Selasa, 17 Mei 2011
Wawancara Seputar Dunia Kesehatan
Pembicara : Selamat Siang, Bu !!!
Narasumber : Selamat Siang …
Pembicara : Ma’af saya telah mengganggu, bolehkah kami meminta waktu Ibu sebentar saja !!!!
Narasumber : Ya, tidak kenapa. Apa yang bisa saya bantu ???
Pembicara : Saya mau bertanya kepada Ibu tentang sekitar persalinan.
Sudah berapa lama Ibu membuka klinik bersalin ini ??
Narasumber : Saya membuka klinik ini kurang lebih sudah 7 tahun.
Pembicara : Selain melayani Ibu hamil baik dari permulaan hingga melahirkan/persalinan dan pemasangan KB, apalagi yang Ibu layani disini
Narasumber : ya, selain melayani Ibu hamil baik dari permulaan hingga melahirkan/persalinan dan pemasangan KB, saya juga melayani pengobatan umum. Contohnya penyakit ringan seperti flu, batuk, panas, saya menyediakan obat untuk penyakit tersebut. Tetapi untuk penyakit berat saya tidak melayani karena sudah ada dokter yang menangani penyakit tersebut.
Pembicara : Sudah berapa pasienkah yang ibu tangani untuk persalinan di Klinik ini ?
Narasumber : Sudah banyak ya, kurang lebih ada sekitar 200 pasien.
Pembicara : Bagaimana bila ada seorang pasien yang ingin bersalin di klinik ini tetapi dia belum mempunyai biaya, apakah ibu akan membantu dia untuk bersalin disini ?
Narasumber : ya, saya akan membantunya. Karena yang terpenting bagi saya adalah keselamatan si ibu dan si bayi. Dan untuk masalah administrasi itu bisa kita musyawarahkan.
Pembicara : Sungguh mulia sekali hati Ibu. Jiwa sosial ibu sangat tinggi
Narasumber : Terima kasih
Pembicara : Ibu, terima kasih atas waktu yang ibu luangkan kepada kami. Kami mendo’akan semoga klinik Ibu terus maju dan lancar.
Narasumber : Amin ya robbal ‘alamin …
Sabtu, 30 April 2011
Bisa Menjadi Pengusaha Sukses Sebelum Tamat Kuliah
Bisa Menjadi Pengusaha Sukses Sebelum Tamat Kuliah
Menjadi pengusaha siapa yang tak ingin? Apalagi jika kita bisa menjadi pengusaha sukses, senang rasanya. Kapan bisa jadi pengusaha? Apa harus selesai kuliah, dapat kerja bagus, punya relasi banyak dan dikasih modal uang cukup besar? Teorinya sih begitu!
Kalau begitu, tak punya pengalaman kerja, tak punya relasi dan tak punyak banyak uang, tak bisa jadi pengusaha? Jika belum selesai kuliah, berarti kita belum bisa jadi pengusaha?
Sebuah teori yang berat, sulit dan susah, jika begitu.Kesimpulannya, mahasiswa tak bisa jadi pengusaha sebelum tamat kuliah.
WWW DOT (Our selves ) DOT COM = The Gold Solution To Get What We Want to
Menjadi pengusaha siapa yang tak ingin? Apalagi jika kita bisa menjadi pengusaha sukses, senang rasanya. Kapan bisa jadi pengusaha? Apa harus selesai kuliah, dapat kerja bagus, punya relasi banyak dan dikasih modal uang cukup besar? Teorinya sih begitu!
Kalau begitu, tak punya pengalaman kerja, tak punya relasi dan tak punyak banyak uang, tak bisa jadi pengusaha? Jika belum selesai kuliah, berarti kita belum bisa jadi pengusaha?
Sebuah teori yang berat, sulit dan susah, jika begitu.Kesimpulannya, mahasiswa tak bisa jadi pengusaha sebelum tamat kuliah.
WWW DOT (Our selves ) DOT COM = The Gold Solution To Get What We Want to
Sebelum Terlambat, Jalankan Wirausaha Walaupun Anda Seorang Karyawan
Anggapan beberapa orang bahwa lebih nyaman bekerja sebagai karyawan. Tidak pusing menawarkan barang (promo), tidak khawatir uang tidak ada, jaminan makan siang, uang ini uang itu terkadang ada.
Tetapi tidakkah terpikir oleh anda bahwa suatu saat anda pasti mengalami dua kemungkinan :
Tetapi tidakkah terpikir oleh anda bahwa suatu saat anda pasti mengalami dua kemungkinan :
- Pensiun. Kalau sudah pensiun masih mengandalkan uang jaminan hari tua (JHT) ? Ini tidak menjamin, nilai nominal uang JHT anda tergerus inflasi yang rata-rata 9 % per tahun. Berarti anda memasuki masa sulit setelah masa nyaman anda.
- PHK. Ini lebih parah, walaupun anda mendapat uang pesangon ratusan juta sekalipun uang pesangon anda terus tergerus habis karena konsumsi dan inflasi. Biasanya anda idak akan siap menghadapi situasi ini. Kalau PHK anda mengundang polemik pasti yang terpikir adalah demo karyawan dan konsumsi kebutuhan sehari-hari. Begitupun jika PHK tidak ada polemik maka yang terpikirkan adalah mencari lowongan kerja dan konsumsi kebutuhan sehari-hari.
Dinner Pertama
Dinner Pertama - Agustinus Wahyono
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor
Semangkuk bulan tergeletak di jendela apartemenmu. Pecahan-pecahan pelangi elektrik menggerayangi dinding-dinding gedung jangkung yang bertaburan di kotamu. Semenjak aku memasuki ruang apartemenmu, kamu telah membuat aku terpesona. Tata interior apartemenmu yang artistik, serba biru keunguan. Lampu tempel yang redup. Dadaku ikut berdegup. Hiasan dinding karyamu sendiri. Lukisan-lukisan dan foto-foto hasil jepretanmu. Atmosfir ruangan yang sejuk dan wangi. Mungkin memang telah kamu persiapkan sebelum kedatanganku tadi.
“Inilah tempat merenungku yang pernah aku ceritakan dulu pada Abang. Silakan Abang duduk. Abang mau minum apa?”
“Seperti dalam perbincangan kita, Say… aku minta juice jambu monyet saja.”
Kamu tersenyum. Senyummu begitu membuatku tersenyum. Alangkah anggunnya kamu, Say. Baru kali ini aku melihat keanggunanmu yang nyata. Sehari-hari biasanya kamu hanya berjins dekil, kaos oblong dan hem berukuran luas. Dandanan khas seniwati. Tidak neko-neko seperti peragawati atau yang merasa diri peragawati. Ya, malam ini penampilanmu pun anggun. Baju panjang biru laut berbahan lembut dengan dua tali di pundak kanan kiri. Rambut panjangmu lepas, lentur alami.
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor
Semangkuk bulan tergeletak di jendela apartemenmu. Pecahan-pecahan pelangi elektrik menggerayangi dinding-dinding gedung jangkung yang bertaburan di kotamu. Semenjak aku memasuki ruang apartemenmu, kamu telah membuat aku terpesona. Tata interior apartemenmu yang artistik, serba biru keunguan. Lampu tempel yang redup. Dadaku ikut berdegup. Hiasan dinding karyamu sendiri. Lukisan-lukisan dan foto-foto hasil jepretanmu. Atmosfir ruangan yang sejuk dan wangi. Mungkin memang telah kamu persiapkan sebelum kedatanganku tadi.
“Inilah tempat merenungku yang pernah aku ceritakan dulu pada Abang. Silakan Abang duduk. Abang mau minum apa?”
“Seperti dalam perbincangan kita, Say… aku minta juice jambu monyet saja.”
Kamu tersenyum. Senyummu begitu membuatku tersenyum. Alangkah anggunnya kamu, Say. Baru kali ini aku melihat keanggunanmu yang nyata. Sehari-hari biasanya kamu hanya berjins dekil, kaos oblong dan hem berukuran luas. Dandanan khas seniwati. Tidak neko-neko seperti peragawati atau yang merasa diri peragawati. Ya, malam ini penampilanmu pun anggun. Baju panjang biru laut berbahan lembut dengan dua tali di pundak kanan kiri. Rambut panjangmu lepas, lentur alami.
Datangnya Dan Perginya
Datangnya Dan Perginya
Ketika surat pertama Masri datang, melonjaklah keinginan hendak menemuinya di tahun yang lalu. Surat itu diciumnya berulang-ulang dan disimpannya di antara lembaran Quran. Setiap hari ia membaca Quran itu, setiap itu pula ia menciumnya. Dan sebuah kalimat yang disenanginya selalu saja mengikat matanya. Meski kalimat itu sudah lengket dalam ingatan masih juga dibacanya lagi.
"Datanglah, Ayah. Hati kami rasa terbakar karena rindu. Tidakkah Ayah ingin berjumpa dengan Arni, menantu Ayah? Dan dengan kedua cucu Ayah, Masra dan Irma?"
"Ya, tentu, Anakku. Tentu. Kenapa tidak. Aku sudah tua. Sebelum aku mati, aku mesti bertemu dengan kau semua," kata orang tua itu dalam hati. Lalu diraba-raba dadanya sebelah kanan. Mencari-cari sesuatu di dalam saku-dalam pada jasnya. Dan kemudian tangannya itu hilang di balik lipatan jas. Sebentar saja. Keluar lagi bersama selembar amplop yang tepinya telah lusuh. Dibukanya tutup amplop itu dan dari dalam dikeluarkannya sebuah foto sebesar poskar. Dan matanya menatap bulat. Serta di bibirnya yang mencekung ke dalam tergores senyum kepuasan.
"Pakai kumis kau sekarang, Masri. Sudah berubah benar. Berbahagia kau dengan Arni, ya? Sudah dua anakmu sekarang Ayah juga turut berbahagia bersamamu, Nak. Selamanya ayahmu merasa bahagia melihat rumah tangga yang berbahagia. Apalagi engkau, Anakku." Lalu poskar itu dimasukkannya kembali ke dalam amplopnya. Baru setengah, ia keluarkan lagi. Dibawanya ke bibirnya. Tak sampai. Ia ingat ada orang-orang di sekelilingnya. Dan poskar itu dimasukkannya lagi ke dalam amplop. Disimpannya kembali ke dalam saku jasnya. Ia bersandar selelanya. Dan kenangannya melayang ke masa yang lalu.
Ketika surat pertama Masri datang, melonjaklah keinginan hendak menemuinya di tahun yang lalu. Surat itu diciumnya berulang-ulang dan disimpannya di antara lembaran Quran. Setiap hari ia membaca Quran itu, setiap itu pula ia menciumnya. Dan sebuah kalimat yang disenanginya selalu saja mengikat matanya. Meski kalimat itu sudah lengket dalam ingatan masih juga dibacanya lagi.
"Datanglah, Ayah. Hati kami rasa terbakar karena rindu. Tidakkah Ayah ingin berjumpa dengan Arni, menantu Ayah? Dan dengan kedua cucu Ayah, Masra dan Irma?"
"Ya, tentu, Anakku. Tentu. Kenapa tidak. Aku sudah tua. Sebelum aku mati, aku mesti bertemu dengan kau semua," kata orang tua itu dalam hati. Lalu diraba-raba dadanya sebelah kanan. Mencari-cari sesuatu di dalam saku-dalam pada jasnya. Dan kemudian tangannya itu hilang di balik lipatan jas. Sebentar saja. Keluar lagi bersama selembar amplop yang tepinya telah lusuh. Dibukanya tutup amplop itu dan dari dalam dikeluarkannya sebuah foto sebesar poskar. Dan matanya menatap bulat. Serta di bibirnya yang mencekung ke dalam tergores senyum kepuasan.
"Pakai kumis kau sekarang, Masri. Sudah berubah benar. Berbahagia kau dengan Arni, ya? Sudah dua anakmu sekarang Ayah juga turut berbahagia bersamamu, Nak. Selamanya ayahmu merasa bahagia melihat rumah tangga yang berbahagia. Apalagi engkau, Anakku." Lalu poskar itu dimasukkannya kembali ke dalam amplopnya. Baru setengah, ia keluarkan lagi. Dibawanya ke bibirnya. Tak sampai. Ia ingat ada orang-orang di sekelilingnya. Dan poskar itu dimasukkannya lagi ke dalam amplop. Disimpannya kembali ke dalam saku jasnya. Ia bersandar selelanya. Dan kenangannya melayang ke masa yang lalu.
Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau
Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau itu--oleh Jafar G. Bua
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor
KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.
Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.
Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.
“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.
Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”
Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.
“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.
“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.
Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.
“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.
“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.
Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”
Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.
Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”
Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.
***
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor
KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.
Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.
Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.
“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.
Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”
Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.
“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.
“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.
Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.
“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.
“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.
Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”
Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.
Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”
Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.
***
Snow White & Seven Dwarfs
Narrator : Five thousand years ago, at an unknown place, there lived a beautiful princess named Snow White. Her skin was as white as snow, her lips were gorgeous, and her hair was shiny. She was an orphan, she lived at the palace belongs to her step-mother. That arrogant queen has an unimportant habit, which was she always asking her faithful Fortune-Teller, who was the most beautiful woman in the universe, and the answer was always the queen.
One day, the queen asking the same question to her Fortune-Teller again.
The Queen : Hey, my faithful Fortune-Teller! Who is the most beautiful woman in the universe? (With an arrogant pride)
Fortune-Teller : My queen, the most beautiful woman in the universe is Snow White. Sorry, but now you are not more beautiful than Snow White. (With flat expression)
The Queen : Snow White?! It is impossible! My lovely cat is more beautiful than her! Don’t be joking! (Surprised and angry)
Fortune-Teller : My queen, I am not joking. If you did not believe it, you could take a look on the mirror in your palace together with Snow White. Definitely, the one who is more beautiful will be…
The Queen : Enough! I don’t want to hear it! Since now, you are expelled! (Screaming and pointing her finger to Fortune-Teller, then stand up and leaving the Fortune-Teller’s house)
Fortune-Teller : My queen, I did not mean to…
Narrator : The queen left the Fortune-Teller’s house angrily. She really did not think there was the one who was more beautiful than her. Moreover, she was Snow White, her step-child. She could not accept this reality. When she arrived at her palace…
The Queen : It was impossible, really impossible! This was fault. Snow White, the child who was just sleeping-eating-sleeping-eating? That Fortune-Teller should be crazy! (Keep grumbling by her own self while walking around in her room)
One day, the queen asking the same question to her Fortune-Teller again.
The Queen : Hey, my faithful Fortune-Teller! Who is the most beautiful woman in the universe? (With an arrogant pride)
Fortune-Teller : My queen, the most beautiful woman in the universe is Snow White. Sorry, but now you are not more beautiful than Snow White. (With flat expression)
The Queen : Snow White?! It is impossible! My lovely cat is more beautiful than her! Don’t be joking! (Surprised and angry)
Fortune-Teller : My queen, I am not joking. If you did not believe it, you could take a look on the mirror in your palace together with Snow White. Definitely, the one who is more beautiful will be…
The Queen : Enough! I don’t want to hear it! Since now, you are expelled! (Screaming and pointing her finger to Fortune-Teller, then stand up and leaving the Fortune-Teller’s house)
Fortune-Teller : My queen, I did not mean to…
Narrator : The queen left the Fortune-Teller’s house angrily. She really did not think there was the one who was more beautiful than her. Moreover, she was Snow White, her step-child. She could not accept this reality. When she arrived at her palace…
The Queen : It was impossible, really impossible! This was fault. Snow White, the child who was just sleeping-eating-sleeping-eating? That Fortune-Teller should be crazy! (Keep grumbling by her own self while walking around in her room)
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri yang Diunggulkan
Posting Populer
-
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karuniaNya, Penulis masih diberi kesempatan untu...
-
PROPOSAL KEGIATAN PAGELARAN SENI TARI SMAN 11 KAB. TANGERANG I. Latar Belakang Seni merupakan suatu yang tidak da...
-
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya, saya dapat menyelesaikan karya ilm...