Rabu, 06 April 2016

Jomblo Phobia

Jomblo Phobia 

Vita Lystianingsih, mahasiswa ITS
Jomblo. Ugh, aku sebal melihat (atau mendengar, atau membaca, atau merasakan) kata itu. Aku merasa jadi cowok termalang di dunia kalau aku mendengarnya. Bikin aku merasa negatif. Yah, aku sih lebih suka kata ’sendiri’ atau ’single’ untuk menjelaskan keadaan diriku ini. Kesannya lebih positif. 

Sama sebalnya kalau ketemu orang-orang yang menanyakan pacarku. Apa nggak ada pertanyaan lain? Menyebalkan. Menyakitkan, bahkan. Apa mereka nggak tahu rasanya dua kali ditolak cewek?

Pengalaman pertama, di masa aku SMA, ditolak seorang gadis bernama Jelita (dia memang secantik namanya) pada suatu sore sepulang les Inggris setelah aku mengantarkan dia ke rumahnya. Sia-sia pendekatan yang kulakukan. Meneleponnya, mengantarkannya, ah, aku kecewa. Padahal, aku sudah cukup dekat dengan keluarganya (apalagi ibunya sahabat lama ibuku, dan kakakknya sekelas denganku). Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengannya di pameran buku, menggandeng seseorang (kekasihnya?), kakak kelasku di SMP.

Penolakan kedua menimpaku di tahun terakhir SMA. Yang menolak, ya Jelita juga! Huhh, memalukan sekali ditolak orang yang sama. Ternyata dia memang tidak pernah tertarik padaku, tidak sedikitpun.

Makanya, aku juga sebal kalau bertemu Jelita. Entah kenapa, kami cukup sering berjumpa tak sengaja. Di mal, toko buku, restauran, tokok kaset, supermarket, bahkan pasar! Dia selalu bersama seseorang (kekasihnya?). Dan aku selalu sendirian. Aku selalu berpikiran dia pasti menganggapku pria tak laku, dan tak ada yang mau denganku. Pasti dia mengasihaniku.

Harusnya memang aku tidak boleh menuduh Jelita menganggapku seperti itu. Pikiran negatifku kadang ekstrim, tapi aku tetap tak bisa menghilangkan pikira-pikiran itu jika berjumpa dengannya.

Seperti kemarin, di festival band kampusku. Pasti dia akan datang, karena band kakaknya masuk final. Aku bahkan berdoa supaya tak harus ketemu dengannya. (Gengsi!) Tapi ternyata doaku tak terkabulkan. Sosoknya terlihat di antara kerumunan penonton. Cepat-cepat aku angkat kaki dari situ. Sialan. Aku malah berpapasan dengannya di jalan menuju toilet.

"Lho, Mas?" matanya membulat. Di sebelahnya berdiri seseorang (kekasihnya?) yang tak kukenal. "Sama siapa? Sendirian aja?"

Keluar juga pertanyaan itu. Aku paling kesal kalau ada yang menanyakan itu. Apalagi Jelita. Lagian, ini kan kampusku. Terserah aku dong, mau sendirian, mau borongan. Ngapain aku ajak-ajak teman?

"… sendiri Mas?" ulangnya. (pasti sekarang dia pikir aku budek!)
"Iyalah, ini kan kampusku. Teman-teman pada di sini. Emang mau ngajak siapa lagi?" Aku menunjuk kartu kecil di jaketku, "Lagian aku panitia, seksi sibuk."

Jelita mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk huruf "o". Ia tersenyum, "Ya udah, Mas. Selamat bersibuk ria." Dan berjalan meninggalkan aku.

Kesal! Pasti dia sengaja berpapasan denganku. Sengaja menggandeng mesra, entah siapa yang diajaknya. Sengaja memanasi hatiku.
Eit, apa aku jadi paranoid?
***
Pesta ultah teman SMA-ku dulu. Apakah ada Jelita? (Tuhan, semoga aku tidak harus berjumpa dengannya).
Satu menit.
Sepuluh menit.
Aarggh… belum-belum, kulihat dia melintas beberapa meter di depanku. Tuhan, semoga dia tidak menoleh ke sini.
Dia menoleh. Lalu tak terlihat ditelan kerumunan.
Lalu tiba-tiba dia muncul lagi tepat di depanku.
Kulihat Jelita tersenyum padaku, lalu berjalan menghampiriku.
"Mas Indo," sapanya.
Aku tak bisa menghilangkan kecurigaanku. "Halo," jawabku dingin. "Kamu sama siapa?" Ah, pertanyaan bodoh. Ngapain juga aku tanya-tanya begitu?
Jelita menunjuk dengan dagunya. "Itu, sama cowokku." 
"Mas Indo sama siapa?" cepat-cepat dia bertanya.
Sebal aku melihat wajahnya yang antusias.
"Kok ceweknya nggak diajak sih, Mas?"
Dan entah dari mana tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Oh, dia kan nggak di sini. Lagi di Bandung."
Raut wajah Jelita tiba-tiba berubah. Jelas sekali. "Lho, maksudnya, ceweknya Mas Indo di Bandung?"
"Iya." Aku tersenyum penuh kemenangan. "Dia kuliah di sana. Masak aku ajak?"
"Oooh… gitu," ada kecewa di wajah Jelita. 
"Kapan-kapan, kalau dia ke sini, aku kenalin deh."
"Iya, iya Mas. Aku ke sana dulu, ya. Yuk."
"Salam buat semua, ya."
Puas. Puas sekali. Melihat wajah Jelita yang kecewa. Cih. Pasti dia tadi sengaja menyapaku. Basa basi. Dan malahan, dia yang kaget sendiri. Biar aja, biar tahu dia, dengan bualanku soal kekasih nun jauh di Bandung.
***
Minggu pagi. Di toko buku. Sendirian saja, dan tetap cool.
"Indo!"
"Hei, Indo!"
Ya Tuhan. Apa aku memang berjodoh ketemu Jelita? Setelah bertemu ibunya, ayahnya, dia sendiri (dan pacar keparatnya, kemarin), sekarang ada kakaknya.
"Hei Raras, halo juga!"
"Sama siapa? Sendirian?"
Aku tersenyum. Busuk. Kenapa sih selalu itu yang mereka tanyakan pertama kali setelah menyapa?
"… yah, lagi pengin sendirian."
"In, kemarin di pestanya Tata, kok aku nggak ketemu kamu ya? Kamu datang, kan?"
Belum sempat aku menjawab, dia malah senyam senyum. 
"Hm… baru dapar bocoran nih kemarin. Akhirnya dapat orang Bandung ya?"
Sepertinya cerita fiksi itu sudah tersebar. Tentu saja. Pasti Jelita.
Belum sempat lagi aku mengomentari, tiba-tiba Raras tertawa. "Hahaha… Aduh, kok nggak pas, ya.."
"Apanya?"
Tawanya mereda. "Itu, kamu tahu sepupuku Mawar? Yang dulu les Inggrisnya barengan kamu, sama Jelita?
Aku membuka memori tentang seorang gadis berambut sebahu yang sama cantiknya dengan Jelita. Wah, dua tahun belajar bersamanya tiap Selasa dan Jumat ternyata nggak memberi kenangan apa-apa bagiku. Jelaslah, hanya ada Jelita di duniaku saat itu.
Lalu aku mengangguk-angguk. "Sekarang Mawar kuliah di mana?" tanyaku basa basi.
"Di sini juga kok. Kemarin itu, dia juga datang!"
"Oh, ya?"
Raras kembali tersenyum. "Kemarin, langsung grogi begitu tahu kamu juga datang. Diinterograsi dikit-dikit, ternyata dia itu naksir kamu sejak dulu. Habis-habisan deh kita godain!"
Aku membatu. Terima kasih Tuhan. Engkau mendengarkan doaku. Akhirnya, ada juga gadis yang suka padaku. 
"Kemarin itu, aku sama Jelita udah semangat nyomblangin kalian berdua. Pasti seru deh kalau kamu jadian sama Mawar."
Aku masih tak percaya. Akhirnya, aku tak sendiri lagi.
"Cuma, kita nggak tahu kalau kamu sudah jadian sama cewek lain. Aduh, aku sama Jelita gemes banget," dia terkikik. "Sekalinya jadi mak comblang, gagal. Mawar langsung malas ketemu kamu."
Dan barulah aku sadar. 
Tuhan, hamba mohon ampun karena sudah berbohong. Tapi, adakah cara untuk berterus terang? Tanpa kehilangan muka di depan Jelita dan keluarganya?
Raras menepuk bahuku. "Hei, hei, hei, kok diam? Garing nih."
Aku tergagap, "Eh, iya, iya. Wah, gimana ya? Salam aja deh, buat Mawar."
"Oke Bos! Eh, kalau misalnya nanti putus sama cewekmu, cepet-cepet hubungi aku ya! Siapa tahu aku bisa nyomblangin kamu lagi. Aduh, pasti lucu!" sahutnya bersemangat. "Ya udah! Aku cuman mau cerita itu aja kok! Hehehe! Yuk ya!" Ia bergegas sambil melambai.
"Iya… iya…" Aku membalas lambaian tangannya.
Aku lunglai.
Kecewa.
Menyesal.
Dan yang jelas, aku masih sendiri… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer