Gundar Sepatu
Bagi orang parlente gundar sepatu, penting. Karena setiap ke luar rumah, sepatu harus mengkilap. Bagaimana sepatu bisa mengkilap kalau tidak digundar setiap hari. Di hotel berbintang, tempat golongan elite biasa menginap, gundar sepatu memang tidak disediakan. Yang disediakan flanel berbentuk kantong kecil. Masukkan tangan kedalamnya, lalu sekakan ke sepatu. Kalau sepatu itu kumal betul, panggil pelayan hotel untuk membersihkan. Tapi mana ada orang elite keluar masuk hotel dengan sepatu berlumpur?
Dalam masa perang gerilya, gundar sepatu menjadi lebih penting fungsinya dibandingkan kebutuhan sepatu orang elite. Banyak pejabat dan pejuang menyimpan gundar sepatu di kantong atau di ranselnya, meski kemana-mana mereka memakai sandal dari ban bekas mobil.
Begini ceritanya, menurut Si Dali.
Sekali pagi terjadi heboh besar. Sersan Bidai merazia semua ransel anggota rombongannya sambil menodongkan pestol rakitan lokal. Mencari miliknya yang hilang. Miliknya yang hilang itu ditemukan dalam ransel Letnan Tondeh. Tak seorang pun menyangka yang mencuri seorang letnan. Lebih tidak ada yang menduga kalau letnan itu mencuri gundar sepatu sersan yang anak buahnya. Bahkan tidak ada yang tidak heran, kalau sersan itu sampai kalap hingga menodongkan pestol karena hilangnya sebuah gundar sepatu saja. Apa benarlah pentingnya gundar sepatu.
Peristiwa itu sampai ke telinga komandan batalyon. Menurutnya, seorang sersan menodongkan pestol kepada seorang letnan itu merupakan pelanggaran berat. Benar-benar berat. Si sersan ditangkap. Tapi di daerah gerilya mana ada rumah tahanan provos. Namun hukuman tetap dijatuhkan. Pestolnya dilucuti. Pangkatnya diturunkan jadi kopral. Nyalinya pun copot. Dalam pemeriksaan, dia mengaku sangat marah karena gundar sepatunya dicuri.
Mendengar laporan bahwa seorang letnan sampai mau mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri, Mayor Segeh yang komandan batalyon, memanggil Letnan Tondeh. Tidak masuk pada akalnya, seorang perwira yang kemana-mana memakai sandal dari ban bekas mobil, sampai mau mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri.
"Mencuri gundar sepatu lagi. Itu merusak martabat perwira namanya. Bikin malu kamu. Bagaimana mungkin kita bisa menang perang kalau perwira sudah sampai mau mencuri milik anak buah sendiri. Bagaimana macamnya republik ini bila perwiranya sekonyol kamu?" kata Mayor Segeh kepada Letnan Tondeh.
"Gundar sepatu saya hilang. Saya perlu gantinya." kata letnan itu.
"Buat apa gundar sepatu, toh, kamu tidak pakai sepatu?"
Dan ketika komandan mendengar keterangan letnan itu arti gundar sepatu bagi diri sendiri, si Mayor tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya berderai. Kemudian, setelah ujung ketawanya mereda, kata mayor itu: "Jadi? Setiap malam, setiap matamu tidak bisa tidur, kamu elus bulu gundar sepatu itu dengan ujung jarimu. Begitu?"
"Ya. Begitulah."
"Kenapa kamu tidak kawin saja?"
"Teman-teman sudah ambil semua, Mayor. Malah ada yang ambil dua." jawab Letnan Tondeh.
"Jangan menyindir, ya?" kata Mayor Segeh sambil memlototkan matanya, karena selama perang mayor itu sudah punya dua bini.
Menurut desas-desus, setelah peristiwa itu, banyak gundar sepatu dipesan ke kota oleh orang-orang di daerah gerilya itu. Mereka membawa gundar sepatu kemana pun mereka pergi.
Ya, setelah desas-desus yang sampai ke telinga Si Dali, lalu Si Dali bercerita.
"Tak lama setelah heboh gundar sepatu itu daerah kedudukan pasukan kami diserbu musuh. Kami sempat menyingkir ke hutan. Beruntunglah tak seorang pun yang terbunuh. Setelah musuh kembali waktu sore, aku kembali ke pangkalan dengan tertatih-tatih. Yang bernama pangkalan kami terdiri hanya enam rumah kayu kecil-kecil, disamping pondok-pondok dari ilalang yang bertebaran yang kami buat. Penduduk menamakannya taratak. Di sekitar itu berpencar banyak teratak lagi, yang menjadi tempat tumpangan para pimpinan gerilyawan militer atau sipil. Taratak kami porak poranda. Semua benda bertebaran di tanah. Pecah dan peot. Terkapar seperti petinju kena K.O. Semua orang yang berseragam hijau utuh atau bukan, dan yang orang sipil berpencar-pencar. Bungkuk merukuk-rukuk mencari dan memungut sisa benda milik mereka yang masih utuh atau yang masih bisa dipakai.
Maruhum, seorang camat, yang dimasa perang gerilya itu diangkat jadi Wedana Militer adalah salah seorang penghuni taratak. Waktu aku tiba dia duduk di bawah naungan pohon nangka. Seluruh buah pohon itu, yang muda sampai yang putik, dirontokan musuh yang menyerbu seperti badai. Dagu Maruhum bertopang pada kedua lututnya. Termangu seperti orang yang kepalanya hampa. Boleh jadi juga hatinya tengah melolong atau tersedu.
Semua orang, demi melihat aku tiba, pada menggeleng kepala sambil melirikkan mata ke arah Maruhum. Seperti mereka merasa tahu apa yang dirisaukan Maruhum. Menurutku, dalam pikiran mereka, Maruhum risau oleh kehilangan benda yang paling disayangi. Apalagi kalau bukan gundar sepatu. Kesanku juga begitu. Akupun menggelengkan kepala. Tapi bukan karena Maruhum yang risau oleh kehilangan benda yang sesungguhnya tidak akan memenangkan perang masa itu. Melainkan karena aku ingat betapa pentingnya arti gundar sepatu oleh Sersan Bidai sehingga dia sampai berani menodongkan pestol pada Letnan Tondeh.
Menurutku, sebagai Wedana Militer, tugas Maruhum tidak jelas. Selain menghadiri rapat bila ada panggilan Gubernur Militer atau Bupati Militer. Makanya aku anggap fungsinya tidak lebih penting dari gundar sepatu bagi prajurit yang terpisah dengan istri demi memelihara moril gerilyanya.
Namun sekali waktu Maruhum berkata padaku, menurut Pak Rasjid, Gubernur Militer, jabatannya itu penting. Sesuai menurut hukum internasional, suatu negara baru sah keberadaannya, bila ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada pemerintahannya. Meski presiden negara itu ditawan, tapi masih ada pimpinan pemerintahan seperti Sjafruddin Prawiranegara. Suatu pemerintahan yang sah, mesti ada organisasi dan stafnya. Itulah fungsi Wedana Militer. Suatu bangsa yang cuma punya berdivisi-divisi tentera saja, betapun kuatnya, tidaklah akan diakui internasional sebagai negara. Paling-paling akan dianggap sebagai gerombolan saja."
Aku mendekati Maruhum. Aku pun duduk bersandar ke pohon nangka itu. Setangkai ranting aku pungut. Ujungnya aku congkel-congkelkan ke tanah sambil mencari bahan bicara. Dalam pikiranku, tanpa gundar sepatu pun orang bisa memenuhi kebutuhan biologisnya di hutan rimba sekalipun.
"Ada apa, Bung Wed?" tanyaku akhirnya dengan menyingkatkan sebutan Wedana sebagaimana lazimnya orang seusia masa itu.
"Tidak apa-apa." kata Maruhum dengan lesu setelah menarik nafas panjang dan kemudian melepaskannya.
"Ada yang hilang?"
Pertanyaan itu tidak berjawab. Aku kembali mencari-cari bahan pertanyaan lain. Lama juga saat berlalu. "Apa perang ini masih akan lama, Bung?" akhirnya Maruhum bertanya.
"Bisa jadi. Mengapa?"
"Belanda ini bandel betul. Taroklah dia sudah menguasai seluruh negeri ini. Kita kalah. Pemimpin kita di bui. Apakah rakyat yang sudah merasakan nikmat merdeka, pejuang yang sudah biasa bertempur, akan diam-diam saja dibawah penjajahan Belanda itu nanti? Tidak, toh. Perang mungkin sudah selesai, tapi permusuhan akan terus berlangsung. Begitu, kan?" Maruhum berbicara dengan suaranya yang letih. Seperti tidak memerlukan tanggapan. Dia melanjutkan. "Menurut Gubernur Militer, Pak Rasjid, Belanda tahu mereka tidak akan menang dalam perang ini. Serangan Belanda ini, tidak lain dari usaha mereka untuk memaksa kita ke meja perundingan. Demi menghindarkan kehilangan mukanya. Mereka tangkap Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu, mereka hanya mau berunding dengan kedua pemimpin yang ditawan itu. Tidak dengan Sjafruddin. Berunding dengan orang yang ditawan lebih gampang menekannya, bukan? Ingat sejarah Diponegoro, Imam Bonjol. Belanda berunding setelah mereka itu ditawan."
"Semua orang bicara begitu." kataku asal bicara.
"Bila perang ini selesai, dengan perundingan atau bukan akan banyak persoalan timbul. Lebih rumit dari peperangan ini." kata Maruhum setelah lama dia terdiam.
"Umpamanya?"
Mulut Maruhum terkatup. Dagunya kembali diletakkan ke lututnya. Bayang-bayang pohon nanka sudah tak kelihatan lagi. Sudah hampir sama gelapnya dengan senja yang kian larut. Orang-orang mencari miliknya pada puing-puing rumah yang dirobohkan musuh itu, sudah tidak ada lagi.
"Para prajurit naik pangkat, tentera pelajar ke sekolah tinggi dengan cuma-cuma. Gubernur jadi menteri. Politisi jadi anggota perlemen. Aku sendiri, yang Wedana ini akan bekerja di kantor. Tak tahu aku apa tugasku. Aku kehilangan banyak." katanya setelah lama kami sama-sama terdiam.
Bagaimanapun besarnya pengorbanan kita sudah jadi bangsa yang merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa ini akan membangun diri agar bisa menikmati hidup yang lebih baik, adil dan sejahtera. Itu pikiranku, yang aku serap dari pidato para pemimpin. Tapi Maruhum berpendapat lain. Dia merasa kehilangan. Kehilangan apa, yang padahal pangkatnya sudah setinggi itu? Wedana.
Menurutku, dia termasuk yang beruntung karena adanya perang ini. Dia tidak sepatutnya bersikap skeptis. Karena cobalah pikirkan, jika Belanda itu kembali ke sini tidak membawa bedil dan meriam, melainkan membawa salam dan senyuman, semua pangkat dan jabatan tinggi itu tidak akan sebanyak ini bertebaran. Paling-paling Maruhum hanya akan jadi klerk sebagaimana yang diceritakannya kepadaku. Demikian Mayor Segeh. Demikian pula Letnan Tondeh. Namun Maruhum merasa kehilangan pada akhir perang kemerdekaan ini. Kenapa?
"Aku kehilangan gara-gara gundar sepatu." katanya pula setelah lama kami sama-sama terdiam.
"Hah?" sergahku karena tidak tahu apa hubungannya.
"Kepada Si One, perempuan pedagang yang keluar masuk kota itu aku titip surat untuk istriku. Minta dikirimi gundar sepatu. Kata istriku dalam surat balasannya: "Gundar sepatu kamu sudah tiada. Untuk pengganti aku kirim yang lain." Bung tahu apa yang dia kirim?"
Tanpa menunggu jawabanku Maruhum berkata dengan suara yang parau: "Pasti dia punya gendak. Lalu dikiriminya aku gundar kamar mandi usang dari ijuk yang kasar".
Ketika aku ketemu Si One, perempuan yang pedagang keluar masuk kota itu, aku tanyai dia. Sebagaimana orang desa yang biasanya polos, dia ceritakan fungsi gundar sepatu di daerah gerilya pada istri Maruhum. Dan perempuan itu, katanya, marah sekali sampai bercarut-carut.
Dalam hatiku, perempuan mana yang tidak sakit hati, bila diduai. Apalagi dengan gundar sepatu.
Kayutanam, 17 Juni 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar