Rabu, 06 April 2016

Jamin, Perbaiki Kuburanku !!!

Jamin, Perbaiki Kuburanku !!! - Gusrianto
Dikemas 19/04/2003 oleh Editor  

Jamin baru saja menghabiskan sepotong goreng pisang buatan istrinya ketika dilihatnya Dirman -warga yang rumahnya di ujung desa- tergopoh-gopoh memasuki halaman rumahnya. Orderan lagi nih, batin Jamin melihat kedatangan Dirman, lalu meminum seteguk kopi di cangkirnya dan kemudian menyongsong Dirman ke halaman
"Pak Jamin…" masih dengan nafas memburu Dirman langsung bicara.
"Ada apa, Dir?" tanya Jamin, padahal sebenarnya dia sudah dapat menebak apa maksud kedatangan Dirman.
"Dinihari tadi nenek kami meninggal…" nah, benarkan? Batin Jamin lagi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." Ucap Jamin, mimik wajahnya turut berduka. Tapi hatinya? Hatinya bersorak riang. Bagaimana tidak? Sudah lebih dua minggu, tapi tak seorangpun yang meninggal dunia. Kemarin istrinya sudah meminjam beras sama tetangga sebelah, dan dua hari yang lalu, Rini -anaknya yang sekarang sudah kelas 2 SMP- juga meminta uang sekolah yang memang belum dibayar.
"Rencananya nanti siang mau dikebumikan, Pak. Apakah bisa selesai sebelum siang?" Dirman bertanya.
"Bisa, Dir. Akan saya usahakan." Hanya itu jawaban Jamin, kemudian Dirman pamit setelah sebelumnya Jamin mengatakan akan menyusul sebentar lagi
Jamin masuk ke dalam rumahnya yang tidak begitu bagus -dindingnya masih dari papan- dan terus ke kamar untuk mengganti bajunya dengan pakaian dinasnya.
Penggali kubur. Ya…itulah profesi yang telah dilakoninya selama ini, tepatnya sejak ia menikah dengan Halimah, dua puluh tahun lalu. Seluruh warga desa mengenalnya dengan baik, bahkan ada juga warga desa sebelah yang memanggilnya untuk menggalikan kuburan bagi keluarga mereka yang meninggal. Dan tentu saja Jamin akan mendapatkan imbalan atas jerih payahnya itu. 
Selama 20 tahun sudah pekerjaan sebagai penggali kubur dijalaninya, dan ternyata itu mampu menghidupi keluarganya. Apalagi kalau musimnya orang meninggal, bisa-bisa mereka sekeluarga makan daging ayam tiap hari. Tapi kalau tidak ada orderan, alias tidak ada orang yang memintanya membuatkan kuburan, ya seperti sekarang ini, istrinya sampai-sampai harus meminjam beras sama tetangga. 
Tapi apakah Jamin selalu berharap atau mendoakan agar ada warga desa yang meninggal? Ah, dia sendiri tidak tahu, yang jelas dia akan senang kalau ada orang yang meninggal dunia
Sebenarnya Halimah sudah sering mengingatkannya agar mencari pekerjaan lain, setidaknya sebagai sampingan jikalau tidak ada orang yang meminta untuk menggali kuburan.
"Bang…sawah peninggalan bapak kan tidak ada yang mengurus. Apa salahnya jika kita yang menggarapnya." Begitu kata Halimah suatu hari.
"Tapi kan kita tidak kekurangan, Mah. Bukankah dengan pekerjaanku sebagai penggali kubur kita masih bisa bertahan hidup?" jawab Jamin.
"Iya, tapi itukan kalau lagi ada orderan. Tidak mungkin tiap hari akan ada orang yang meninggal, Bang." Kalau sudah begitu Jamin akan diam. Memang …tidak mungkin setiap hari ada yang memintanya untuk menggali kuburan. Ada orderan seminggu sekali saja itu sudah lumayan. Tapi begitulah Jamin, tak mau mendengar kata istrinya.

***

"Jamin!!" Jamin menoleh ke belakang, mencari asal suara yang memanggilnya. Pak Ramli rupanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Jamin. Pak Ramli mendekatinya. Saat itulah Jamin baru tersadar, keringat dingin langsung bercucuran di tubuh dan wajahnya. Pak Ramli? Bukankah dia baru kemarin dikuburkan? Bukankah dia sendiri yang menggali kuburan buat Pak Ramli? Jamin berniat lari, tapi kakinya seperti dipakukan ke tanah. Dia hanya mampu berdoa.
"Perbaiki kuburanku, Jamin! Terlalu sempit." Pak Ramli berteriak, marah. "Tak bisakah kau membuat kuburan yang lebih bagus?" ujarnya lagi. Jamin pias. Sesaat dipejamkannya matanya, lalu kemudian dengan kekuatan penuh dia mencoba lagi untuk berlari. Berhasil, sekuat tenaga Jamin berlari.
"Jamin!!! Perbaiki kuburanku." Jamin terus berlari, menutup kedua telinganya. Pak Ramli mengejarnya. Jamin makin panik. Pak Ramli kini tak sendiri. Ada Mak Minah yang meninggal dua minggu lalu, ada Ucok yang masih berusia tujuh tahun -meninggal karena ditabrak motor sewaktu pulang sekolah-, ada Karta, Bedi, juga bayinya Surti yang belum sempat diberi nama, semuanya sudah meninggal, dan semuanya dia yang menggalikan kuburannya. Mengapa mereka mengejarnya?
"Jamin…perbaiki kuburan kami!!!" suara-suara itu terus mengejarnya. Jamin capek, tak kuat lagi. Usianya sudah kepala lima, tak sanggup lagi berlari lebih jauh. Begitu orang-orang (-atau mayat) itu mendekatinya, Jamin berteriak…..
"Tidaaaakk!!!!"
Seseorang memegang pundaknya. Mengguncangnya, Jamin merinding, apakah yang akan mereka perbuat? Membunuhnya?
"Bang…bangun!" itu suara Halimah. Jamin membuka matanya. Halimah duduk di sampingnya dengan segelas air putih ditangan. "Mimpi apa sih, Bang? Kok teriak-teriak begitu." Jamin meminum air di gelas itu sampai habis.
"Mereka mengejarku, Mah?"
"Mereka? Siapa?" Halimah bingung, heran, mimpi apa suaminya?
Saat itulah Jamin melihat Haji Suleman di pintu kamarnya. Haji Suleman, dia tetangga Jamin, rumah mereka bersebelahan. Tapi Haji Suleman telah meninggal sepuluh tahun lalu. Jamin sendiri yang menggalikan kuburan untuknya. Apakah Haji Suleman juga mengincarnya? Tapi kenapa?
"Itu Mah, itu dia…" Jamin menunjuk ke pintu, lalu membenamkan kepalanya di bantal. Halimah heran, tak tahu apa yang harus di perbuat.
"Siapa, Bang?" tanyanya.
"Itu di pintu, Mah. Cepat usir dia, cepat bacakan ayat-ayat suci."
"Bang…mana?" Halimah tak menemukan apapun di pintu.
"Mereka mau membunuhku, cepat usir, Mah." Jamin menggigil ketakutan. Perlahan dia membuka matanya dan kembali menatap ke pintu kamar. Haji Suleman masih di sana. Tapi… dia tersenyum. Sedikit perasaan Jamin jadi tenang.
"Jamin…" Haji Suleman memanggilnya lembut. "Kau tahu kenapa mereka mengejarmu?" Jamin menggeleng. Halimah di sampingnya keheranan. Bingung melihat tingkah Jamin.
"Jamin…mulai sekarang kau harus luruskan kembali niatmu. Memang, jadi penggali kuburan adalah perbuatan mulia, sangat mulia. Bukankah karena itu kau dulu memilih profesi ini?" kembali Jamin mengangguk, dan kembali Halimah keheranan. "Sekarang niatmu sudah menyimpang, sudah membelok dari yang dulu pernah kau janjikan. Niatmu menggali kuburan adalah untuk mendapatkan uang, sehingga kau tidak lagi bekerja dengan ikhlas karena tujuanmu bukan pahala dari Allah. Sehingga hasilnya pun tidak sebaik dan sesempurna dulu lagi." Jamin terdiam, semua yang dikatakan Haji Suleman memang benar. 
"Jamin, luruskan kembali niatmu. Bekerjalah karena Allah, jangan karena uang." Usai berkata begitu Haji Suleman menghilang. Jamin tergugu di tempat tidurnya. Dua tetes air mata jatuh merembes di pipinya. Ingatannya melayang pada dua puluh tahun silam.
"Benar kau ingin melanjutkan profesi bapak?" Jamin mengangguk di samping bapaknya yang terbaring lemah. Bapaknya tersenyum bangga.
"Bukankah itu pekerjaan mulia, Pak?" Bapaknya kembali mengangguk.
"Tapi ingat ya? Bekerjalah dengan niat karena Allah semata, jangan pernah mengharapkan imbalan dari pekerjaanmu, kecuali kalau mereka memang ikhlas memberi, yang penting jangan meminta, apalagi sampai memasang tarif." Kembali Jamin meng-iyakan perkataan bapaknya. 
Dan kuburan pertama yang digali Jamin adalah kuburan untuk bapaknya sendiri, karena keesokan harinya si bapak meninggal dunia.
"Bang…"Halimah mengguncang tubuh Jamin. Jamin menoleh, menatap istrinya, dan air matanya mengucur makin deras.

Kamar kost, 25 Oktober 2002



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer