IRMA
Piano itu mengalun kembali. Melantunkan nada-nada Chopin. Memastikan segenap perasaan pemainnya. Kesedihan, kerinduan, frustasi, dan keriangan. Alunannya seakan menangis, tetapi kadang tertawa. Kadang memaki-maki kehidupan, kadang memuji-muji kebesaran Sang Pencipta. Mengajak setiap orang untuk masuk lebih dalam, lebih dalam lagi ke dalam khayalan, daripada memikirkan kehidupan yang semakin ruwet saja. Melodi itu menawarkan kepada pendengarnya, tentang kebahagiaan.
Mungkin dia sadar, tidak semua orang tahu apa itu bahagia. Kadang bahagia tidak selalu dapat disebut sebagai bahagia. Bahagia selalu punya patokan. Itu pun tergantung pada yang menyebutnya sebagai bahagia. Dan dia paham akan itu.
*
Saya benar-benar kagum akan permainan piano Irma, gadis itu. Saya tidak tahu, apakah permainannya benar-benar merupakan curahan hatinya yang terkadang kesepian, atau pelampiasan alter-egonya, saya tidak tahu. Mungkin saja orang aneh seperti dia memiliki alter-ego.
Ah, rasanya saya menyesal menyebutnya sebagai orang aneh. Dia tidak aneh. Menurut saya, dia hanya berbeda dari gadis lain sebayanya. Kala teman-temannya ramai berceloteh di sekolah, mengejar-ngejar anak laki-laki, dia malah mengurung diri di dalam sangkar beton itu. Ketika malam, dimana gadis seusianya belajar, menonton televisi, atau mungkin menikmati kencan, dia malah melantunkan nada demi nada yang melankolis. Melodi yang sama setiap hari. Namun tidak membuat saya bosan mendengarnya. Melodi yang selalu menusuk-nusuk hati dan pikiran saya, membuat saya sakit dan menangis, tapi tetap merasakan nikmat luar biasa.
Malam ini, piano itu bernyanyi lagi. Menyanyikan lagu ninabobo bagi saya. Saya kembali membukan jendela lebar-lebar. Membiarkan musik itu masuk dalam saya, relung hati saya, bersama dengan nyamuk-nyamuk yang kelaparan.
Saya ingat dengan ibu saya. Ibu yang tegar, tegas dan sangat berwibawa. Tapi juga sangat keras kepala. Ibu yang tidak pernah absen mendesak saya untuk berkeluarga. Saya tahu ia ibu saya, orang yang berjudi nyawa saat anak kesayangannya memberontak keluar untuk melihat dunia yang katanya indah tapi busuk di baliknya.
Saya mengerti tentang keinginannya memiliki seorang cucu dari lelaki sematawayangnya ini. Tapi saya tidak bisa mengumbar nafsu pada setiap wanita yang datang dan pergi di hati saya. Wanita dengan madu melumuri tubuhnya, membangikitkan gairah, dan setelah itu meracuni saya. Saya tidak mau. Biarlah harga diri saya hancur, asalkan saya tetap bahagia menikmati yang ada.
Kejengahan saya meracun saya untuk meninggalkan ibu. Meninggalkan orang-orang yang saya cintai, rumah yang penuh kenangan manis, meracun kaki saya untuk melangkah ke dunia baru. Dunia yang independen, individual, di mana masyarakatnya tidak suka mengobok-obok masalah orang lain. Dunia yang benar-benar berjodoh dengan saya, saat itu.
Saya terhenyak ketika melodi pianonya terhenti. Saya menghisap rokok dalam-dalam. Bagi saya, pria dengan rutinitas kerja rendah, rokok merupakan sahabat suka dan duka. Kala suka, saya berteman dengan rokok filter berkemasan mewah. Kala saya susah, rokok klobot pun jadi teman penghibur saya. Rokok benar-benar tidak tergantikan kedudukannya. Andaikan saya adalah rokok pria, saya akan mencari rokok wanita sebagai pendamping hidup saya. Rokok tidak punya perasaan. Kalaupun saya jadi rokok pria ayng ditinggal lari istrinya, saya tidak akan merasa sakit hati. Toh sebagai sebatang rokok, saya tidak harus memberi dan pasangan saya tidak harus menerima.
Rokok tidak pernah menyakiti sesamanya. Rokok membakar tubuhnya sendiri untuk menemani saya dan orang tua yang punya masalah seperti saya.
Saya masih menyedot filter saya. Melodi itu kembali menari-nari di telinga saya. Menusuk dan merobek-robek perasaan saya. Menyakiti saya dengan sangat indah. Saya benar-benar merasa nyaman. Asap rokok mengisi rongga dada saya dan piano itu terus merobek-robek menjadi berdarah dan bernanah.
Saya menyukai Irma, gadis yang selalu melukai saya dengan pianonya. Gadis itu selalu mendendangkan lagu yang mengantar saya pada impian dan harapan saya. Saya menyukai gadis yang layak dianggap sebagai cucu saya, gaids yang melukai saya, tetapi kemudian menyembuhkan saya.
Alunan piano Irma terhenti. Mungkin dia merasakan beban di hari saya. Mungkin merasakan perang batin antara si baik dan si jahat. Tapi tidak mungkin, saya tidak punya ikatan darah dengan Irma. Bercakap-cakap saja tidak pernah, bagaimana saya punya ikatan batin dnegan dia? Saya rasa, saya terlalu banyak mengkhayal. Pikiran saya sudah diracuni oleh Irma. Kasarannya begitu.
*
Hari ini, saya bangun kesiangan. Saya masih merasa lemas. Mungkin karena tadi malam saya terlalu banyak menyedot rokok. Atau mungkin saya kehabisan tenaga melawan racun yang merasuki diri saya.
Saya membakar rokok dan menyedotnya dalam-dalam. Melodi itu mulai lagi. Saya seakan menari-nari di atas balok-balok hitam dan putih yang tersusun rapi. Melodi yang mengiris-iris saya. Musik yang menusuk-nusuk saya.
Melodi pianonya semakin memilukan hati saya. Mengoyak-ngoyak luka yang sudah menganga sedemikian lebarnya. Telinga saya panas dan terasa sakit mendengarkan melodi yang dimainkan Irma. Cairan panas keluar dari seluruh tubuh saya, melelehkan raga saya. Tapi saya gembira disiksa seperti ini, saya gembira, bahagia merasakan sakit yang sedemikian sakitnya, walaupun saya tahu pasti, melodi ini perlahan-lahan membunuh, menggerogoti hidup saya.
*
Saya melihat Irma duduk di sebelah saya. Dia datang sendiri tanpa pembantunya. Dia duduk tenang, memejamkan mata sebentar, mencium kening saya, lalu meninggalkan saya yang sedang tidur-tiduran sendirian. Dia meninggalkan saya di tempat sepi ini. Mungkin dia merasa ini tempat cocok untuk saya. Saya merasa begitu. Saya melihat banyak tidur-tiduran sama seperti saya. Tapi saya tidak suka. Saya ingin protes, saya ingin ikut Irma, saya ingin terus disakiti dengan melodi pianonya, Tapi saya tidak bisa.
Penulis: Margaretha Yessi Budiono
Siswi SMAK St Louis I Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar