Sabtu, 30 April 2011

Bisa Menjadi Pengusaha Sukses Sebelum Tamat Kuliah

Bisa Menjadi Pengusaha Sukses Sebelum Tamat Kuliah

Menjadi pengusaha siapa yang tak ingin? Apalagi jika kita bisa menjadi pengusaha sukses, senang rasanya. Kapan bisa jadi pengusaha? Apa harus selesai kuliah, dapat kerja bagus, punya relasi banyak dan dikasih modal uang cukup besar? Teorinya sih begitu!

Kalau begitu, tak punya pengalaman kerja, tak punya relasi dan tak punyak banyak uang, tak bisa jadi pengusaha? Jika belum selesai kuliah, berarti kita belum bisa jadi pengusaha?

Sebuah teori yang berat, sulit dan susah, jika begitu.Kesimpulannya, mahasiswa tak bisa jadi pengusaha sebelum tamat kuliah.

WWW DOT (Our selves ) DOT COM = The Gold Solution To Get What We Want to

Sebelum Terlambat, Jalankan Wirausaha Walaupun Anda Seorang Karyawan

Anggapan beberapa orang bahwa lebih nyaman bekerja sebagai karyawan. Tidak pusing menawarkan barang (promo), tidak khawatir uang tidak ada, jaminan makan siang, uang ini uang itu terkadang ada.

Tetapi tidakkah terpikir oleh anda bahwa suatu saat anda pasti mengalami dua kemungkinan :

  1. Pensiun. Kalau sudah pensiun masih mengandalkan uang jaminan hari tua (JHT) ? Ini tidak menjamin, nilai nominal uang JHT anda tergerus inflasi yang rata-rata 9 % per tahun. Berarti anda memasuki masa sulit setelah masa nyaman anda.

  2. PHK. Ini lebih parah, walaupun anda mendapat uang pesangon ratusan juta sekalipun uang pesangon anda terus tergerus habis karena konsumsi dan inflasi. Biasanya anda idak akan siap menghadapi situasi ini. Kalau PHK anda mengundang polemik pasti yang terpikir adalah demo karyawan dan konsumsi kebutuhan sehari-hari. Begitupun jika PHK tidak ada polemik maka yang terpikirkan adalah mencari lowongan kerja dan konsumsi kebutuhan sehari-hari.

Dinner Pertama

Dinner Pertama - Agustinus Wahyono

Dikemas 12/04/2003 oleh Editor

Semangkuk bulan tergeletak di jendela apartemenmu. Pecahan-pecahan pelangi elektrik menggerayangi dinding-dinding gedung jangkung yang bertaburan di kotamu. Semenjak aku memasuki ruang apartemenmu, kamu telah membuat aku terpesona. Tata interior apartemenmu yang artistik, serba biru keunguan. Lampu tempel yang redup. Dadaku ikut berdegup. Hiasan dinding karyamu sendiri. Lukisan-lukisan dan foto-foto hasil jepretanmu. Atmosfir ruangan yang sejuk dan wangi. Mungkin memang telah kamu persiapkan sebelum kedatanganku tadi.

“Inilah tempat merenungku yang pernah aku ceritakan dulu pada Abang. Silakan Abang duduk. Abang mau minum apa?”

“Seperti dalam perbincangan kita, Say… aku minta juice jambu monyet saja.”

Kamu tersenyum. Senyummu begitu membuatku tersenyum. Alangkah anggunnya kamu, Say. Baru kali ini aku melihat keanggunanmu yang nyata. Sehari-hari biasanya kamu hanya berjins dekil, kaos oblong dan hem berukuran luas. Dandanan khas seniwati. Tidak neko-neko seperti peragawati atau yang merasa diri peragawati. Ya, malam ini penampilanmu pun anggun. Baju panjang biru laut berbahan lembut dengan dua tali di pundak kanan kiri. Rambut panjangmu lepas, lentur alami.

Datangnya Dan Perginya

Datangnya Dan Perginya

Ketika surat pertama Masri datang, melonjaklah keinginan hendak menemuinya di tahun yang lalu. Surat itu diciumnya berulang-ulang dan disimpannya di antara lembaran Quran. Setiap hari ia membaca Quran itu, setiap itu pula ia menciumnya. Dan sebuah kalimat yang disenanginya selalu saja mengikat matanya. Meski kalimat itu sudah lengket dalam ingatan masih juga dibacanya lagi.

"Datanglah, Ayah. Hati kami rasa terbakar karena rindu. Tidakkah Ayah ingin berjumpa dengan Arni, menantu Ayah? Dan dengan kedua cucu Ayah, Masra dan Irma?"

"Ya, tentu, Anakku. Tentu. Kenapa tidak. Aku sudah tua. Sebelum aku mati, aku mesti bertemu dengan kau semua," kata orang tua itu dalam hati. Lalu diraba-raba dadanya sebelah kanan. Mencari-cari sesuatu di dalam saku-dalam pada jasnya. Dan kemudian tangannya itu hilang di balik lipatan jas. Sebentar saja. Keluar lagi bersama selembar amplop yang tepinya telah lusuh. Dibukanya tutup amplop itu dan dari dalam dikeluarkannya sebuah foto sebesar poskar. Dan matanya menatap bulat. Serta di bibirnya yang mencekung ke dalam tergores senyum kepuasan.

"Pakai kumis kau sekarang, Masri. Sudah berubah benar. Berbahagia kau dengan Arni, ya? Sudah dua anakmu sekarang Ayah juga turut berbahagia bersamamu, Nak. Selamanya ayahmu merasa bahagia melihat rumah tangga yang berbahagia. Apalagi engkau, Anakku." Lalu poskar itu dimasukkannya kembali ke dalam amplopnya. Baru setengah, ia keluarkan lagi. Dibawanya ke bibirnya. Tak sampai. Ia ingat ada orang-orang di sekelilingnya. Dan poskar itu dimasukkannya lagi ke dalam amplop. Disimpannya kembali ke dalam saku jasnya. Ia bersandar selelanya. Dan kenangannya melayang ke masa yang lalu.

Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau

Dari Seorang Perempuan Muda di Dangau itu--oleh Jafar G. Bua
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor

KABUT pagi menyapaku dengan dinginnnya. Membelai wajah dan sekujur tubuhku. Aku tak tahu, kenapa begitu suka mencandai pagi dengan bertelanjang. Benar-benar telanjang. Dan dangau di dekat sawah nan menghijau itu, selalu jadi tempat singgahku setelah jenuh mencandai pagi.

Ku rasakan benar pagi menikam-nikam dada dan pusarku. “uhh, segarnya,” aku berguman seorang diri. Dan memang gumanan itu untuk aku sendiri, tak ada yang bisa mendengarnya. Meski orang-orang sekampung ramai-ramai berlalu-lalang menuju sungai kecil yang mengaliri kampung itu. Apalagi memang buat mereka, aku telah mati. Benar-mati. Mereka tahu belaka, di nisan kubur di ujung kampung ini ada namaku tertera. Di atas pusaraku mereka tanami pohon jarak. Aku juga tak tahu kenapa, tapi itulah kebiasaan di kampung ini.

Tapi aku tak perduli, yang aku tahu, aku menikmati pagi ini. Menikmati suara cekikikan para perawan yang mandi di sungai kecil tadi. Menikmati gemericik aliran air yang memutar kincir yang membawanya mengairi sawah-sawah tadi.

“Selamat pagi, Kak.” Suara lembut menyapa aku, mengejutkan.

Aku berguman, “adakah dia juga telah mati seperti aku atau dia adalah malaikat yang diutus tuhan menghukumku? Entah.”

Aku sendiri tak yakin, sebab ku lihat orang-orang sekampung juga menyapanya.Tua muda, perempuan atau lelaki. Bisa jadi untuk anak-anak muda sepantaranku, itu lantaran gadis tadi memang begitu cantik. Rambutnya panjang sepinggang. Matanya bersih menikam hati.

“Kak, kenapa melamun.” Aku tersentak, ini benar-benar mengejutkan. Aku tak menyangka bisa disapa perempuan muda secantik dirinya.

“Tidak, kok. Aku hanya terkejut saja kau mau menyapaku,” kataku sedikit gagap.

Dan setelah itu mengalirlah kata demi kata dari bibir penuh perempuan muda itu. Aku tak kuasa menghentikannya. Dangau berlantai bambu yang dijalin dengan rotan ini, terasa demikian sejuk untuk diduduki. Sesekali sekawanan burung pipit melaju di atas pesawahan.

“Uh, damai rupanya mulai menyungkupi kampung yang baru saja porak-poranda ditelan amuk ini,” kataku pada perempuan muda itu.

“Ya, damai,” sambungnya, pelan. Namun wajahnya bersinar-sinar mengucapkan kata yang dulunya tabu itu.

Sambil menunjuk para reruntuhan rumah yang belum sempat dibenahi oleh pemiliknya, ia berkata, “aku memilih membantu salah satu organisasi nonpemerintah yang bekerja memulihkan trauma orang ramai yang baru saja lepas dari ketakutan-ketakutan akan dentum senjata dan bom-bom ini.”

Aku tersentak. “Bukankah dulu aku yang mengakibatkan rumah-rumah mereka terbakar, perempuan-perempuan kehilangan suami dan anak-anak itu menjadi yatim. Oh, betapa nistanya aku,” kataku langsung padanya.

Berubah air mukanya ketika aku mengakui bahwa akulah menjadi penyebab semuanya. Namun kemudian ia mampu menguasai diri. Bak seorang tua yang bijak, ia bilang padaku, “pertikaian itu tidak akan membawa kebahagiaan apa-apa. Kita mungkin bisa membunuh si pembenci, tapi tak pernah bisa membunuh rasa benci.”

Aku ingat kata-kata itu pernah diucapkan oleh Martin Luther King, Jr. Aku pernah menuliskannya di salah satu buku harianku. Bahkan di salah satu pagar tembok sekolah yang kerap kami panjat jika ingin mangkir belajar.

***

Snow White & Seven Dwarfs

Narrator : Five thousand years ago, at an unknown place, there lived a beautiful princess named Snow White. Her skin was as white as snow, her lips were gorgeous, and her hair was shiny. She was an orphan, she lived at the palace belongs to her step-mother. That arrogant queen has an unimportant habit, which was she always asking her faithful Fortune-Teller, who was the most beautiful woman in the universe, and the answer was always the queen.

One day, the queen asking the same question to her Fortune-Teller again.

The Queen : Hey, my faithful Fortune-Teller! Who is the most beautiful woman in the universe? (With an arrogant pride)

Fortune-Teller : My queen, the most beautiful woman in the universe is Snow White. Sorry, but now you are not more beautiful than Snow White. (With flat expression)

The Queen : Snow White?! It is impossible! My lovely cat is more beautiful than her! Don’t be joking! (Surprised and angry)

Fortune-Teller : My queen, I am not joking. If you did not believe it, you could take a look on the mirror in your palace together with Snow White. Definitely, the one who is more beautiful will be…

The Queen : Enough! I don’t want to hear it! Since now, you are expelled! (Screaming and pointing her finger to Fortune-Teller, then stand up and leaving the Fortune-Teller’s house)

Fortune-Teller : My queen, I did not mean to…

Narrator : The queen left the Fortune-Teller’s house angrily. She really did not think there was the one who was more beautiful than her. Moreover, she was Snow White, her step-child. She could not accept this reality. When she arrived at her palace…

The Queen : It was impossible, really impossible! This was fault. Snow White, the child who was just sleeping-eating-sleeping-eating? That Fortune-Teller should be crazy! (Keep grumbling by her own self while walking around in her room)

Selasa, 26 April 2011

Menikmati Eksotisme Pulau Sempu dengan pantainya yang Mempesona

travel_img_1731jpg-

Jawa Timur - Provinsi ini menyimpan berbagai keunikan wisata alam yang sangat sayang untuk tidak dijelajahi. Salah satunya ada sebuah pulau tropis seluas hampir 900 hektar di Samudra Hindia, bernama Pulau Sempu. Berlokasi di selatan Kabupaten Malang, pulau ini hanya berjarak tempuh 15 menit berperahu motor dari bibir pantai di Pulau Jawa. Petualangan saya bersama rekan-rekan menyimpulkan bahwa pulau ini menyimpan keindahan alami, dengan perjuangan dan tantangan seru untuk bisa menikmatinya.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer