menarik layang-layangnya. Layang-layang bergoyangan naik meniti angin. Sendaren mulai berdengungan.
“Kupu-kupuku lincah seperti layang-layang itu. Tapi ia tidak berdengung, ia menyanyikan lagu kehidupanku.”
“Cintaku akan mengidungkan lagu-lagu bagi jiwamu.”
Daun-daun bambu gemerisik membincangkan mereka. Lalu mendadak mereka kehilangan kata-kata.

---oOo---

Cinta di sebuah kuliah lapangan memang bukan cinta yang bisa dipercaya. Ketika batas budaya, batas tradisi menjadi penghalang, hanya para pemberani yang mampu melibas jalan tualangnya sendiri. Mirah dan Atma memang bukan orang-orang penakut, namun penghormatan pada leluhur dan bumi kelahiran membuat mereka memutuskan untuk tidak pernah bersatu. Tapi hari-hari ini adalah hari-hari saat keduanya mencoba menghidupi cinta dan setia, meski di hati masing-masing tahu, betapa itu semua tak mungkin terus terjadi. Toh cinta tak pernah menunggu masa depan. Sesungguhnya, ia bahkan tak pernah sama sekali mempersoalkannya. Untuk hal ini, mereka tak butuh tahu betapa pengalaman mencintai dan dicintai tak pernah menjadi pengalaman yang sia-sia. Mereka kini hanya ingin melewatkannya. Ya. Kalau mereka tak boleh berharap apa-apa, toh mereka masih bisa mencipta bersama kenangan-kenangan singkat. Barangkali kelak, jika jiwa mereka letih dan merindukan seorang kekasih, mereka bisa sejenak membaringkan diri di dalamnya. Memanjakan diri pada sebuah masa lalu.
Maka mereka mencoba merekam sebanyak mungkin dari peristiwa : menciumi aroma rumput-rumput basah yang baru saja disabit bagi ternak-ternak, menyusuri jalan-jalan tangga di sela-sela rumah bambu, menyapa setiap pepohonan, memainkan layang-layang, merajang tembakau, hingga bermain-main di kolam ikan, tempat separo warga dusun membuang hajat ketika perut mereka memanggilnya.
“Marilah kita mencoba membayangkan untuk sebuah yang tiada akhir.” Kata Atma pada suatu hari.
Tapi Mirah pura-pura tak mengerti. Ia tahu pasti kapan ia harus pura-pura tak mengerti, agar hari-hari mereka tak perlu terusik rasa sakit yang tak berguna itu.
“Mengapa engkau suka membangkitkan rasa sakit dalam dirimu, Atma ? Bukankah indah untuk tidak memikirkannya ?”
Mereka tahu itu. Ketika cinta tak boleh punya masa depan, biarkan ia menguasai sepenuhnya kekinian.
“Kamu tak mengerti. Kita sama sekali tak bisa menawar, maka ini semua akan menjadi sangat indah kalau kita bangun dan melawan.”
“Engkau masokhis.”
“Bukan. Aku idealis.”
“Engkau melakukannya bagi dirimu sendiri, dalam ruang batinmu sendiri. Sesuatu yang melulu beredar di kepala tak pernah menjadi perjuangan yang sesungguhnya.”
“Karenanya aku menariknya ke ruang kita. Ke beranda, agar masing-masing dari kita bisa menatap dan membincangkannya.”
“Engkau menarikku ke dalamnya. Engkau memaksaku.”
“Tidak, tidak Mirah. Aku ingin berbagi denganmu. Ya segala sesuatunya, juga ketakutan-ketakutan akan apa yang pasti akan terjadi.”
“Engkau hanya ingin memaksaku masuk ke dalam permainanmu. Ke dalam kegemaranmu menyakiti dirimu sendiri. Engkau begitu egois, Atma. Egois.”
Atma terdiam.
“Aku tidak tahu, Mirah. Aku tidak tahu.”
Bunga-bunga semak di pinggir jalan, adakah engkau mempunyai sebuah nyanyian ? Serukan ke dalam hati-hati kami agar kami tak lagi sepi.

---oOo---

Tapi cuaca menjadikan leher-leher bunga itu kering dan serak, tak mampu bersuara. Maka jadilah sepi itu. Tak ada suara, apa lagi lagu-lagu. Lalu Mirah pun bertutur tentang kupu-kupu.
“Suatu hari kupu-kupu lucu itu hinggap dengan lincah di telapak tanganku. Ia menatap manja mesra langsung ke mataku. ‘Aku punya sebuah kisah untukmu’ katanya dengan keriangan ajaib yang tak pernah kujumpai sebelumnya. ‘Ayo ceritakanlah padaku’ kataku. Tapi ia terus tertawa-tawa. Ia tiba-tiba terbang dan terus menarikku. Ia melesat menyusup di sela-sela pohon tembakau, melintasi sawah-sawah, pematang-pematang, dan pohonan kelapa. Ia terbang berloncatan dari bunga ke bunga. Tinggal pada yang satu untuk mencecap madu-madu, hinggap pada yang lain dan menggoyangkan kelopak-kelopaknya dalam keceriaan yang suci.. Daun, pohon, kayu, tanah, air, ranting, awan, juga matahari terus bergerak dalam kidung masmur keabadian. Dan kupu-kupuku terus menari. Ketika ia mengepakkan sayap-sayap kuningnya, serbuk-serbuk sari yang melekat pada tubuhnya terburai dalam angin. Kini angin menarikan penciptaan itu, melahirkan citra-citra ajaib dari butiran-butiran serbuk sari yang mempercayakan diri padanya. Angin membelai daun-daun, yang lalu tersipu malu, dan menggoyang-goyangkan dirinya dengan gembira. Kegembiraan dan spontanitas memberi keberanian pada kanak-kanak embun yang semula mesra merangkul ibu daun-daun untuk menjalani sendiri tualangnya. Maka berluncuranlah mereka di helaian daun, -sedikit takut-takut ketika tiba di ujungnya- untuk kemudian meloncat dengan bebas merdeka ke jutaan sahabat mereka di kolam dan sendang-sendang Klonthangan. Sorak sorai menyambut kebebasan baru yang kini mereka miliki. Gelombang-gelombang keceriaan yang suci terus berpendaran di muka sendang. Kegembiraan pun perlahan mengendap sebagai syukur, segala sesuatunya begitu jernih, segar, dan indah dalam kearifan hidup yang dalam. Ketika cinta itu utuh terlukiskan, tak ada lagi kata. Tak ada lagi bahasa.”
“Tapi tiba-tiba saja kupu-kupuku jatuh terduduk dengan letih. Air mata mengalir dari pipinya. ‘Maafkan aku, maafkan aku, sobat. Aku tak bisa berkisah padamu. Kisahku hanyalah sebuah perjalanan. Aku tak bisa berbagi dengan padamu. Aku sendiri bahkan tak menemukan puisi itu lagi ketika aku mencoba meloncati bunga-bunga yang sama, daun-daun yang sama saat aku pertama mengalaminya. Maaf kalau engkau tidak mengerti’ kata kupu-kupuku.”
“ ‘Aku mengerti’. Kataku. ‘Aku mengerti sepenuhnya, aku mendengar semua kisahmu dari kegembiraan di wajahmu. Kegembiraanmu abadi. Engkau kupu-kupu sufi’.”
Dan Atma makin mencintai Mirah.

---oOo---

Dan semakin cinta itu merasuk ke dalam, semakin ia terasa menyakitkan. Hingga mereka memutuskan untuk saling tak bertegur sapa.
Tapi ketika hari itu tiba, seekor kupu-kupu tiba-tiba hinggap di jendela kamar Atma.
“Apakah aku mengenalmu kupu-kupu ? Jika engkau benar cinta Mirahku, engkau tak bisa berkata-kata. Kata-katamu tak pernah sepenuhnya ada. Aku tahu ini semua. Engkau hanya bisa berkata-kata lewat batinnya. Engkau kata-kata dari kearifannya. Hatiku tak cukup mengerti bahasamu, mengartikan satu demi satu pesan cinta dalam perbincangan bersama seekor kupu-kupu, bagiku terasa begitu konyol dan lucu.”
Atma terkejut dengan kata-kata yang meluncur dari hatinya. Apakah ia merasa cemburu ? Ego seorang lelaki yang takluk oleh kupu-kupu ?
“Aku bukan kupu-kupu Mirah. Aku kupu-kupu dari batinmu. Sebab itulah aku bisa berbicara kepadamu, karena aku berbincang dari bahasamu, dari tiap-tiap kata yang terucap lewat lidah batinmu.”

---oOo---

Tak seperti biasanya, pagi itu Para Penunggu Angin mengirimkan kera-kera putih. Mereka lincah berloncatan dari dahan ke dahan. Keluar dari pertapaan-pertapaan ajaib di puncak-puncak bebatuan Menoreh.
Kera putih telah menyebar ke seluruh wilayah dusun Klonthangan, kera putih berburu musuh abadinya. Tapi Atma bukanlah Rahwana yang menculik Sinta. Ia adalah seorang yang kepadanya Mirah mempercayakan seluruh hidupnya. Bahwa kemudian kehidupan itu sendiri yang menolak meronta dan memutuskan sendiri jalan hidupnya, itu perkara lain.
“Kera itu akan mengawal engkau dan kupu-kupumu, Atma. Biarlah ia menjadi suara jiwamu. Dan kupu-kupu, adalah sahabat tualangmu.”
“Maafkan aku, Mirah. Aku tak bisa memberi sayap pada cintamu. Bahkan aku tak bisa membuatnya bagi diriku sendiri. Aku bukan Rahwana yang bisa menculik dirimu bagi hatiku. Sebab hatiku sendiri tak lagi kumiliki, kutukarkan ia dengan kupu-kupu bagi jiwaku.”



sesudah KKN di Borobudur,Yogyakarta, Nov-Des 2003
Penulis,



catatan: naskah ini memenangkan lomba cerpen Dies Natalis UGM 2003

Selasa, 05 April 2016

HUBUNGAN GLOBALISASI DENGAN KEBUDAYAAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul “HUBUNGAN GLOBALISASI DENGAN KEBUDAYAAN’’.
Walaupun masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini,namun kami berharap agar makalah ini dapat dipergunakan dan di manfaatkan baik di dalam sekolah atau diluar sekolah.
Dalam melaksanakan makalah ini banyak pihak yang terlibat dan membantu sehingga dapat menjadi satu makalah yang dapat di baca dan dimanfaatkan .
Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Akhir kata semoga laporan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca umumnya . Sekian dari saya mengucapkan banyak terimakasih .


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………….………………. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. iii


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………. 2
C. Rumusan Masalah ……………………………………………… 3
D. Tujuan Makalah ………………………………………………… 3

BAB II PENGERTIAN GLOBALISASI …………………………………… 4
BAB III PEMBAHASAN
A. Dampak Globalisasi ……………………………………………… 6
B. Ciri Globalisasi …………………………………………………… 8
C. Dampak Positif dan Negatif dari Globalisasi …………………….. 10
D. Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme Di
Kalangan Generasi Muda ………………………………………… 10
BAB IV KESIMPULAN ………………………………………………………. 12
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 13


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini.

Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari para pakar ekonomi, sampai penjual iklan.

Dalam kata globalisasi tersebut mengandung suatu pengetian akan hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya dan lain-lain. Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya.

Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya. Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global Globalisasi adalah proses dimana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain.(A.G. Mc.Grew, 1992).

Proses perkembangan globalisasi pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi. Dari kemajuan bidang ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Contoh sederhana dengan teknologi internet, parabola dan TV, orang di belahan bumi manapun akan dapat mengakses berita dari belahan dunia yang lain secara cepat. Hal ini akan terjadi interaksi antarmasyarakat dunia secara luas, yang akhirnya akan saling mempengaruhi satu sama lain, terutama pada kebudayaan daerah,seperti kebudayaan gotong royong,menjenguk tetangga sakit dan lain-lain. Globalisasi juga berpengaruh terhadap pemuda dalam kehidupan sehari-hari, seperti budaya berpakaian, gaya rambut dan sebagainya.


B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan,misalnya

1. hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara
2. terjadinya erosi nilai-nilai budaya,
3. menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme
4. hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong
5. kehilangan kepercayaan diri
6. gaya hidup kebarat-baratan

C. RUMUSAN MASALAH

Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa.

D. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap eksistensi kebudayaan daerah
2. Untuk meningkatkan kesadaran remaja untuk menjunjung tinggi kebudayaan bangsa sendiri karena kebudayaan merupakan jati diri bangsa


BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN GLOBALISASI

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara

Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.

Menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.


Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:

Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Dampak Globalisasi

Adanya globalisasi mampu membuat dunia tampak sempit, dahulu apabila kita akan menonton siaran sepak bola kita harus ke negara yang mengadakan pertandingan. Tapi sekarang kita tidak perlu kemana-mana, kita cukup melihat di televisi. Ketika akan menghubungi seseorang kita harus bertemu dengan orang tersebut, tetapi sekarang dengan adanya pesawat telepon kita tidak perlu bertemu langsung cukup berbicara melalui telepon saja. Adanya globalisasi membawa manfaat bagi umat manusia tetapi ada juga dampak buruknya.



1. Dampak Globalisasi di Bidang Sosial dan Budaya

Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara berkembang. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/ VCD atau DVD.

Dampak positif globalisasi di bidang sosial adalah para generasi muda mampu mendapatkan sarana-sarana yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dan berhubungan dengan lebih efisien dengan jangkauan yang lebih luas. Adapun dampak negatifnya adalah bahwa generasi muda yang tidak siap akan adanya informasi dengan sumber daya yang rendah hanya akan meniru hal-hal yang tidak baik seperti adanya bentuk-bentuk kekerasan, tawuran, melukis di tembok-tembok, dan lain-lain. Dengan adanya fasilitas yang canggih membuat seseorang enggan untuk berhubungan dengan orang lain sehingga rasa kebersamaan banyak berkurang. Manfaat globalisasi di antaranya adalah informasi yang dapat diperoleh secara mudah, cepat, dan lengkap dari seluruh dunia sehingga pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas. Akan tetapi dengan adanya arus globalisasi kadang-kadang tidak disertai penyaringan. Semua informasi diterima apa adanya. Hal itu berakibat pada perubahan pola hidup, pola pikir, dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma kebudayaan bangsa Indonesia. Segi budaya merupakan segi yang paling rentan terkena dampak negatifnya. Bentuk informasi dan sarana yang dapat diterima dengan bebas mampu memengaruhi pola bertindak dan berpikir generasi muda. Sebagai contoh, menurunnya budaya membaca di kalangan pelajar, mereka lebih suka melihat televisi yang memperlihatkan tontonan yang mengandung unsur kekerasan yang kemudian mereka tiru.


2. Dampak Globalisasi di Bidang Ekonomi

Dampak positif globalisasi di bidang ekonomi adalah mampu memacu produktivitas dan inovasi para pelaku ekonomi agar produk yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk-produk yang lain. Pada era globalisasi ini menuntut manusia yang kreatif dan produktif. Sedangkan dampak negatifnya adalah mampu menimbulkan sifat konsumerisme di kalangan generasi muda. Sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan zaman karena sudah terbiasa menerima teknologi dan hanya mampu membeli tanpa membuatnya. Globalisasi dan liberalisme pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang. Munculnya lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, WTO

3. Dampak Globalisasi di Bidang Budaya dan Politik

 Negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi ( dambaan akan kebebasan ).

B. Pengaruh globalisasi terhadap nilai nasionalisme di kalangan generasi muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.


• Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa


Dampak positif Globalisasi :
1. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan komunikasi
3. Cepat dalam bepergian ( mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan


Dampak negatif Globalisasi:

1. Informasi yang tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat

C. Ciri globalisasi


Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia
Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.

D. Globalisasi kebudayaan
Sub-kebudayaan Punk, adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global

Globalisasi memengaruhi hzmpir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.

Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ).

Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.

Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.


BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.


Dampak positif Globalisasi :
1. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan komunikasi
3. Cepat dalam bepergian ( mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan

Dampak negatif Globalisasi:
1. Informasi yang tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat

DAFTAR PUSAKA
http://dhizaar27.wordpress.com/2011/03/03/makalah-globalisasi/
http://hankam.kompasiana.com/2010/09/24/nasionalisme-bangsa-vs-globalisasi/ diakses pada 29 September 2011

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer