Ida, Aku Akan Pulang Untuk Belajar Mencintai Kotamu
Cerpen Tulus Wiswani
Ida, minggu ini aku akan pulang untuk belajar mencintai kotamu. Setelah hampir satu bulan aku tangkupi debu-debu di kota ini, darinya tak dapat kusarikan apa-apa kecuali debu-debu itu sendiri. Baiklah Ida, agar makin gamblang adanya, aku senandungkan saja untukmu cerita tentang kota ini.
Yang terang, tempat ini tak lebih bersahaja dari sebuah negeri senja meskipun orang-orang, termasuk aku, bersikeras membuat arak-arakan ketika menuju ke kota ini. Seluruhnya yang berangkat itu membawa serombongan angan-angan lantaran sebelumnya mereka sering mendengarkan selentingan-selentingan tentang melayang-layangnya berlembar-lembar uang di kota ini. Bagaikan ditebarkan dari segulungan langit ke tujuh. Dan bagaikan mendengarkan cêngkok seorang biduanita cantik, akupun menjadi takjub dan lantas ngêyel kepada kau yang mencegahku supaya aku tak tinggalkan kotamu. Perkara itu, akan kuutarakan ma’af untukmu jika aku tiba nanti. Sebab bukannya terlalu materialistiknya diriku. Ataupun lantaran terlalu rakusnya aku. Tetapi hanya rancangan pernikahan kita, di satu tahun ke depan, yang lumayan membuat aku kesulitan tidur dan harus menemani dini hari itu, Ida. Sama seperti halnya juga dengan kau. Yang kemudian menyergahku dengan tawarmu supaya kubatalkan saja berharap banyak dari tempat ini: “kita bisa bersama-sama mengusahakannya di sini kan, Mas.”
Kota ini menyimpan berjuta gulita, Ida. Juga kota ini seolah tak mau sisakan tenggang rasa sehingga bagi siapapun setiap harinya dapat saja menemukan orang-orang yang mati rasa dan terbiasa melakukan penodongan, pencongkelan, pencopetan, penganiayaan, pencurian, dan pembunuhan yang seterusnya akan menjadi santapan bagi koran kuning. “Tolong Ida, kelak jangan ceritakan pada anak-anak kita soal keprimitifan ini!” Karena kota ini tak pernah mati. Kota ini tak mati-mati, Ida. Seperti Jogja juga. Sungguhpun lebih banyak orang yang mati rasa di sini ketimbang di kotamu itu.
Oh ya, banyak juga perempuan yang seolah mengenakan pakaian seragam: kaos ketat dan sandal yang bersol tebal. Banyak menyerak di pusat kota ini. Di sekitar tugu air mancur, bergelantungan di melintang-melintangnya tabung lampu kota, dan di sekujur lorong-lorong yang ditimpa oleh sisa malas cahaya di kota ini, Ida. Satupun dari mereka tak aku mau. Tidak karena beberapa dari mereka abai pada wejangan orang tuanya. Tetapi ucapkanlah, Ida: sebab aku hendak menikahimu dengan segurat cintaku kendatipun aku baru mau belajar mencintai kotamu.
Siapapun boleh mengaku memiliki kota ini. Wujud dan karakter yang bagaimanapun memberikan ragam pada tanah kota ini. Ida, aku tak mau berlama-lama tinggal di sini sebab kota ini acapkali mampu merubah watak seseorang. Banyak orang yang pada mulanya hanya terpesona namun di kemudian setelah menggenggamnya dia menjelma menggila. Ingatkah, Ida, kalau hal itu pernah didedahkan dengan sangat apik di sembilan puluh delapan? Lalu air mata yang sering tumpah di kota ini. Air mata sebagai penanda bagi hadirnya derita. Berapa jumlah ibu yang bersedih sebab putra-putranya direnggut jejalanan kota yang rebahan seperti tidak mau ambil urusan? Susah dihitung, Ida. Susah untuk dihitung sesusah ketika kita harus menghitung dengan pasti jumlah asap rokok yang jalin-menjalin.
Ida, tak adakah yang dapat ditemu dengan bahagia dari kota ini? Ada Ida. Tentu ada. Kota ini banyak tawarkan kekenêsan. Resik dan sumringah-nya wajah-wajah para penggede, gedung-gedung yang menjulang bagaikan duplikasi dari New York saja, dan di samping tanda bahaya yang sering terdengar, hingar-bingar yang kompak selalu terdengar pula di kala kota ini merayakan datangnya malam. Kota ini sepertinya berganti warna gincu di sewaktu malam. Parfum khusus yang mengkamuflase bau keringat malam kemudian juga disemprotkan. Dan mulailah iringan tetabuhan tak gamang dimainkan meski serombongan orang yang berada di seberang lain berteriak-teriak lantang: “hapus kemaksiatan!”
Tetapi semua itu tak berhasil memikatku, Ida. Aku justru ketakutan dan lebih tertarik untuk minta ma’af kepadamu dan mengangguki tawaranmu: kita berusaha bersama di Jogja demi pernikahan di tahun depan yang didamba-damba itu. Lalu di manakah kita akan tinggal seusai kita menikah, Ida? Tentu tidak di kota ini. Tidak di kotaku. Tetapi di kotamu saja, Ida. Di kota yang hendak kucinta itu, Ida. Sebab menurut seorang yang juga sudah muak dengan aroma tengik kota ini: aura magis yang diseruakkan dari tanah kotamu yang warnanya tidak menyala akan membuat siapa saja yang datang kepadanya cepat untuk jatuh cinta dan enggan untuk meninggalkannya. Nantikan aku, Ida.
Teruntuk: H.S.
Pertengahan Mei 2002,
Pojok Pakualaman, Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar