Sabtu, 09 Mei 2015

Benteng Ujungpandang, Mesjid Katangka, Makam Raja-Raja Tallo di Ujung Tanah, Benteng Somba Opu, Batu Pelantikan Raja

Benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam)

Menurut sejarahnya, benteng ini juga dirintis oleh Raja Gowa IX Semula benteng berisi bangunan rumah Makassar dengan tiang-tiang kayu yang tinggi. Pem¬bangunan benteng diselesaikan pada tahun 1545 oleh raja Gowa X, / Manriogau Daeng Banto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, sebagai benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.
Benteng yang pada mulanya dibuat dari tanah liat ini mempunyai model tak ubahnya benteng-benteng Eropa abad ke-26 dan ke-17. Bentuk dasar benteng segi empat dan berarsitektur Portugis. Tonjolan-tonjolan tambahan pada model dasar segi empat melahirkan bentuk benteng yang menyerupai penyu. Bentuk penyu berhubungan dengan simbolisme kekuatan etnis Makassar, jaya di laut dan di darat, seperti halnya seekor penyu. Justru itu, naskah Lontarak menyebut benteng Penyua' (benteng penyu).

Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.

Makam Raja-Raja Tallo di Ujung Tanah
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. 


Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu terletak di muara Sungai Jene' berang. Secara administratif terletak di Maccini Sombala, Kampung Sanrobone, Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Denah benteng berbentuk persegi empat. Ukuran panjang salah satu sisi ± 2 km. Sisa bangunan yang masih baik dan dapat memperlihatkan denah asli benteng terdapat pada bagian sisi barat. Rekonstruksi sisi barat benteng dapat diketahui bahwa benteng dibangun dari bahan batu bata dengan ukuran yang bervariasi serta sedikit batu pasir, terutama pada bagian pintu sebelah dalam. Tinggi tembok 7-8 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 12 kaki atau 300 cm. Ada empat bastion, tetapi yang tersisa dan direkonstruksi oleh SPSP Ujungpandang hanya I buah bastion.
Menurut sejarahnya, Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna. Selain benteng Somba Opu Raja Gowa IX juga merintis pembangunan benteng pengawal di antaranya Benteng `Penyua' atau sekarang lebih populer dengan Benteng Ujungpandang.

Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer