Ibu Mau Membunuhku - Gusrianto
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor
Perlahan aku dapat mendengar suara jangkrik di luar. Barusan juga kudengar suara kentongan di pukul dua kali. Berarti sekarang sudah pukul dua. Dari tadi ibu terus menggendongku, dan tak henti-hentinya menciumiku. Tapi itu tadi, sekarang keadaan sungguh jauh berubah.
"Ibu… apakah ibu mau membunuhku?" kulontarkan pertanyaan itu setelah ibu meletakkanku di atas ranjang, lalu pergi ke dapur dan kembali dengan sebilah pisau di tangannya.
"Iya, anakku. Ibu akan membunuhmu." Ibu menjawab. Menatapku. Tapi aku yakin, itu bukan tatapan kebencian. Ibu menatapku sepenuh cinta. Aku merasakan itu.
"Tapi mengapa, Bu? Bukankah ini bukan salahku? Ini juga bukan salah ibu." Aku coba menyadarkan ibu.
"Kau memang benar. Ini bukan kesalahanmu, juga -mungkin- bukan kesalahan ibu. Ini kesalahan mereka yang tak punya cinta. Kesalahan para manusia yang sebenarnya adalah binatang, yang dalam dirinya hanya ada nafsu, nafsu dan nafsu.
"Lalu mengapa ibu mau membunuhku? Ibu pasti tahu kalau itu perbuatan dosa." Aku tak akan menyerah. Ibu harus berhasil kusadarkan. Aku tahu, pikirannya hanya sedang kacau, tak mampu bertindak normal.
"Tapi akan lebih berdosa lagi jika ibu membiarkanmu terus hidup. Kau akan jauh lebih tersiksa, lebih menderita, dan ibu tak mau itu terjadi padamu. Ibu membunuhmu karena ibu sangat menyayangimu." Ah…ibu. Aku tahu kalau kau sangat menyayangiku, sangat mencintaiku. Aku tahu itu dari tatapanmu. Matamu selalu menyorotkan sinar cinta. Sebesar cintamu pada Bapak. Ah, dimana Bapakku? Seandainya dia ada di sini, semua hal ini tak akan pernah terjadi.
"Tersiksa? Aku nggak yakin akan tersiksa, Bu. Bukankah kita bisa hidup berdua? Saling bahu membahu. Kalau bersama ibu aku tak akan pernah merasa tersiksa. Karena aku tahu, ibu mencintaiku. Jadi tak ada alasan bagi ibu membunuhku." Ya Tuhan, bukakanlah hati ibu. Singkirkanlah setan-setan yang sedang berpesta di kepalanya. Kumohon Tuhan.
"Hidup tak akan pernah bahagia hanya dengan cinta, anakku. Tak cukup hanya cinta. Seperti ibu yang mencintai Bapakmu, bahagiakah ibu? Tidak! Malah sangat menderita. Dia yang katanya sangat mencintai ibu, mengatakan dengan sungguh-sungguh, lalu setelah dia mendapat apa yang diinginkannya, begitu saja dia meninggalkan ibu." Ibu menangis, selalu begitu. Setiap ia ingat orang yang telah meninggalkannya, ia pasti menangis. "Kita juga butuh uang anakku, kau butuh makan biar bisa bertahan hidup, juga ibu. Dari mana kita akan memperolehnya? Memang kau bisa minum ASI ini, tapi untuk berapa lama? paling lama seminggu, lalu akan kering. Tidak anakku, kau akan sangat menderita kalau hidup. Ibu lebih senang membunuhmu, agar kau bisa segera mencapai surga-Nya. Disana banyak bidadari yang akan menjagamu, mengajakmu bermain, dan kau akan bahagia."
"Bu… di kota ini kita memang hanya berdua. Tak tahu harus minta bantuan pada siapa. Tapi saat aku lahir, aku mendengar ibu terus-terusan memanggil kedua orang tua ibu, nenek dan kakekku. Bukankah kita bisa ke sana? Kita pulang kampung, Bu?"
"Anakku… pulang kampung katamu? Satu hal yang harus kau ketahui, ibu membunuhmu supaya orang di kampung, terutama kakek dan nenekmu tidak mengetahui hal ini. Kau tahu anakku, kalau sampai mereka bahwa ibu sudah melahirkanmu, bukan hanya kau yang akan mereka bunuh, tapi juga ibu. Ya, mereka akan membunuh kita berdua. Dan ibu tak mau itu terjadi, itu hanya akan menambah dosa mereka. Lagipula ibu membalaskan sakit hati ini."
"Ibu kan bisa membela diri, mengatakan pada mereka kalau ibu hanyalah korban. Bukan ibu yang menginginkan semua ini terjadi." Terus dan terus aku mencoba membuka hati ibu.
"Kau tidak mengenal seperti apa kakekmu, anakku. Ibu tak akan diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan. Lagi pula…. Ibu malu anakku, malu pada mereka, malu pada orang-orang kampung. Mereka akan mengejek ibu, akan membuat aib bagi keluarga, dan akhirnya…bukan hanya ibu yang malu, tapi juga kakek dan nenekmu."
"Ibu yakin? Ibu yakin mereka akan mengejek? Ibu… ibu hanya memikirkan hal buruk yang akan menimpa. Ibu tak memikirkan bahwa di samping kemungkinan yang ibu bayangkan, masih ada kemungkinan lain, kemungkinan yang lebih baik. Bukankah segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasangan? Ada sisi buruk, juga ada sisi baikknya. Hanya Tuhan yang esa."
"Apa maksudmu, anakku?" ibu bertanya. Ya Tuhan….berikan aku kekuatan untuk meyakinkan ibu kalau dia salah. Berikan aku kekuatan untuk meyakinkan dirinya kalau aku adalah titipan-Mu yang tak boleh disia-siakan.
"Bu… menurut ibu orang tua ibu akan membunuh kita kalau sampai mereka tahu aku terlahir tanpa bapak. Menurut ibu orang sekampung akan mengejek ibu begitu tahu kalau ibu telah dibohongi seorang lelaki, merenggut mahkota ibu dan lalu meninggalkan ibu begitu tahu ibu ternyata mengandung benih hasil perbuatannya. Itu adalah sisi buruknya. Tidakkah terlintas di benak ibu bahwa orang tua ibu akan menangis memeluk ibu begitu tahu anakknya telah menderita? Tidakkah terpikir oleh ibu bahwa orang di kampung akan merasa kasihan dan simpati pada ibu begitu ibu menceritakan apa yang telah menimpa ibu? Ayolah, Bu…letakkan kembali pisau itu. Tak selalu apa yang kita pikirkan itu akan terjadi. Tuhan yang menentukan semua."
Kulihat ibu terdiam. Menatapku. Air matanya masih mengalir. Lalu dia meletakkan pisau di tangannya di meja samping ranjang. Aku menarik nafas lega. Semoga ibu luluh. Semoga.
Ibu mengangkat tubuh merahku dalam pelukannya. Menciumiku. Aku menangis. Tangisan bayi yang baru berumur satu hari. Tapi itu tangisan cinta, cintaku pada ibu.
"Kau sangat bijaksana, anakku. Ibu kagum padamu. Ibu yakin, kalau kau tumbuh besar nanti kau akan jadi wanita hebat, wanita tegar. Jauh lebih tegar dari ibu. Ibu yakin, tak akan ada seorang lelakipun yang akan berani macam-macam denganmu." Aku tersenyum. Apakah itu berarti ibu akan membesarkanku? "Tapi maafkan ibu, Nak. Keputusan ibu sudah bulat. Ibu tetap tak bisa untuk membesarkanmu."
Kembali aku mendesah. Ternyata hati ibu benar-benar sudah tertutup. Rasanya aku sudah kehabisan kata-kata buat menyadarkan ibu. Biarlah, aku pasrah. Aku akan menerima keputusan ibu. Mungkin memang itu jalan terbaik menurut ibu.
Kulihat ibu meraih kembali pisau dapur yang tadi di letakkannya di meja, dan membawanya ke hadapanku. Mungkinkah ibu akan menikamkannya sekarang? Aku siap menunggu.
"Tapi anakku, bukan pisau ini yang akan membunuhmu…" ibu kemudian berkata.
"Maksud ibu?"
"Ibu tak sanggup menghujamkan pisau ini ke tubuhmu. Tak sanggup anakku. Setelah mendengar kata-katamu, ibu sadar. Kau tak berhak untuk mati dan ibu juga tak berhak untuk mencabut nyawamu. Itu semua adalah hak Tuhan. Tapi walau begitu, seperti yang ibu bilang tadi, ibu tak bisa membesarkanmu. Maafkan ibu."
"Lalu apa yang akan ibu lakukan?" aku menunggu jawaban ibu, berharap-harap cemas.
Kembali ibu meletakkanku di ranjang dan berjalan ke dapur. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah kantong plastik besar berwarna hitam.
"Ibu akan membuangku?" aku bertanya. Sama sekali aku tak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya.
"Benar, anakku. Ibu akan memasukkanmu ke dalam kantong plastik ini. Lalu memasukkanmu ke bak sampah di ujung jalan sana. Ibu harap kau menangis sekeras-kerasnya supaya ada orang lewat yang mendengarkan. Ibu yakin, siapapun yang mendengarnya akan merasa kasihan. Kalau yang menemukanmu orang miskin atau mungkin gelandangan, ibu yakin mereka akan membawamu ke kantor polisi, lalu mereka akan memasukkanmu ke panti asuhan dan kau akan tumbuh di sana. Tapi kalau kau ditemukan oleh orang kaya, ibu berharap mereka akan mengangkatmu jadi anaknya, mungkin kau akan jauh lebih bahagia. Sementara ibu, ibu akan tetap di sini, ibu akan lanjutkan kuliah sebagaimana biasa. Dan juga akan menunggu dan mencari bapakmu. Ibu harus balaskan dendam ini. Ibu akan buat semua laki-laki menderita. Ibu berjanji akan melakukannya."
Ibu menatapku, "Kau setuju anakku?"
Kukumpulkan lagi kekuatanku. Tinggal satu lagi langkah yang akan kulakukan, dan aku berharap dengan apa yang kukatakan nanti, ibu akan sadar. Semoga.
"Bu… aku tadi sudah bilang. Didunia ini selalu ada dua kemungkinan, baik dan buruk. Yang ibu katakan tadi baru kemungkinan baiknya. Syukur kalau ada orang yang menemukanku dalam keadaan hidup dan menjagaku. Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau setelah ibu tinggalkan aku mati kedinginan? Lalu keesokan harinya tanpa disadari petugas sampah akan memasukkanku kemobil sampah untuk kemudian dikirim ke pembuangan tanpa mereka sadari bahwa yang di dalam kantong plastik itu adalah manusia. Bagaimana kalau di saat ibu tinggalkan datang seekor anjing dan menemukanku? Anjing itu akan menjilati seluruh tubuhku yang masih bau darah. Bagaimana, Bu? Apakah ibu tega anak ibu yang hebat ini dijilati anjing?"
Air mata ibu mengucur deras. Ibu mengangkatku, membawaku dalam pelukannya.
"Anakku. Maafkan ibu, maafkan. Ibu salah. Kau benar anakku. Ibu sekarang sadar kalau ibu salah. Tidak anakku, ibu tidak akan membuangmu, apalagi membunuhmu. Ibu akan membesarkanmu. Ya anakku, ibu akan membesarkanmu."
Terima kasih Tuhan, batinku.
***
Kamar kost (Ditemani Riyath yang lagi tidur), 26 Oktober 2002.
Anak adalah titipan-Nya, jangan pernah di sia-siakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar