Hitam v Putih
Oleh Fitriana Dinarwati
Penulis adalah mahasiswa Univ. Sebelas Maret Surakarta
"Gila kamu. Bagaimana otakmu sampai mempunya pikiran sebejat itu?"
"Tapi ibu sakit. Akan lebih bejat lagi kalau kita membiarkan ibu sekarat digerogoti penyakit sialan itu. Kamu tega melihatnya Har?"
"Kan masih banyak cara lain untuk mendapatkan uang. Cara yang jauh lebih layak dan halal daripada rencanamu itu."
"Cara lain? Cih! Cara apa coba? Aku ingin tahu. Dengan bekerja lebih keras? Jadi kamu pikir selama ini aku kurang bekerja keras, begitu? Kamu sendiri tahu kan betapa besar pengorbananku untuk bisa bekerja? Aku sampai tidak melanjutkan sekolah! Cita-citaku harus kukubur dalam-dalam. Itu menyakitkan Har. Dan selama tiga tahun aku bekerja membanting tulang kamu bilang kerjaku kurang keras? Dengar ya, sekeras apa pun kita berusaha, kita tetap tidak akan bisa hidup enak. Sekali kita dilahirkan miskin, akan selamanya miskin. Kaya atau miskin itu keturunan."
"Bukannya aku bilang kalau usahamu selama ini kurang keras Tor. Aku berterima kasih sekali karena dengan usahamu aku bisa tetap sekolah. Teapi bukankah masih ada 1001 cara yang lain. Masih ingatkah kamu kata-kata bapak dulu, kalau Tuhan menutup satu jalan maka Dia akan membuka jalan yang lain. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa ditanggung umat-Nya."
"Hei, percuma saja kamu berkhotbah seperti itu. Tidak menyelesaikan masalah tahu! Dulu aku rajin berdoa dan percaya kalau Tuhan itu Maha Penyayang. Tapi apa buktinya? Bapak di-PHK karena sakit-sakitan dan tak lama meninggal. Aku putus sekolah karena tidak ada biaya dan sekarang giliran ibu kena tumor. Semakin lama hidup kita semakin menderita! Lalu mengapa aku harus percaya Tuhan Maha Penyayang? Mengapa menimpakan penderitaan yang tiada hentinya? Percuma saja aku berdoa dan beribadah selama ini."
"Kamu benar-benar gila Tor. Percuma saja orang tua kita memberikan pendidikan agama. Aku yakin mereka akan kecewa mendengar kata-katamu barusan. Bagaimana pun, Tuhan tetap Maha Pengasih dan Penyayang. Tapi bukan berarti kemudian kita akan mendapat ujian-Nya. Justru kesengsaraan ini harusnya dapat melecut kita untuk mempertebal ketabahan dan kesabaran. Kalau kita terus menyalahkan nasib, maka nasib kita tidak akan berubah. Waktu kita akan habis hanya untuk mencari-cari kambing hitam. Tidak ada gunanya, justru malah akan semakin mempersulit keadaan."
"Dengar Har. Hidup ini keras. Segalanya terbagi atas hitam dan putih. Kita berhak dan wajib memilih di antaranya asalkan dilatari kesiapan yang cukup. Jadi jangan cuma memenuhi dirimu dengan hal-hal baik saja. Banyak juga masalah yang tidak bisa diatasi secara baik-baik. Cobalah sekali-kali kamu melihat ke segenap penjuru, jangan terpaku pada satu sudut saja."
"Dan kamu memilih mengambil yang hitam? Meskipun di baliknya ada dalih yang luhur tapi kalau diperoleh dengan jalan kejahatan tidak akan ada hasilnya. Percuma. Kasih sayang yang diselimuti nafsu setan tidak akan memiliki kekuatan apa-apa. Kalau kamu tetap nekad dengan rencana jalan pintas itu, berarti kamu pasrah pada nasib, tidak mau berusaha, dan takut menghadapi kenyataan. Itu namanya pengecut!"
"Okelah kamu bilang aku pengecut. Tapi aku ingin tahu, bagaimana cara yang luhur untuk menyelesaikan masalah ini. Dari mana kita mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibu?"
"Terus terang saja, sampai sekarang aku belum tahu cara untuk mendapatkannya. Tapi bukankah kita berdua bisa memikirkan cara…"
"Kalau ada cara lain, pasti sudah aku lakukan kemarin-kemarin Har. Kamu kira selama ini aku tidak berpikir? Coba kalau aku perempuan, pasti akan lebih mudah mendapatkan uang."
"Itu sama bejatnya."
"Dengar! Setuju tidak setuju aku tetap akan melaksanakan rencanaku ini. Aku tidak peduli bagaimana pandanganmu atau pandangan orang lain padaku. Aku memang pengecut, gila, dan bejat. Yang jelas, aku melakukannya karena sayangku pada ibu. Seandainya nanti aku mati, setidak-tidaknya aku telah berusaha untuk menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Aku yakin Tuhan pasti mengizinkan, bukankah Dia Maha Mengerti?"
"Attor, itu hanya akal-akalanmu. Kamu mencari pembenaran atas apa yang jelas-jelas salah. Dan aku yakin, seandainya ibu tahu rencanamu ini, beliau tidak akan setuju, juga Tuhan."
"Aku tidak peduli. Ini adalah pilihanku. Nasibku memang seperti ini. Mau diubah bagaimana lagi? Aku berangkat!"
Percuma Harri menghalangi kakaknya yang akan merampok rumah orang nanti malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar