Jam 7 Pagi - Joko Sutrisno
Dikemas 02/04/2003 oleh Editor
Ia bangun jam 7 pagi. Agak murung pagi ini. Biasanya bangun jam 9 pagi, merokok, nonton TV, sarapan dengan temannya, onani, lalu membaca buku. Dilakukannya itu tiap hari. Ia tidak menikmati juga tidak bosan dengan hal itu. Jelasnya, yang membuat ia murung pagi ini adalah ia bangun jam 7 pagi, lebih awal dari biasanya.
Baginya, bangun lebih awal merupakan sesuatu yang asing, diluar kebiasaan. Apalagi bangun lebih awal 2 jam. Ia tidak tahu kenapa harus bangun jam 7 pagi, padahal seluruh tubuhnya, mulai dari mata, jari – jari, kaki, sistem syaraf, regulasi, ekskresi, dan semuanya. Pendeknya udara yang masuk ke dalam paru – paru akan menggerakkan tubuhnya tepat jam 9 pagi.
Pagi ini, hatinya hancur. Kesedihan menyerangnya. Ia gagal menjadi manusia biasa yang terbiasa dengan kebiasaannya. Ia, menyesal, bahkan terlalu menyesal. Dan penyesalan adalah kata lain dari harapan. Sesuatu yang harus dibuangnya jauh – jauh. Ia tidak putus asa tetapi hanya tak punya harapan. Ia merasa ketika bangun pagi jam 9 pagi, terus – menerus, setiap hari, tiba – tiba harus bangun jam 7 pagi. Ternyata benar yang ditakutinya selama ini. Rutinitas telah menciptakan harapan. Jika ia bangun jam 7 pagi, pertama kali yang disesalinya adalah ia ingin kembali bangun jam 7 pagi. Harapan telah tumbuh dan tumbuh semakin tinggi tiap detik, menit, mengikuti tingginya matahari jam 9 pagi. Memberontak terhadap rutinitas tetapi sebenarnya menciptakan rutinitas baru.
Hal ini, terus terang menurutku, sangat memuakkan. Betapapun bodohnya. Andaikan ia bangun jam 7 pagi, dianggap jam 7 adalah jam 9 pagi. Ataupun jika ia bangun jam berapapun dan tak peduli dengan hal – hal remeh seperti itu. Ia tidak akan tersiksa dengan pikiran – pikiran konyol. Itulah ia. Terlalu sering berpikir hal - hal yang remeh, simpel, dan mesum ( Aku mengutip kata ini dari koran ). Ia membuat pagi ini menyebalkan. Aku pikir saraf otaknya terganggu, tersumbat nikotin yang dihisapnya setiap bangun jam 9 pagi.
Tiba – tiba ia bangkit. Aku tersenyum kecut. Mungkin ia sudah menemukan jawabannya. Berjalan turun menuju warung disamping kost. “ Mas, coffemix satu!”. Ia duduk sambil terus diam. Tak peduli disampingnya teman teman asyik ngobrol. Entah apa yang diomongkan. Kata – kata memuakkan seperti absurditas, tirani seksual, essensi, revolusi sistemik, Khrisnamurti, pemekaran cabang bersemburan. Seakan – akan ingin keluar dari mulut bercampur dengan ludah. Ia tak mengerti , mengapa senang berbicara hal – hal aneh ( entah berapa sering aku menyebut hal – hal. Aku tak menemukan kata yang lain untuk mendefinisikan hal ini ). Bukankah asyik membicarakan paha perempuan mulus atau payudara gadis – gadis kampus yang semakin menonjol tiap hari.
Andaikan bangun jam 9 pagi, pikirnya, aku akan merokok, nonton, sarapan pagi, pulang onani, lalu selesai mandi membaca buku. Ia sangat terpukul, aku iba melihatnya. Jika tahu akan seperti itu, tentu kubangunkan jam 9 pagi, atau setidaknya aku berdoa supaya ia bangun jam 9 pagi. Tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa ia begitu sedih karena bangun lebih awal 2 jam. Toh, orang lainpun bangun jam 5, sembahyang, mengerjakan hal – hal lain untuk menghabiskan hari.
Aku sudah lama kenal dengan dia. Kami selalu berdua. Makan berdua, tidur berdua, ke kampus berdua, onani berdua. Ia lahir dari sebuah keluarga bahagia. Seorang ibu yang terlalu menyayanginya hingga membuatnya menjadi laki laki lemah. Cinta itu melemahkan. Hanya saja pagi ini aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuknya. Kunyalakan rokok. Ya, setiap kesedihan harus dirayakan dengan rokok.
Detik demi detik, menit demi menit, matahari semakin tinggi menuju jam 9 pagi. Tiba – tiba semua simpatiku berubah menjadi kemuakan. Ya, kemuakan. Aku muak dengan kecengengannya. Ia gagal sebagai seorang laki – laki sejati, sebagai manusia yang seharusnya jantan, tegar berhadapan dengan realitas. Kugeret tangannya, kutarik keras –keras. “ Cepat bayar. Kita pulang ke kost.”. Ia menurut saja. Ingin sekali kukeluarkan otaknya dan kulempar pada anjing kudisan. Biar ia tahu kalau bangun jam 7 pagi sama saja dengan bangun jam 9 pagi. Dan kamipun pulang. Seperti biasa kami berjalan, diam dan diam. “ Apa yang kau pikirkan, hah !”, bentakku. Ia diam saja. “ Aku ingin bunuh diri.”, jawabnya datar. Aku terhenyak. Seluruh saraf otakku mendidih. Tanganku bergetar. Ingin sekali kuludahi mukanya. Aku harus menguasai diriku. Sampah seperti dia akan menjadi – jadi jika orang bereaksi semua perkataannya. Ia pikir dirinya filsuf hebat yang hanya bisa bermain konsep dan akrobat verbal yang diaklektis ( aku juga suka mengutip kata – kata ini ). ” Oke, jika kamu ingin bunuh diri, silakan. Tetapi sebutkan alasannya.”, tantangku. Pandangannya kosong. “ Aku tidak punya alasan.”, jawabnya pendek. “ Pasti kamu punya alasan. “.”Apakah setiap yang aku lakukan harus mempunyai alasan.”, sanggahnya. “ YA!”, jawabku mantap. “Realitas memerlukan alasan. “ . Ia terdiam.
Matahari mulai tenggelam. Aku pulang menuju kost. Hari ini begitu melelahkan.
Entah kenapa hari ini tulangku tak mamu menyangga tubuh.. Mungkin aku masih memikirkannya. Aku tinggalkan dia setelah pertengkaran pagi tadi. Aku gagal mendesak dia menyebutkan alasannya ingin bunuh diri. Ah, sampai juga aku dikost. Aku langsung terkapar di kasur. Kemana ia hari ini, pikirku. Biasanya, jika aku pulang, ia pun pulang. Tetapi kali ini tidak. Samar – samar kulihat kertas bertulis pulpen merah dipojok kamar. Kuraih kertas berhuruf kapital itu.
JIKA AKU BUNUH DIRI, AKU TIDAK PERLU ALASAN. TETAPI AKU HARUS BERKOMPROMI DENGAN REALITAS KARENA REALITAS MEMERLUKAN ALASAN. KATAKAN PADA REALITAS, ALASAN YANG DITUNTUTNYA ADALAH.
Matahari bergerak turun dari langit. Senja memerah. Senja hari ini mungkin adalah senja paling indah.
Yogyakarta, 25 April 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar