Rabu, 27 Juni 2012

Cerpen: Gantungan Kunci

“Jangan biarkan aku sendiri!” Gantungan kunci itu bergumam.
“Apa maksudmu?” Tanya Azam, tuan gantungan kunci.
“Fungsikan aku sebagai benda yang mampu menampung banyak kunci!”
“Oh..., itu? Nantilah, jangan sekarang. Aku tidak terlalu membutuhkan kunci-kunci.” Ungkap Azam, malas-malasan.
“Tapi, bukankah tidak ada salahnya jika Tuan membeli satu kunci saja dan memanfaatkannya. Kalau merasa cocok, Tuan bisa membeli kunci lebih banyak lagi.” Gantungan kunci mulai memohon. Sang Tuan pun tidak sampai hati untuk tidak mengabulkannya.
“Toh, semua itu demi kebaikan Tuan juga.”
“OK..., OK..., nanti sore kau tidak akan kesepian lagi.” Akhirnya Azam mengiyakan permintaan benda kesayangannya itu.
*********

Azam memasuki satu toko penjual kunci. Pelayan toko menyambut kehadirannya dengan senyuman.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya sang pelayan.
“Sebenarnya aku hanya menginginkan satu kunci saja untuk menemani gantungan kunci ini.” Jawab Azam sambil menunjukkan gantungan kuncinya.
“Tuan, disini terdapat banyak kunci. Tuan bisa memilih sendiri kunci mana yang cocok dengan kondisi Tuan dan gantungan kunci yang Tuan tunjukkan itu!” Dengan sikap ramahnya, sang pelayan menemani Azam memilih-milih kunci yang cocok. Kunci-kunci itu berderet rapi, dengan identitas dan papan nama masing-masing. Azam memperhatikan kunci-kunci itu satu persatu. Semua jenis kunci terdapat disana. Dari ukuran kunci terkecil sampai ukuran terbesar dengan identitas dan warna yang berbeda.
Sederet kunci yang pertama, dengan papan nama bertuliskan “Jatidiri” adalah kunci-kunci berwarna putih berukuran sedang. Disampingnya terdapat juga sederet kunci berwarna kuning yang mempunyai label “Tujuan”. Dan masih ada satu deret lagi bernama “Usaha”, warnanya hijau, ukurannya lebih besar. Azam mulai memilih-milih dengan cermat dan hati-hati. Sebab, untuk saat ini semboyannya adalah: Adanya pertimbangan yang matang sebelum mengambil satu keputusan. Akan tetapi, ketika menemukan sesuatu yang baru, ia sangat rakus untuk mencoba semuanya. Sedangkan Azam sendiri selama ini belum pernah bergelut dengan kunci-kunci berlabel itu. Maka, diambillah satu kunci dari setiap deretan kunci yang ada. Padahal niat semula ia hanya akan membeli satu kunci saja. Diantara nama kunci-kunci tersebut adalah Jatidiri, Tujuan, Sasaran, Target, Usaha, Semangat, Kemauan, Sabar, Optimis, Percaya diri, Do’a, dan masih banyak lagi kunci-kunci lain dengan bentuk, warna dan nama yang berbeda.
Azam dan gantungan kuncinya yang sudah tidak sendiri lagi itu telah meninggalkan toko kunci dengan senyum kepuasan. Azam pun tidak sabar lagi untuk segera mencoba kunci-kunci itu satu persatu. Masih terngiang kata-kata sang pelayan sebelum mereka pergi: “Tuan harus bersyukur! Sebab, kaki dan hati Tuan tidak salah menunjukkan jalan. Tuan memasuki toko yang tepat untuk satu kebahagiaan. Kalau sekali saja Tuan memasuki toko yang salah, Tuan tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaan itu.”
“Terima kasih.” Azam menyahut sopan. Hanya dua kata itu yang bisa ia ucapkan. Karena ia tidak benar-benar memahami ucapan sang pelayan tadi. Yang ia ketahui sekarang hanyalah gantungan kunci yang telah dipenuhi kunci-kunci baru dan siap dicoba.
*********
“Terima kasih, Tuan. Dua minggu telah berlalu dan selama itu pula aku tidak kesepian lagi.” Gantungan kunci menyapa Azam.
“Kamu senang?” Tanya Azam
“Ya, sangat senang sekali. Dan yang lebih membuatku senang adalah kondisi Tuan yang semakin membaik.” Ungkap gantungan kunci.
“Oyah? Maksudnya?”
“Saat ini, tatkala Tuan berenang di lautan, Tuan tidak lagi tenggelam. Tatkala menyusuri jalan penuh kerikil, Tuan sudah tidak tersandung lagi. Tatkala mendaki gunung yang tinggi, Tuan tidak terjatuh kembali. Dan Tatkala berniat menyeberangi sungai, Tuan tidak lagi kebingungan mencari perahu untuk membawa Tuan ke seberang.” Dengan semangat membara gantungan kunci meyakinkan Azam tentang perubahan yang dialami tuannya itu. Azam tampak berpikir dan bertanya dalam hati “Benarkah semua itu aku alami?” Ia tidak terlalu menyadari hal itu, tapi barangkali telah merasakanya. Sebab, setelah mendengar kata-kata gantungan kunci kesayangannya itu, ia bisa lebih menikmati senyumannya sendiri.
*********
Lima tahun berlalu. Kini, Azam telah hidup bahagia didampingi gantungan kunci yang setia membawakan kunci-kunci miliknya. Kunci-kunci yang selalu memberikan jalan keluar ketika ia kebingungan. Kunci-kunci yang senantiasa memberikan terang ketika lampu mulai temaram. Kunci-kunci yang sudah berumur lima tahun, namun warnanya sedikit pun tidak memudar. Sampai saat ini, gantungan kunci merasa segalanya akan berjalan lancar dan aman-aman saja selama kunci-kunci itu masih di tangan Azam. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja Azam meninggalkan gantungan kuncinya di rumah. Namun bukannya sedih, dia justru pulang ke rumah dengan muka berseri-seri. Gantungan kunci keheranan.
“Apakah yang terjadi, Tuan?”
“Hari ini aku melewati satu toko kunci baru yang sangat menarik perhatianku. Aku mencoba masuk, dan ternyata tidak sia-sia.” Azam bercerita penuh semangat.
“Apakah yang membuat hal itu tidak sia-sia, Tuan?”
“Ya, karena aku adalah pengunjung kesepuluh pada hari ini. Dan setiap pengunjung kesepuluh, berhak mendapatkan berapapun kunci yang dikehendaki, tanpa uang tapi dengan barang. Artinya, aku berhak memilih barang apa yang akan aku posisikan ia sebagai uang.” Azam menjelaskan panjang lebar. Gantungan kunci manggut-manggut tanda mengerti.
“Lalu, barang apa yang akan Tuan gunakan itu?”
“Aku ingin mengganti semua kunci yang telah kumiliki selama lima tahun itu dengan kunci-kunci yang baru.”
“Apa? Apakah Tuan sudah memikirkannya dengan matang?”
“Iya. Lagipula apa salahnya jika aku merasa bosan dengan kunci-kunci lama, dan ingin hidup bersama kunci-kunci baru. Agar aku bisa lebih menikmati hidup ini.” Gantungan kunci tidak bisa terlalu banyak membantah. Ia hanya berharap agar kebahagiaan yang dirasakan bersama kunci-kunci lama akan terulang kembali.
*********
Lima tahun kemudian, gantungan kunci tidak lagi ceria seperti dulu. Dia tidak menemukan lagi kebahagiaan itu. Tidak pada kunci-kunci baru, tidak juga pada kehidupan tuannya. Sedangkan Azam, ia belum menyadari penyebab semua ini dan belum sadar, bahwa kunci-kunci lamanya itu jauh lebih baik dari yang baru. Ia hampir tidak menyadari semua itu, jika tidak bertemu lagi dengan pelayan toko kunci yang ditemuinya sepuluh tahun yang lalu. Pelayan toko itu masih mengingat Azam dan gantungan kuncinya. Cuma, ia tidak menemukan kunci-kunci yang dijualnya sepuluh tahun lalu pada besi gantungan kunci itu. Pelayan toko itu hanya menggeleng dan berkata “Tuan harus sadar, bahwasanya hati dan kaki Tuan salah menunjukkan jalan. Tuan telah memasuki toko yang salah untuk satu kebahagiaan. Pesan ini sudah pernah aku peringatkan, tapi Tuan belum benar-benar memahami hal itu.”

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer