Jalan Terakhir
Oleh Diyah Nastiti H.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Surabaya
Sebenarnya aku bahagia tinggal di panti asuhan ini. Tapi entahlah…perasaan itu berubah ketika teman sekamarku dijadikan anak angkat oleh keluarga yang kaya raya. Perasaanku jadi iri.
"Kenapa Irna? Kenapa bukan aku?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
Bagiku Irna bukanlah fokus perhatian di panti asuhan ini. Bahkan boleh dibilang, akulah orang yang selalu dijadikan fokus perhatian. Bukannya aku sombong, tapi menurut semua penghuni panti asuhan, aku adalah anak yang cerdas, periang, cekatan, suka menolong, dan wajahku juga nggak jelek-jelek amat.
"Lantas, apa saja kriteria untuk menjadi anak angkat?" Aku membatin kelu.
***
Sudah seminggu Irna menjadi anak angkat keluarga Gunawan. Dan, dia berencana mengunjungi panti asuhan ini, untuk menceritakan pengalamannya menjadi anak angkat. Semua menunggu berdebar-debar, termasuk aku.
Tepat jam 3 sore sebuah mobil sedan biru metalik memasuki halaman panti asuhan. Begitu mobil berhenti, sesosok kepala menyembul dari balik pintu mobil yang terbuka.
"Halo semua. Apa kabar? Aku kangen lho."
Irna berlari sambil merentangkan tangannya. Kami berpelukan. Irna berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sana. Tempat kami biasa menghabiskan malam yang panjang sambil nonton TV. Sedetik kemudian aku mendengar suaranya yang renyah.
"Teman-teman, aku bahagia sekali tinggal di keluarga Gunawan. Orang tuaku baik banget. Mereka sangat memanjakan dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku punya 3 kakak cowok yang sayang banget sama aku. Aku sering dibeliin baju yang bagus-bagus. Diajak ke tempat yang indah-indah…"
Irna terus mengoceh, betapa bahagia tinggal di keluarga barunya. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melamun dan membayangkan betapa bahagiaya seandainya aku menjadi Irna.
"Kapan aku mempunyai keluarga?"
***
Selama 15 tahun menghuni panti asuhan ini, aku belum mengetahui mengapa aku berada di panti asuhan Kasih Bunda ini. Dari cerita yang kutahu dari pengurus panti, aku dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuaku tidak mempunyai biaya yang cukup untuk merawatku, bahkan untuk mendapatkan sesuap nasi pun mereka kesulitan.
Tapi siang ini, secara tidak sengaja aku mendengar namaku disebut-sebut bu Yusti dan bu Nani, pengurus panti, saat aku melintasi kantor utama panti asuhan. Aku mendekat untuk mendengar suara mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.
"Kasihan Mayang. Dia anak yang cerdas, cekatan, ramah, dan suka membantu. Sayang, orang tuanya tidak bisa melihat perkembangannya. Coba kalau orang tuanya ada di sini, pasti mereka bahagia melihat keadaan Mayang sekarang."
"Itu suara bu Yusti," batinku.
"Iya, Mayang juga pasti bahagia sekali mempunyai keluarga yang utuh. Saya juga prihatin dengan nasib Mayang. Sekarang dia benar-benar sudah tidak mempunyai orang tua. Sejak AIDS merenggut nyawa mereka, 7 tahun lalu."
Aku terhenyak. Bumi tempatku berpijak rasanya berputar. Aku cepat berpegangan pada pot bunga besar yang ada di depanku. Aku terduduk lemas.
"AIDS? Tujuh tahun lalu? Jadi, sebelum tujuh tahun lalu aku masih punya orang tua?"
Pikiranku menjadi kacau. Tapi sedetik kemudian aku menemukan jawabannya.
"Kasihan orang tua Mayang. Mereka harus membayar mahal akibat pekerjaan mereka. Hanya karena tidak punya keahlian dan keterampilan tertentu mereka bekerja sebagai pramuwisma dan mucikari. Hanya agar mereka bisa bertahan hidup. Penduduk sekitar tempat tinggal mereka memandang jijik dan menganggap kehadiran orang tua Mayang adalah aib, kotor, dosa, dan neraka buat lingkungan. Apalagi sejak kelahiran Mayang yang dianggap anak haram dan tidak pantas tinggal di lingkungan mereka. Padahal dalam agama apa pun tidak ada yang namanya anak haram. Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci meskipun orang tuanya berbuat salah. Ya, daripada Mayang merasakan beban orang tuanya, akhirnya dititipkan di sini," jelas bu Yusti panjang lebar.
Lalu mereka terdiam lama. Aku yang mulai tadi mendengar sudah tidak dapat menahan air mata. Aku merasa bumi menelanku hidup-hidup. Aku sudah tidak kuat berdiri, apalagi berjalan.
Tapi, kalau aku terlalu lama berada di balik pintu ini, mereka akan mengetahui kehadiranku. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan memaksakan kakiku untuk berlari ke kamar. Air mataku semakin deras mengalir. Pikiranku melayang entah ke mana. Kuacuhkan tatapan heran teman-teman.
Brak! Kubanting pintu kamar dan kukunci. Aku mengempaskan badanku ke ranjang.
"Ya Tuhan, ternyata aku anak seorang PSK dan germo. Aku anak haram. Tuhan, aku benci ayah dan ibuku. Aku benci mereka…" Aku membatin berulang-ulang. Kepalaku penuh sesak dengan kata-kata itu.
***
Tiga hari sudah kulewati masa berat itu. Aku jadi pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan mengunci pintu di kamar. Teman-teman memandangku heran. Aku yang biasanya ceria berubah seperti ini. Tapi aku tetap diam. Tak kujelaskan mengapa aku menjadi seperti ini. Suatu saat mereka pasti tahu. Harapanku untuk mempunyai sebuah keluarga pupus sudah.
Kukunci pintu kamar perlahan. Aku terdiam lama. Tak kuhiraukan suara bu Yusti memanggil untuk makan siang.
"Mayang, buka pintunya. Ayo makan. Teman-temanmu sudah makan mulai tadi. Mayang…"
Kudengar suara bu Yusti mulai gelisah. "Mayang, buka dong. Ini sudah jam 3 sore. Sudah seharian kamu di kamar. Kalau kamu nggak mau buka pintu, ibu akan memanggil satpam untuk mendobrak pintumu."
Brak! Pintu kamar terbuka. Samar-samar kulihat semua penghuni panti asuhan berlari cemas menghampiriku yang tergeletak.
"Ayo cepat angkat Mayang. Panggil ambulans!" teriak bu Yusti.
Terlambat! Begitu kata bu Yusti kudengar. Aku menutup mataku untuk selamanya. Tanganku terlepas dari pegangan bu Yusti. Mereka semua menangis. Di sebelah jasadku, tergeletak sebotol obat pembasmi serangga, segelas air putih, dan secarik kertas.
"Terima kasih bu Yusti, bu Nani, dan teman-temanku yang baik. Aku bahagia sudah melalui hari-hariku di panti asuhan ini sampai aku mendengar tentang masa laluku yang kelam. Selamat tinggal semua…"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar