Handphone
Oleh Anita D.M.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Airlangga Surabaya
Tet…tet…tet. Segera aku pulang. Kupercepat langkahku agar segera mendapat angkutan dan segera enyah dari muka teman-teman yang seharian tadi ribut membicarakan HP baru mereka. Tidak kuhiraukan panggilan Tomi, cowok yang naksir aku kebingungan melihat bibirku yang cemberut seharian dan tak menghiraukan panggilannya untuk pulang bersama dengan motornya.
Kulempar tasku di kasur bututku. Panas rasanya hatiku mendengar semua teman-teman sekelasku selalu membicarakan HP, HP, dan HP. Tiada yang lain, padahal sekali pun aku tak pernah memegangnya, apalagi memilikinya.
Kupandang celengan tanah di sudut kamarku dengan penuh kebimbangan akan kelanjutan pendidikanku. Lama kupandangi, dengan kegalauan hati, kupecahkan celenganku. Kuhitung lembar demi lembar.
Hah, dengan uang sejumlah ini aku tak mungkin mampu membeli sebuah HP. Apakah aku harus?
"Na, Ina." Suara ibu memanggilku. "Bantu Ibu cuci piring Nak. Banyak sekali piring kotornya."
Dengan ogah-ogahan, akhirnya kubantu juga ibu mencuci piring yang sudah menumpuk. Sekilas kulihat bapak sudah mendorong gerobak jamu kelilingnya keluar kampung. Kerutannya yang mulai tampak jelas menandakan sudah seharusnya bapak tidak membanting tulang demi menghidupi keluarga.
Tapi bagaimana lagi? Aku, anak sulungnya, masih kelas 1 SMU sedangkan adikku masih tiga lagi, jelas masih membutuhkan banyak biaya. Siapa yang bisa diandalkan? Akukah?
Malam mulai larut, tapi aku masih belum dapat memejamkan mataku. Masih terbayang wajah sinis teman-temanku di sekolah tadi, yang sangat meremehkanku hanya karena aku tak punya HP. Padahal mereka hampir tiap hari mencontek PR-ku, menyalin kertas ulanganku.
Huh, seakan semua mencampakkanku, tak mau mengajakku karena yang mereka bicarakan senantiasa tentang HP, yang jelas-jelas tak kumengerti karena aku tak memilikinya.
Masih kuingat jelas wajah Si Icha dengan cibiran khasnya yang dengan sengaja memamerkan HP barunya yang berwarna setiap melewati bangku tempat dudukku. Terlihat sekali raut wajahnya yang selalu memancarkan bara permusuhan. Icha memang sainganku di kelas. Kami selalu bergantian mendapatkan ranking satu.
Tapi karena sifatnya borju, teman-teman lebih banyak menjauhinya dan memilih bergaul denganku. Mungkin itulah yang membuat Icha membenciku.
Yang terjadi saat ini, semua temanku mendekati Icha hanya karena ingin bisa memegang HP Icha dan mendapat kiriman ringtone terbaru.
Perlahan-lahan kuambil kunci laci tempat ibu menyimpan uang hasil jualan nasi pecelnya. Kuhitung perlahan lembaran uang yang ada. Jika kutambah dengan tabunganku, cukuplah untuk membeli sebuah HP meski tak sebagus milik Icha.
Tapi, bagaimana dengan ibuku? Kebimbangan menderaku. Namun kuputuskan untuk tetap memiliki HP, apa pun yang terjadi. Aku harus memilikinya! Harus!
Otakku segera berpikir cerdik. Kubuka sedikit pintu warung ibuku, kutinggalkan beberapa jejak sandal jepit yang telah kuberi noda lumpur. Dan, tak lupa kubuka sedikit laci tempat uang agar menimbulkan kesan pencurilah yang mencuri uang ibuku, dan bukan aku.
Esok paginya, gaduh orang kampung mengerubuti rumahku yang disangka kemalingan. Terlihat ibu menangis terisak dan bapak berusaha menenangkannya. Aku mulai tak tahan melihatnya. Kutinggalkan rumah menuju sekolah.
Aku sangat gelisah. Semua pelajaran tak ada yang masuk ke otakku. Berkali-kali bunyi HP si Icha mengganggu jalanya pelajaran. Anehnya, teman-temanku memandanginya dengan raut muka penuh kekaguman. Huh, lihat aja setelah pulang sekolah! Aku akan memiliki HP juga!
Tet…Jam istirahat segera berbunyi. Teman-temanku mengerubuti Icha untuk bermain-main dengan HP-nya. Aku hanya melihatnya dari bangku di sudut halaman sekolahku sambil melihat tukang bangunan yang sedang memperbaiki sekolahku.
Kulihat Icha menuju ke arahku. Kulihat mukanya sinis menatapku dengan memamerkan HP yang ada di genggamannya.
Entah apa yang diucapkannya padaku sehingga membuatku marah dan sangat tersinggung. Tanpa pikir panjang, kuambil potongan besi di depanku. Lalu, kupukulkan keras-keras ke kepalanya.
Cret! Terasa cairan hangat berbau amis dan berwarna merah muncrat ke mukaku. Tubuh Icha jatuh. Lalu, kudengar teriakan, "Pembunuhan! Pembunuhan!"
Anehnya, aku malah tertawa dan membayangkan aku telah memiliki HP. HP dengan model terbaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar