Rabu, 06 April 2016

Hari Kemerdekaan

Hari Kemerdekaan


Oleh Hersen Setyo Nugroho
Penulis adalah mahasiswa Univ. Merdeka Malang

Orang tua Dewi tidak setuju anaknya pacaran dengan Ridho. Karena Ridho hitam, rambutnya panjang, dan tidak punya skill apa pun. 

"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" Begitu tanya ibu Dewi suatu ketika. 

Ridho tidak pernah selesai sekolah SMP di sebuah daerah di Sukun, bagian selatan kota Malang. Bukannya tak mau sekolah, tapi dia lebih sibuk membantu ayahnya kerja di sebuah rumah ternak milik tetangga. 

Waktunya bekerja hampir seharian. Jam satu dini hari dia harus bangun, memberi makan dan minum ayam ternak, tidur sebentar. Menjelang jam enam pagi, dia kembali melakukan kegiatan serupa. 

Setelah sekolah, dia ke pusat kota untuk membeli pakan dan vaksin. Sebelum jam tujuh malam, dia membersihkan kandang dan memberi makan ayam ternak. Pekerjaan itu dilakukan setiap hari. Tanpa waktu libur!

Ridho dan bapaknya bekerja sebagai buruh ternak dengan upah harian Rp 15.000 per orang. Ditambah makan dua kali dan sebungkus rokok untuk berdua. Pernah suatu pagi di sekolah, ibu guru menegur Ridho karena suara ngoroknya sangat keras. Dan, Dewi sering mendapati kejadian itu.

Karena pertimbangan fisiknya yang terlalu capek, Ridho memutuskan berhenti dulu dari sekolah. Tapi jadi keterusan sampai sekarang, sampai usianya 22 tahun. 

Dan dia memang tak pernah mendapat skill tambahan apa pun, kecuali masalah mengurus ayam ternak. Padahal sesungguhnya, jujur Ridho juga ingin seperti Dewi, sekolah terus, ketemu teman-teman baru, mengenal pengetahuan baru, dan yang lebih penting…

"Aku bisa menjaga kamu dan di sampingmu terus." Begitu katanya suatu sore kepada Dewi. 

Pernah juga Dewi berusaha meyakinkan ibunya kalau Ridho itu baik hati dan tidak macam-macam. Tidak pernah ikut pesta miras anak kampung, tidak pernah ikut trek-trekan liar, dan suka hidup hemat. 

"Dewi nggak minta apa pun Bu. Cuma minta restu. Izinkan kami menikah," kata Dewi di malam tahun baru, dua tahun lalu. Suaranya parau dan lemah. Dia habis menangis semalaman ketika Ridho meminta keikhlasan Dewi menerima cinta Ridho, apa adanya, tanpa syarat kecuali cinta dan kejujuran hati. 

"Nggak. Tetap nggak," kata ibunya datar.
"Apa Dewi suruh Ridho bicara langsung ke…"
"Cukup," ibunya memotong dan hingga sekarang tak pernah memberi restu mereka. 
***
Telah setahun berlalu. Ridho dan Dewi meninggalkan Sukun, Malang, dan pergi ke Jakarta. Mereka menikah tanpa persetujuan orang tua Dewi. 

"Pak, aku harus meninggalkan Malang. Aku nggak mau terus ketemu dengan tatapan ibunya Dewi. Ah, dia terlalu membenciku. Padahal aku tidak membencinya…sedikit pun…" kata Ridho sambil pamit kepada bapaknya. 

Bapaknya diam, bapaknya merasa tak bisa berbuat banyak. Dia hanya pesan agar berhati-hati. Karena, sekarang punya tanggung jawab sebagai seorang ayah.

Sekarang Dewi hamil sembilan bulan dan dia sedang terbaring di sebuah balai sederhana. Di rumah seorang bidan di kawasan Grogol. Bu bidan bilang mungkin sesaat lagi melahirkan, jadi Dewi harus tinggal di sana. Tinggal di rumah dengan lingkungan panas dan gerah, jauh lebih panas dan gerah dari Malang. 

Butir keringat terus turun dari dahi Dewi. Tiba-tiba dia teringat ibunya. Dia kangen dan tiba-tiba ingin sekali ibunya ada di sisinya sekarang. Untuk mendampingi proses kelahiran. 

Tapi dia masih ingat jelas muka bengis ibunya saat melarangnya pergi kalau dia tetap menikah dengan Ridho. Ibunya pernah bilang, "Dapat duit dari mana nanti dia, kalau harus beli susu buat anakmu. Beli makanan dan minuman yang sehat, yang bergizi, itu mahal Wi. Mana mampu si Ridho itu. Ah…"

Dewi menghela napas, dia sadar hidupnya kini kekurangan. Bahkan sebagai ibu hamil, dia sering makan sekali sehari. 

Ridho datang setengah berlari. "Wi, maaf ya. Tadi ada operasi kir, antre lama sekali," ujarnya terengah-engah. "Teman-teman protes jalur baru. Eh, heh, mmm, gimana, kapan katanya bu bidan?" Napas Ridho satu-satu. Bau keringat menyebar di ruang sempit itu. 

"Mungkin, sebentar lagi. Mas, aku kangen sama ibu…"
"Ah, sudahlah. Konsentrasi saja ke calon anak kita." Ridho membuang muka.
"Mengapa ibu tidak merestui kita ya?" Dewi mulai berkaca-kaca. Tampak sekali di raut mukanya, dia kangen dan ingin berjumpa dengan ibunya. Entah mengapa. 

"Kita akan tunjukkan Wi. Biarpun ibumu nggak setuju, aku bisa menghidupi kamu. Kita bisa punya keluarga, aku bisa punya anak. Dia nanti akan kukasih nama…ehm, Teguh Mardiko. Bagaimana? Anakku nanti akan sekolah yang tinggi, kerja yang bagus. Kalau bisa jadi juragan, biar uangnya banyak. Biar wawasannya luas. Biar ibumu tahu kalau di dunia ini yang pinter dan kaya nggak cuma satu orang. Aku akan beritahu semua nanti lewat anak kita Wi." Ridho berbicara bersemangat. Tangan kirinya mengusap kening Dewi dan tangan kanan menggenggam jemari Dewi. 

***
Jam 12 malam, masuk tanggal 17 Agustus 1993. Ridho tertidur di ruang tamu bu bidan. Dari balik kelambu, di sebelah, terdengar tangisan bayi. Ridho tergagap bangun. Dia berlari ke kamar bersalin. 

Dia membuka pintu dan melihat ke pembaringan. Istrinya menangis pelan, bu bidan memandang Ridho tanpa bicara. Ridho melihat bayinya yang baru lahir. Tanpa tangan dan tanpa kaki. Bayinya menangis keras. Ridho diam. Suara orang mengaji menyambut hari kemerdekaan terdengar lamat-lamat dari mushola depan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer