Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara dengan Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau pada bapak sekalian bapak.
Saya memang selalu tukang dongkol, karena kepada kami-kami saja pesan itu disampaikan. Tapi tidak pernah disampaikan pada teman-teman kami yang memanggul senjata, yang mau ke front pertempuran. Padahal pekerjaan itulah yang paling berat risikonya.
"Siapa tahu kalau yang kalian kerjakan keliru," kata yang selalu suka memberi saran.
"Itu risiko kami," kata saya menimpali.
"Saya tahu. Tapi kan lebih baik kalau risikonya tidak ada," katanya pula.
"Tapi kenapa teman-temannya yang mau pergi perang itu tidak disuruh minta nasihat dulu?" tanya saya karena masih dongkol.
Sabtu, 05 Maret 2011
Dinding
Dinding-dinding itu terasa hampa. Makin hari warnanya semakin kelabu, seperti jiwanya ketika itu. Dinding-dinding itu tetap membisu padanya, seakan mati. Ya, seakan mati. Padahal minggu lalu mereka masih berbicang. Pagi, siang, dan sore mereka terus berdiskusi tentang politik. Tentang budaya. Tentang seni. Tentang filsafat. Kemunafikan, kebencian, dan kesesatan, mereka jadikan lelucon-lelucon segar. Tak penting, sekedar untuk tertawa. Tetapi, malam hari mereka tak pernah sempat berbincang.
"Banyak yang harus dikerjakan", katanya pada dinding."Aku harus menyelesaikan komposisiku. Konser diadakan empat bulan lagi. Tentunya aku harus memberi waktu pada para pemain untuk latihan. Kamu mau mengerti kan?"
Tiap hari berlalu seperti itu. Tidak pernah tidak. Tapi seminggu belakangan ini lain, sama sekali lain. Perbincangan yang menyenangkan itu hilang, dinding membisu, dan semangatnya menjadi tipis. Dinding-dinding itu tak pernah menyapanya lagi, tak pernah memanggilnya lagi. Lalu entah kenapa, inspirasinya tak lagi bisa mengalir. Rasa lapar, haus, dan kantuk juga tak lagi bisa dirasakannya. Yang diinginkannya hanya pembicaraan dengan dinding-dinding! Teman-temannya tak berhasil membujuknya, karena ia terus termenung. Apa boleh buat, akhirnya tak seorangpun mendekatinya. Dan ia terus sendiri. Sendiri bersama dinding-dinding yang membisu. Hidupnya seakan hilang, pikirannya mengambang. Dunia luar dinding sudah jelas tertutup baginya.
"Banyak yang harus dikerjakan", katanya pada dinding."Aku harus menyelesaikan komposisiku. Konser diadakan empat bulan lagi. Tentunya aku harus memberi waktu pada para pemain untuk latihan. Kamu mau mengerti kan?"
Tiap hari berlalu seperti itu. Tidak pernah tidak. Tapi seminggu belakangan ini lain, sama sekali lain. Perbincangan yang menyenangkan itu hilang, dinding membisu, dan semangatnya menjadi tipis. Dinding-dinding itu tak pernah menyapanya lagi, tak pernah memanggilnya lagi. Lalu entah kenapa, inspirasinya tak lagi bisa mengalir. Rasa lapar, haus, dan kantuk juga tak lagi bisa dirasakannya. Yang diinginkannya hanya pembicaraan dengan dinding-dinding! Teman-temannya tak berhasil membujuknya, karena ia terus termenung. Apa boleh buat, akhirnya tak seorangpun mendekatinya. Dan ia terus sendiri. Sendiri bersama dinding-dinding yang membisu. Hidupnya seakan hilang, pikirannya mengambang. Dunia luar dinding sudah jelas tertutup baginya.
Copet
"Kamu lagi di mana Jo?" Terdengar pertanyaan dari seberang.
"Di Mal Segi tiga." Aku menjawabnya sedikit berteriak. Di sekelilingku ramai sekali. Aku hampir tak bisa mendengar suara Anna di telepon ini.
"Halo…halo…Anna, halo!" Aku berteriak makin keras. Orang-orang di sekeliling memperhatikanku.
Tuuut. Sambungan telepon putus. "Telepon payah!" Kugebrak telepon itu. Kuambil HP di saku celanaku. Kucari nomor telepon Anna. Aku tak hafal betul nomor telepon rumahnya. Sekali lagi kumasukkan koin ke telepon umum itu. Kali ini tak kudengar suara apa pun dari telepon itu. Uangkupun tak dapat keluar. "Sialan!" Brak!
Kutinggalkan telepon sialan itu. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong plasa. Para pengemis duduk berbaris di sepanjang lorong. Mereka bersandar di tembok sebuah restoran.
"Di Mal Segi tiga." Aku menjawabnya sedikit berteriak. Di sekelilingku ramai sekali. Aku hampir tak bisa mendengar suara Anna di telepon ini.
"Halo…halo…Anna, halo!" Aku berteriak makin keras. Orang-orang di sekeliling memperhatikanku.
Tuuut. Sambungan telepon putus. "Telepon payah!" Kugebrak telepon itu. Kuambil HP di saku celanaku. Kucari nomor telepon Anna. Aku tak hafal betul nomor telepon rumahnya. Sekali lagi kumasukkan koin ke telepon umum itu. Kali ini tak kudengar suara apa pun dari telepon itu. Uangkupun tak dapat keluar. "Sialan!" Brak!
Kutinggalkan telepon sialan itu. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong plasa. Para pengemis duduk berbaris di sepanjang lorong. Mereka bersandar di tembok sebuah restoran.
Cinta Seribu Tiga
Sumirah Mencari CintaBahkan sampai malam menggantung di pucuk kelam, Sumirah masih berjalan menyusuri desa. Bintang-bintang gemelitik di langit."Mau ke mana malam-malam begini, Sumirah?"Orang-orang Sakagiri yang kerjanya saban hari bergerombol di tepi jalan, memandang Sumirah dengan tatapan mata rembulan. "Mencari cinta.""Ha. Ha. Ha. Tak ada cinta abadi di bumi ini."Sumirah menoleh."Hentikan pencarian itu, Sumirah." Lelaki tua di pojok jalan menyela."Iya. Berhentilah." "Sia-sia saja. Berhentilah.""Berhentilah. Lebih baik duduk-duduk di sini. Buat apa capek-capek. Ah, genit amat.""Duduklah. Mari, beri aku api kan kuberi cinta yang kau cari.""Ha. Ha. Ha.""Hus."Sumirah tersenyum."Permisi. Selamat malam."
Cinta Kering
I.Prelude
Adalah cinta yang membuat jantungku tetap berdegup. Adalah saat mengatakan "aku mencintaimu", aku merasa hidup.
Cinta memberi sepercik cahaya di tengah kekelaman, seperti aliran-aliran air hidup dari mata air yang tak pernah mengering. Memberi keteguhan dan ketenangan bagi jiwa yang gelisah. Memberi arti pada setiap langkah. Memberi keyakinan bahwa kita ada untuk tidak sia-sia.
Saat cinta lepas dari genggaman, apakah yang dapat dipegang? Bila sang cahaya telah pudar, apakah penerang hati? Keyakinan akan mati ranggas seperti daun-daun jati yang luruh, tertiup angin, melayang tak tuju arah, lalu jatuh, tersungkur mencium bumi. Kering, siap mati untuk terinjak, retak.
Detak jantung mulai terdengar sayup. Air hidup jadi air mata, bahkan tidak, sebab air telah mengering. Keringkihan jiwa yang memancar jauh ke tubuh, mengenyahkan harap untuk tetap berjalan, bahkan walau hanya untuk tetap berdiri.
Adalah cinta yang membuat jantungku tetap berdegup. Adalah saat mengatakan "aku mencintaimu", aku merasa hidup.
Cinta memberi sepercik cahaya di tengah kekelaman, seperti aliran-aliran air hidup dari mata air yang tak pernah mengering. Memberi keteguhan dan ketenangan bagi jiwa yang gelisah. Memberi arti pada setiap langkah. Memberi keyakinan bahwa kita ada untuk tidak sia-sia.
Saat cinta lepas dari genggaman, apakah yang dapat dipegang? Bila sang cahaya telah pudar, apakah penerang hati? Keyakinan akan mati ranggas seperti daun-daun jati yang luruh, tertiup angin, melayang tak tuju arah, lalu jatuh, tersungkur mencium bumi. Kering, siap mati untuk terinjak, retak.
Detak jantung mulai terdengar sayup. Air hidup jadi air mata, bahkan tidak, sebab air telah mengering. Keringkihan jiwa yang memancar jauh ke tubuh, mengenyahkan harap untuk tetap berjalan, bahkan walau hanya untuk tetap berdiri.
Cinta dan Senja di Pantai
Lidah ombak terus menjilat pasir putih, ketika kita berdua menatap senja yang kian memerah. Matahari tenggelam ke dasar tepat di ujung laut sebelah barat. Lalu kita beranjak, di bawah lambaian nyiur menyusuri pantai sambil menjinjing sandal.Di tepi laut ini kita berjalan mengejar buih putih yang di damparkan ombak di antara pasir putih dan kita samasekali tidak menghiraukan burung camar yang meliuk-liuk diantara mega yang kini bersemburat merah. Sesekali memekikkan telingga dengan suara yang nyaring.“Kamu merasa senang di pantai,” kataku mencoba mencairkan suasana. Suaraku berhasil memecah kesunyiannya atau lebih tepat di katakan dia kaget mendengar suaraku yang serak.“Ya, senang sekali,” jawabmu singkat. Sesingkat cerita ini. Walaupun tidak terdengar seriang nada suaramu yang menandakan kegembiraan. Tapi aku tahu di antara nadda suaramu terdengar sumbang dan aku tahu di antara semuanya itu kamu menyelipkan suatu rahasia di setiap kata yang kamu ucapkan.
Cinta Buta
Hari ini adalah hari ini. Dan hari ini bukanlah hari yang kemarin. Sebab hari yang kemarin bukanlah hari ini. Begitu juga lusa. Setidaknya begitu. Sepertinya memang begitu. Seharusnya mesti begitu. Bisakahku?
Seperti hari yang kemarin aku selalu melihat mereka. Sepasang muda-mudi yang berjalan selalu beriringan. Sepasang muda-mudi yang selalu menyunggingkan senyuman. Sepasang muda-mudi yang selalu menampakkan wajah berseri-seri. Sepasang muda-mudi yang selalu membuatku iri. Oh, adakah mereka mengerti?
Seperti hari yang kemarin aku selalu melihat mereka. Sepasang muda-mudi yang berjalan selalu beriringan. Sepasang muda-mudi yang selalu menyunggingkan senyuman. Sepasang muda-mudi yang selalu menampakkan wajah berseri-seri. Sepasang muda-mudi yang selalu membuatku iri. Oh, adakah mereka mengerti?
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri yang Diunggulkan
Posting Populer
-
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karuniaNya, Penulis masih diberi kesempatan untu...
-
PROPOSAL KEGIATAN PAGELARAN SENI TARI SMAN 11 KAB. TANGERANG I. Latar Belakang Seni merupakan suatu yang tidak da...
-
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya, saya dapat menyelesaikan karya ilm...