Rabu, 06 April 2016

Gundar Sepatu

Gundar Sepatu

Bagi  orang parlente gundar sepatu,  penting.  Karena setiap  ke luar rumah, sepatu harus  mengkilap.  Bagaimana sepatu bisa mengkilap kalau tidak digundar setiap hari. Di hotel  berbintang, tempat golongan elite  biasa  menginap, gundar  sepatu  memang tidak disediakan.  Yang  disediakan flanel berbentuk kantong kecil. Masukkan tangan kedalamnya, lalu sekakan ke sepatu. Kalau sepatu itu kumal betul, panggil  pelayan hotel untuk membersihkan. Tapi  mana  ada orang elite  keluar masuk hotel dengan sepatu berlumpur? 
          
Dalam masa perang gerilya, gundar sepatu menjadi  lebih penting fungsinya dibandingkan kebutuhan sepatu orang elite. Banyak pejabat dan pejuang menyimpan gundar sepatu  di kantong atau di ranselnya, meski kemana-mana mereka  memakai sandal dari ban bekas mobil. 
         
Begini ceritanya, menurut Si Dali.      
          
Sekali  pagi terjadi heboh besar. Sersan Bidai  merazia semua ransel anggota rombongannya sambil menodongkan  pestol rakitan lokal. Mencari miliknya yang hilang.  Miliknya yang hilang itu ditemukan dalam ransel Letnan Tondeh.  Tak seorang pun menyangka yang mencuri seorang letnan. Lebih  tidak ada yang menduga kalau letnan itu  mencuri gundar  sepatu sersan yang anak buahnya. Bahkan tidak  ada yang  tidak  heran, kalau sersan itu sampai  kalap  hingga menodongkan  pestol karena hilangnya sebuah gundar  sepatu saja. Apa benarlah pentingnya gundar sepatu. 
          
Peristiwa itu sampai ke telinga komandan batalyon.  Menurutnya, seorang sersan menodongkan pestol kepada seorang letnan itu merupakan pelanggaran berat. Benar-benar berat. Si sersan ditangkap. Tapi di daerah gerilya mana ada rumah tahanan provos. Namun hukuman tetap dijatuhkan.  Pestolnya dilucuti. Pangkatnya diturunkan jadi kopral. Nyalinya  pun copot. Dalam pemeriksaan, dia mengaku sangat marah  karena gundar sepatunya dicuri. 
          
Mendengar laporan bahwa seorang letnan sampai mau  mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri, Mayor Segeh  yang komandan  batalyon, memanggil Letnan Tondeh.  Tidak  masuk pada  akalnya,  seorang perwira yang  kemana-mana  memakai sandal  dari  ban bekas mobil, sampai mau  mencuri  gundar sepatu anak buahnya sendiri. 
          
"Mencuri gundar sepatu lagi. Itu merusak martabat  perwira namanya. Bikin malu kamu. Bagaimana mungkin kita bisa menang perang kalau perwira sudah sampai mau mencuri milik anak  buah sendiri. Bagaimana macamnya republik  ini  bila perwiranya sekonyol kamu?" kata Mayor Segeh kepada  Letnan Tondeh. 
          
"Gundar sepatu saya hilang. Saya perlu gantinya."  kata letnan itu. 
          
"Buat apa gundar sepatu, toh, kamu tidak pakai sepatu?" 
          
Dan  ketika  komandan mendengar keterangan  letnan  itu arti  gundar  sepatu bagi diri sendiri, si  Mayor  tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya berderai.  Kemudian, setelah  ujung  ketawanya mereda, kata mayor  itu:  "Jadi? Setiap  malam, setiap matamu tidak bisa tidur,  kamu  elus  bulu gundar sepatu itu dengan ujung jarimu. Begitu?" 
          
"Ya. Begitulah."
          
"Kenapa kamu tidak kawin saja?"  
          
"Teman-teman  sudah ambil semua, Mayor. Malah ada  yang ambil dua." jawab Letnan Tondeh. 
         
"Jangan  menyindir, ya?" kata Mayor Segeh sambil  memlototkan matanya, karena selama perang mayor itu sudah punya dua bini. 
          
Menurut desas-desus, setelah peristiwa itu, banyak gundar sepatu dipesan ke kota oleh orang-orang di daerah  gerilya itu. Mereka  membawa gundar sepatu kemana pun mereka pergi. 
          
Ya, setelah desas-desus yang sampai ke telinga Si Dali, lalu Si Dali bercerita. 
          
"Tak lama setelah heboh gundar sepatu itu daerah  kedudukan  pasukan kami diserbu musuh. Kami sempat  menyingkir ke hutan. Beruntunglah tak seorang pun yang terbunuh.  Setelah  musuh kembali waktu sore, aku kembali ke  pangkalan dengan tertatih-tatih. Yang bernama pangkalan kami terdiri hanya enam rumah kayu kecil-kecil, disamping pondok-pondok dari ilalang yang bertebaran yang kami buat. Penduduk  menamakannya taratak. Di sekitar itu berpencar banyak  teratak lagi, yang menjadi tempat tumpangan para pimpinan  gerilyawan militer atau sipil.  Taratak  kami porak poranda. Semua benda bertebaran  di tanah. Pecah dan peot. Terkapar seperti petinju kena  K.O. Semua  orang  yang berseragam hijau utuh atau  bukan,  dan yang  orang sipil berpencar-pencar. Bungkuk  merukuk-rukuk mencari  dan memungut sisa benda milik mereka  yang  masih utuh atau yang masih bisa dipakai. 
          
Maruhum, seorang camat, yang dimasa perang gerilya  itu diangkat jadi Wedana Militer adalah salah seorang penghuni taratak.  Waktu aku tiba dia duduk di bawah naungan  pohon nangka.  Seluruh   buah pohon itu, yang muda  sampai  yang putik, dirontokan musuh yang menyerbu seperti badai.  Dagu Maruhum  bertopang pada kedua lututnya.  Termangu  seperti orang yang kepalanya hampa. Boleh jadi juga hatinya tengah melolong atau tersedu. 
          
Semua orang, demi melihat aku tiba, pada menggeleng kepala sambil melirikkan mata ke arah Maruhum. Seperti mereka  merasa  tahu apa yang dirisaukan  Maruhum.  Menurutku, dalam pikiran mereka, Maruhum risau oleh kehilangan  benda yang paling disayangi. Apalagi kalau bukan gundar  sepatu. Kesanku  juga  begitu. Akupun menggelengkan  kepala.  Tapi bukan karena Maruhum yang risau oleh kehilangan benda yang sesungguhnya tidak akan memenangkan perang masa itu. Melainkan karena aku ingat betapa pentingnya arti gundar sepatu oleh Sersan Bidai sehingga dia sampai berani  menodongkan pestol pada Letnan Tondeh. 
          
Menurutku, sebagai Wedana Militer, tugas Maruhum  tidak jelas. Selain menghadiri rapat bila ada panggilan Gubernur Militer atau Bupati Militer. Makanya aku anggap  fungsinya tidak lebih penting dari gundar sepatu bagi prajurit yang terpisah dengan istri demi memelihara moril gerilyanya. 
          
Namun sekali waktu Maruhum berkata padaku, menurut  Pak Rasjid,  Gubernur Militer, jabatannya itu penting.  Sesuai menurut hukum internasional, suatu negara baru sah keberadaannya, bila ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada  pemerintahannya.  Meski presiden negara itu ditawan,  tapi  masih ada pimpinan pemerintahan seperti Sjafruddin  Prawiranegara. Suatu pemerintahan yang sah, mesti ada organisasi  dan stafnya.  Itulah fungsi Wedana Militer. Suatu bangsa  yang cuma punya berdivisi-divisi tentera saja, betapun kuatnya,        tidaklah akan diakui internasional sebagai negara. Paling-paling akan dianggap sebagai gerombolan saja." 
          
Aku mendekati Maruhum. Aku pun duduk bersandar ke pohon nangka  itu.  Setangkai ranting aku pungut.  Ujungnya  aku congkel-congkelkan ke tanah sambil mencari bahan bicara. Dalam pikiranku, tanpa gundar sepatu pun orang bisa memenuhi  kebutuhan  biologisnya di hutan  rimba  sekalipun. 

"Ada apa, Bung Wed?" tanyaku akhirnya dengan menyingkatkan sebutan Wedana sebagaimana lazimnya orang seusia masa itu. 
          
"Tidak apa-apa." kata Maruhum dengan lesu  setelah  menarik nafas panjang dan kemudian melepaskannya. 
          
"Ada yang hilang?" 
          
Pertanyaan itu tidak berjawab. Aku kembali mencari-cari bahan pertanyaan lain. Lama juga saat berlalu. "Apa perang ini masih akan lama, Bung?" akhirnya Maruhum bertanya. 
          
"Bisa jadi. Mengapa?"

"Belanda ini bandel betul. Taroklah dia sudah menguasai seluruh negeri ini. Kita kalah. Pemimpin kita di bui. Apakah  rakyat yang sudah merasakan nikmat  merdeka,  pejuang yang  sudah biasa bertempur, akan diam-diam  saja  dibawah penjajahan  Belanda itu nanti? Tidak, toh. Perang  mungkin sudah selesai, tapi permusuhan akan terus berlangsung. Begitu, kan?" Maruhum berbicara dengan suaranya yang  letih. Seperti  tidak memerlukan tanggapan. Dia  melanjutkan. "Menurut Gubernur Militer, Pak Rasjid, Belanda tahu mereka tidak akan menang dalam perang ini. Serangan Belanda  ini, tidak  lain dari usaha mereka untuk memaksa kita  ke  meja perundingan. Demi menghindarkan kehilangan mukanya. Mereka tangkap Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu, mereka hanya  mau berunding  dengan kedua pemimpin yang ditawan  itu.  Tidak dengan Sjafruddin. Berunding dengan orang yang ditawan lebih  gampang menekannya, bukan? Ingat sejarah  Diponegoro, Imam Bonjol. Belanda berunding setelah mereka itu ditawan." 

"Semua orang bicara begitu." kataku asal bicara.
          
"Bila perang ini selesai, dengan perundingan atau bukan akan banyak persoalan timbul. Lebih rumit dari  peperangan ini." kata Maruhum setelah lama dia terdiam. 
          
"Umpamanya?" 
         
Mulut  Maruhum terkatup. Dagunya kembali  diletakkan  ke lututnya.  Bayang-bayang pohon nanka sudah  tak  kelihatan lagi.  Sudah hampir sama gelapnya dengan senja  yang  kian larut. Orang-orang mencari miliknya pada puing-puing rumah yang dirobohkan musuh itu, sudah tidak ada lagi. 
          
"Para prajurit naik pangkat, tentera pelajar ke sekolah tinggi  dengan cuma-cuma. Gubernur jadi menteri.  Politisi jadi  anggota perlemen. Aku sendiri, yang Wedana ini  akan bekerja  di kantor. Tak tahu aku apa tugasku. Aku  kehilangan banyak." katanya setelah lama kami sama-sama terdiam. 
          
Bagaimanapun besarnya pengorbanan kita sudah jadi bangsa  yang merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa  ini  akan membangun diri agar bisa menikmati hidup yang lebih  baik, adil  dan sejahtera. Itu pikiranku, yang  aku  serap  dari pidato  para pemimpin. Tapi Maruhum berpendapat lain.  Dia merasa kehilangan. Kehilangan apa, yang padahal pangkatnya sudah setinggi itu? Wedana. 
          
Menurutku,  dia termasuk yang beruntung  karena  adanya perang ini. Dia tidak sepatutnya bersikap skeptis.  Karena cobalah  pikirkan, jika Belanda itu kembali ke sini  tidak  membawa bedil dan meriam, melainkan membawa salam dan  senyuman,  semua pangkat dan jabatan tinggi itu  tidak  akan sebanyak ini bertebaran. Paling-paling Maruhum hanya  akan jadi klerk sebagaimana yang diceritakannya kepadaku. Demikian Mayor Segeh. Demikian pula Letnan Tondeh. Namun Maruhum  merasa kehilangan pada akhir perang kemerdekaan  ini.        Kenapa? 
          
"Aku kehilangan gara-gara gundar sepatu." katanya  pula setelah lama kami sama-sama terdiam. 
          
"Hah?" sergahku karena tidak tahu apa hubungannya.
          
"Kepada  Si One, perempuan pedagang yang  keluar  masuk kota  itu  aku titip surat untuk istriku.  Minta  dikirimi gundar sepatu. Kata istriku dalam surat balasannya:  "Gundar  sepatu  kamu sudah tiada. Untuk pengganti  aku  kirim yang lain." Bung tahu apa yang dia kirim?" 
          
Tanpa  menunggu jawabanku Maruhum berkata dengan  suara yang parau: "Pasti dia punya gendak. Lalu dikiriminya  aku gundar kamar mandi usang dari ijuk yang kasar". 
          
Ketika aku ketemu Si One, perempuan yang pedagang keluar masuk kota itu, aku tanyai dia. Sebagaimana orang  desa yang biasanya polos, dia ceritakan fungsi gundar sepatu di daerah  gerilya  pada istri Maruhum.  Dan  perempuan  itu, katanya, marah sekali sampai bercarut-carut.   
          
Dalam  hatiku,  perempuan mana yang tidak  sakit  hati, bila diduai. Apalagi dengan gundar sepatu. 


Kayutanam, 17 Juni 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer