Benteng
Ujungpandang (Fort Rotterdam)
Menurut sejarahnya, benteng ini juga dirintis oleh
Raja Gowa IX Semula benteng berisi bangunan rumah Makassar dengan tiang-tiang
kayu yang tinggi. Pem¬bangunan benteng diselesaikan pada tahun 1545 oleh raja
Gowa X, / Manriogau Daeng Banto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, sebagai
benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.
Benteng yang pada mulanya dibuat dari tanah liat ini
mempunyai model tak ubahnya benteng-benteng Eropa abad ke-26 dan ke-17. Bentuk
dasar benteng segi empat dan berarsitektur Portugis. Tonjolan-tonjolan tambahan
pada model dasar segi empat melahirkan bentuk benteng yang menyerupai penyu.
Bentuk penyu berhubungan dengan simbolisme kekuatan etnis Makassar, jaya di
laut dan di darat, seperti halnya seekor penyu. Justru itu, naskah Lontarak
menyebut benteng Penyua' (benteng penyu).
Mesjid
Katangka
Mesjid
Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa
kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud
(1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948);
dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi
bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang
masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan
sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana
dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik.
Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi
bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk
dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan
pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
Makam Raja-Raja Tallo di Ujung Tanah
Makam
raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII
sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan
Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara
sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo.
Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka
Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bahwa komplek
makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi
bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks
makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat
semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok
ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian
dibuat dari batu bata.
Benteng
Somba Opu
Benteng Somba Opu
terletak di muara Sungai Jene' berang. Secara administratif terletak di Maccini
Sombala, Kampung Sanrobone, Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.
Denah benteng berbentuk persegi empat. Ukuran panjang salah satu sisi ± 2 km.
Sisa bangunan yang masih baik dan dapat memperlihatkan denah asli benteng
terdapat pada bagian sisi barat. Rekonstruksi sisi barat benteng dapat
diketahui bahwa benteng dibangun dari bahan batu bata dengan ukuran yang
bervariasi serta sedikit batu pasir, terutama pada bagian pintu sebelah dalam.
Tinggi tembok 7-8 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 12 kaki atau 300
cm. Ada empat bastion, tetapi yang tersisa dan direkonstruksi oleh SPSP
Ujungpandang hanya I buah bastion.
Menurut sejarahnya,
Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat
pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas
perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna.
Selain benteng Somba Opu Raja Gowa IX juga merintis pembangunan benteng
pengawal di antaranya Benteng `Penyua' atau sekarang lebih populer dengan Benteng
Ujungpandang.
Batu
Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja
(hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate.
Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan
Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa
pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu
andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai
sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas
batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan
yang bertuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar