Dinding-dinding itu terasa hampa. Makin hari warnanya semakin kelabu, seperti jiwanya ketika itu. Dinding-dinding itu tetap membisu padanya, seakan mati. Ya, seakan mati. Padahal minggu lalu mereka masih berbicang. Pagi, siang, dan sore mereka terus berdiskusi tentang politik. Tentang budaya. Tentang seni. Tentang filsafat. Kemunafikan, kebencian, dan kesesatan, mereka jadikan lelucon-lelucon segar. Tak penting, sekedar untuk tertawa. Tetapi, malam hari mereka tak pernah sempat berbincang.
"Banyak yang harus dikerjakan", katanya pada dinding."Aku harus menyelesaikan komposisiku. Konser diadakan empat bulan lagi. Tentunya aku harus memberi waktu pada para pemain untuk latihan. Kamu mau mengerti kan?"
Tiap hari berlalu seperti itu. Tidak pernah tidak. Tapi seminggu belakangan ini lain, sama sekali lain. Perbincangan yang menyenangkan itu hilang, dinding membisu, dan semangatnya menjadi tipis. Dinding-dinding itu tak pernah menyapanya lagi, tak pernah memanggilnya lagi. Lalu entah kenapa, inspirasinya tak lagi bisa mengalir. Rasa lapar, haus, dan kantuk juga tak lagi bisa dirasakannya. Yang diinginkannya hanya pembicaraan dengan dinding-dinding! Teman-temannya tak berhasil membujuknya, karena ia terus termenung. Apa boleh buat, akhirnya tak seorangpun mendekatinya. Dan ia terus sendiri. Sendiri bersama dinding-dinding yang membisu. Hidupnya seakan hilang, pikirannya mengambang. Dunia luar dinding sudah jelas tertutup baginya.