Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 April 2016

Korupsi

Korupsi

Bab pertama
Sepeda itu telah tua. Pernikelan dan tjatnya sudah lama kabur digantikan oleh karat menebal disana-sini. 

Akupun sudah tua. Kebesaran dan keagunganku telah padam. Jang tinggal hanya umurku jang tua dan kelemahan jang tambah lama tambah menggerumiti tenaga. Presis sepeda itu dengan karatnja yang kian menggerumiti besi dan badjanja. 

Tip hari dengan sepeda tua jang berkerait-kerit bunjinja itu aku masuk dan pulang kerdja diantara lalulintas kota Djakarta jang bertambah riuh. 

Aku hanja seorang pegawai, dan tetap seorang pegawai. Kakekku pegawai dan bapakkupun pegawai. Sebenarnja aku harus berterimakasih masih punja sumberpenghasilan. Tetapi ada banjak hal jang menjebabkan hatiku berontak. 

Telah duapuluh tahun aku djadi pegawai - kumulai dari magang. Tetapi kian hari kian berkurang sadja harta benda dan umurku. Lemari agung jang dahulu menghiasi ruang-depan sudah lima tahun ini hilang disita orang karena hutang tidak terbajar. Sepeda-motor jang dahulu mendjadi kebanggaanku, hasil simpanan selama sepuluh tahun, telah lama melajang. Aku tidak tahu kini siapa jang mempunjainja. Sepeda tua itulah gantinja. Perhiasan isteriku, jang dahulu kerapkali dikagumi orang, sudah lama-lama berubah bentuk mendjadi surat-surat pegadaian jang tidak berharga karena tidak tertebus. 

Tambah lama dinas kepegawaian ini, tambah terondollah rasanja. Dan disamping itu anak bertambah banjak djuga. Itulah pula sebabnja mengapa selalu teringat olehku pepatah Arab: 


Apabila orang miskin mengharapkan uang, ia mendapat anak. Apabila orang kaja mengharapkan anak ia mendapat uang. 
Dan barangkali dalam sepuluh tahunn jang akan datang tambah tiga atau empat lagi anak ini. Lihatlah jang sudah ada sekarang! Dahulu tjuma Bakri. Sekarang? Bakar, Basir dan Basirah. Kadang-kadang aku malu pada diriku sendiri mengharapkan satu atau dua diantara mereka mati, agar kemiskinan ini ikut berkurang agak sedikit. Dan apa bila pikiran demikian berkundjung dibenakku, segera aku berdoa dan memohon kepada Tuhan jang pemurah agar mereka kelak tidak mengalami kesulitan seperti aku, ajahnja. 
Ah, dahulu mendjadi pegawai negeri adalah suatu penghormatan. Kebesaran malah. Dan aku harap anakkupun mendjadi pegawai. Itulah sebabnja mereka kuberi huruf pangkal B seperti namaku Bakir, agar sedikit atau banjak memperoleh tuahku dan bisa mendjadi pegawai pula. Kuharapkan dengan huruf pangkal itu mereka mendapatkan kedjajaan sebagaimana halku dahulu. Tapi beginilah keadaanja sekarang. 

Dahulu aku mempenjai rumah sendiri. Sekarang demikian pula. Tetapi beberapa kamar, itupun jang terbaik dan terdepan letaknja, terpaksa disewakan. Kini dipergunakan sebagai warung oleh satu keluarga Tionghoa. Mula-mula memang sedap rasanja menerima beberapa ribu rupiah uang kuntji. Tetapi setelah uangkuntji habis dimakan, jang tinggal hanja keributan jang tiada habis-habisnja. Tjuma dimalamhari kami dapat hidup tenang. Kami tinggal dibagian belakang, sebuah bilik, sebuah ruangtamu dimana anak-anak tidur ditikar dimalamhari, sebuah dapur dan kamarmandi jag harus dipergunakan bersama-sama dengan keluarga Tionghoa didepan. 

Kami ingin mendapat tempattinggal aman. Kami butuh uang untuk mengusir warung didepan. Anak-anak sudah besar dan hatus melandjutkan sekolahnja. Ah, dahulu sekolah hanja kebanggaan, kebesaran dan pangkal segala tjita kemuliaan. Sekarang hanja suatu kewadjiban jang biasa sadja. 

Betapa sempit rasa hidupku, kering, dan kelabu, ialah waktu suatu kali anak-anakku berlari-larian mendapatkan aku dengan paras berseri-seri. - Pak, pak, aku lulus! Bulan muka masukkan aku ke SMA. 

Itu beberapa bulan jang lalu. Kemudian disusul lagi oleh jang lain. 

- Pak, pak. Aku djuga lulus. 

- Anak-anakku tiada jang bodoh, kataku menjambut kegirangannja. 

- Bulan depan aku minta masuk SMP, sambung anak kedua si Bakar. 

Semua itupun harus kupikirkan. semua itupun harus mendapat sumberpenghasilan untuk memungkinkannja. Bila tidak, akan terabalah kemungkinan hidup hidup mereka kelak. Malam datang. Berkali-kali aku bangkit-tidur, tapi achirnja kurebahkan djuga tubuh - tuaku dirandjang. Disamping istriku tidur njenjak tetapi aku tetap gelisah. Banjak diantara kawan-kawan jang mudjur dalam penghidupannja terkenang olehku. Dan achirnja terniatlah dalam hati, seperti sudah djamak dimasa ini: KORUPSI. 

Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnja baik dimulut maupun dihati: koripsi, korupsi, korupsi. Achirnya teguhlah niatku untuk mengerdjakannja djuga. Berdegung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi. Tiap dinding dan tiap benda dikamar serasa merasa ikut menggigilkan kata jang itu-itu djuga: korupsi! korupsi! 

Ah, alangkah sakit hatiku ini - merasa harus meninggalkan sedjarah jang lama, jang telah kubangunkan dari hari kehari - untuk memasuki, untuk mereguk sedjarah baru, sedjarah kemegahan dimana tidak ada batas jang menghalangi. Alangkah sakitnja dihati harus mengutjapkan selamat tinggal kepada kebiasaan jang dilakukan tiap hari, tiap detik. 

Dalam keriuhan pemilihan, dalam kebalauan itu, akupun djatuh tertidur. 

(Berlanjut...) 

Pramoedya Ananta Toer

Tjetakan Kedua
N.V. Nusantara
Bukittinggi - Djakarta
1961 

Kopi Pahit Kehidupan

Malam masih dua setengah jam lagi berlalu sebelum pagi tersenyum. Orang-orang kampung masih terlelap, mungkin masing-masing mereka masih akan kebahagian dua buah mimpi lagi sebelum ayam jantan pertama memamerkan suaranya yang parau.
Di malam yang hening bening kesukaan maling dan hantu-hantu gentayangan tersebut terlihat dua orang laki-laki kekar sedang duduk berhadapan, mereka saling menatap mata manusia di hadapannya lekat-lekat, lalu seorang dari laki-laki itu berkata, “Keluarkan pisaumu Lukman! Asahlah. Malam ini semua harus selesai, segala hutang-piutang dan persoalan antara kita harus selesai.”
“Aku tidak perlu pisau. Pisau tidak menyelesaikan persoalan, Suman.” 
“Pisauku ini akan melukaimu, bahkan bukan tidak mungkin, ia akan membantuku menghilangkan nyawamu.” Ancam laki-laki yang bernama Suman.
“Aku tidak takut karena hari ini lidahku akan lebih tajam dari pisaumu.”
“Kalau begitu bersiaplah. Kau akan kutusuk.”
“Aku tidak takut. Tapi, sebelum kau tusukkan pisaumu itu ke jantungku dengarlah dulu kata-kataku.”
“Apa lagi yang ingin kau katakan?”
“Aku tidak meniduri istrimu. Kami hanya minum segelas kopi menunggu kau pulang.”
“Selama tujuh musim hujan kau hanya minum segelas kopi menunggu aku pulang bersama Marfuah? Omong kosong macam apa ini, ha!? Setiap malam selama tujuh musim hujan kau bertandang ke rumahku hanya untuk meminum segelas kopi? Apakah kau tidak mampu membeli kopi?”
“Aku mampu, tapi bagaimana mungkin aku bisa menikmati kopiku sementara Marfuah istrimu terus-menerus menitikkan air mata menunggu kepulanganmu?”
“Lalu kau menghiburnya dengan imbalan segelas kopi? Begitu!?”
“Tidak. Imbalannya bukan segelas kopi, karena aku mampu membeli segelas kopi.”
“lalu apa imbalannya, keparat?”
“Rasa puas.”
“Rasa puas!? Anjing! Jadi kau betul-betul meniduri istriku? Keparat kau!”
“Kau salah paham.”
“Persetan! Enyahlah ke neraka jahanam!” Lalu Suman menerjang ke arah Lukman, dihunjamkannya belati yang tergenggam di tangan kanannya ke dada Lukman. Lukman terkapar, darah mengalir, namun di bibirnya tersungging senyum tulus.
Sambil berkelonjotan, Lukman memanggil Suman, katanya, “Suman, sahabat masa kecilku. Aku tidak meniduri istrimu. Rasa puas yang kumaksud bukan rasa puas seperti yang ada di kepalamu. Aku menemani istrimu selama tujuh musim hujan menantikan kepulanganmu, sejak kutemani istrimu tidak lagi menangis melainkan menantikanmu dengan penuh pengharapan. Aku merasa puas karena bisa menghibur Marfuah, istrimu, jadi aku bisa menikmati kopiku tanpa rasa bersalah. Adalah sangat tidak manusiawi ketika aku membiarkan istrimu menangis sedangkan aku malah asyik menikmati kopi pahitku, kawan.”
Lukman berkelonjotan, darah terus mengalir dari dadanya, kemudian diam, tak bergerak, mati. Suman tak tahu harus berbuat apa, ia hanya tertawa sementara hatinya terluka. Suman menjadi gila, bila salah seorang dari kalian sempat bertemu dengan seorang pria kekar berambut gimbal dan sambil tertawa ia mengucapkan kata ”Mati” ia adalah Suman yang telah membunuh sahabat dari masa kecilnya hanya karena segelas kopi.

Nologaten, 25 February 2003.
Sembari menunggu sarapan pagi

Kontradiksi

Kontradiksi

Oleh Muhammad Ridwan
Penulis adalah mahasiswa Univ. Widya Gama Malang

Aku benci wanita paruh baya itu, aku tidak begitu mengenalnya, dan aku punya banyak alasan untuk itu. Kecilku dalam dekapan nenek, remaja kuhabiskan dengan ayah, dan kini aku jauh dari mereka karena waktuku habis untuk kuliah. 

Sering sih aku jengah dengan keluargaku yang tidak mengenal figur seorang ibu. Beda dengan kebanyakan teman kuliah yang selalu memilih hilir mudik jika liburan. Yah, itu tadi, ibu mereka kangen atau apalah. 

Yang pasti, aku tidak punya alasan untuk pulang. Sekadar merasakan kehidupan yang sama seperti dulu atau sebagai sasaran empuk tetanggaku yang gemar bernyanyi tentang cerita keluargaku yang tidak pernah kering.

Justru beranjak dewasa, sikapku labil seperti dua sisi koin. Ada saatnya aku merindukan sosok ibu, saat lainnya aku tidak butuh. Atau kadang-kadang aku rindu sekaligus benci pada seorang ibu. 

Aku rindu setiap kali perasaanku tercabik dengan rengekan teman-teman pada ibu mereka. Aku juga bisa benci jika dongeng tentang ibuku berdengung. Ayah selalu bilang tetangga kita suka mendongeng tentang ibuku. Namun jelas terlihat ayah berusaha menutupi kerapuhannya sendiri.

"Eh, apa bu Ningsih masih sama Roy si pengangguran itu?" celetuk pedagang sayur. 

"Mm, Ibu nggak tahu ya? Sekarang bu Ningsih itu ke mana-mana selalu diantar Yamin, karyawan barunya itu," balas tante Iin yang diamini tetangga lain yang juga asyik mengerumuni pedagang sayur langganan di kompleks perumahanku.

Aku selalu telat mendengar satu kisah baru yang utuh tentang ibuku. Mereka selalu rapi mengemasnya. Seringkali aku menguping penggalan cerita yang simpang siur dan ayahku selalu diam.

"Lan, kamu nggak usah mikirin omongan orang tentang ibumu. Yang penting kamu konsen belajar, sebentar lagi kan kamu kuliah." Ayah selalu mengakhiri debat dengan klise. 

Itu dulu. Sekarang aku seorang mahasiswa, siap sebagai lelaki dewasa. Siap melangkah skeptis pada sosok ibuku yang konon senang menjelma sebagai dewi Amor di mana-mana.

Seandainya keberanian ini masih ada, ingin rasanya kujelaskan pada Dewi, Mitha, Santi, atau cewek mana pun yang berusaha dekat denganku. Terlalu abstrak aku membedakan cinta itu sendiri. Aku kadang berpikir, apakah cewek-cewek itu sama seperti ibuku? 

"Lan, aku nggak malu dengan perasaan ini. Asal kamu tahu, sejak dulu aku sudah ada rasa." 
"Kamu mau nggak jadi pacarku?"
"Lan, entar malam nonton yuk!"
"Lan, kayaknya si Inka naksir berat sama kamu."

Kata mereka aku tampan, unik, dingin, dan kaku. Aneh juga mereka penasaran ingin menaklukkan hatiku. Ibuku aja nggak butuh cowok tampan, malah kebanyakan biasa, kalau bisa dibilang jelek dan rata-rata sebayaku. Sekali lagi, apakah ibuku atau cewek-cewek itu yang punya cinta?

Aku tidak mau dicap paranoid. Pelan-pelan aku mulai terbuka pada kaum hawa. Apalagi wanita paruh baya seperti ibu kosku, penjual es cendol, ibunya teman-temanku, hingga dosenku sendiri. 

Aku berharap mereka tidak seperti ibuku. Aku sudah kenyang dengan nasihat-nasihat ibu kosku, sering tertawa lepas dengan ibu-ibu penjual es cendol, hingga terlalu sering berdebat dengan bu Rini, dosenku sendiri. 

"Lan, gimana persiapan seminar minggu depan?" tanya bu Rini yang sibuk menata paper kuliahnya. Tinggal aku sendiri di kelasnya. 
"Semua sudah disiapin Bu. Tinggal penyebaran brosur ke teman-teman mahasiswa," jawabku santai.
"Kamu ada kuliah lagi ya?"
"Nggak ada Bu. Aku mau langsung pulang, capek."
"Kebetulan saya juga mau pulang. Sekalian saya antar."
"Tapi Ibu…"
"Sudah, nggak apa-apa. Ayo!" potong bu Rini sambil berlalu ke arah parkiran.
Ini kesekian kalinya aku pulang kuliah bareng bu Rini dengan Baleno-nya. Risih juga mendapati seluruh mata penghuni kampus terfokus padaku. Belum lagi godaan teman-teman sekosku.
"Enak ya jadi asistennya bu Rini. Ke mana-mana bawaannya mobil," goda Budi gembrot yang sibuk mencekoki mulutnya dengan gorengan. 

Rasa capekku melebihi godaan si gembrot. Anak-anak yang lain ikutan nimbrung di ruang tamu, selalu kompak menggodaku. 
"Apalagi bu Rini kan sudah lama menjanda."
"Masa sih janda? Yang benar aja Di!"
"Iya, ngapain sih aku bohong?"
"Benar itu Bul! Apalagi pak Ismet, dosen lapuk itu lho! Ke mana-mana ngekor melulu sama bu Rini."
"Sebenarnya bu Rini itu cakep lho. Coba kalian pelototin deh setiap kali bu Rini mencopot kacamatanya."

"Pantesan cewek-cewek di kampus pada alergi sama bu Rini. Takut kalah saingan kali yee!"
Kudengar tawa mereka tidak beraturan. Hatiku geli mendengar mereka debat hingga lupa dengan obyekan mereka. 

Harus kuakui, hubunganku dengan bu Rini semakin kental. Aku sampai lupa kalau beliau adalah dosenku. Apalagi beberapa kali kegiatan kampus yang melibatkan bu Rini, aku juga turut di dalamnya. Katanya sih abilitasku memadai untuk itu. 

Kini bu Rini sudah terbiasa blak-blakan atau tepatnya cablak tentang segala tetek bengek problem pribadinya. Mengajakku mampir ke rumahnya, sampai memaksaku memakai Baleno-nya. 

Satu persatu kepingan cerita teman-teman menggantung di benakku. Semakin jelas dan terarah. Namun itu tadi, aku belum bisa mendefinisikan makna cinta itu sendiri. Tapi yang pasti aku punya satu alasan dari seribu alasan ibuku yang gemar bertualang. Dan aku yakin sampai detik ini ayahku belum punya jawaban atas ambruknya keluarga kami. Semoga tetap begitu.

Kebersamaan ini membuatku semakin malas untuk pulang. Aku terlalu sibuk untuk belajar segala hal dari bu Rini. Mulai dari kuliah edukasi hingga kuliah, maaf, Kamasutra.

"Hidup ini sering mempermainkan kita Lan. Ada kalanya aku bermain dengan intuisi dalam menyikapinya, namun sering nggak berperasaan. Tapi bukan berarti aku nggak punya perasaan terhadapmu." Terlihat bu Rini mencoba membaca air mukaku, menunggu senyum tipisku mengembang untuk kesekian kali. Tak ada paksaan dalam hubungan ini. Aku hanya mahasiswa yang terlelap dalam pelukan dosennya. 

Dindingku jebol. Bu Rini begitu luwes menuntunku ke dalam muara cintanya. Semakin kuat aku berontak, semakin dalam aku terseret dalam permainan ini. Apakah ibuku mengalami hal yang sama? Karma, bukan, karma, bukan, karma, bukan…ah persetan!

Kalian boleh menuduhku munafik, bertopeng, atau apa saja untuk menghakimi sikapku yang apatis. Aku hanya berharap kalian yang broken home tak terjebak dalam situasi yang aku alami. Aku kuatir kalian akan menjilat kembali tuduhan di atas. Karena, sejatinya kebencian dan keinginan itu sangat tipis bedanya. 
Apakah cinta sekompleks itu? Terserah kalian.

Kisah Lembu Tak Berotak

Kisah Lembu Tak Berotak - Firdaus Siagian
Dikemas 11/04/2003 oleh Editor  


Pelacur itu terus menari dihadapanku. Meliuk-liuk bagai asap rokok tertiup semilir angin malam itu. Gerakannya merangsang birahiku. Bedebah! Aku tak dapat menghapuskan sosok dirinya dan mereka dari ingatanku. Bahkan aku tak dapat berpikir lagi bagai si lembu tak berotak yang dicocok hidungnya. Dungu!


* * * * *


Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana aku dapat terikat dengan para perumpuan itu, terutama Nanik, dan kehidupan yang aku jalani sekarang. Bukan, bukannya aku tidak tahu, tetapi aku lupa awal mula aku bertekuk lutut dihadapan semuanya itu.


Beberapa bulan yang lampau, entah kapan itu karena aku pun sudah lupa, aku datang ke kota besar ini untuk mengadu nasib peruntunganku. Aku terbuai dengan cerita-cerita orang-orang kampungku yang telah lebih dahulu merantau ke sini. Aku terbuai dengan mimpi-mimpi menjadi kaya, punya rumah mewah, mobil bagus dan pekerjaan yang selalu menuntutku berdasi dan berjas seperti mimpi-mimpi yang ditawarkan sinetron di televisi hitam putih milik Pak Somad, tetanggaku. Aku iri dengan mereka yang jika pulang kampung pada hari raya selalu memakai pakaian yang mewah-mewah dan selalu menghamburkan uang dari kocek mereka seakan-akan kocek mereka adalah telaga yang selalu membual dan tak pernah kering. 


Sungguh aku terpesona ketika melihat Nining teman SD-ku dahulu ketika pulang kampung memakai rentetan gelang emas, cincin emas di setiap jarinya dan kalung emas dengan bandul yang sangat mencolok mata. Mentereng sekali dia! Padahal dulu dia bukanlah siapa-siapa, bahkan makan sehari sekali pun keluarganya sangat bersyukur. Atau Rohman, temanku yang sering berenang bersama di kali, setiap pulang dia selalu membawa berkantong-kantong oleh-oleh buat sanak keluarganya di sini. Belum lagi celana jeans-nya yang mengkilap dan kemeja yang masih bau pabrik. Jujur, aku iri dengan mereka. Itulah yang semakin membulatkan tekadku untuk mengadu nasib di kota. Kalau aku kaya dan punya banyak uang seperti mereka, selain kehidupanku berubah, tentulah Emak yang sudah renta dan ringkih tidak usah lagi bekerja keras membanting tulang sekedar untuk hidup hari ini.
Tapi Emak selalu tidak pernah setuju dengan keinginanku pergi ke kota.


“Lebih baik engkau bantu Emak mengurusi sawah Bapakmu”, katanya suatu kali ketika aku minta ijin untuk merantau. Emak memang tidak pernah setuju. Emak tidak pernah mengerti bahwa kepergianku itu sebenarnya juga untuk kebaikannya. Emak selalu mengikatku dengan sawah secuil peninggalan Bapak. Kadang aku kesal juga, mengapa Bapak hanya mewariskan tanah itu pada kami ketika ia meninggal. Bahkan untuk hidup pun takkan mampu tanah itu membiayai kami.


“Tapi Mak, kalau saya berhasil di kota, Emak juga ‘kan yang senang,” aku berusaha membujuk meyakinkan Emak.


“Sudahlah, ngapain juga kamu di sana? Kita tak punya sanak di sana, Burhan. Lebih baik kamu di sini. Masih banyak yang dapat kamu kerjakan di kampung di sini”, jawab Emak acuh tak acuh. Dingin.


“Apa Emak tak bosan hidup begini terus? Miskin terus? Mak, sawah itu takkan pernah dapat menghidupi kita. Malah kita yang diperbudaknya! Malah kita yang justru disuruh menghidupinya!” 


“Tutup mulutmu! Andai Bapakmu masih hidup dan mendengar perkataanmu tadi, habis kau dirajamnya!” Emak terlalu mencintai sawah itu seperti ia mencintai Bapak. Sepertinya ia tak dapat lepas dari sawah itu. Mungkin kehangatannya seperti kehangatan Bapak.


Dan esok subuhnya aku meninggalkan Emak diam-diam pergi menuju kota.

*****

Kalau kupikir-pikir, kadang masalah ingin cepat kaya bukanlah salah satu alasan aku ngotot pergi ke kota. Ada satu daya tarik yang aku tak pernah tahu tentang kota itu. Dan sekarang aku telah menjejakkan kakiku di kota impianku. Begitu asing. Setelah capek berkeliling aku mampir ke sebuah kedai minuman. Disitulah aku bertemu Nanik.


“Halo Tampan, baru pertama kali ke sini, ya? Mukamu lugu. Baru dari kampung ya?” cerocosnya.

“Hmm,” jawabku dingin. Sekenanya.


“Aku Nanik. Rumahku di gang sebelah sana. Kalau kau tak punya tempat berteduh, mampirlah ke rumahku dan menginaplah disana. Tidurlah di tempatku.”


Tawarannya tanpa tedeng aling-aling. Awalnya aku tidak mempedulikannya. Tawarannya bagiku seperti sebuah basa-basi orang kota. Setelah itu, ia terus berceloteh tentang banyak hal. Tentang kota yang keras, tentang pemerintah yang tak becus, tentang lingkungannya yang kumuh, tentang dirinya yang pelacur, tentang banyak hal yang tidak sempat mencantol di kepalaku. Selama aku taruh pantat penatku di bangku kedai itu, ia terus berceloteh. Tak pernah berhenti, walaupun aku biarkan, tak peduli. Entah bagaimana sampai aku akhirnya tersihir olehnya. Dan malam itupun aku bermalam di rumahnya.

Malam kian merangsek kian larut, namun kami tak dapat tertidur. Entah dia yang menikmati aku atau aku pun menikmati dia, malam itu kami bergelut badan. Aroma wangi seronok dari tubuhnya mencocok hidungku bagaikan aku ini adalah lembu tak berotak. Aku biarkan dia bergerak di atas tubuhku. Menari. Menggelinjang. Setelah itu letih. Kosong. Aku tak dapat berpikir.

Semenjak saat itu aku tak pernah dapat lepas dari pelacur itu. Kini dia menjadi dewi pelindungku sekaligus penolongku. Dialah yang memberi aku makan, memberi tempat tinggal dan memberi aku pekerjaan. Dari Naniklah aku mengenal Tante Nora, Bu Tyas, Mbak Wati, Zus Maritje, para wanita yang haus akan belaian cinta dan nafsu. Entahlah aku yang diperbudak mereka ataukah aku juga turut menikmatinya, aku tak pernah tahu dan tak ingin tahu. Aku tak dapat berpikir.

Dan semuanya seperti siklus. Setiap akhir hari, setelah aku bergelut badan dengan para wanita kesepian itu, giliran Nanik dan aku. Selalu setiap hari. Seperti suatu siklus kehidupan yang tak pernah berhenti. Entah aku yang selama ini diperbudaknya atau aku yang juga turut menikmati siklus ini, aku tak pernah tahu, sebab aku selalu tak pernah dapat berpikir. Aku sudah seperti lembu tua yang tak berotak yang tak dapat berpikir, bahkan untuk hal yang sepele sekalipun.


Memang terkadang aku teringat akan Emak di kampung. Terbayang tubuh rapuhnya bergelut dengan lumpur bermandikan keringat akibat matahari. Dua tangan keriput yang mengayun pacul. Di pikiran Emak pastilah tentang panenan yang akan dijual kepada tengkulak di desa kami. Sedangkan aku di sini… Aku pun bergelut, namun bukan dengan lumpur. Aku pun bermandikan keringat, namun bukan karena matahari. Tanganku pun terayun, namun tak ada pacul di tanganku. Dan di pikiranku… ah tak ada yang dapat kupikirkan. Kepalaku benar-benar kosong tak berotak.


Semakin lama aku di kota ini, semakin sulit aku melepaskan diri dari cengkeramannya. Semakin sulit aku bebas dari Nanik, si pelacur dewi penolongku. Semakin sulit aku lepas dari pelukan para wanita yang haus nafsu itu. Semakin terlupakan pula mimpi membawa uang banyak ke kampung untuk membahagiakan Emak dan menunjukkan kepadanya bahwa aku mampu mewujudkan impianku semasa di desa.


*****


Bulan demi bulan, semakin aku seperti lembu tak berotak. Terutama di hadapan Nanik. Hari-hariku habis di ranjang. Terkadang terlintas di pikiranku, terlalu naif kalau aku bilang bahwa semua yang kulakukan hanyalah demi uang semata, walaupun sebenarnya aku pun tak dapat berpikir bila aku ditanya apakah aku menikmati setiap permainan ini. Semuanya benar-benar kosong.
Hingga suatu saat aku merasa tubuhku panas meradang. Demam yang tak kunjung berhenti menyinggahiku. Tulang-tulangku serasa menggelontor lepas dari persendian. Dokter yang aku datangi diam-diam tanpa sepengetahuan Nanik, aku takut dia tahu bahwa aku sedang sakit, memvonis bahwa aku mengidap penyakit tak tersembuhkan. Penyakit yang disebabkan virus busuk akibat pekerjaanku selama ini. 


Pekerjaan? Benarkah itu adalah pekerjaan? Bukankah aku pun turut menikmatinya juga? Bukankah aku pun turut bernafsu di dalamnya? Bukankah aku pun turut terpuaskan dalam permainan itu? Pekerjaan? Benarkah itu merupakan pekerjaan bagiku? 
Aaah, tolong jangan sekarang cecar aku dengan semua itu … Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir. Aku benar-benar seperti lembu tak berotak di hadapan para wanita itu. Bukankah itu adalah suatu pembelaan diri? Ah, jangan tanyai aku lagi dengan hal-hal itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.


*****


Malam ini, pelacur Nanik itu kembali menari di hadapanku. Aku selalu tahu kesudahan dari ritual ini. Ya, ritual, karena itulah yang kami lakukan saban malam. Menari, mendekatiku, mendaki, menjilat, menggelinjang, mendesah, meregang, semua… semua terjadwal dalam pikiranku.


Teringat perkataan dokter siang tadi. Entahlah dari siapa aku mendapat penyakit terkutuk ini. Entahkah dari Nanik, pelacur penolongku, ataukah dari para perempuan brengsek pengejar kehangatan itu. Brengsek? Brengsek, kau bilang? Bukankah engkau yang brengsek itu? Aah, jangan kejar aku lagi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sungguh-sungguh tak dapat berpikir.
Malam ini, ketika aku bergelut badan dengan Nanik, terbersit pikiran dalam benakku, apakah aku sedang mengembalikan virus itu kepadanya ataukah aku berikan cuma-cuma kepadanya? Besok pun hal yang sama akan aku perbuat dengan para perempuan pengejar nafsu itu.



Dipikiranku saat ini pun terlintas Emak, perempuan renta yang gigih bergelut dengan sawahnya. Terkadang terlintas dipikiranku Emak bergelut di sawah seperti sedang bergelut dengan Bapak. Bergelut untuk mengatasi hidup dengan perjuangan keras. Mungkin takkan pernah aku lihat lagi Emak kesayanganku itu, atau sawah kesayangannya, atau kampung tempat kenangan masa kecilku tersimpan.
Dan kini, di hadapanku, Nanik mulai merangseki tubuhku, mendaki, menjilat, mendesah, menggelinjang… kemudian semuanya kosong. Benar-benar kosong. Si lembu tak berotak ini tak dapat berpikir lagi. Untuk selamanya. Tiba-tiba semuanya kosong. Benar-benar kosong … .





Jatinangor, 20 Januari 2002, 23.14 



KIRIMI AKU BUNGA, MAWAR!

KIRIMI AKU BUNGA, MAWAR! 

Oleh: Wangsa Nestapa 

Catcher:
Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. 

"Kenangan tinggallah kenangan. Tak ada yang berarti selain duka dan air mata ataupun tawa bahagia. Kalau tidak kedua-duanya, bukan kenangan namanya." Aku bergumam dikelilingi cahaya yang berpijar mesra, menemaniku menuju suatu tempat terindah yang belum pernah kusinggahi. 

*** 
Beberapa saat lalu.... 
Hujan sempat membasahi tiap ruas jalan di sudut kota Serang. Banyak genangan air yang tercipta bersamanya, membuat jalan tampak begitu lengang dilalui kendaraan. Para pengemudi angkutan umum maupun pribadi, seolah begitu sungkan memalang-lintangkan kendaraannya. 

Lampu-lampu penghias jalan sudah mulai dinyalakan. Berwarna-warni. Lengkap dengan hiasan asmaul husna yang terpampang indah di bawahnya. Manis kelihatannya. 

Aku duduk seraya menikmati secangkir kopi hangat di bawah redupnya cahaya lampu kafé Meirasco. Sebuah kafé kecil yang terletak tak jauh dari perempatan jalan menuju Desa Ciloang. Meski kafé ini kecil, bukan berarti kecil pula pengunjungnya. Banyak muda-mudi yang datang kemari bersama pasangannya atau yang masih single sekedar duduk-duduk menikmati kehangatan suasana yang disajikan di tempat ini. Mulai dari anak SMP, SMA, hingga anak kuliahan, ramai singgah kemari. Walau terkadang, ada juga om-om dan tante-tante yang masih memiliki jiwa muda serta ingin kembali disebut remaja, mampir ke tempat ini. 

Letaknya yang strategis, musik yang melankolis, serta keapikan tatanan ruang kafé, sungguh terasa begitu harmonis dengan hati para pengunjung. Aku berbicara seperti ini, bukan karena aku dekat dengan si empunya tempat, melainkan sebagai sebuah ungkapan nurani yang menjalar dalam luar ruang sadar diriku. 

Hampir setiap hari, saat semburat jingga di langit menyambut pelita malam, aku berada di sini. Sekedar menikmati keestetisan kota, sekaligus menemui gadis pujaanku ditemani secangkir kopi panas yang biasa tersaji sebagai menu favoritku. Untuk yang lainnya…. tidak! Terlalu berat untuk isi kantongku. Meski sebenarnya, aku bisa mendapatkannya dengan cara gratisan. Karena pemilik kafé terlalu bersikap baik kepadaku. Namanya Mawar. Dia kekasihku. Meski begitu, harga diriku lebih mahal ketimbang secangkir kopi ataupun sajian lainnya untuk kuberikan kepada kekasihku. 

"Hai…!" Suara seseorang dari belakang membuatku panik seraya menepuk bahu kanan-kiriku dengan kedua tangannya. Aku menoleh, memelintirkan kepala untuk kemudian menemukan sosok yang sempat membuat jantungku blingsatan sebelumnya. 

"Oo… hei…!" teriakku histeris kala kulihat seorang cewek berdiri seraya tersenyum lebar ke arahku. Begitu cantik. Dengan rambut sanggul sederhana, ia terlihat sedikit sporty. Ditambah lagi kaos merah yang dikenakannya seperti menambah kecerahan di wajahnya. Ia mengecup pipi kananku. Emm.... 

"Sudah lama?" tanyanya kemudian. 

Aku mengarahkan pandangan mataku ke arahnya. "Terlalu sibuk ya? Sampai kedatangan gue aja lo enggak tahu?" balasku bertanya. 

Sesaat, ia balas menatapku. Dan tak lama kemudian ia pun mengangguk dengan kedua sudut bibir turun ke bawah. Aku pun tersenyum melihatnya. 

"Sorry deh…" kata Mawar. Aku cuma tertawa getir mendengar ia berkata seperti itu. 

"Ah, loe ini, War…. Mawar! Lagian, kenapa juga elo nanya kayak gitu. Lagak elo tuh, kayak enggak tahu gue aja," ujarku seraya menggeser letak cangkir kopi. "Gue kan tipe cowok yang enggak suka menghitung waktu. Apalagi untuk bertemu dengan sesuatu yang mampu membuat hati gue berlagak aneh. Seperti diri elo!" Kusentuh hidungnya yang bangir dengan jari telunjukku. Ia kembali tersenyum. Kali ini, dengan mengedikkan bahunya. 

Kuseruput kembali cairan hitam hangat dalam cangkir yang tergeletak di hadapanku. Hemmm… harum. Aroma kopi lekat betul tercium. Mawar kembali membantu dua orang kawannya melayani para pengunjung. Begitu bersemangat dia. Masih muda, namun bertekad bulat memiliki usaha dan penghasilan pribadi. Padahal aku tahu, nama kedua orang tuanya sering terpampang di media massa. 

Ayahnya adalah pemimpin di salah satu koran lokal daerah ini. Sedang ibunya, anggota calon legislatif daerah. Kalau bicara uang, jangan ditanya. Tapi ia keukeuh ingin bekerja. 

Setelah aku pikir, coba... mana ada anak muda mandiri seperti dia? Sebelumnya, aku enggak habis pikir kenapa dia berlagak lain dari anak-anak kaum borjuis lainnya. "Gue enggak mau jadi anak mami, Zar! Yang bentar-bentar minta ini, diturutin. Minta itu, dilakonin. Yang menentukan masa depan gue bukan bokap dan nyokap gue atau siapa pun, Zar! Melainkan Tuhan dan diri gue sendiri. Dan gue mesti mulai dari sekarang. Kalau enggak, kapan lagi coba? Gue enggak mau masa muda yang gue jalanin terbuang sia-sia dan enggak jelas juntrungannya!" Demikian yang Mawar utarakan kepadaku dahulu, saat kutanyakan alasannya bekerja setelah jam sekolah, di kafé ini. Mendengarnya, aku cuma tersenyum kagum padanya. Dan ternyata, hal itulah yang membuat aku merasa jatuh cinta pada dirinya. 

Awalnya, aku sempat down saat aku mulai meraba getaran cinta yang ada pada diri Mawar. Aku selalu merasa kalah dalam segala hal darinya. Namun, rupanya hal semacam ini yang membuat aku semakin jatuh terperosok ke dalam jurang asmara yang dimilikinya. "Tuhan, jadikan aku kekasihnya!" pekikku suatu ketika. 

Beruntung, Tuhan mau mendengarkan doa jalanan yang kudendangkan. Hingga kini, hubunganku dengannya tetap langgeng. Sengaja, aku tak menginginkan sedikit pun polemik tumbuh di antara kami yang bisa membuat hubungan kami enggak jelas nantinya. Kami ingin disebut pasangan harmonis. Lagi pula aku sadar, cewek kayak Mawar, enggak banyak di pasaran. Seribu banding satu statistiknya. Sedang kalau memakai bahasa istilah, layaknya sekuntum mawar yang tumbuh sembunyi di balik rimbunan batang perdu. Seperti itu kiranya. 

Mawar bilang, dia ingin mengajakku main ke rumah. Dikenalkan pada papa dan mamanya. Deg… mendengarnya, aku langsung merasa seperti ada sebilah balok yang baru saja menghantam tengkorak kepalaku. Aku langsung limbung dan merasa begitu sulit untuk mengeluarkan kata dari dalam mulut. Lidah ini mendadak terasa kelu. Di pikiranku terbersit kalau orang tua Mawar nantinya hanya akan menjadi onggokan ketakutan yang tak pernah kuharapkan sebelumnya. Aku tak ingin mereka kemudian berpikir agar Mawar melepaskan diri dari genggaman erat tanganku setelah mengetahui siapa diriku. Pemuda urakan. Sekolah bandel. 

Secara logika, aku sadar, sebagai seorang penulis cerita di majalah remaja, mustahil bisa menyaingi gaji mereka. Padahal aku yakin, orang tua sekarang kebanyakan menginginkan anaknya memiliki pendapatan minimal setara dengan mereka. Maksimal, ya lebih! Dan aku, ketimbang menulis, lebih banyak mainnya. Dalam jangka sebulan, paling banter aku jebol tiga tulisan. Sedang kalau lagi hoki bisa lima hingga enam tulisan yang gol. 

Namun, aku yakin, punya banyak uang bukanlah segala. Toh Mawar juga enggak begitu menghiraukan nasibku yang satu ini. Kalau cinta sudah bicara, jangan ditanya mau ke mana! Begitu pepatahnya. Hidup apa adanya, adalah terbaik buat kita. Aku mengangguk ke arah Mawar tanda setuju untuk dikenalkan kepada kedua orang tuanya. Kali nanti. 

Untuk kesekian kalinya, kembali kuteguk cairan kopi. Ah… terasa makin nikmat di tenggorokan. Kurogoh isi tas dan kukeluarkan majalah remaja terbaru yang sempat kubeli tadi sebelum aku singgah di tempat ini. Salah satu cerpennya memuat tulisanku. Judulnya, Kenanglah Diriku. Dan di akhir tulisan, tertera: 

Buat Mawar, aku minta bunga hasil tangkaranmu donk! 

Segera, setelah ia datang dan duduk bersanding di sisiku, kusodorkan karyaku tersebut. Dan dari bibir tipisnya, ia langsung menyeloroh, begitu selesai membaca tulisanku. 

"Iya deh…! Nanti Mawar kirimin karangan bunga duka cita langsung ke depan pintu kamar elo!" ucapnya diiringi tawa renyah dari dalam mulutnya. Aku diam mendengarnya. 

"Enggak kok, Zar! Cuma bercanda. Enggak apa-apa, kan?" lagaknya manja mencubit daguku. "Emangnya, elo mau mati? Enggak, kan!" lanjutnya masih tertawa. 

"Ssst…." Aku menutup bibirnya yang ternganga dengan salah satu jariku. Mataku bulat menatapnya. Mawar cuma terpana. 

"Gue keceplosan, Zar! Sorry…" Kulihat mata Mawar berkaca-kaca. Kelopak matanya tiba-tiba saja tergenang. Kupeluk ia erat. Ia balas mendekapku. Hangat. 

Malam semakin larut. Kafé pun telah tutup. Mawar mesti istirahat untuk persiapan kuliah besok. Aku mengantarnya sampai pintu kendaraan yang akan membawanya sampai depan rumahnya. Kulepas genggaman tangannya. Perlahan, aku mendesah mesra di dekat lubang telinganya. 

"Jangan lupakan bunga untukku, Sayang..." Ia tersenyum lebar menatapku. Kulambaikan tangan ke arahnya. Mobil pun hilang jauh ditelan tikungan depan. 


*** 
Tiba di Cilegon.... 
Kuhela nafasku sejenak. Sedikit kugeser kaca jendela mikrolet. Dan tiba-tiba saja, kendaraan yang aku tumpangi oleng. Lajunya semakin kencang. Dua orang wanita berpakaian seksi yang duduk di depanku berteriak-teriak tak karuan. Matanya awas menatap ke depan. Sementara yang satu, berpegangan lengan kawannya. "Awas, Pak Sopir!" teriak salah seorang bapak mengingatkan pak sopir. Dan, tak lama kemudian... Brak! Aku mendengar suara benda beradu keras. Seperti suara ledakan. Tubuhku terpelanting jauh ke samping, menghantam dinding pintu mikrolet. Gelap. Sayup-sayup terdengar ada orang berteriak, "Tabrakan euy!" Lalu hening. 

Aku bangkit dan menengadah. Kulihat tubuhku bersimbah darah. "Ucapan elo menjadi nyata Mawar!" batinku. Hingga akhirnya, cahaya-cahaya itu datang menggandengku. Aku juga mencium bau wangi yang menebar di sekelilingku. Cahaya itu hangat, kadang gelap, kadang terang. Seakan membentuk bola-bola cahaya dan kemudian membawa aku ke ketinggian. Tubuhku melayang. Makin lama, makin cepat. Seperti cahaya meteor yang sering kusaksikan bersama Mawar di tepi pantai Selat Sunda dahulu. Melesat ke ujung langit. Semakin tinggi. Lalu mengecil. Sunyi. Hilang ditelan kelam. Gelap. 

"Segera, aku tunggu karangan bungamu… kekasihku, Mawar!" aku kembali bergumam untuk kesekian kalinya dan... untuk terakhir kalinya. (Didedikasikan buat Echy di BBS. Janjinya sudah terlunasi bukan?) 

Wangsa Nestapa, lahir di Serang, 17 Agustus '85. Arbituren MAN 2 Serang 2002-2003. Kini tinggal di Cilegon. Membuka galeri Lukisan pasir GialloBluart di BBS. Tulisannya tersebar di media massa lokal : Fajar Banten dan Radar Banten. Kini aktif di Pustaka Loka Rumah Dunia (PRD) serta Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Serang. Cerpennya tergabung dalam buku Antologi cerpen "Kacamata Sidik". Adress : Jl. Ketumbar Blok B1 No.6 BBS II Ciwaduk Cilegon 42415 

e- mail : jibal_duncan2001@yahoo.com 



(AnekaYess: Edisi ke-7 Tahun 2004, 19 Maret - 1 April 2004) 

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam

Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam


Cerpen Wawan Susetya
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimbingan Sang Mursyid. 

Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai. 

Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (tajam penglihatan mata batinnya)? 

Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua. 

Karena ke-’alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu. 

Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banyak orang. 
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E….ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!

Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!" 

Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya. 

Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas. 

"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"

Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu. 

"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang. 

Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai. 

"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu. 

Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan. 

Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu. 

"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid kepada para muridnya. 

Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning. 

Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"

Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya." 

Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus meneruskan perjalanannya. ***
(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi) 
Tulungagung, 9 Oktober 2003


Kerbau Desa Peralihan

Imron Supriyadi 

Kerbau Desa Peralihan

Kerbau di Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Yang berbeda adalah kerbau itu tinggal di Dusun Peralihan, di kawasan di pinggir selat Sunda. Tentang kapan kerbau sampai di Desa Peralihan tak ada yang tahu persis. Ada yang bilang, kerbau Desa Peralihan asalnya dari negeri Belanda, dibawa Asisten Wedana asal Belanda waktu jaman penjajahan dulu. Namun ada juga pendapat yang yakin kerbau Desa Peralihan datang dari tempat yang tidak diketahui entah dimana, lalu dijadikan tumbal, sebagai sesaji pencegah banjir. Menurut mereka, yang yakin tadi, banjir yang menimpa Desa Peralihan adalah simbol kemarahan Dewa. 
Jadi sejak itu seekor kerbau itu berhasil menghentikan banjir, maka kerbau dipercaya sebagai dewa penolong. Warga pun menyembah-nyembah kerbau. Kalau kerbau berak, orang segera berbondong-bondong berebut memunguti tainya, dan menyimpan di dalam lemari es. Besok paginya, tai dingin itu dijadikan sesuhunan, sebagaimana mereka menyembah Tuhan. 
Tapi paska kemerdekaan, ada larangan memelihara kerbau dari lurah baru, anak sulung dari lurah lama, cucu dari lurah yang lebih lama. "Sejak hari ini saya melarang dengan keras pemeliharaan kerbau. Kerbau adalah binatang yang susah diajak kompromi. Binatang ini, tidak mengetahui tempat yang bersih karena mandinya sajapun pakai lumpur. Kalau kerbau terus dipelihara, jelas akan merusak citra Desa Peralihan di Kabupaten Sukamenang", begitulah instruksi Lurah Desa Peralihan di hadapan ribuan warga yang berdesak-desakan di Balai Desa.
"Sekarang yang mesti kita pelihara adalah upaya melestarikan lingkungan hijau. Oleh sebab itu saya minta semua warga Desa Peralihan segera mengganti kerbau dengan tanaman. Nah, supaya tidak simpang siur dan kacau balau, kita putuskan memelihara Pohon Wuringin," sambung Lurah Desa Peralihan semakin mantap. Ia goyangkan sedikit pecinya pakai kedua tangan, dan meneruskan pidato dengan sejarah Pohon Wuringin. 
"Pohon Wuringin menurut nenek moyang kita bisa membawa berkah di kemudian hari. Dulu sebelum kita lahir, pohon ini merupakan sesembahan para leluhur. Oleh sebab itu jika tidak memelihara pohon ini sama saja dengan membunuh warisan leluhur," jelas Lurah Desa Peralihan, seperti pakar sejarah dadakan.
Instruksi ini menimbulkan protes warga. Kelompok pertama menentang larangan pemeliharaan kerbau. "Ini tidak bisa diterima. Larangan Lurah jelas melanggar hak asasi pemeliharaan binatang," kata seorang warga. Sedang kelompok kedua sebenarnya setuju dengan larangan kerbau, dan masuk jugalah ke dalam kelompok ini orang-orang yang tidak perduli dengan larangan kerbau tapi tak setuju dengan tanaman tunggal Pohon Wuringin. "Sesembahan kita selama ini bukan hanya Pohon Wuringin saja. Ini jelas melanggar kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan." Ada juga kelompok ketiga, yang jumlahnya paling sedikit. Mereka tidak perduli larangan kerbau dan juga tidak perduli Pohon Wuringin, tapi menentang segala bentuk perintah pemerintah. "Ini otokratis, dan jelas tidak bisa kita diamkan."
Esoknya seorang pegiat kelompok ketiga mengumpulkan warga Desa Peralihan di pinggir sungai. "Pelarangan ini, jelas bentuk penindasan baru. Kita tidak bisa menerima begitu saja perintah Lurah . Kita harus melawannya", kata pegiat itu di hadapan sekitar seratus tujuh puluh warga dari segala kelompok yang memprotes instruksi lurah. 
Tapi muncul persoalan baru. Tidak semua yang protes berani terus terang. Warga Desa Peralihan makin terpecah-pecah lagi. Masing-masing kelompok terpilah-pilah menjadi dua sub kelompok. Di satu pihak adalah mereka yang takut sama ancaman Lurah, dan mereka pun berbondong-bondong menjual kerbau ke pasar dan membeli Pohon Wuringin di koperasi, yang dikelola keponakan Lurah Desa. Tetapi bagi warga yang berani protes --walau ada yang sebelumnya sama sekali tidak suka kerbau-- mereka tetap memelihara kerbau.
Bagaimanapun lima tahun kemudian, Lurah Desa Peralihan yang menang. Para warga yang protes, entah dari kelompok yang manapun, kalah total karena Lurah Desa memotong putus jalur-jalur pendukung pemeliharaan kerbau. Semua kubangan lumpur di Desa Peralihan ditimbun dengan kerikil, lantas padang-padang rumput dijaga Hansip Desa sepanjang dua puluh empat jam, dan tai kerbau langsung diamankan petugas kebersihan desa sehingga tidak sempat diambil dan disimpan di dalam lemari es. Memelihara kerbau jadi sulit, juga tak ada insentifnya.
Di malam hari upaya yang lebih tegas untuk mensukseskan penghentian pemeliharaan kerbau dilakukan Barisan Pemuda Peralihan, yang dipimpin adik bungsu Lurah Desa. Setiap malam anggota Barisan Pemuda Peralihan, dengan badge Pohon Wuringin di sebelah dada bagian kiri jaket hitamnya, berkeliling desa untuk razia kerbau. Pernah dalam satu malam enam belas orang pendukung pemeliharaan kerbau diciduk Barisan Pemuda Peralihan. 
Dua hari kemudian sembilan orang sudah kembali ke rumahnya dan langsung menjual kerbaunya, lantas tiga orang pindah ke desa tetangga, yang tidak perduli warganya mau memelihara kerbau, kucing, kelinci ataupun menanam Pohon Sawo, Durian atau Akasia. Satu orang, yaitu pegiat yang dulu sempat mengumpulkan para warga di tepi sungai, diajukan ke pengadilan karena waktu diambil Barisan Pemuda Peralihan ditemukan ada buku Madilog karangan Tan Malaka di balik bantalnya. Sedang sisa tiga lainnya tak ketahuan nasibnya. Ada yang bilang mereka pindah ke kabupaten lain, tapi ada juga kabar-kabar kalau mereka sudah dihabisi Barisan Pemuda Peralihan. 
Kerbau memang benar-benar berhasil dilibas Lurah Desa Peralihan. Pelan-pelan kerbau hilang dari Desa Peralihan. Di sisi lain Pohon Wuringin mendapat dukungan luar biasa. Lurah Desa Peralihan mendirikan layanan pemotongan ranting, jadi warga tinggal melaporkan ke Balai Desa kalau ranting Pohon Wuringinnya sudah terlalu melebar kemana-mana. Pupuk urea dibagikan secara gratis tanpa batasan. Juga ada kompetisi Pohon Wuringin setiap tahun dan pemenangnya mendapat piala miniatur Pohon Wuringin yang terbuat dari tembaga. Bahkan setiap pidato Lurah Desa Peralihan selalu dimulai dan diakhiri dengan 'Suburlah Pohon Wuringin, Suburlah Desa Peralihan.'' 
Dan dalam setiap acara apapun, baik rapat umum di Balai Desa, pidato kelompok PKK, maupun membuka pertandingan tarik tambang di lapangan sepakbola, Lurah Desa Peralihan selalu mengumbar senyum kemenangan. Ia merasa menjadi orang yang paling berhasil merubah kepercayaan Desa Peralihan. Kerbau yang sebelumnya menjadi sesembahan warga Desa Peralihan sudah menjadi sejarah. Semakin banyak saja orang yang mengagung-agungkan Pohon Wuringin. Dukungan Lurah Desa Peralihan makin bertambah. Sudah tiga kali Lurah Desa Peralihan mendapat piagam penghargaan sebagai pemimpin teladan. 
Namun memasuki tahun ketujuh, kekuasaan Lurah Desa Peralihan mulai tergerogoti. Krisis keuangan pelan-pelan menohok kas Desa Peralihan dan Lurah tak bisa lagi meneruskan kebijakan pembagian pupuk tanpa batas, sementara larangan pemotongan ranting sudah dihapuskan, dan piala tahunan ditiadakan. Pohon Wuringin mulai gangguan karena daunnya, yang sudah tidak disapu oleh dinas kebersihan desa, menutupi semua jalanan desa. Menantu Lurah Desa pernah pula terpleset karena menginjak daun Wuringin yang basah dan dirawat di Rumah Sakit sampai satu minggu lebih karena geger otak. Pohon Wuringin pelan-pelan menggeser jadi bencana. 
Pada saat bersamaan tak ada lagi kiriman batu kerikil sehingga kubangan mulai muncul, dan hansip desa tidak bisa lagi menjaga padang rumput sampai dua puluh empat jam karena tidak dapat uang kopi tambahan. Kerbau-kerbau dari desa tetangga yang awalnya meraja-rela di padang-padang rumput Desa Peralihan, dan karena kerbau itu berak dimana-mana, mulailah ada orang yang mengumpulkan tainya untuk disimpan di lemari es, dan dijadikan sesuhunan. Mula-mula secara kecil-kecilan dan belakangan terang-terangan.
Karena insentif tai kerbau berkembang lagi, maka orang Desa Peralihan kembali bersemangat memelihara kerbau. Harga kerbau sempat meningkat satu setengah kali lipat selama satu bulan sebelum pemerintah kabupaten mengirimkan stok khusus ke Desa Peralihan untuk mengendalikan harga kerbau di tingkat kabupaten. Lurah Desa yang sempat tak perduli sama perdagangan kerbau akhirnya keluar juga dari kantornya untuk menerima kiriman kerbau dari Bupati. "Saudara-saudara, saya tidak suka kerbau tapi kalau aspirasi rakyat memang kerbau, saya siap mendukung sepenuhnya,'' kata Lurah Desa Peralihan. Dia goyangkan pecinya pakai tangan kirinya dan dia lanjutkan dengan pidato tentang ramalan banjir dan kerbau.
"Dinas Metereologi minggu lalu menyerahkan prakiraan banjir badang yang datang setiap delapan tahun sekali. Kita harus bersiap-siap menghadapinya, dan diperkirakan bulan depan musim hujan mulai turun," jelasnya mantap. Dihitungnya kerbau kiriman Bupati, dan ditanda-tanganinya tanda terima. "Lima ratus ekor. Komisi satu ekor dua ratus ribu perak... sudah cukuplah untuk ganti mobil baru,'' gumamnya sambil berbalik masuk ke kantor. 
Kerbau Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Lurah Desa Peralihan juga sama dengan lurah-lurah lainnya. Tetapi, kerbau tetap saja kerbau, lurah tetap saja lurah. Keduanya tak bisa berbuat banyak. Hanya sekedar simbol keagungan yang di-sembah-sembah. Dan ketika warga Desa Peralihan terhempas dengan masa paceklik, kerbau --dan juga lurah-- tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengoek layaknya kerbau yang ada di kandang.
Orang-orang pun kembali mengingat masa kejayaan Lurah Desa Peralihan. Kerbau tetap saja Kerbau. Di Desa Peralihan, sepertinya kerbau apapun --termasuk kerbau wasiat yang dulu katanya pernah menangkal banjir-- tidak bisa berbuat banyak. Sementara Pohon Wuringin yang mulai musnah menjalar kembali ke perut bumi, namun setiap waktu akan bersemi kembali. Dan kebesaran tak banyak bisa berbuat. Sebab kewibawaan atau kharisma kerbau --dan lurah-- cuma warisan nenek moyang.

Demang L. Daun, Palembang, 1999-2002

Kepada Perempuanku

Kepada Perempuanku -- Imron Supriyadi
Dikemas 21/12/2003 oleh Editor  
Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur.

Pagi menjelang fajar, aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek dan sedikit singkong rebus sudah masuk ke dalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengap. Suhu udara, suhu politik, dan etika kebudayaan di kampungku tak membuatku lebih tenang dari alam rahim ibuku. Aku harus pergi!

"Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", tanya Er yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Er adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin.

"Lebih cepat lebih baik. Sebab, sebentar lagi, orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu kenapa aku harus pergi ke hutan".

Er masih terpaku. 

"Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi". 

"Lalu, bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba Tri menyela pembicaraan aku dan Er. Tri adalah perempuan keduaku yang belum sempat kunikahi lantaran sampai tahun ini orangtuanya masih bersikeras untuk menyuap seseorang agar Tri menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak desakan menikah sebelum Tri mengharamkan suap.

"Kau tidak sendirian di sini, Tri. Banyak orang yang akan melindungimu. Masih ada Mang Arman, Mang Bidin, dan Wak Ujang. Semua akan menjagamu".

"Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", ibuku tak mau ketingalan melepas kepergianku. Ibuku adalah perempuan yang kuagungkan di alam raya ini. Sebab, tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir.

"Ini sudah menjadi tekadku, Bu," jawabku meyakinkan ketiga perempuan itu.

"Tapi, hutan bukan duniamu?!" 

"Tidak, Tri! Semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup di mana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur".

"Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu untuk menghindar dari kekalahan?"

"Cukup, Tri! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini yang tak mau lagi peduli bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk satu perubahan."

Ketiga perempuan itu hanya terpaku.

"Bu, dan kepada kalian berdua, Tri dan Er, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, aku akan kembali".

Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan lagi pusing dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam. 

Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening. Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum.

Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan.

Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali hanya ocehan burung yang terdengar samar. Seekor elang terlihat sedang mengejar induk pipit. 

Wush! elang berhasil menyambar burung induk pipit. Tak ada perlawanan, karena pipit hanya sendirian. Dan elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor pipit di sarangnya pasti masih menunggu induknya pulang dengan membawa makanan. Sayang, anak-anak pipit harus kehilangan induknya hanya lantaran seekor elang yang sewenang-wenang memangsa mahluk yang lemah.

Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku. Kemarin, Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, harus menginap di rumah sakit akibat dikeroyok lima oknum polisi karena becaknya tidak memiliki SIM--sesuai dengan Perda Nomor 39 Tahun 2002. Belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebusnya dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya kini harus mencari hidup sendiri sambil menunggu pembebasan Mang Likin.

Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada di atas kepala. Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan di sana. Crus! crus! beberapa kali aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku mempercepat langkah, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Paling tidak, aku bisa segera membasahi badan dan sesaat kemudian aku akan menemukan kesegaran.

Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Lama aku menunggu buaya itu pergi. Tapi, hampir tiga puluh menit, buaya itu tetap saja ada di situ. Sementara, hari mulai senja. Aku masih bertanya, apa gerangan yang hendak dilakukannya.

Menjelang Magrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya. Sepertinya, buaya hendak mencari mangsa. Sementara ratusan rusa tak begitu peduli terhadap bahaya yang mengancam. Byur! pyak! pyak! slep! gerakan cepat buaya tak diduga rusa. Seekor rusa harus menjadi korban keganasannya. Ratusan rusa lain terpaku. Tak ada perlawanan. Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air telah memunculkan ketakutan di setiap rusa.

Aku juga terpaku. 

Aku masih berpikir, apakah aku harus berenang menyeberangi sungai atau tetap di lereng ini. Malam mulai menjelang. Suara binatang terdengar bersahut-sahutan. Sementara, mataku sudah berat. Setelah seharian berjalan, aku belum sedetik pun memejamklan mata. Rasa kantuk tak tertahan. Aku terlelap. 

Sebuah auman singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, singa sudah mengintaiku. Aku masuk dalam semak-semak. Aku masih mengintip dari mana singa itu keluar. Auww! gludug! gludug! auwww! tiba-tiba seekor singa berguling-guling. Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, ia terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Hampir dua jam lebih, singa itu terguling-guling tak jauh dari tempatku bersembunyi. 

Lambat laun, singa melemah. Ia terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, ia tak bergerak lagi. Sementara, burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku coba mendekat. Sebuah luka menganga di lehernya. Sementara, dari dalam telinganya, jutaan semut merah sedang berpesta pora seakan mereka sedang dalam kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. 

Si raja hutan itu kini menjadi santapan burung pemakan bangkai, setelah sebelumnya dikeroyok oleh jutaan semut merah. Kenyataan ini jauh berbeda dengan nasib burung pipit, rusa dan Mang Likin yang menyerah begitu saja. Koloni semut kemudian membawaku satu kesimpulan, tak kata kalah jika orang-orang di kampungku bersatu melawan para penguasa desa sebagaimana semut membunuh raja hutan.

Hari itu juga aku pulang. Tak ada kata lain, aku harus pulang. Akan kukabarkan kepada orang kampung bahwa semut telah mengajariku untuk melawan. Jangankan elang dan buaya, seekor singa pun mampu mereka kalahkan.

Malam pertemuanku dengan tiga perempuanku menjadi bagian kebahagiaan tersendiri setelah dua hari berpisah. Dan, malam itu kukatakan pada para perempuanku.

"Ibu, Tri dan kau, Er, sampaikan kepada semua perempuan di desa ini, jangan pernah berhenti untuk sebuah perubahan. Sebab, kekalahan hari ini, bukan akhir dari perjuangan yang akan lebih panjang lagi".

"Siapa yang bakal membantu kita?"

"Ini," kataku menunjuk pada perut Er yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi.

Ibu, Tri dan Er terpaku.

Ada kata tanya di matanya.

"Dari janin-janin yang bersih inilah, bangsa ini akan berubah. Dan, kepada kalian perempuanku, sampaikan pesan ini kepada perempuan lain, janin inilah yang akan tumbuh dewasa, untuk melibas kesewenang-wenangan sebuah otoritas negara".

Sepertiga malam terakhir aku terbangun. Kutemui ibuku dan kedua perempuanku masih berzikir. Tak ada suara lain yang kudengar, kecuali keinginan ibu agar aku segera menikah. Mungkin ibu berharap agar isteriku segera melahirkan jabang bayi. Tunggu saja ibu, aku masih berjuang. **

Demang Lebar Daun-Palembang, 26 Mei 2003


Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer