Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau itu--oleh Jafar G. Bua
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor
KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.
Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.
Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.
“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.
Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”
Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.
“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.
“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.
Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.
“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.
“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.
Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”
Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.
Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”
Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.
***