Rabu, 06 April 2016

Jangan Percaya Apa Kata Bintang

Jangan Percaya Apa Kata Bintang (Oleh: Wangsa Nestapa) 

"Serius Ivan. Aku tuh kemarin lihat di majalah punya Wina. Dan ramalan di dalamnya mengatakan, aku bakal mendapat durian jatuh di kepala. Dan tadi malam, aku kehilangan ponsel ketika tengah makan ketoprak di depan Plaza." Noli sampai melotot berbicara seperti itu kepadaku. Mungkin, biar ucapannya lebih meyakinkan.

"Ah, itu sih kamunya saja yang ceroboh. Ramalan itu enggak akan ada arti kalau bukan kita sendiri yang memulai dan telanjur mempercayainya." Kuseret pandanganku dari wajah Noli yang terlihat serius.

"Gimana mau enggak percaya. Coba, setiap kali aku baca horoskop, ramalannya selalu saja berbicara sesuai dengan apa yang aku alami. Paling enggak nyerempet. Dan pengalaman tadi malam malah bikin kepercayaanku tambah klop bahwa ramalan itu bukan sekedar omdo alias omong doang," ucap Noli mantap. Ia menaruh gitar bolong yang sedari tadi digenjreng-genjrengkan. Sisa es jeruk di gelas, diteguk habis olehnya.

Aku kira Noli sudah telanjur amat mempercayai ramalan yang menggambarkan kepribadian dia di bawah garis binatang-binatang sebagai simbolnya. Meski sebenarnya, aku pun tak bisa memungkiri, ucapan Noli pun sesuai dengan isi kepalaku. Tapi aku tak terlalu menanggapi semua isi yang tertera di zodiakku. Tidak seperti Noli yang begitu antusias mempercayai keseluruhannya. Kalau aku membaca, paling sebatas hiburan. Kalau tebakan zodiak tepat, paling banter aku tersenyum memberi aplaus atas kehebatan si peramal atas kepekaannya menebak-nebak jalan hidup manusia. Kalau untuk mempercayainya, nanti dulu. Toh itu kan hanya ramalan, belum tentu betulnya.

Dan semakin lama, Noli semakin parah dengan kepercayaannya terhadap ramalan bintang. Ia seolah menggantungkan nasibnya pada ramalan. Kalau saja aku ini bukan temannya dan ia tidak sering bercerita tentang pengalamannya yang kadang membuat gelisah dia sendiri itu, aku akan berani mengatakan secara langsung kepadanya bahwa ia gila!

Dan sore itu, selepas bimbel sekolah, Noli berlari menghampiri seraya melambai-lambaikan majalah di tangan. Pasti tentang ramalan bintang. "Van, liat nih. Zodiakku bilang, aku bakal ketiban sial. Dan pesannya, aku enggak boleh keluar rumah seminggu ini. Aku takut, Van!" ucap Noli.

Tepat sekali perkiraanku, mungkin kalau Noli tahu tebakanku jitu, ia pasti memintaku untuk menjadi peramal pribadinya. Ih, jangan sampai deh.

"Takut? Takut apaan? Takut zodiak kamu itu salah? Atau takut karena kamu seminggu ini enggak akan keluar karena mempercayai omongan bintang kamu di majalah itu lagi?!" balasku tetap berjalan dengan pandangan lurus melewati lorong sekolah.

"Takut kalau ramalan ini betul lagi, dong Van. Aku enggak mau ketiban duren untuk kedua kalinya! Tapi, masak aku mesti ngurung diri seharian penuh selama seminggu dalam rumah?" ucap Noli cemas. Aku enggak tahu harus berbuat apa untuk meladeni sikapnya saat itu. Kalau saja ramalannya buruk, ia kerap menemui dan mengatakannya kepadaku. Sedang kalau gembira, ia lebih sering menyimpannya dalam hati.

Dua minggu lalu saja, ketika impiannya bertemu dengan bintang idolanya di teve karena memenangkan tiket nonton konser secara langsung, ia tak menceritakan kalau prediksi ramalan bintangnya menjadi nyata. Dan satu minggu kemudian, barulah ia bercerita bahwa Pisces memberi keuntungan baginya. Sedang kali ini, mungkin ekor Pisces-nya buntung!

"Terus, kamu mau apa?"

"Dih, kok kamu nanyanya kayak gitu sih, Van?" cerocos Noli

"Abis, mau apa lagi?" jawabku sekenanya.

"Ya ngasih saran atau apa kek!"

"Saran? Untuk apa? Percuma aku ngasih saran ke kamu kalau kamunya enggak pernah ngedengerin apa yang aku omongin."

"Memangnya, kamu kira selama ini aku enggak ngedengerin omongan kamu?" "Ngedengerin sih! Tapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kuping kamu itu kayak terowongan ini, cuma tempat masuk-keluar anak-anak. Setiap omonganku yang masuk, enggak pernah dicerna sebelumnya!"

"Contohnya?" tandas Noli. "Contohnya? Seperti sekarang ini, Non! Misalkan, aku ngasih saran ke kamu supaya kamu enggak usah percaya sama ramalan bintang itu. Tapi sepertinya, kamu emoh untuk mengikuti saranku dan tetap melaksanakan apa kata bintangmu itu. Betul kan?" ucapku mengira-ngira. Noli terlihat memiringkan kepala seolah meresapi dan mencoba memahami ucapanku. Jari manisnya bersandar di pipi dengan siku tertopang telapak tangan yang kiri. Tapi tak lama kemudian, ia segera menyudahi karena becak yang dipanggil keburu datang menghampiri. Ia naik begitu saja tanpa pamit atau sekedar say god bye kepadaku setelah sebelumnya ia mengatakan bahwa aku itu lelaki yang sok tahu. Keesokan harinya selepas pulang sekolah, aku tak menemui Noli yang biasa nongkrong di bawah pohon mangga untuk pulang bersama. Dan aku tak terlalu ambil pusing dengan ketiadaannya. Sekaligus, aku merasa senang karena bisa menghindar dari pembicaraannya yang tak jauh dari ramalan bintangnya.

Jujur saja, aku sebenarnya penat mendengarkan ocehannya yang bertalian dengan ramalan. Pusing, karena aku hampir setiap malam memikirkannya. Dahulu, Noli tak seperti itu. Tapi belakangan ini, setelah main ke rumah Wina yang langganan majalah yang ada zodiak di dalamnya, ketertarikan Noli terhadap horoskop semakin menggila. Malah ia rela datang ke lapak majalah sekedar melihat ramalan tanpa membeli majalahnya.

Dan aku merasa yakin ucapanku di lorong sekolah itu benar, saat keesokan harinya aku kembali tak menemukan Noli di tempat biasa. Keesokan dan keesokan harinya lagi. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Noli terlihat aneh belakangan ini. Setelah bel pelajaran selesai, tanpa basa-basi ia langsung pulang. Dan saat jam istirahat berlangsung, ia rela ngendon di dalam kelas. Tadi malam saja, Noli menolak ketika Wina dan beberapa teman mengajaknya untuk ngeceng ke mal. Biasanya, kalau untuk urusan pergi ke mal bareng temen, Noli paling bersemangat. Sepertinya, ia takut kalau ramalannya menjadi nyata, jika ia keluar rumah seperti yang tertera dalam zodiaknya.

Ternyata tidak! Perkiraanku tak tepat, karena sehari setelah aku meyakinkan tepatnya tebakanku, Noli terlihat ceria di tempat biasa. Duduk sendiri sembari menikmati kacang atom. Sama sekali tak tersirat perasaan cemas di wajahnya seperti saat ia mengatakan tentang ketakutannya terhadap ramalan bintang di lorong sekolah beberapa waktu lalu. "Haiii!" sapanya cengengesan, bikin aku penasaran. Ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengannya.

"Udah nongol, nih. Engak takut ketiban duren lagi, Non!?" tanyaku sembari mencomot beberapa butir kacang atom.

"Enggak tuh, musim berbuah pohon duren sudah habis. Jadi, enggak ada duren yang jatuh," ucap Noli santai. "Lihat, zodiakku bilang, aku hoki minggu ini. So, enggak ada alasan kalau aku bakal ketiban duren, dong!!!" lanjut Noli seraya melempar sebutir kacang atom ke udara, kemudian melesat ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan majalah dari dalam tas dan membuka lembar zodiak lalu menyodorinya kepadaku. Aku sekilas melihat tulisan tersebut dan tersenyum kepadanya.

"Jadi, kamu percaya kan bahwa zodiak itu enggak selalu benar?" "Ah, enggak juga tuh!"

"Kan durennya enggak jatuh ke kepala kamu!"

"Lantas, bukan berarti aku enggak percaya lagi dong! Soalnya, minggu ini zodiakku bilang, aku bakal menimba emas dari sumur. Itu tandanya, aku bakal dapet rejeki. Sayang dong kalau aku ngelewatin begitu saja."

"Ah, kamu itu, Non! Aku kira kamu udah insaf. Ternyata belum."

"Huuu…." Noli langsung mencibir dan menggamit tas untuk pulang bersama. Seminggu sudah waktu bergulir menggelindingkan hari. Noli belum merasakan kalau ramalan bintangnya menjadi nyata. Tapi ia tak kecewa, mungkin belum saatnya. Apalagi setelah ia melihat kembali zodiak keluaran terbaru, isinya tak jauh beda seperti minggu lalu. Ia semakin optimistis, bintang jatuh bakal datang kepadanya. Tapi sama saja, berhari-hari ia menunggu, hasilnya nihil, alias tak ada.

Lama-lama, Noli jadi frustrasi sendiri, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menghampiri. Dan ini semua ada hikmah untuknya. Mungkin Sang Pencipta tak suka melihat makhluk ciptaannya terlampau mengekspos diri dalam hal ramal-meramal. Takdir hidup manusia itu kan tak bisa ditentukan lewat ramalan, melainkan Dia sendiri yang telah menentukan.

Dan menurutku, mungkin kesadaran Noli dari dunia ramal-meramal adalah bintang jatuh yang selama ini ditunggu-tunggu olehnya. Dan perlahan, perasaan bangga mulai mencuat kepadanya, karena orang yang aku cintai dan sayangi selama ini telah kembali seperti semula. Alhamdulillah. Thanks, God!
egon, 2 Juni 2004) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer