Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 April 2016

Kembalikan Lidahku

Kembalikan Lidahku

Cerpen Sugito Hadisastro 

NGATIMIN paling suka merenung. Apalagi satu tahun terakhir ini, sejak dia diberhentikan dari tempat kerjanya. Sebuah perusahaan penggergajian kayu gelap. Bergelondong-gelondong kayu besar, ditebang di hutan pada malam gelap oleh orang-orang berpakaian gelap. Mengalir ke tempat penggergajian gelap.
Ngatimin bukan penebang, tapi pemotong. Meski tubuhnya kuat, ototnya lengkap, dia kurang berani bekerja dalam gelap. 
Dia jenis manusia yang suka terang-terangan. Tugasnya memotong kayu-kayu dengan gergaji tangan yang tidak bising. Hampir sepuluh tahun dia dan koleganya menghabiskan hari-harinya di tempat kerjanya yang sempit. Kayu-kayu berwarna-warni silih berdatangan. Dari jati, mahoni, bengkerai, punak, hingga jengkol, petani dan sengon. Semua tuntas di tangan Ngatimin. Menjadi lempengan-lempengan kecil yang tak dikenali asalnya.
Lalu datanglah angin malapetaka itu. Dengan dalih efisiensi, perusahaan mendatangkan mesin potong kayu hebat dari luar negeri. Tidak seperti dirinya, mesin itu tidak pernah mengeluh atau menuntut kenaikan upah. Dia dan temannya berhenti sudah. Sederhana sekali. Memang ada pesangon. Tapi mana cukup untuk bertahan sepanjang sisa hidup bersama satu istri, tiga anak, dan seorang mertua sakit-sakitan.
Ngatimin harus menggergaji apa? Gergaji kayu tuanya termakan karat. Anak istrinya harus makan. Dia juga. Berkumpul dengan tetangga perlu rokok. Dari mana duit untuk beli. Mau jualan es cendol atau mainan anak, modal dari mana. Mau bekerja serabutan, relasi tidak punya. Mau mencuri atau merampok, takut penjara. Ngatimin merasa kehabisan akal. Lalu dia merenung di gardu siskamling suatu malam.
Seorang kakek tua pemecah batu menghampirinya. "Kulihat kamu kurang tidur, anak muda. Matamu sembab, pandanganmu sayu. Boleh aku tahu sebabnya?"
Ngatimin berkata dalam hati. Peduli amat ini orang tua.
"Saya korban PHK. Sudah setahun lebih saya tidak bekerja. Saya makan keringat istri saya. Saya mencuci kotoran mertua saya."
"Kasihan. Tidak banyak orang yang mau berbuat kebaikan seperti Anda."
Ngatimin terkejut setengah mati.
"Anda bilang itu kebaikan?"
"Ya, kebaikan yang sangat langka."
"Omong kosong. Saya bosan begini terus. Saya benci diri saya sendiri. Saya ingin memotong kayu seperti dulu. Tolong, katakan pada saya di mana saya dapat memotong kayu. Persetan dengan kayu gelap atau kayu terang."
Orang tua itu menggumam, "Jika Anda berani, potonglah lidah Anda agar tidak selalu berkeluh-kesah."
Karena terlalu emosi dengan dirinya, Ngatimin sampai lupa bahwa orang tua pemecah batu itu telah pergi.
Ngatimin kembali merenung.
* * *
SAAT merenung, dia hindari pasar, tempat bermain anak, atau tempat ramai lainnya. Dipilihnya pohon asam tua di pinggir jalan desa ke arah makam. Suasana di situ sungguh menyejukkan hati. Berbeda dari suasana rumahnya yang panas. Di rumahnya benar-benar panas. Istrinya sering mengata-ngatai yang membuat hatinya panas. Mertuanya yang tinggal menunggu ajal pun sering berkata-kata memanaskan hati. Belum anak-anak. Belum tetangga-tetangga yang usil. Belum yang lain.
Ngatimin kadang-kadang ingin mati dengan cara tenang. Dia membayangkan dirinya tertidur di bawah pohon asam tua. Lalu datanglah angin kencang menerpa pohon asam. Pohon itu roboh dan menimpa dirinya. Lalu dia mati. Sangat sederhana, tanpa sakit. Namun ketika dia ingat gumam orang tua pemecah batu itu, dia lalu ingin memotong lidahnya agar tidak berkeluh-kesah.
Ngatimin bergegas mendatangi orang tua pemecah batu itu di tempat dia bekerja. Sebuah cekungan sungai kering karena terlalu lama kemarau. Orang tua pemecah batu sedang mengumpulkan batu yang hendak dipecah.
"Benar katamu, hai orang tua. Aku harus memotong lidahku agar tidak terus berkeluh-kesah," kata Ngatimin penuh semangat.
"Lalu?"
"Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotong lidah saya dengan sekali gerakan."
"Kalau tidak putus?" tanya si orang tua.
"Saya akan merasakan sakit."
"Sakit yang luar biasa," sambung orang tua.
Ngatimin membayangkan sakit yang amat sangat.
"Tapi bukankah itu lebih baik bagiku daripada aku mempunyai lidah yang selalu berkeluh kesah?" Ngatimin minta pertimbangan.
Orang tua pemecah batu terkekeh-kekeh.
"Anda menertawakan saya?" tanya Ngatimin tidak mengerti.
"Pertama, saya tidak punya pisau yang amat tajam. Kedua, saya belum pernah berjumpa dengan orang paling bodoh seperti Anda."
"Saya orang paling bodoh? Di mana kebodohan saya?"
"Di kepala Anda."
"Di kepala saya? Lalu saya harus bagaimana?"
"Potong kepala Anda. Kepala yang tidak berguna, buang."
Ngatimin berpikir keras.
"Kalau begitu, mana lebih dulu saya harus potong, lidah atau kepala?"
Orang tua pemecah batu berhenti memecah batu.
"Mintalah nasihat pada orang tua pencari ikan."
"Di mana saya dapat menemukan orang itu?"
"Itu dia orangnya."
Ngatimin menoleh ke arah orang tua pencari ikan yang sedang duduk di pinggir sungai menikmati kretek kelaras jagung. Ngatimin berjalan ke sana.
"Wahai orang tua pencari ikan, saya Ngatimin, datang kepada Anda untuk meminat nasihat. Saya punya kepala bodoh dan lidah suka berkeluh-kesah, menurut Anda mana yang pertama saya harus potong?"
Orang tua pencari ikan menghentikan isapan rokok kreteknya. Dengan penuh rasa heran dia pandangi orang muda di hadapannya itu.
"Nanti dulu. Saya ingin mendengar kenapa kepala Anda bodoh dan lidah Anda suka berkeluh-kesah?"
"Ceritanya amat panjang. Singkatnya begini, saya korban PHK. Saya tidak punya pekerjaan lagi. Saya tidak dapat memberi makan anak istri saya. Saya punya mertua yang cerewet. Saya ingin mati dengan tenang."
Orang tua pencari ikan berpikir sejenak. Katanya, "Saya selalu memberi nasihat orang sehabis merokok. Silakan merokok dulu. Ini bukan rokok betulan, tapi lumayan daripada mulut asam. Sudah berapa hari Anda tidak merokok?"
"Lebih dari satu bulan."
"Apa yang Anda kerjakan saat tidak bekerja dan tidak merokok?"
"Saya merenung memikirkan nasib saya yang buruk."
"Anda ternyata tidak sebodoh yang dikatakan orang pemecah batu itu."
"Kalau begitu saya tidak usah memotong kepala saya?"
"Benar sekali."
"Lalu lidah saya, apakah tetap harus saya potong?"
"Tidak juga."
"Tapi nanti saya suka berkeluh-kesah," Ngatimin protes.
"Itu terserah Anda."
"Kalau begitu saya akan tetap memotong lidah saya. Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotongnya sekali sabetan."
"Saya tidak punya pisau yang sangat tajam. Coba Anda temui orang tua pembunuh buaya. Dia mempunyai pisau yang Anda butuhkan. Jika Anda tidak tahu tempatnya, susuri terus tepi sungai ini sekitar dua jam. Semoga Anda berhasil."
Ngatimin heran. Orang tua pemecah batu ata pencari ikan itu biasa. Tapi orang tua pembunuh buaya? Terdorong rasa ingin tahu, dia datangi orang tua itu. Waktu dua jam tidak terlalu lama. Ketika akhirnya bertemu dengan orang itu, Ngatimin semakin heran. Pembunuh buaya ini seorang wanita bongkok. Bagaimana mungkin dia melawan buaya, apalagi membunuhnya.
Wanita tua itu sedang membersihkan giginya yang cokelat tua dengan campuran buah pinang, daun sirih dan tembakau susur.
"Hai, orang tua hebat, benarkah Anda seorang pembunuh buaya?"
"Benar. Dari mana Anda tahu saya ada di sini? Apakah ada buaya di dekat rumah Anda dan Anda memerlukan keahlian saya untuk membunuhnya? Saya baru saja membunuh tiga ekor buaya sekaligus. Itu lihat bercak darahnya di baju saya yang saya gantungkan di ranting pohon."
Ngatimin mengamati bercak darah yang masih segar di baju wanita itu.
"Oh, saya tahu Anda berada di sini dari orang tua pencari ikan. Saya hanya ingin meminjam pisau Anda yang sangat tajam."
"Untuk apa?"
"Untuk memotong lidah saya."
"Kenapa Anda ingin memotong lidah sendiri?"
"Lidah saya suka berkeluh-kesah."
"Maaf, saya tidak meminjamkan pisau kepada orang lain. Tapi kalau Anda meminta saya untuk memotongkan lidah Anda, saya akan melakukannya dengan senang hati."
"Apakah Anda pernah memotong lidah orang sebelum saya?"
"Belum. Kalau Anda mau, lidah Andalah yang kali pertama akan saya potong. Bagaimana? Sekarang atau nanti?"
"Pernahkah Anda memotong lidah buaya?"
"Jangankan lidahnya, yang lainnya pun biasa saya potong."
"Bagaimana nanti Anda memotong lidah saya?"
"Terserah Anda. Mau sekali potong atau dua kali atau dikerat-kerat dulu. Saya siap."
"Sekali saja."
"Boleh. Sekarang?"
"Bagaimana kalau lusa? Hari ini saya akan pulang pamitan keluarga saya dulu, supaya mereka tidak kaget bahwa setelah itu saya tidak punya lidah lagi."
"Silakan."
"Oh, ya. Berapa ongkos potong lidah?"
"Jangan tanya ongkos. Saya lihat dari wajah Anda, Anda tidak punya uang sama sekali. Bahkan dari pagi tadi Anda belum makan apa-apa. Betul, kan?"
Ngatimin diam. Kepalanya mengangguk.
"Nah, sekarang pulanglah. Saya tunggu lusa. Saya akan asah pisau saya biar lebih tajam."
Ngatimin lalu pulang. Di rumahnya yang panas, dia tidak menemukan siapa-siapa. Seorang tetangga yang melihatnya pulang, menghampirinya.
"Dari mana saja kamu, Ngat?"
"Mencari pekerjaan. Ke mana anak istri dan mertuaku?"
"Orang edan, kamu. Mertuamu mati kemarin. Kamu dicari ke mana-mana tapi tidak ketemu. Anak istrimu semua mencarimu."
Ngatimin terduduk lemas di bibir ambin. Perutnya lapar, haus. Mulutnya kering. Sepotong ubi rebus di meja, entah milik siapa lumayan untuk pengisi perut. Lalu matanya mengantuk.
Lalu, entah kapan harinya dia pergi menemui orang tua pembunuh buaya. Wanita itu sudah siap dengan pisaunya yang sangat tajam. Ngatimin diminta memperlihatkan lidahnya. Wanita itu menarik ujung lidah Ngatimin. Melihat mata pisau yang berkilauan, muncul rasa takutnya. Dia ingin pulang saja, membatalkan niatnya memotong lidah. Wanita itu sangat marah. Ditariknya lidah Ngatimin sekuat tenaga dan dengan sekali ayun, Ngatimin melihat darah segar mengucur dari mulutnya.
"Jangan, jangan. Saya ingin tetap punya lidah," teriaknya memekakkan telinga. Darah tetap mengucur. Wanita tua pembunuh buaya menyeringai sinis.
"Mana lidahku? Mana lidahku? Saya ingin tetap punya lidah," Ngatimin bangkit dari ambin tempatnya tidur dan berlari-larian tanpa tujuan. Istri dan anak-anaknya yang sudah kembali, kebingungan.
"Siapa yang mencuri lidahmu?" tanya istrinya sengit.
"Orang tua pembunuh buaya itu telah memotong lidahku. Tolong kembalikan lidahku," jawabnya antara sadar dan tidak.
Istri, anak-anaknya dan tetangganya saling berpandangan. Mereka tidak tahu kenapa Ngatimin berteriak-teriak seperti itu. Ngatimin terus berlari dan berlari ke pohon asam tempat dia biasa merenung. Kali ini bukan untuk merenung. (72)

Batang, Mei 2003 

Keluh Kesah Dari Baghdad

Keluh Kesah Dari Baghdad - Amang
Dikemas 25/04/2003 oleh Editor  

Bertemu Pandora, istri Epimetheus

TANPA sengaja aku bertemu dengan Pandora, istri Epimetheus di dalam bus kota.
"Lho, sendiri saja? Suamimu sedang dinas?" tanyaku.
"Iya, sendiri. Tidak, tidak. Epimetheus masih di rumah. Sudah lama tidak punya pekerjaan, jadi ia cuma menunggu di Olympus kalau-kalau ada pekerjaan yang dilimpahkan Zeus untuk segera ditangani. Dan karena itu, aku sekarang yang harus cari nafkah sehari-hari."
Oh, baru tahu aku kalau Pandora sekarang bekerja. 
"Hebat!" pujiku, "Tapi kamu kerja dimana sekarang?"
Jawabnya acuh pada pujianku, "Di hotel Indonesia."
"Oh ya? Berarti kita searah," ujarku senang.

* * *

Aku ingat saat pertamakali bertemu Pandora. Kejadian itu tak lama setelah Hephaestus, yang menyimpan banyak rasa seni, menjadi lumpuh. Pada waktu itu Zeus begitu marah kepada Hephaestus sehingga ia dilemparkan dari ketinggian Olympus. Selama tiga hari tiga malam ia jatuh sebelum sampai di tanah. Hingga kini Hephaestus menjadi cacat, tapi ia temanku.

Kepadaku, Hephaestus pernah bercerita tentang Pandora yang lebih halus dan lebih mungil daripada Aphrodite, istrinya. Dalam ceritanya, Hephaestus mengisahkan betapa ia siang-malam memberi sentuhan kemuliaan pada Pandora agar nantinya dapat dihadiahkan kepada Zeus sebagai ucapan maafnya. Tentu saja ia masih menderita karena terjatuh dari Olympus, tetapi itu kesalahannya sendiri. Nah, sewaktu hendak bertemu dengan Zeus itulah kali pertama aku bertemu Pandora. Kepadaku Hephaestus berbisik betapa ia amat mengagumi kemuliaan yang dimiliki Pandora dan aku menganggukkan kepala tanda setuju. Pandora begitu halus dan mungil serta jauh lebih cantik daripada Aphrodite, istri Hephaestus yang tak setia itu. Kerlingan matanya seperti sanggup menelan matahari dan senyum di bibirnya mengalahkan keindahan pelangi. Kukatakan ini kepadamu, karena Pandora memang sungguh cantik-menawan dan mulia.

Itu sebabnya, aku dan Hephaestus merasa senang manakala Zeus menerima Pandora dengan hati riang, tetapi kami tak menduga bahwa ia punya rencana rahasia. Kupikir waktu itu amat wajar bila Zeus akhirnya meminangkan Pandora dengan Epimetheus, kakak Prometheus. Tak ada yang menduga bahwa sebenarnya Zeus menjodohkan keduanya oleh karena rencana busuk yang hendak dijalankannya. Baru belakangan, setelah Prometheus menemuiku di kerimbunan taman Hera yang penuh mawar dan anggrek hutan, aku tahu rencana di balik keriangan Zeus.

Namun semua itu terlambat. Zeus telah terlanjur memberikan kotak bencana itu sebagai hadiah perkawinan Pandora-Epimetheus dan karena rasa ingin tahunya, Pandora membuka kotak berisi malapetaka itu dan sejak itulah manusia hidup sengsara karena wabah penyakit, kesedihan dan keputusasaan. Sejak itu aku tak bertemu Pandora.

* * *

Aku masih tertegun melihat Pandora. Sejak terakhir bertemu dan sekarang ini, ia tak berubah. Rasanya baru kemarin sore Hephaestus bercerita tentang Pandora dan hari ini aku bertemu lagi dengannya. Satu-satunya yang berubah adalah tempat pertemuan kami.

"Lumayan juga kerja di sini. Kondisinya jauh lebih baik dari hotel Palestine di Baghdad," jawab Pandora atas pertanyaanku tentang kondisi kerja di Indonesia. "Ya, sedikit kami mengeluh tentang bayaran tapi paling tidak bayaranku tidak dipotong atau dicicil."
"Oh, ceritakan padaku Pandora tentang Baghdad!" pintaku.
"Ah, kota seribu satu malam itu kini amatlah buruk. Tak ada listrik, tak ada air bersih dan tak ada cukup makanan untuk semua orang. Di jalan-jalan, debu-debu jalan bercampur keringat dan bau mesiu. 

Terlalu banyak kekerasan dan terlalu banyak Kalashinov. Di mana-mana orang bercerita tentang kedatangan prajurit marinir, tetapi di sudut-sudut banyak pasukan garda republik menyembunyikan tato pedang dan senjata laras panjang dengan tulisan "Kharis Jumhury Saddam" di bawah jubah jalabiya dan mencukur kumis mereka. 

Sehari tiga kali helikopter Cobra menderu masuk kota mengepung sisi timur sungai Tigris sebelum akhirnya tank-tank dan artileri menggempur kota itu dan tentu saja seperti yang kau baca di koran-koran, Hotel Palestine terkena hantaman rudal-rudal Tomahawk pasukan koalisi. Tiga wartawan mati, tapi banyak penghuni hotel yang tidak kalah berdosa terluka parah.

Kota seribu satu malam itu jadi kuburan raksasa. Rumah sakit tak lagi mampu menjalankan fungsinya, sementara bencana perang datang seperti wabah penyakit tak tersembuhkan. Aku menangis. Aku trauma. Aku takut. Sama seperti waktu pertama kali kotak dari Zeus itu kubuka dan kulihat awan malapetaka berisi penyakit, kesedihan dan keputusasaan menggelapkan langit dan menutup cahaya matahari seperti gerhana. Aku menangis dan terus menangis," isak Pandora padaku.

"Tapi ini kali bukan karena kesalahanmu, Pandora. Apa yang terjadi padamu itu cukup sekali saja dan untunglah di dasar kotak masih bisa kita temukan harapan," hiburku.

"Memang bukan salahku. Aku menangis bukan karena ini kesalahanku. Tetapi karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bencana perang ini jauh lebih kejam daripada kotak yang diberikan Zeus kepadaku dan suamiku. Mereka sama sekali tidak meninggalkan harapan. Di Baghdad, Tikrit, Basrah, kota-kota kecil lain di sepanjang sungai Eufrat dan Tigris beribu orang mati karena kesia-siaan."

"Sekali lagi ini bukan karena kesalahanmu, Pandora. Mereka memang tidak meninggalkan harapan karena mereka tidak begitu percaya lagi pada harapan. Mereka kini percaya pada demokrasi dan keseimbangan ekonomi." Namun Pandora sudah begitu penuh tangis dan kami berdua seperti sepasang kekasih yang sedang berkelahi di dalam bus kota.

Pandora menangis hebat dan mulai memukuliku. Katanya, "Kau ini! Mana bisa mereka percaya pada demokrasi dan keseimbangan ekonomi. Itu cuma bahasa propaganda dan cerita basi sebuah peperangan. Aku tahu itu dan karena itu aku pergi dari Baghdad. Terlalu banyak kebohongan dan terlalu banyak kemunafikan di sebuah negeri yang akan mati. Kau ini, dan semua penghuni dunia ini sudahkah lupa dan barangkali segera binasa bila kalian tak segera miliki harapan. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik dan itu bukan karena kalian memiliki demokrasi dan keseimbangan ekonomi, tetapi karena kalian mulai menghargai kehidupan dan mengembangkan peradaban yang menjauhi peperangan. Kau ini! Apakah tak kalian lihat padaku akibat perbuatanku?"

Harapan. Cuma aku dan Hephaestus yang tahu kemana harus pergi mencarinya. Tapi rasanya percuma mencari harapan di peradaban ini, sejak Epimetheus ditugaskan Zeus untuk membuang harapan di kegelapan belantara Boven Digul. Sekali lagi aku menghibur Pandora, meski hatiku ikut menangis dan terluka karena frustasi.

Jakarta, 16 April 2003



Keberanian Manusia

Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Keberanian Manusia

Dari sebanyak itu peninggalan Jepang di kota kami, hanya sedikit sekali yang bisa kuingat. Ketika Jepang datang di situ, aku masih berusia tujuh tahun dan masih pakai celana monyet. Tapi sampai kini aku masih hafal lagu Kimigayo sebagai suatu kenang-kenangan masa kecil, seperti aku juga masih bisa mengenang bagaimana tentara-tentara Jepang itu sama-sama mandi telanjang di kali kota kami. Untukku sendiri ada peristiwa lucu, ketika seorang Jepang bertamu ke rumah kami untuk pertama kali. Dia menaiki sepedaku yang kecil, dan tiba-tiba sepedaku patah. Aku jadi geram dan menjerit dan mengambil batu dan melemparkan batu itu ke kepala Jepang itu. Batu itu batu kecil, sebesar genggaman telapak tanganku yang kecil, dan menimbulkan satu benjolan kecil di kepala Jepang itu. Tapi Jepang itu tersenyum saja dan sore harinya ia membawa sebuah mesin ketik yang diberikannya kepada ayah. Beberapa hari aku menangis kecil dan memaki-makinya dengan makian kecil. 

Tapi dendamku yang kecil tidak berurat berakar begitu lama, sehingga kemudian Jepang itu menjadi sahabat rumah kami. Aku ingat, namanya Dei-san. Satu hal yang aku tetap kagum padanya, karena berlain dengan tentara-tentara Jepang yang lain-lain, ia tidak mandi telanjang. Pernah kutanyakan padanya, kenapa ia tak mandi telanjang beramai-ramai di kali, dan ia menjawab pertanyaanku dengan memberikan sebuah kue moci yang enak sekali. Pernah pula kutanyakan kepadanya, kenapa ia tak punya pedang, dan dia menjawab bahwa pedangnya ketinggalan di Osaka, kampungnya, dan pedang hanya dipakai untuk bunuh diri atau membunuh musuh, Dan aku bertanya pula, kenapa orang saling membunuh. Dan Dei-san tidak menjawab apa-apa. 
Baru kemudian kuketahui, Dei-san hanya seorang koki. Tapi, biarpun aku tahu kemudian bahwa dia hanya seorang koki, namun persahabatanku dengan Dei-san tidak putus tapi semakin erat. Daripadanyalah aku tahu cerita-cerita Momotaro, dan daripadanyalah aku banyak belajar beberapa lagu. 

Daripadanyalah pula kemudian kuketahui, setelah persahabatan kami berlangsung tiga tahun lamanya, kenapa orang-orang di kota kami disuruh membuat gua di bukit-bukit kampungku dan mengapa perempuan-perempuan disuruh mengumpulkan batu-batu kali, dan mengapa tiap-tiap rumah menanam pohon jarak dan kapas, dan mengapa tiap-tiap rumah di sampingnya atau di burinya dibikin lubang perlindungan. 

Dei-san tidak memanggil namaku. Ia memanggilku dengan sebutan “kaibodan”. 

“Kaibodan” kata Dei-san suatu kali kepadaku. 

“Apa?” 

“Kamu berani naik kapal terbang?” 

“Berani, berani,” sahutku. 

Lalu Dei-san menunjuk ke sebuah bukit. Dari bukit itu sampai kerendahan lembah ada sebuah kawat yang besar, dan pada besoknya kulihat sebuah kapal terbang tidak melayang-layang di udara, tapi turun dari bukit itu meluncur ke lembah. 

“Untuk apa kapal terbang itu, Dei-san?” tanyaku. 

“Untuk berperang.” 

“Berperang dengan siapa, Dei-san?” tanyaku. 

“Berperang dengan Inggris dan Amerika,” 

“Kenapa kita berperang dengan Inggris dan Amerika, Dei-san?” 

“Karena kita berani.” 

“Kenapa kita berani, Dei-san?” 

Dei-san tidak menjawab. 

“Kenapa kita berani, Dei-san?” 

“Karena Amerika dan Inggris tidak boleh tembak kita.” 

“Kenapa Amerika dan Inggris tembak kita, Dei-san?” 

“Karena Amerika dan Inggris adalah musuh kita.” 

“Kalau orang tembak kita, Dei-san, itu artinya musuh kita?” 

“Ya, ya, kalau orang tembak kita itu artinya musuh kita dan kita musti tembak dia,” kata Dei-san dan kemudian dipusar-pusarnya rambutku. 

Percakapan itu sangat mengesan kepadaku. Kuceritakan pada ibu dan abang dan adik-adikku dan ayahku dan pamanku. Ayah,ibu, dan paman dan nenekku terdiam saja mendengar ceritaku. 

“Jangan dia disuruh ke rumah koki itu lagi ...,” kata ibu. 

“Ya, ya. Dia bijak dan pinter ngoceh,” kata nenekku. 

“He, kau tidak boleh datang-datang lagi ke rumah koki itu,” kata ayah, kali ini dipelototkannya matanya kepadaku. Aku heran kenapa ayah dan ibu dan nenek tidak membolehkan aku datang ke rumah Dei-san, sahabatku itu. 

“Dia kawanku. Dia baik,” kataku bersungut-sungut. 

“Dia musuh kita,” kata abangku. 

“Jangan kau omong begitu, Karel,” kata ibu sambil menjiwir telinga abangku.

Waktu mau tidur kutanyakan kepada abangku, kenapa Dei-san tiba-tiba jadi musuh kita, sedangkan dia sahabatku dan Inggris dan Amerikalah yang jadi musuh kita. Abangku mau menceritakan sebab-sebabnya, asal aku mau lebih memberikan telingaku untuk dijiwir. Aku memberikan telingaku yang kanan untuk dijiwir. 

“Sekarang ceritakanlah,” kataku. 

“Paman Oni ditembak Jepang,” kata abangku berbisik. 

“Paman Oni ditembak Jepang?” 

“Ya, Paman Oni ditembak Jepang.” 

“Tidak mungkin. Paman Oni musti ditembak Inggris dan Amerika dan bukan ditembak Jepang. Kau telah membohongiku dan aku musti ganti menjiwir telingamu,” kataku. Dan kujiwir telinga abangku. 

“Kujiwir lagi telingamu sekali lagi. Dan nanti kuceritakan apa sebab Paman Oni ditembak Jepang.” 
Kuberikan telingaku yang kiri sekarang, dan abangku menjiwirnya. 

“Ceritakanlah,” kataku. 

Abangku bercerita, bahwa tadi sore ayah baru saja menguburkan Paman Oni. Paman Oni telah ditembak oleh Jepang sebab mencuri makanan. 

“Uu salah Paman Oni. Kenapa dia mencuri. Bukankah kita dulu dimasukkan mami sama-sama di dalam kakus satu hari sebab mencuri uang di bawah bantal?” kucungirkan telunjukku ke hidung untuk membikin abangku malu. 

“Itu sebab Paman Oni lapar.” 

“Kenapa dia tidak makan?” tanyaku. 

“Karena Jepang itu cuma menyuruh Paman Oni kerja keras, tapi memberi makannya cuma secemil saja. Itu sebab Paman Oni lapar.” 

Aku berpikir sejenak. 

“Ya, memang. Itu sebab Paman Oni lapar dan mencuri,” kataku. 

“Karena Paman Oni mencuri, Jepang menembak dia,” kata abangku Karel. 

“Kenapa Paman Oni ditembak cuma sebab mencuri saja, dan kenapa kita dulu mencuri rambutan tidak ditembak Papa?” tanyaku. 

“Karena Paman Oni berkelahi melawan Jepang,” kata abangku. 

“Kenapa Paman Oni berkelahi melawan Jepang?” tanyaku. 

“Karena dia lapar. Karena dia berani,” kata abangku. 

“Karena dia lapar, Karena dia berani,” kataku mengulangi. 

Aku berpikir sejenak. 

“Kalau begitu memang betul-betul Dei-san musuh kita. Aku mau menembaknya,” kataku, menambahi lagi. 

“Kau berani menembak si Dei-san koki itu?” tanya abang. 

Aku terdiam. Aku lalu ingat Dei-san yang keringatnya busuk itu dan tubuhnya besar itu dan tiba-tiba aku takut padanya. Aku ingat, sedangkan sama temanku Dulhak saja aku tak berani, apalagi pada Dei-san, yang lebih besar. 

Tapi sejak itulah Dei-san kuanggap musuhku. Aku tak pernah lagi datang masuk ke dapurnya untuk mengharapkan bubur kacang hijau atau kue moci atau ingin belajar lagu Jepang. 
Esoknya, semalaman aku tak bisa tidur mengenang paman kami yang sudah mati itu. Paman Oni adalah pamanku yang baik dan tidak patut mati ditembak. Paman Oni penghabisan kali mengajak aku ke pasar malam dan melihat bioskop di tanah lapang. Aku ingat kembali lagu itu, dan di layar putih kelihatan pohon-pohon beruntuhan. Kuingat kalimat lagu itu: “Pohon ditebang dari hutan”. 

Dan kemudian pohon-pohon yang runtuh ditebang itu, hanyut dibawa air sungai. Kuingat lagu itu lagi; 

“Hanyut berkumpul di muara”. 
“Mari kerjakan jadi kapal”, kulihat kapal, dan kudengar lagi lagu dan bendera berkibar: 

“Untuk Asia Timur Raya”. 

Ingatanku mati di situ karena tiba-tiba kuingat lagi wajah paman Oni. Paman Oni mengatakan akan pergi ke hutan menebang kayu untuk bikin kapal pengawal laut, menunggu kedatangan musuh. 
Kenangan pada Paman Oni makin hari semakin kabur dan hilang, kenangan itu timbul kembali ketika beberapa waktu kemudian ada lagi pasar malam. Ketika itu aku duduk-duduk termenung di beranda dan ingat pada Paman Oni yang melarang aku menghembus-hembus karet pelembungan yang kudapat banyak sekali hanyut di air kali. Paman Oni marah-marah dan Paman Oni pun membelikan pelembungan berwarna di pasar malam. 

Kawan-kawanku mengajak pergi ke pasar malam. Aku menolak. 

“Kita dapat makanan roti keju. Dibagi-bagi,” kata kawanku. 

Kutolak. 

“Kami kemarin malam dapat limun. Tidak dibayar.” Kutolak. 

Tiba-tiba kulihat sepatu sepasang di dekat kakiku. Ketika kepalaku kuangkat, kulihat Dei-san berdiri di depanku, membawa sebungkusan besar entah apa isinya, bersenyum kepadaku, dan mengajak aku ke pasar malam. Kutolak. 

“Saya tidak mau,” kataku. 

Ketika ditariknya tanganku, aku berteriak, “Bagero!” 

“Nanda omaya!” katanya dan dipicitnya tanganku dengan gemas. 

“Nanda omay lu!” teriakku. 

Tiba-tiba kudengar suara ibuku memanggil namaku dan cepat-cepat aku lari ke dalam. Aku dicubit ibu dengan kukunya yang tajam dan aku menangis dan tiba-tiba tangisku berhenti sebab mendengar deru kapal terbang. 

Tiba-tiba kami dengar bunyi sirene. Dan kemudian abangku yang baru pulang dari pasar malam membawa sebuah kertas. Dia mengatakan bahwa Amerika dan Inggris akan membom kota kami. 
Semalaman aku tak puas-puasnya bertanya kepada abangku. 

“Kau ceritalah kembali Karel,” bujukku. 

“Kita harus masuk lubang perlindungan di belakang.” 

“Kenapa?” 

“Kita musti nyumput. Nanti kita bisa mati.” 

“Mati seperti Paman Oni?” 

Abangku tiba-tiba menarik selimutnya sebab ibu kami masuk ke kamar kami. Aku pun menarik selimutku dan ketika ibuku ke luar, kubuka lagi selimut dan bertanya, “Karel, Karel. Kau sudah tidur?” 

“Aku sudah tidur.” 

“Kenapa kau bisa ngomong kalau sudah tidur?” 

“Aku mimpi,” kata Karel. 

Besoknya ibu dan ayahku dan nenekku melarang kami pergi ke pasar malam, Dua hari kemudian kami mendengar lagi pesawat terbang, dan tidak lama kemudian mendentumlah dentuman yang menggegar, masuk ke dalam telingaku yang kecil. Malam itu adalah malam pertama kota menjadi gelap dan untuk pertama kami masuk lubang perlindungan. Tapi besok paginya, beberapa buah mobil dengan pengeras suara berkeliling pula di keliling kota kami dan berteriak-teriak mengatakan musuh sudah kalah dan mengundang orang-orang pergi ke pasar malam. Besok sorenya lagi mobil-mobil pakai pengeras suara itu berputar seputar kota lagi memanggil orang melihat pasar malam. Dan ketika abangku membawa lagi kertas yang katanya dijatuhkan dari pesawat udara, panggilan untuk datang ke pasar malam semakin riuh dan esok berikutnya sudah lebih sepuluh mobil memanggil-manggil. 

Ibu tetap melarang kami ke luar. Ibu mengatakan, dua hari lagi “Sekutu” akan membom kota. Dan memang, pada malam yang dikatakan ibu itu, menggelegarlah kota. Dan telingaku yang kecil mendengar bunyi yang sebesar itu kusumbat cepat-cepat dengan kapas dan gigiku cepat-cepat menggigit karet yang menyantol dengan tali dileherku. 

Tiba-tiba ayah masuk lubang perlindungan kami. 

“Sekutu membom pasar malam.” 

Kemudian ayah ke luar lagi. Dan ketika aku meminta ikut, ibu menjitak kepalaku. Datang lagi ayah. Ayah cuma berkata pada ibu, “Bukit Guha merah semua dimakan api.” 

“Bukit Guha?” tanya ibu. 

“Ya, Bukit Guha.” 

Lalu ibu memekik dan menangis, “Adikku ada di sana disuruh membikin terowongan.” 

“Bukan yang di selatan. Yang di utara,” kata ayah. 

Ibu menggenggam jarinya dan memelukku. 

“Syukur, syukurlah. Coba Pak ke luar melihat yang di selatan.” 

“Yang di selatan tidak dibom,” kata ayah. 

“Tapi cobalah lihat,” kata ibu. Ibu tampaknya agak marah. 

Kenapa ibu tampaknya marah pada ayah, dan kenapa yang di utara, dan kenapa ibu menangis, dan kenapa ibu masih memelukku dan berkata syukurlah dua kali. Aku tak tahu. Tapi kenapa ibu masih menangis kelika ayah ke luar lubang perlindungan dan kami mendengar bunyi dentuman lagi. 
Ayah masuk lagi ke lubang perlindungan. 

“Bukit di utara dibakarnya semua. Kota juga terbakar dekat gudang Sindenbu.” 

“Bukit selatan tidak.” 

“Guha selatan tidak.” 

“Syukur, syukurlah,” kata ibu. 

Sejak kejadian itu memang selama lebih satu minggu kota menjadi ramai kembali. Kami telah kembali pergi ke sekolah seperti dahulu. Dan kami melihat toapekong hancur, gudang Sindenbu hancur, rumah Haji Munap hancur. Di tiap-tiap rubuhan kehancuran itu aku dan kawanku berdebat dan tiap-tiap kami mempunyai cerita yang berlain-lain. 

Suatu sore, ketika aku minta izin untuk main tali ke rumah Wati, ibu melarang. Ibu berkata, sore itu seluruh isi rumah tidak boleh pergi kecuali ayah. Kami duduk-duduk di beranda ketika itu. 
Karel yang paling dulu melihat. Karel menjerit. Ia melihat ke jalan bengkel di belah utara, sambil menunjuk-nunjuk. 

Aku masih ingat dengan ingatanku yang kecil, serombongan beruk berbaris. Ibu menarik kami semuanya ke dalam rumah. Tapi kami diizinkan ibu mengintip. 

Kami tak bisa menghitungnya. Kami cuma bisa melihat berpuluh-puluh ekor beruk berbaris. Yang di depan besar sekali tubuhnya, dan kukira adalah kakek dari beruk itu. Ia berjenggot. Ia sebesar kakek dan seperti kakekku. 

Kemudian ia berdiri dan berhenti di depan rumah Somad. Lalu kami lihat berombongan mereka berbaris dan masuk ke pekarangan rumah Somad. Seorang Jepang memakai senapan tiba-tiba berhenti. Jepang itu berdiri seperti tentara bersiap. Seorang Jepang lain lagi sedang mengayuhkan sepeda lalu turun, dan berhenti, berhenti seperti orang bersiap. 

Kemudian kami melihat tentara-tentara Jepang yang bersenjata itu berdiri seperti patung. 

“Kenapa mereka tak menembaknya?” kata abang tiba-tiba. 

“Apa yang kau katakan, Karel?' tanyaku. 

“Mereka tak menembak,” kata Karel. 

“Menembak siapa?” tanyaku. 

“Menembak binatang-binatang itu,” kata abangku. 

“Mereka tak berani melawan binatang-binatang itu? Kenapa berani menembak Paman Oni,” tanyaku. 

Kuperhatikan wajah abangku, ingin tahu apa yang dimaksudkannya. 

Lalu abangku mengintip. Lalu aku juga mengintip, kami melihat beruk-beruk itu memanjati pohon pisang, pohon- pohon sawo, pohon-pohon pepaya di kebun Somad. 


“Kebun kita juga,” kata abang berteriak. 

Lalu abangku melompat ke ruang tengah, tapi tiba-tiba ibu menangkap tangannya. Dengan isyarat ibu memanggilku dan dengan isyarat telunjuk ibu menyuruh kami masuk kamar kami. 
Semalaman aku terus bertanya kepada abangku kenapa beruk-beruk itu datang sebegitu banyak, tapi abangku bertanya kepadaku kenapa Jepang-jepang itu tak mau menembak. Dan aku menjawab bahwa aku tak tahu. Abangku mengatakan bahwa aku goblok. Dan aku pun lekas-lekas mengaku bahwa aku goblok dalam hal itu, tapi aku bertanya pula, untuk apa beruk-beruk itu datang. Dari mana mereka datang? 

Biarpun hampir sampai pagi kami tak tidur, tapi kami tetap bangun pagi-pagi sebelum dibangunkan ibu seperti biasanya. 

Ibu menasihatkan agar kami tak ke luar rumah, sebab beruk-beruk itu masih banyak berkeliaran di seluruh kota. 

“Kenapa beruk-beruk itu, Mami? Kenapa mereka ke sini berkeliaran Mami?” 

“Mereka lapar?” 

Cepat-cepat kuikuti abangku yang mengintip di celah-celah dinding. Tiap-tiap beruk membawa sepelukan buah-buahan. Jalan sepi, tak ada seorang pun yang lewat dan juga tak ada satu kendaraan pun yang terdengar lalu. Juga tak ada seorang Jepang pun kelihatan. Tiba-tiba kuingat ayahku. 

“Ke mana ayah kita, Mami?” 

Pertanyaanku tidak dijawab ibu dan kuintip kembali dan celah-celah dinding sambil mengharap ayahku lewat. 

Tiada seorang manusia pun kelihatan. Kecuali binatang-binatang itu, yang kini tampak berkumpul-kumpul, seperti berbisik-bisik. 

“Mereka juga berkata-kata, Karel.” 

“Diam Pak Cerewet!” gerutu Karel. 

“Lihatlah, lihatlah mereka mengatur barisan,” kata Karel tiba-tiba. Kulihat dengan mataku yang kecil di lubang yang kecil. 

Beruk-beruk itu berbaris dan mulai berjalan menuju ke tengah kota, ke arah pinggir laut, ke arah bukit-bukit di selatan. 

Binatang-binatang itu kemudian bergerak makin jauh, sambil memeluk buah-buahan, dan ketika mereka semakin jauh, abang menoleh kepada ibu yang juga mengintip, lalu memberi isyarat menunjuk pintu. 

Ibu melarang dengan isyarat pula. 

Ibu mengintip lagi. 

Kemudian abang berteriak, “Jepang-jepang sudah ke luar rumah, Mami.” 

“Pak Somad dan Pak Gultom juga,” teriaknya. 

Ibulah yang membuka pintu rumah pertama kali. Tapi ketika itu kami sudah tak bisa melihat lagi binatang-bmatang itu. 

Ketika sore-sore kami melihat kebun kami yang sudah gundul, ayah baru pulang. 

“Binatang-binatang itu binatang-binatang punya perasaan,” kata ayah. 

“Kenapa Pa?” 

“Mereka cuma kelaparan, mengambil buah-buahan, lalu pergi.” 

“Dari mana mereka Pa?” tanyaku. 

“Dari bukit-bukit yang dibom dan terbakar itu.” 

Ketika makan malam, kami bercakap-cakap lagi tentang beruk-beruk itu. Biasanya selama ini kalau kami makan, terutama aku, dilarang sekali untuk ikut berbicara. Tapi saat itu, seakan-akan aku bebas sekali berbicara. Kutanyakan, dari mana beruk-beruk itu datang. Kutanyakan untuk apa beruk-beruk itu datang dan ke mana mereka itu pergi. 

Pada waktu itu, ada percakapan-percakapan ayah dan ibu yang tak bisa kumengerti, misalnya tentang kelaparan, beras, hutan terbakar dan Paman Oni dan tentang Jepang. 

Aku tak bisa menangkap dan mengingat keseluruhannya tentang peristiwa itu, karena waktu itu telingaku yang kecil dan pikiranku yang kecil dan aku merasa diriku kecil yang dilarang oleh orang-orang tuaku untuk menanyakan dan mendengarkan dan memikirkan soal-soal orang besar. Aku ingin bertanya banyak-banyak pada ayah, tapi aku takut akan dimarahi. 

Waktu itu aku memang masih kecil. 

TAMAT 

Kau Perlu Tahu

Kau Perlu Tahu - Ucu
Dikemas 11/04/2003 oleh Editor  


Sungguh, aku tak bermaksud mengusikmu, apalagi membuatmu terbangun untuk kemudian terdengar tanya darimu tentang potongan-potongan rindu yang berpendar yang entah kapann menyatu. Hanya saja, engkau perlu tahu (kurasa) saat kebetulanisme-kebetulanisme yang kerap aku alami dan menjadi semacam ritual kecil dalam waktu yang kian menyusut. Sebab itulah, aku mulai menyangsikan segenap kontemplasi empirisme yang kujalani. Toh, walaupun demikian aku sebenar-benarnya hanya ingin engkau menoleh pada ritual yang kualami.
Dari malam yang masih setia menemaniku, terhempas lelah akan rindu, dungu oleh asmara, dan terhuyung oleh kepenatan. Kadang aku tersenyum, kadang aku membisu pula gundah. Aku merenggut sedapat mungkin agar terlepas untuk berada pada titik nol bila nantinya aku terlelap.
Tangan itu masih membelaiku, mendekapku dalam peluk yang teramat erat. Perlahan melunak, menghentak-tentu saja aku terkejut-menerjang pula. Tangan itu membuntuti seolah ingin memintalku menjadi perca-perca tak berbentuk. Anehnya, tangan itu tak juga berupa. Tapi sebentuk cincin perak bermata biru langit nyata menghiasi jari manis.
Ritual itu kerap datang dalam lelapku, dan aku sadar ada pertanda dalam segalanya. Kutahu tangan-tangan itu milikmu, Aku tak akan bertanya mengapa, sebab aku akan beranjak.




Karmakronik

Karmakronik
Dikemas 03/03/2004 oleh Editor  
Tetanggaku bercerita berapi-api tentang babi yang gantung diri pakai dasi. Katanya, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bersama mata kepala selingkuhannya, tadi, di belakang kantor kelurahan yang sudah sepi. 

Bukan cuma itu, mereka, katanya, juga mendengar babi itu merintih minta tolong. Begitu ketakutan mereka hingga tak jadi menjalankan niatnya untuk sabung birahi. Lari. Lalu setelah mengantar selingkuhannya pulang, dia segera ke rumahku untuk menceritakan semua yang dilihatnya itu. juga semua yang didengarnya. semua yang dilihat dan didengar olehnya bersama dengan selingkuhannya. 

Bagaimana bisa dipercaya?

Sekalipun dia adalah tetanggaku dan juga temanku yang paling jujur, dan semua orang di kampung ini tahu itu. Bahkan pada istrinya pun jujur dia katakan kalau dia berselingkuh. Tapi seperti biasa, karena begitu terkenal reputasinya sebagai orang jujur, istrinya menganggap dia bercanda. Istrinya sering mengatakan ke tetangga-tetangga bahwa selain jujur, suaminya itu suka bercanda. Romantis, katanya. Sudahlah, aku tak mau ikut campur masalah rumah tangga orang. 

Tapi aku pikir kali ini dia mengada-ada. Tapi, sebagai temannya aku tak ingin reputasinya hancur gara-gara masalah babi ini, jadi aku menganjurkannya supaya dia tidak menceritakan hal ini ke orang lain. Karena, jujur saja, aku seringkali membutuhkan kejujurannya itu untuk kepentingan-kepentinganku. Bagaimana bisa, atau bagaimana caranya, biarlah itu jadi rahasia kami saja. Yah, mungkin aku bukan teman yang baik, apalagi sejati, cuma teman saja, teman kebanyakan, seperti kebanyakan seorang teman. Tapi aku lebih suka menyebutnya: realistis.

Dan, sebagai orang yang realistis, tentu aku tak bisa begitu saja percaya pada cerita tetanggaku itu yang ... apa namanya? surealis? yah, apalah itu, pokoknya tidak logis. Menurutku kemungkinan yang paling masuk akal jika memang yang dilihat tetanggaku itu benar--wah, mengapa aku jadi mulai sangsi dengan kejujurannya?--maka ada seseorang yang menjerat leher seekor babi dan menggantungnya di belakang kantor kelurahan. Tentang suara minta tolong itu? Entah, tapi, karena aku sudah terlanjur menyangsikan kejujurannya, aku berpikir itu konspirasi mereka untuk mendramatisir ceritanya.

Maka, demi pelurusan kebenaran dan pemenuhan rasa penasaran, aku mengajak tetanggaku itu untuk melihat lokasi kejadian. Hampir saja aku menanyakan apa dia masih ketakutan, tapi kemudian aku sadar kalau dua atau lebih laki-laki melahirkan keberanian (agar lebih fair, begini versi lengkapnya: "satu orang laki-laki mengahasilkan omong besar, dua atau lebih laki-laki menghasilkan keberanian"), itu sudah hukum alam. Setidaknya, menurutku.

Benar, dia langsung menyetujuinya dan terlihat begitu bersemangat 

Dan, ternyata juga benar apa yang dikatakannya. Aku melihatnya, seekor babi tergantung dengan dasi yang menjerat lehernya. Seekor babi yang besar. Dan terlihat segerombolan tikus mengerubunginya di bawah seakan mengharap dasi itu putus dan babi itu jatuh agar bisa menyantapnya. Beberapa dari mereka, yang berbadan besar, berusaha menjilat kaki belakang babi yang berjarak beberapa senti dari tanah, sambil sesekali meloncat-loncat. Menjijikkan. Tentu saja, seperti perkiraanku, tak ada suara minta tolong. Tapi aku tak mau membahasnya lagi, tetanggaku pasti akan berkelit mengatakan kalau babi ini sudah sepenuhnya mati, jadi tentu saja tak bisa lagi bersuara.

Aku juga tak ingin berdiskusi dengan tetanggaku ketika sekilas kulihat lidah tikus-tikus yang menjilat kaki babi itu bercabang, seperti lidah ular. Bahkan aku sendiri sejujurnya tak begitu yakin apakah tikus punya lidah. Aku malas mendengar teori tetanggaku yang pasti akan mengatakan bahwa itu tikus-tikus itu adalah tikus surealis dari negeri tidak logis yang datang dengan tujuan mistis dan seterusnya dan seterusnya. Dan aku melihat tetanggaku juga tak bernafsu membahasnya, wajahnya terlihat tegang menyaksikan pemandangan menjijikkan ini

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara teriakkan. Benar-benar dikejutkan. Kami sama-sama melompat karenanya. Sialan!. Arah suara itu berasal dari seseorang yang berlari ke arah kami. Kami mengenalnya, tetangga kami juga. Sehari-harinya dia bekerja sebagagi kenek angkutan desa. Orang jujur juga, tapi reputasi kejujurannya tidak setinggi temanku. Sesekali pernah dia ketahuan berbohong. Kalau menurutku pribadi, tetanggaku yang kenek lebih baik dari tetanggaku yang temanku ini. Dia memang beberapa kali berbohong, tapi aku tahu itu untuk tujuan baik, sedangkan temanku sering memanfaatkan kejujurannya, atau lebih tepatnya, reputasi kejujurannya, untuk tujuan yang busuk. Tapi, sejujurnya pula, aku tak peduli.

Sejenak kami bisa melupakan ketegangan dan rasa jijik melihat tetanggaku yang kenek itu berlari dari kejauhan sambil berteriak-teriak. Ada yang lucu padanya: dia memakai setelan jas. Kami saling berpandangan tersenyum geli. Kami tahu, jas jelas di luar jangkauan kebutuhan dan kemampuannya. Tak banyak, mungkin hanya satu dua orang di kampung ini yang punya jas, dan pasti tetanggaku yang kenek itu berada bersama kelompok mayoritas. Tapi tak ada sama sekali di benak kami kalau jas yang dia pakai itu hasil mencuri, seperti kataku tadi, dia juga orang jujur. Hanya geli, ekspresi muka dan pembawaannya itu sama sekali tidak match dengan jas yang dia pakai.

“Sudah mati? Babi sialan. Aku yang menggantungnya tadi,” katanya setengah terengah setelah tadi berlari mendekati kami. Ah, akhirnya, logika pemenangnya. Gantung diri? Hahaha aku melirik setengah mengejek ke arah temanku, tapi dia pura-pura tak melihatnya. Sudahlah, lagi pula ternyata tak sepenuhnya logis apa yang diceritakan tetanggaku yang kenek ini. Dia mengatakan kalau memergoki babi itu sedang berusaha mencuri uang simpanannya di lemari. Babi itu lari dan tetanggaku itu mengejarnya sampai akhirnya berhasil menangkap dan menggantungnya di sini. Rumahnya memang tak jauh dari kantor kelurahan ini.

Tetapi, biarlah, cerita babi jadi-jadian yang suka mencuri atau lebih dikenal dengan nick name-nya "babi ngepet", masihlah bisa diterima oleh orang kampung. Walaupun menurutku ini adalah babi betulan yang masuk ke rumahnya, menabrak lemarinya hingga terbuka, mengendus-endus isinya, tanpa trik. Ah, tapi tak ada gunanya aku mendebatnya. Di kampung ini hiburan yang ada sangat sedikit, dan cerita-cerita konyol seperti itu salah satunya, jadi aku tak tega merusaknya.

Tetanggaku yang kenek itu juga mengatakan kalau dia terpaksa meninggalkan babi ini tanpa langsung menurunkannya karena ingat ada janji ketemu dengan juragannya, pemilik angkutan desa. Entah urusan apa, dia tidak mengatakannya, tapi tampaknya penting sehingga katanya dia terpaksa meninggalkan babi ini dalam keadaan belum mati. Aku dan temanku cuma manggut-manggut mendengar ceritanya. Semoga dia tidak menangkap ekspresi kami yang menahan tawa melihat ketidakserasian jas yang dipakainya itu.

Mungkin jas itu didapatnya dari juragannya. Entah hadiah, atau karena juragannya itu kelebihan jas, atau mungkin ada yang ukurannya kekecilan, daripada dibuang lebih baik disumbangkan ke pegawainya. Ya, mungkin seperti itu. Tapi aku tak berani menanyakannya, takut tawaku lepas. Juga temanku, dia diam saja dari tadi. Mungkin dia sadar bahwa tidak selalu kejujuran harus diungkapkan.

Jadi, maksud tetanggaku yang kenek itu kembali ke sini adalah untuk memastikan babi itu mati dan menurunkannya. Dia tak mau kejadian itu menghebohkan kampung ini. Makanya dia juga terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menceritakan hal ini ke tetangga-tetangga yang lain. Bagiku tak jadi masalah, aku cuma khawatir dengan temanku yang paling tidak bisa menjaga rahasia, atau menurutnya, menahan kejujuran. Tapi setelah kupikir lagi, untuk apa aku khawatir, tak juga jadi masalah buatku kalau semua orang tahu kejadian ini. Kami mengangguk.

“Nanti biar aku yang menguburnya. Ingat, jangan bilang siapa-siapa,” sekali lagi dia mengingatkan, entah sudah yang keberapa kalinya. Dan kami mengangguk lagi. Aku jadi berpikir kalau dia sebenarnya tahu siapa pemilik babi itu dan dia takut kalau orang itu sampai tahu dia yang membunuh babi peliharaannya. Tapi, seingatku, di kampung ini tak ada yang memelihara babi. Entahlah.

Lalu dia mendekati babi yang tergantung itu, untuk menurunkannya. Tikus-tikus aneh tadi langsung berlarian melihat ada yang datang mendekat. Ternyata ia kemari bukan hanya untuk memastikan babi itu sudah mati dan menurunkannya, tapi, “Aku juga kemari untuk ambil dasi ini. Yang untuk menjeratnya ini.”

“Kenapa mengikatnya pakai dasi?,” tak tahan aku untuk bertanya.

“Tidak ada tali, jadi aku pakai dasinya saja.”

“Dasinya?,” kali ini aku dan tetanggaku hampir bersamaan.

“Ya, babi sialan ini memang tadi memakai dasi. Ya, dasi ini...,” katanya setelah berhasil melepaskan ikatan dasi pada leher babi itu. “Juga jas yang sekarang aku pakai ini.”

03/2004




Kang Panut

Kang Panut

Cerpen Sawali Tuhusetya 
NADA tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk mata, beberapa penduduk berjingkat dari pembaringan, menerobos pintu, menyibak kabut dingin.
"Ada yang meninggal, ya, Kang?" tanya seseorang.
"Mungkin!" sahut yang lain.
"Kira-kira siapa yang meninggal, ya, Kang?"
"Mana aku tahu? Tapi kalau ndak salah tangisan itu dari rumah Kang Panut!"
"Tapi setahu saya keluarga Kang Panut sehat-sehat saja, kok!"
"Yah, semoga tidak ada apa-apa!"
Mereka terus berjalan menyusuri jalan desa yang dingin dan berkabut. Tergesa-gesa. Suara tangis makin menyayat-nyayat. Para penduduk makin tak sabar. Ketika tiba di rumah Kang Panut, mereka menyaksikan kesibukan yang berlangsung di gubug reot berdinding bambu itu.
"Urut pergelangan kakinya!" seru seseorang.
"Bikinkan kopi, cepat!"
"Tekan jempol kakinya!"
Suara penduduk kampung yang riuh berbaur dengan bau mulut, suara batuk, suara tangis, suara kokok ayam. Di kejauhan sana suara azan subuh menggema, menampar dinding bukit, menggoyang lembah hantu dan demit, menggetarkan kaki langit. Di atas pembaringan, Kang Panut tergolek tak berdaya. Bola matanya mendelik dahsyat. Wajahnya pasi, kehilangan cahaya kehidupan. Napasnya berat dan sesak. Kerongkongan dan rongga dadanya seperti tersumbat beban yang mahaberat. Beberapa penduduk sibuk mengurusnya. Namun, agaknya Tuhan telah berkehendak lain. Lelaki kurus itu tiba-tiba meronta dahsyat, lalu diam, tak berkutik. Sekujur tubuhnya kaku dan dingin. Mati. Seorang perempuan kurus memekik histeris; roboh dan tersungkur ke lantai. Kabut duka bergulung-gulung menyelimuti gubug reot itu.
Tak seorang pun menduga, Kang Panut bakal meninggal secepat itu. Kemarin, para penduduk masih sempat menyaksikan lelaki kurus bermata juling itu bekerja sebagai tukang masak air di rumah Pak Lurah Kimpul yang sedang punya hajat mantu. Dengan celana kolor hitam dan kaos oblong lusuh, Kang Panut bergelut dengan api dan asap dapur. Memasak air untuk suguhan para tamu. Wajahnya tampak lelah. Namun, Kang Panut tak menghiraukan. Dia terus bekerja sampai hajat usai.
Agaknya Kang Panut menikmati betul pekerjaannya itu. Hanya dengan upah lima ribu rupiah, dia sambut tawaran setiap penduduk yang membutuhkan tenaganya dengan senang hati. Yu Ginem, isterinya pun tak pernah berontak. Dari dalam gubugnya yang reot itu hampir tak pernah terdengar percek-cokan. Hanya sesekali terdengar tangis kedua anaknya yang saling berebut makanan atau nasi kenduri dari tetangga. Selebihnya, gubug reot itu senantiasa sunyi, tersisih di sudut perkampungan yang tak pernah terjamah suara radio atau televisi. Jika malam tiba, dari balik gubug itu menggema suara jangkrik atau gangsir yang bersembunyi di sela-sela gundukan cacing tanah yang lembab dan kotor.
***
BERITA kematian Kang Panut bagaikan terbawa angin, menyebar dengan cepat ke seantero desa. Para penduduk berdatangan secara bergelombang. Maklumlah. Hampir semua penduduk desa dari ujung barat hingga ujung timur mengenalnya. Dia dianggap telah berjasa menghidupkan hajat banyak orang. Seandainya tidak ada Kang Panut, pasti akan sering terjadi keributan. Para tamu yang hadir merasa tidak dihargai lantaran tak disuguhi minuman. Kasak-kusuk dengan mudah dan cepat berkecamuk di setiap kepala. Memang hanya sekadar minuman. Namun, bisa menjadi persoalan besar lantaran menyangkut harga diri dan kehormatan.
Para pelayat membludak. Gubug reot itu seolah-olah mau ambruk; tak kuasa menampung pelayat yang berjejal-jelal. Sebagian yang lain menyingkir ke emper rumah-rumah tetangga. Pak Lurah Kimpul pun menyempatkan hadir. Bola matanya berkaca-kaca. Entah, pikiran apa yang tengah berkecamuk di rongga kepalanya.
"Huh! Dasar koruptor! Untuk apa ikut-ikutan layat?" gerutu seorang pemuda di tengah kerumunan pelayat yang berjubel.
"Hus! Jangan keras-keras! Ini bukan saatnya mengobral umpatan! Ndak baik!"
"Alah! Memang takut?"
"Ini bukan soal takut atau tidak takut, tapi soal kepantasan! Pantaskah kita mengumpat-umpat di tengah suasana duka seperti ini?"
"Oh, Sampean ingin membela lurah yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa itu, hem?" Suasana tiba-tiba tegang. Para pelayat saling bertatapan. Orang-orang yang semula menunduk takzim di sekeliling jasat Kang Panut terusik; bergegas keluar gubug dengan kepala diserbu tanda tanya.
"Hei! Jangan seenaknya menuduh orang, ya?" Plak! Sebuah bogem mentah meluncur. Terjadi keributan. Saling pukul. Para pelayat berebutan melerai. Pak Lurah Kimpul menyibak kerumunan, mengucak-ucak bola mata di balik kaca mata minusnya yang tebal. Jidatnya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
"Kalian ini gimana toh? Pantaskah ribut-ribut dalam suasana seperti ini? Bukannya mendoakan Kang Panut, tapi malah bikin keonaran. Dasar!" sergah Pak Lurah Kimpul dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Para pelayat kembali saling bertatapan.
"Hei, Pak Lurah! Apa hak Sampean melarang-larang orang! Jangan sok menasihati! Berkacalah Sampean!" sahut pemuda yang tadi kena bogem mentah dengan nada gemetaran. Jari-jarinya mengusap darah yang menetes dari belahan bibirnya yang pecah. Pak Lurah Kimpul terkejut. Bola matanya membelalak. Para pelayat kembali bertatapan untuk ke sekian kalinya, saling berbisik. Suasana berubah riuh seperti kerumunan lebah mencari sarang.
"Edan! Sinthing! Gendheng! Berani-beraninya ngomong seperti itu di depan Pak Lurah?" Seorang lelaki tua berikat kepala hitam menyeruak kerumunan dan mencengkeram krah baju si pemuda dengan kekuatan penuh, lantas disentakkan dengan keras. Si pemuda terjengkang.
"Sampean semua yang gendheng! Sudah kena tipu sama si Lurah brengsek itu!" sahut si pemuda dengan tubuh sempoyongan. Telunjuknya menuding wajah lelaki tua berikat kepala hitam dan wajah Pak Lurah Kimpul. Lantas, beranjak menjauhi kerumunan. Darah lelaki tua berikat kepala hitam berdesir. Rongga dadanya serasa diserbu puluhan kalajengking. Perih dan nyeri. Bola mata Pak Lurah Kimpul berkeriyap dari balik kaca mata minus tebalnya. Jantungnya bergetar hebat. Keringat meluncur deras di dahinya. Berkilat-kilat. Ulu hatinya serasa dihantam godam bertubi-tubi. Cahaya matahari seolah berubah bagaikan kilatan pedang yang siap merajam tubuhnya. Baru kali ini dia diperlakukan sekasar itu oleh warganya sendiri. Dia tidak tahu harus berbuat apa menghadapi pemuda sundal itu.
"Sudahlah, Pak Lurah! Anggap saja dia orang gila. Buat apa diurusi? Sekarang, mari segera kita urus jenasah Kang Panut!" rajuk lelaki tua berikat kepala hitam sambil tersenyum. Hambar. Pak Lurah Kimpul termangu. Pikirannya menerawang entah ke mana.
Sementara itu, para pelayat juga tak habis pikir dengan sikap si pemuda yang dianggap keterlaluan. Dalam sejarah desa di bibir hutan jati itu, baru kali ini ada seorang pemuda yang demikian nekat dan berani mengumbar kata-kata kasar di depan hidung seorang pemimpin.
Tanpa tahu sebab yang pasti, dari balik gubug duka tiba-tiba terdengar suara gaduh. Para pelayat berlarian. Berjejal-jejal.
"Kang Panut hidup lagi!" teriak seorang penduduk mengabarkan.
"Ha? Hidup lagi?" Mulut para pelayat menganga.
"Ah, tidak mungkin!"
"Lihat saja sendiri!" Para pelayat makin tak sabar.
Bagai tersihir, para pelayat terpaku menyaksikan Kang Panut duduk bersila di atas meja. Mulutnya menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tampak deretan giginya yang kuning dan kotor. Orang-orang sibuk menutup lubang hidung.
"Kang? Sampean hidup lagi, Kang?" tanya Yu Ginem sambil merangkul Kang Panut. Sepasang mata perempuan kurus itu berkaca-kaca seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kang Panut tak menjawab. Mulutnya terus menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Namun, di rongga hidung Yu Ginem bagaikan aroma bunga dari sorga. "Puji syukur Ya Allah, suamiku hidup kembali!" lanjutnya sembari membungkus tubuh suaminya dengan sarung dan kaos oblong lusuh. Yu Ginem serasa bermimpi. Tubuhnya gemetar saking senangnya. Para pelayat masih termangu sembari menutup hidung rapat-rapat.
"Nem, ini anugerah dari Sing Nggawe Urip. Kamu harus bersyukur, suamimu telah kembali! Mungkin belum saatnya suamimu menghadap Gusti Allah!" kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil mendekati Yu Ginem dan Kang Panut. Pak Lurah membuntutinya sambil menutup hidung rapat-rapat.
"Ya, Mbah!" jawab Yu Ginem sambil mengangguk-angguk.
"Nut, Panut!" sapa lelaki berikat kepala hitam. "Kamu masih mengenalku, toh?" Tak ada reaksi. Kang Panut hanya menyeringai. Hawa busuk menyembur-nyembur. Perut Pak Lurah tiba-tiba terasa mual seperti digerayangi ratusan cacing pita. Dan dia tak kuat lagi menahan isi perut yang terus menyodok-nyodok kerongkongannya. Lelaki tambun itu muntah-muntah. Para pelayat berpandangan.
"Pak Lurah sakit?" tanya lelaki tua berikat kepala hitam.
"Iya, Mbah! Maaf, aku pulang dulu, ya?"
"Iya, mangga! Sebaiknya begitu!"
Terdengar deru kendaraan memecah perkampungan. Mata para penduduk mengikuti laju Pak Lurah Kimpul hingga hilang di tikungan.
"Para sedulur!" kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil berdiri di samping Kang Panut yang tak henti-hentinya menyeringai. Yu Ginem tampak menyisir rambut Kang Panut yang acak-acakan dan berbau. "Kita sudah sama-sama melihat, Panut dalam keadaan segar-bugar. Gusti Allah masih menghendaki dia bersama kita! Nah, sekarang, anggap tidak pernah terjadi apa-apa! Para sedulur boleh pulang!" Para penduduk berbisik-bisik. Riuh. Sambil menutup hidung, mereka berdesakan meninggalkan gubug reot itu.
***
KABAR hidupnya kembali Kang Panut dengan cepat tersebar ke desa-desa tetangga, meluas ke kecamatan, kabupaten, bahkan hingga ke kota-kota terdekat. Para wartawan media cetak dan elektronik saling berlomba meliput peristiwa menghebohkan itu. Orang-orang kesehatan merasa tertantang untuk melakukan riset khusus. Rombongan orang dari berbagai kalangan terusik untuk membuktikan kebenaran cerita yang berkembang dari mulut ke mulut. Desa di bibir hutan jati yang biasanya sunyi itu pun mendadak ramai dan sibuk.
Para wartawan, orang-orang kesehatan, dan mereka yang berdatangan dari berbagai kota ingin sekali mendengar penuturan langsung dari Kang Panut. Apa sebenarnya yang dia alami ketika berada dalam alam kematian. Namun, sia-sia. Kang Panut hanya bisa menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya yang selalu dikerumuni lalat dan serangga. Mereka yang semula penasaran tiba-tiba merasa jijik dan takut.
Waktu terus berlalu. Kehadiran Kang Panut tiba-tiba menjadi masalah besar. Setiap malam, kabarnya dia suka keluyuran, mendatangi rumah penduduk secara tak terduga, menyeringai, meninggalkan hawa busuk. Pernah suatu malam, Kang Panut mendatangi rumah penduduk yang sedang menggelar pesta hajat mantu. Di atas panggung, para biduan dangdut sedang hangat-hangatnya menghibur para penonton. Tiba-tiba tercium bau busuk. Makin lama makin menusuk-nusuk hidung. Tanpa diduga, Kang Panut sudah berada di depan tungku perapian seperti yang sering dia lakukan sebelum mati suri. Keruan saja, para penonton bubar. Rombongan pemain musik dan biduannya kabur menyelamatkan diri. Tuan rumah pingsan.
Konon, pada siang hari Kang Panut selalu mendekam di dalam gubug reotnya. Ada yang bilang, dia tak sekadar tertidur, tetapi benar-benar mati. Anehnya, pada malam hari dia kembali beraksi; datang ke rumah-rumah penduduk secara tiba-tiba. Desa seperti diselubungi bau mayat yang amat busuk. Para penduduk benar-benar tersiksa.
"Kita harus ambil tindakan secepatnya, Pak Lurah!" kata lelaki tua berikat kepala hitam di rumah Pak Lurah Kimpul yang besar dan megah. Para penduduk yang mendampinginya mengangguk-angguk. "Kalau tidak, desa kita bakalan dikucilkan desa-desa tetangga!"
"Lalu, apa rencana Sampean?"
"Kita singkirkan saja dia!"
"Caranya?"
"Serahkan saja kepada saya dan anak-anak!"
"Baik, aku setuju!"
Maka, keesokan harinya, di bawah komando lelaki tua berikat kepala hitam, para penduduk dengan wajah beringas berbondong-bondong menggrebeg gubug Kang Panut. Namun, belum sempat rencana penyingkiran Kang Panut terwujud, seorang pemuda menghalang-halanginya.
"Keliru besar kalau kalian hendak menyingkirkan Kang Panut!" kata si pemuda berkacak pinggang.
"Hei, pemuda keparat! Menyingkirlah sebelum pedang-pedang itu membabat lehermu!" sergah lelaki tua berikat kepala hitam dengan gusar.
"Tunggu dulu, Pak Tua! Sebenarnya yang lebih pantas disingkirkan itu Pak Lurah Kimpul yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa! Bukan Kang Panut yang tidak bersalah! Tubuh Kang Panut memang busuk, tapi mental Lurah Kimpul jauh lebih busuk!"
"Anak-anak, habisi saja dia!" komando lelaki tua berikat kepala hitam. Namun, tak ada reaksi. Para penduduk tiba-tiba tersungkur seperti daun-daun berguguran. Dari dalam gubug reot, tiba-tiba menyembur hawa busuk yang jauh lebih dahsyat; menggetarkan seisi desa. (72)
Kendal, September 2004

Kakek Marijan

Kakek Marijan

Cerpen Aris Kurniawan
Got meluap. Bangkai tikus sebesar kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumbat kental. Maghrib. Deretan gubuk mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air. Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kakek Marijan terengah. Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka membiru tengkurap di sisi bak.

Kakek Marijan mengelap keringat yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucunya itu. Dimasukkan ke dalam karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turun lagi dan langit makin pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam gerobak, dan perlahan menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda gerobak seperti menggelinding di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebetulnya sangat disayanginya, terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun sakit karena nyawanya telah melayang.

"Maafkan Kakekmu," begitulah kalimat yang keluar dari mulut Kakek Marijan ketika hendak membekap mulut Narto, bocah umur tujuh tahun, dengan bantal. Narto meronta dan cuma meronta ketika Kakek Marijan membopong tubuhnya dan membenamkannya ke dalam bak penuh air. Narto mengerjat beberapa saat sebelum lunglai, dan akhirnya mengeras. Tidak ada jalan lain, pikir Kakek Marijan, untuk membalas sakit hatiku pada ayahmu. Aku sudah terlanjur tersinggung dan tidak bisa memaafkan menantuku sendiri.

Kakek Marijan teringat lagi ucapan menantunya yang menyebabkan ia tersinggung dan sakit hati. "Tua bangka tak berguna, selalu saja menyusahkan orang." Kakek Marijan memang cuma bisa memendam kalimat itu dalam benaknya. Rupanya bukan sekali itu si menantu melontarkan kalimat dan perilaku yang menyakitkan, melainkan berulangkali kata-kata kotor menyembur dari mulut menantunya, baik bentakan maupun halus namun penuh nada ejekan. "Seharian nongkrong. Bikin kandang merpati saja nggak becus. Huh! Cuma menunggu nasi mateng saja kerjamu." Demikian si menantu berujar seraya membanting pintu dan sengaja menyenggol teh tubruk kesukaan Kakek Marijan. Teh tumpah dan gelasnya pecah. Kakek Marijan tersuruk-suruk memunguti serpihan beling. Si menantu masih berujar, "Pecahkan saja semua biar habis!" Kakek Marijan masih melihat menantunya membuang dahak kental persis di depan mukanya. Narto yang tiba-tiba muncul dan memeluknya dari belakang, dengan cepat direnggut ayahnya, "Jangan dekat-dekat si pemalas, ayo masuk." 

Kakek Marijan ingat tatapan jijik menantunya yang seakan menghunjam ke dasar tulang. Dari kamarnya yang disekat kardus lapuk Kakek Marijan mendengar menantunya menghardik, "Tidak tahu bagaimana susahnya cari makan. Kalau tidak ada polisi sudah kuracuni." Lalu terdengar tape disetel keras-keras.

"Iblis! Manusia tak tahu adat, tak tahu balas budi. Dasar komunis," kata-kata itu cuma digumamkan Kakek Marijan dalam kamarnya. Memang si menantu kadang bisa juga bersikap santun dan manis. Tapi hati Kakek Marijan telanjur cedera dan menyimpan dendam. Meski anaknya selalu bilang. "Jangan dimasukkan ke hati. Memang sifatnya sudah begitu dari dulu. Anggap saja angin lalu." Kakek Marijan mau mengatakan, perbuatannya sudah keterlaluan, tapi selalu urung. Ia paham, anaknya tentu lebih membela suaminya. Makanya ia lebih senang memupuk dendam di hatinya. Kakek Marijan tahu dirinya tidak berdaya dan mustahil dapat melampiaskan dendamnya pada sang menantu secara fisik. Waktu jadi terasa panjang dan sangat menyiksa setiap ia harus bertemu menantunya dalam rumah yang sempit, di mana nafas para penghuninya terdengar satu sama lain. Makanya Kakek Marijan lebih sering keluar dari kamarnya, berjalan-jalan dari gang ke gang, menyusuri kali yang arusnya lambat dan airnya pekat membawa segala macam limbah sambil mengajak Narto setiap menantunya berada di rumah setelah seharian pergi entah ke mana mengais rejeki.

Sering memang, Kakek Marijan punya kesempatan bagus melampiaskan dendam dengan menghantamkan linggis di kepala menantunya ketika sedang mendengkur. Tapi ia tak juga kuasa melakukanya. Selalu dihalangi rasa cemas cucunya jadi yatim dan anaknya jadi janda. Padahal ia tahu persis anaknya seringkali mendapat perlakuan kasar suaminya. Tapi Kakek Marijan maklum, mereka tetap saling mencinta. Ditambah lagi keadaan dirinya yang cacat. Ia tak mau terlunta-lunta dan mati di pinggir rel kereta.

"Hhh, apa maksudnya Tuhan menciptakan makhluk sepecundang diriku." Demikian Kakek Marijan sering menggugat nasib buruk yang melilit dirinya. Dia cuma sanggup menggugat dengan keluhan-keluhan cengeng yang membuat dia kadang malu sendiri. "Kenapa aku tidak bunuh diri saja." Nah niat ini pun cuma sekadar niat yang tidak kunjung dilakukan. Tentu takut akan rasa sakit yang pasti dihadapi orang yang meregang nyawa secara paksa. Dia heran sendiri kenapa mesti takut menghadapi rasa sakit yang tentu tak terlalu lama menyengat. Padahal hidup yang dihadapi pun sudah begitu menyakitkan, dan terlalu cukup untuk jadi alasan buat diakhiri.

Dendam di hati Kakek Marijan kian menggunung. Selalu ia tahan-tahan untuk diletuskan. Rencana membunuh sang menantu jelas sulit dilakukan. Dia mulai berpikir, menghitung-hitung apa yang harus dilakukan supaya sang menantu laknat merasakan sakit hati seperti yang dialaminya. Ya, Kakek Marijan hanya ingin menantunya merasa sakit hati. Tak harus menyakiti fisik, apalagi membunuhnya.

Cara yang pernah ia rencanakan namun urung dilakukan adalah menyuruh anaknya menyeleweng. Ini tak dilakukan jelas karena ia tak mungkin bekerja sama dengan anaknya yang tentu saja lebih membela suaminya.

Kakek Marijan terus berjalan terseok-seok menarik gerobak. Hari makin gelap, sedang gerimis tetap setia mengguyur tubuh rentanya yang mulai menggigil. Berkelebat terus-menerus di kepalanya wajah sang menantu yang bermata merah, menghardik, "Matikan tapenya, tua bangka! Maghrib. Tidak juga sadar mau masuk kubur. Bukannya ibadah." Mengiang terus sepanjang waktu kata-kata itu. "Aku memang komunis, tapi tahu menghargai orang ibadah."

Kakek Marijan pantas heran dengan ucapan terakhir yang terlontar dari mulut menantunya itu. Yang ia tahu, komunis ya komunis. Anti agama. Meski ia juga tak peduli apa itu komunis, apa itu agama. Apa itu ber-Tuhan, apa itu anti Tuhan. Yang jelas menantunya telah menyebabkan hatinya remuk parah. Dan ia tak menemukan cara membalaskan sakit hatinya. Sampai kemudian muncul gagasan gila; membunuh cucunya sendiri. Ia tahu Narto begitu berharga bagi ayahnya yang tak lain menantunya sendiri. Narto satu-satunya harapan bagi ayahnya yang sangat dibanggakannya. Anak itu tidak boleh disakiti. Bila sampai terjadi ayahnya mati-matian membela. Kakek Marijan pernah melihat bagaimana sang menantu nyaris menggolok orang yang berani-berani menyebabkan Narto menangis. Satu hal yang memang seharusnya membuat ia besar hati.

Namun pada saat-saat begini ia bertekad membunuh cucunya sendiri supaya ia bisa puas melihat menantunya remuk redam. Maka, begitulah, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Malam itu sang menantu bersama istrinya berpesan supaya menjaga Narto baik-baik. Mereka tidak menjelaskan hendak ke mana dan berapa lama. Kakek Marijan cuma diberi uang untuk makan mereka berdua selama beberapa hari. Sempat ragu juga sebetulnya ketika malam itu ia hendak membunuh cucunya sendiri. Ditatapnya wajah Narto yang persis wajah sang menantu. Dihidup-hidupkan dendam di hatinya. Nyala merah mata si menantu yang menatapnya dengan jijik. Hardikan-hardikannya diputar lagi di telinganya seperti memutar rekaman kaset. Dan memang tumbuh juga. Kakek Marijan bagai tidak melihat wajah Narto yang tengah terlelap dalam dekapannya, melainkan wajah bengis sang menantu. Ia terlonjak, bangkit meraih bantal…
***
Kakek Marijan berhenti di tepi kali yang permukaan airnya memantulkan lampu-lampu gemerlapan dari kendaran yang berseliweran. Di kali ini sering dilihatnya mayat mengambang kembung entah siapa. Orang mati dibunuh atau bunuh diri. Ah, sama saja: mayat. Dan kini cucunya bakal jadi salah satu dari mereka. Ya, semuanya sudah terjadi seperti takdir. Pada saat demikian muncul lagi keberaniannya yang lain; Kakek Marijan berniat untuk turut mecemplungkan diri. Mati. Ini jalan yang paling aman barangkali, begitu ia berpikir. Sebab ia tak mungkin lagi pulang dan menghadapi kemarahan sang menantu yang cepat atau lambat tentu akan tahu ia yang telah membunuh cucunya sendiri.

Lebih aman aku mati bunuh diri ketimbang digebuki sang menantu. Ya kalau langsung mati. Tidak begitu berat menanggung risiko. Kalau diseret ke kantor polisi, diadili, lantas masuk bui?***
Cirebon, 12 Maret 2004


Jomblo Phobia

Jomblo Phobia 

Vita Lystianingsih, mahasiswa ITS
Jomblo. Ugh, aku sebal melihat (atau mendengar, atau membaca, atau merasakan) kata itu. Aku merasa jadi cowok termalang di dunia kalau aku mendengarnya. Bikin aku merasa negatif. Yah, aku sih lebih suka kata ’sendiri’ atau ’single’ untuk menjelaskan keadaan diriku ini. Kesannya lebih positif. 

Sama sebalnya kalau ketemu orang-orang yang menanyakan pacarku. Apa nggak ada pertanyaan lain? Menyebalkan. Menyakitkan, bahkan. Apa mereka nggak tahu rasanya dua kali ditolak cewek?

Pengalaman pertama, di masa aku SMA, ditolak seorang gadis bernama Jelita (dia memang secantik namanya) pada suatu sore sepulang les Inggris setelah aku mengantarkan dia ke rumahnya. Sia-sia pendekatan yang kulakukan. Meneleponnya, mengantarkannya, ah, aku kecewa. Padahal, aku sudah cukup dekat dengan keluarganya (apalagi ibunya sahabat lama ibuku, dan kakakknya sekelas denganku). Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengannya di pameran buku, menggandeng seseorang (kekasihnya?), kakak kelasku di SMP.

Penolakan kedua menimpaku di tahun terakhir SMA. Yang menolak, ya Jelita juga! Huhh, memalukan sekali ditolak orang yang sama. Ternyata dia memang tidak pernah tertarik padaku, tidak sedikitpun.

Makanya, aku juga sebal kalau bertemu Jelita. Entah kenapa, kami cukup sering berjumpa tak sengaja. Di mal, toko buku, restauran, tokok kaset, supermarket, bahkan pasar! Dia selalu bersama seseorang (kekasihnya?). Dan aku selalu sendirian. Aku selalu berpikiran dia pasti menganggapku pria tak laku, dan tak ada yang mau denganku. Pasti dia mengasihaniku.

Harusnya memang aku tidak boleh menuduh Jelita menganggapku seperti itu. Pikiran negatifku kadang ekstrim, tapi aku tetap tak bisa menghilangkan pikira-pikiran itu jika berjumpa dengannya.

Seperti kemarin, di festival band kampusku. Pasti dia akan datang, karena band kakaknya masuk final. Aku bahkan berdoa supaya tak harus ketemu dengannya. (Gengsi!) Tapi ternyata doaku tak terkabulkan. Sosoknya terlihat di antara kerumunan penonton. Cepat-cepat aku angkat kaki dari situ. Sialan. Aku malah berpapasan dengannya di jalan menuju toilet.

"Lho, Mas?" matanya membulat. Di sebelahnya berdiri seseorang (kekasihnya?) yang tak kukenal. "Sama siapa? Sendirian aja?"

Keluar juga pertanyaan itu. Aku paling kesal kalau ada yang menanyakan itu. Apalagi Jelita. Lagian, ini kan kampusku. Terserah aku dong, mau sendirian, mau borongan. Ngapain aku ajak-ajak teman?

"… sendiri Mas?" ulangnya. (pasti sekarang dia pikir aku budek!)
"Iyalah, ini kan kampusku. Teman-teman pada di sini. Emang mau ngajak siapa lagi?" Aku menunjuk kartu kecil di jaketku, "Lagian aku panitia, seksi sibuk."

Jelita mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk huruf "o". Ia tersenyum, "Ya udah, Mas. Selamat bersibuk ria." Dan berjalan meninggalkan aku.

Kesal! Pasti dia sengaja berpapasan denganku. Sengaja menggandeng mesra, entah siapa yang diajaknya. Sengaja memanasi hatiku.
Eit, apa aku jadi paranoid?
***
Pesta ultah teman SMA-ku dulu. Apakah ada Jelita? (Tuhan, semoga aku tidak harus berjumpa dengannya).
Satu menit.
Sepuluh menit.
Aarggh… belum-belum, kulihat dia melintas beberapa meter di depanku. Tuhan, semoga dia tidak menoleh ke sini.
Dia menoleh. Lalu tak terlihat ditelan kerumunan.
Lalu tiba-tiba dia muncul lagi tepat di depanku.
Kulihat Jelita tersenyum padaku, lalu berjalan menghampiriku.
"Mas Indo," sapanya.
Aku tak bisa menghilangkan kecurigaanku. "Halo," jawabku dingin. "Kamu sama siapa?" Ah, pertanyaan bodoh. Ngapain juga aku tanya-tanya begitu?
Jelita menunjuk dengan dagunya. "Itu, sama cowokku." 
"Mas Indo sama siapa?" cepat-cepat dia bertanya.
Sebal aku melihat wajahnya yang antusias.
"Kok ceweknya nggak diajak sih, Mas?"
Dan entah dari mana tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Oh, dia kan nggak di sini. Lagi di Bandung."
Raut wajah Jelita tiba-tiba berubah. Jelas sekali. "Lho, maksudnya, ceweknya Mas Indo di Bandung?"
"Iya." Aku tersenyum penuh kemenangan. "Dia kuliah di sana. Masak aku ajak?"
"Oooh… gitu," ada kecewa di wajah Jelita. 
"Kapan-kapan, kalau dia ke sini, aku kenalin deh."
"Iya, iya Mas. Aku ke sana dulu, ya. Yuk."
"Salam buat semua, ya."
Puas. Puas sekali. Melihat wajah Jelita yang kecewa. Cih. Pasti dia tadi sengaja menyapaku. Basa basi. Dan malahan, dia yang kaget sendiri. Biar aja, biar tahu dia, dengan bualanku soal kekasih nun jauh di Bandung.
***
Minggu pagi. Di toko buku. Sendirian saja, dan tetap cool.
"Indo!"
"Hei, Indo!"
Ya Tuhan. Apa aku memang berjodoh ketemu Jelita? Setelah bertemu ibunya, ayahnya, dia sendiri (dan pacar keparatnya, kemarin), sekarang ada kakaknya.
"Hei Raras, halo juga!"
"Sama siapa? Sendirian?"
Aku tersenyum. Busuk. Kenapa sih selalu itu yang mereka tanyakan pertama kali setelah menyapa?
"… yah, lagi pengin sendirian."
"In, kemarin di pestanya Tata, kok aku nggak ketemu kamu ya? Kamu datang, kan?"
Belum sempat aku menjawab, dia malah senyam senyum. 
"Hm… baru dapar bocoran nih kemarin. Akhirnya dapat orang Bandung ya?"
Sepertinya cerita fiksi itu sudah tersebar. Tentu saja. Pasti Jelita.
Belum sempat lagi aku mengomentari, tiba-tiba Raras tertawa. "Hahaha… Aduh, kok nggak pas, ya.."
"Apanya?"
Tawanya mereda. "Itu, kamu tahu sepupuku Mawar? Yang dulu les Inggrisnya barengan kamu, sama Jelita?
Aku membuka memori tentang seorang gadis berambut sebahu yang sama cantiknya dengan Jelita. Wah, dua tahun belajar bersamanya tiap Selasa dan Jumat ternyata nggak memberi kenangan apa-apa bagiku. Jelaslah, hanya ada Jelita di duniaku saat itu.
Lalu aku mengangguk-angguk. "Sekarang Mawar kuliah di mana?" tanyaku basa basi.
"Di sini juga kok. Kemarin itu, dia juga datang!"
"Oh, ya?"
Raras kembali tersenyum. "Kemarin, langsung grogi begitu tahu kamu juga datang. Diinterograsi dikit-dikit, ternyata dia itu naksir kamu sejak dulu. Habis-habisan deh kita godain!"
Aku membatu. Terima kasih Tuhan. Engkau mendengarkan doaku. Akhirnya, ada juga gadis yang suka padaku. 
"Kemarin itu, aku sama Jelita udah semangat nyomblangin kalian berdua. Pasti seru deh kalau kamu jadian sama Mawar."
Aku masih tak percaya. Akhirnya, aku tak sendiri lagi.
"Cuma, kita nggak tahu kalau kamu sudah jadian sama cewek lain. Aduh, aku sama Jelita gemes banget," dia terkikik. "Sekalinya jadi mak comblang, gagal. Mawar langsung malas ketemu kamu."
Dan barulah aku sadar. 
Tuhan, hamba mohon ampun karena sudah berbohong. Tapi, adakah cara untuk berterus terang? Tanpa kehilangan muka di depan Jelita dan keluarganya?
Raras menepuk bahuku. "Hei, hei, hei, kok diam? Garing nih."
Aku tergagap, "Eh, iya, iya. Wah, gimana ya? Salam aja deh, buat Mawar."
"Oke Bos! Eh, kalau misalnya nanti putus sama cewekmu, cepet-cepet hubungi aku ya! Siapa tahu aku bisa nyomblangin kamu lagi. Aduh, pasti lucu!" sahutnya bersemangat. "Ya udah! Aku cuman mau cerita itu aja kok! Hehehe! Yuk ya!" Ia bergegas sambil melambai.
"Iya… iya…" Aku membalas lambaian tangannya.
Aku lunglai.
Kecewa.
Menyesal.
Dan yang jelas, aku masih sendiri… 

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer