Rabu, 06 April 2016

Inyik Lunak Si Tukang Canang

Inyik Lunak Si Tukang Canang


Pada  masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang  kampung. Seperti  banyak  orang lain sebelum APRI  menyerbu.  Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai  negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan  khusus. Katanya,  karena solider pada Pak Natsir, tokoh  idolanya, yang  mengirimnya magang di peternakan  Amerika di Florida selama  setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu  tidak bisa  dipraktikkan di kampungnya. Selain  hambatan  sosial        budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu  dia  menetap saja  di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi  dan  situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya. 

Katanya,  betapa dia tidak akan solider. Dari  seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang  serba wah seperti yang diangankannya  ketika  nonton film-filmnya. Bahkan  lebih daripada solider  itu,  ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya  di kampung, agar Otang tidak kecantol pada  gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan.  Namun  segera saja dia setuju  demi  ketemu  calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya  tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika  kembali  ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua  anak.  Dan selama  di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang  tidak ada  yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak  sekolah  di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang  berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang  diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan. 

Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh  APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang  harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal  dan        ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji,  apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi  Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong.  

Yang  jadi  komandan APRI di kecamatan  itu  berjabatan Bintara  Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan  Mayor pangkatnya. Orangnya  berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika  berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang  hampir  saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara  Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput  suaranya juga pecah.  

Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk  bekerja, juga merasa sengaja dihina  sebagai  orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik  Lunak, lama-lama  berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada  Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru  pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah  lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu. 

Bahkan  Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah  tahu, apa  yang  dilakukan Buter Talib ketika  semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia  masuk kampung  keluar kampung menzinai  istri-istri  orang-orang  PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral  Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan  yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira,  Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah  kata-kata yang keluar dari mulut  penduduk  negeri yang ditaklukan itu.  

Akhirnya,  meski  tidak ikut perang, cuma  karena  rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang  taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang.  Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena  istrinya  cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah  jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam. 

Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya  tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah  keruh  kedua perempuan  itu setiap Otang pulang  dari  bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.  

"Otang,  cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si  Atun, atau  sebagai  aku sendiri ketika bencana  itu  tiba. Apa mungkin  kami melawan? Apa mestinya kami  mengadu  padamu, supaya  Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.      

Otang  tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit  dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata  melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali.  Pertama dia pulang kampung karena alasan  solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa  isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan  yang paling disesalinya.  

Dia  marah pada  Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan  jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa  dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah  belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai  ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima  apa  kata guru dan kata buku. 

Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten  pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang  menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena  PRRI  tidak  akan menyerah  kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba." 

"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika  melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati  Kasdut yang kapten itu.

"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?" 

"Itu  kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak." 

"Menegakkan  kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?" 

"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu. 

Otang  lalu  ingat slogan masa itu:  "Jika  takut  pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan  orang yang  sedang menang perang. Dan ketika Bupati  Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang. 

***
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang  di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah  jauh beda gaya Otang. Tenang.  Terlihat alim.  Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut  Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di  kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun. 

"Dia  sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di  Koto nama  gelarnya.  Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya  yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa  gelarnya. Gelar yang pantas bagi  seorang  kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di  kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian. 

Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan  nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua  puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin  dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari  luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri  Atun. Kemudian menyerahkan Atun  kepada  Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia  masih dendam setelah Buter Talib  dan  teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua  kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?" 

Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah  peperangan, Otang ke Jakarta  membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan  masa  lalu. Nyatanya kota  itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat  orang-orang  berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang  seperti  Buter Talib  yang  menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam  perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang. 

Kalau  pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh  dari  pagar halaman.     

Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku  itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja  yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil. 

Akhirnya  dia keluar juga dari persembunyiannya  karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah  di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan  tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama  oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah  menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang  diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang  pegawai suka  pada  berita kenaikan  pangkat orang-orang dikenal mereka. 

Otang  tidak mencari berita-berita itu. Berita itu  dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah  Otang sebagai sumber berita otentik. Dia  pun  tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan  masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran. 

Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski  menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau  Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu  dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo  baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana?  Otang  bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis  mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan  pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang. 

Semua  orang-orang tua yang dikunjunginya secara  rutin itu  pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang.  Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku  Otang, apa  yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan  yang  aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?" 

Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk  juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya.  Mestinya dia dibayar pada setiap  kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan  selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi  bagaimana caranya minta bayaran kepada  kenalan dan orang-orang  sekampungnya  itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung  ke rumah-rumah orang itu bukan  suatu  profesi yang  bersifat komersial seperti dokter.  Namun  istrinya lagi  yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu." 

Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah  mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu  saja  dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan  manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena  ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab  kepada rumah-tangganya.  Kadang-kadang dia  katakan  betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang  dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat  istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya.  Kalau ada kasus yang aktual, Otang  tak  lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya  dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya  di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa  pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja  ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi. 

Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta,  rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha  selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang  bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya  seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar.  Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah.  Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.                                   

***
Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah  semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada  banyak  kenalannya  yang menjamin biayanya.  Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar  Otang  dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu.  Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut. 

Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan  yang sayu. Seperti banyak yang akan  dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan  Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga  Si  Dali meremas  lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.       

Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang.  "Engku Datuk  ini manusia langka. Takkan ada  penggantinya  kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang. 

"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.          

"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita.  Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil  memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian." 

"Tapi  Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi. 

Tiba-tiba  Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang  yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang  seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling  ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama  kemudian  dokter  tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat  dengan perasaan masing-masing. 

Si  Dali duduk pada kursi fiber.  Pikirannya  tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena  mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang  menyamakannya  dengan  Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah? 

Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat  bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.                                       


Kayutanam, 5 Desember 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer