Kulihat Tengkorakmu di Sangiran
Cerpen Leres Budi Santoso
Kulihat tengkorakmu di Sangiran, di sebuah kios suvenir. Tengkorakmu bercokol, sederet dengan patung-patung dari batu onix. Aku tahu itu tengkorakmu karena aku serasa melihat, bahwa dari lobang mata tengkorak itu kedua biji matamu bergerak-gerak dan menatapku nanap. Aku tahu betul sebentuk bola matamu.
Pertama kali melihat tengkorakmu, sudah pasti aku kaget. Kok tengkorakmu sampai di Sangiran, dipajang sebagai suvenir? Bagaimana bisa tengkorakmu yang dikubur tiga tahun lalu di Surabaya itu disebut fosil yang hidup 200 ribu tahun silam?
Adakah tengkorakmu tiba-tiba menyembul dari dalam kubur, lalu menggelundung ke Terminal Purabaya, melompat bagasi bus patas, turun di Sragen dan langsung ke Sangiran, dan kepada seorang pemilik kios kau berkata, "Aku manusia purba yang hidup 200 ribu tahun lalu!?" Ataukah ada orang yang sengaja menggali kuburmu, memenggal kepalamu, lalu menjual tengkorakmu?
Dan, kau terus saja menatapku ketika aku perlahan-lahan mendekatimu, dan meneliti gigi-gigimu yang masih utuh, baik gigi rahang atas maupun bawah. Hidungmu yang gerowong itu mirip gua yang sewaktu-waktu ratusan kelelawar melesat terbang. Tapi ah, di dalam mulutmu yang menganga memamerkan sederet gigimu itu ada sebongkah tanah kering.
"Tinggal ini yang umurnya 200 ribu tahun. Tak mahal kok, cuma seratus ribu. Sampean bisa memajang di buffet atau dibikinkan kotak kaca. Sampean lebih terhormat memajang tengkorak di ruang tamu daripada lou han. Seratus ribu saja," kata wanita penjaga kios suvenir sambil berdiri di sebelahku.
Tanganku terus saja bergerak mengelus-elus tempurung dan rahang-rahangmu. Sungguh, sungguh keras bagai batu. Andai kau masih hidup, bagaimana aku bisa mengelus-elus kepalamu, mengetok-ketok batok tengkorakmu seperti ini? Hi…hi…inikah batok kepala manusia yang hidup dari berburu binatang, yang menggunakan kapak batu untuk membunuh mangsanya?
Kau bukan manusia purba. Kau adalah temanku. Mulai dari TK, SD, SMP hingga STM kita selalu satu kelas. Tapi…meski kita selalu bersama-sama, nasib kita bagaikan ufuk timur dan ufuk barat. Kau menjadi pengusaha yang kaya raya, sedang aku, setelah bertahun-tahun ngernet, lalu menjadi sopir. Setelah berpindah-pindah bos, akhirnya aku menjadi sopir pribadimu, menjadi orang suruhanmu.
Betapa matamu pernah menyala-nyala marah ketika di awal-awal aku ikut kamu aku sembrono dengan njambal memanggil namamu, "Di!" Di dalam mobil suaramu mengguntur, "Aku ini bosmu, tidak sopan kamu memanggil aku "Di". Ingat, Pak Bos, Pak Bos!!!" Dan, sejak itu, di mana pun tempatnya (berduaan dalam mobil sekalipun) aku wajib memanggilmu "Pak Bos". Bahkan dalam mimpi pun aku memanggil-manggil kamu "Pak Bos"!
"Seratus ribu bukan harga yang mahal," kata penjaga kios lagi. Jika aku terkesan ragu-ragu membeli tengkorakmu, itu karena aku berpikir: semurah itukah harga tengkorakmu, wahai sahabat yang pernah menjadi bosku? Mungkin saja kau mengiba padaku untuk menyelamatkanmu dengan cara menebusmu dari penjual barang kerajinan ini. (Semasa kau masih hidup, uang 100 ribu tentu kecil saja nilainya. Lha, semalam kau bisa menghabiskan beratus-ratus ribu, bahkan jutaan, untuk ngebosi teman-temanmu di diskotek yang pengap oleh asap rokok).
Bagaimana pula dengan istri dan anakku kalau tahu aku pulang dengan tengkorak manusia? Tentu lucu kalau membayangkan ekspresi mereka. "Bawa ole-ole apa, Pak?" tanya anakku. "Tengkorak!" jawabku. Pasti mereka akan lari kocar-kacir. Istriku akan beringsut di pojok kamar sambil mencak-mencak melarang tengkorakmu masuk ke rumah.
Dititipkan ke istrimu? Mana dia akan percaya kalau tengkorak ini adalah kamu. Apalagi dia sudah menikah lagi dengan Basado, direktur keuanganmu yang kini mengendalikan perusahaanmu. Sudah pasti Basado tak mengizinkan ada pria lain di dalam rumahnya (dulu rumahmu), apalagi itu tengkorakmu.
…Ah, peristiwa tragis itu, peristiwa tiga tahun lampau itu, tahukah kau, masih tergambar jelas di benakku. Serasa baru kemarin saja kau memintaku menjemputmu di Bandara Juanda, sepulang kau dari Jakarta. Dalam perjalanan kau nampak ceria dan berkali-kali menerima handphone dari seseorang. Kau juga bilang akan membeli 1.000 ban dan 300 accu dump truck karena menang tender pengurukan laut di Probolinggo. Lalu, kalau ini aku tidak salah dengar, tahun depan kamu ingin mencalonkan diri menjadi gubernur.
Dari Juanda bukan langsung pulang, tapi kau mampir dulu di Hotel A. Di sana sudah menanti wanita bookingan di dalam kamar. Lalu kau menyuruhku menunggu di parkiran. Sudah pasti aku tahu apa yang sedang kau lakukan bersama wanita itu di kamar. Aku ini temanmu sejak kecil, jadi aku sudah tahu kelakuanmu. Dan, tujuh jam kemudian kau ditemukan mati telanjang bersama wanita itu, saling berpelukan, dengan sperma tercecer-cecer di seprei.
Wuah, istrimu bagai orang gila waktu jenazahmu datang ke rumah. Dia tak mau keluar menyambut jenazahmu. Tiada ratapan. Dia terus-menerus sembunyi di kolong amben sambil membisu. Barhari-hari kemudian dia terus menelungkup di kolong, dan dari mulutnya keluar desis. Bahkan ketika jenazahmu diberangkatkan ke pekuburan dia tetap di kolong. Sedih memang, bila jenazah yang hendak dikuburkan jangankan disentuh istri, dilirik pun tidak. Dengan sembunyi seperti itu sudah tentu wartawan yang mem-blow-up kematianmu besar-besar susah mewawancarai istrimu.
Seminggu kemudian istrimu mulai berani keluar kolong, keluar kamar, tapi mati-matian enggan keluar rumah. Dia selalu mengenakan baju dengan motif kerupuk terung yang dulu dibelinya di Singapura. Matanya sembab. Kikir bicara, seolah suaranya tercekat di tenggorokan. Tahukah kau sahabat yang pernah menjadi bosku, kalau istrimu matanya sembab dan kikir bicara, itu bukan karena sedih, tapi lantaran malu karena suaminya mati telanjang di pelukan pelacur.
Kala itu perusahaanmu di ujung kebangkrutan. Untunglah Basado segera menjadi dewa penyelamat, bukan saja bagi perusahaanmu, tapi juga istri dan anak-anakmu. Sejak itu Basado berusaha menjauhkan istri dan anak-anakmu dari hal-hal yang berbau kamu. Lantas itulah mereka kemudian memecat aku.
Sungguh, andaikata orang tahu bahwa tengkorak ini adalah tengkorakmu, pastilah menjadi rebutan banyak orang. Tentulah tengkorakmu mahal harganya. Mengapa? Karena kau pernah ditemukan mati bugil di hotel bersama wanita nakal! Tengkorakmu akan disimpan dalam kotak kaca, lalu diberi label di bawahnya, "LAKI-LAKI YANG MATI DALAM PELUKAN PELACUR"; Hotel A, Surabaya, 20 Januari 2000.
"Seratus ribu bukan harga yang mahal untuk tengkorak manusia purba, Pak."
Apa kegunaan tengkorak manusia bagi sopir seperti aku? Kecuali jika tengkorakmu membawa peruntungan bagiku, hi…hi…hi…
Oh ya, tahukah kau, sejak kematianmu yang memalukan itu hingga sekarang aku sudah empat kali berganti-ganti bos. Kini aku ikut bos tua yang kegiatannya cuma keluyuran dan makan enak, yang bicaranya pelo, yang jalannya disangga tongkat dan harus kutuntun, yang tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan yang bicaranya kasar dan suka misuh-misuh. Perusahaannya banyak, dan semua dikelola oleh anak-anaknya.
Gule dan sate kambing adalah satu-satunya makanan kesukaannya. Kau mungkin tidak percaya kalau bosku ini menderita stroke (obat yang dia makan saban hari banyaknya hampir segenggaman tangan orang dewasa). Dia pernah kritis dan dirawat intensif. Bahkan dokter pernah memvonis umurnya tinggal hitungan minggu, tapi dia tak kunjung mati sampai bertahun-tahun kemudian. Bosku ini bisa menghabiskan 25 sunduk sate kambing sekali makan, belum lagi gule dengan daging campurannya.
Dia kerap mengajakku jalan-jalan ke situs-situs purba. Kali ini dia kembali mengunjungi Trinil lalu terus ke Sangiran. Padahal dia tadi pamit istrinya hanya jalan-jalan ke Trowulan. Setiap datang di Sangiran dia selalu memintaku menuntun di dalam museum. Etalase yang paling dia sukai adalah sekumpulan tulang-belulang gajah purba.
Tahukah kau, apa yang dia lakukan di depan tulang-belulang gajah purba itu? Dia bisa berjam-jam bergeming, tapi hanya wajah dan kepalanya saja yang bergerak-gerak. Kadang dia tertawa terpingkal-pingkal, namun kadang dia menangis tersedu-sedu. Dan yang paling kubenci bila dia termangu-mangu seraya memiringkan kepalanya sehingga dari mulutnya yang menganga meleleh air liurnya. Pasalnya, akulah yang harus melap air liur itu! Tapi ada yang paling kusukai, yaitu bila dia diam seribu bahasa sambil berjam-jam mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mengapa bosku bisa seperti itu di hadapan sekumpulan tulang-belulang gajah? Aku tidak tahu persis. Hanya saja dia pernah terbata-bata berkata, "…Andai, andai… a…ak…aku hidup di zaman purba…he…ber…bersama gajah…gajah-ga…jah itu… he…"
Sekarang, sekarang bosku sedang duduk berlama-lama di depan etalase gajah. Sudah sejam lalu dia tertawa-tawa sendiri. Lalu, dengan alasan berak, kutinggalkan dia sendiri duduk di kursi plastik --semoga saja Tuhan menjaganya sehingga dia tidak terjungkal dari kursinya. Jadilah aku berkesempatan keliling-keliling, berlagak turis, berkunjung ke kios-kios suvenir. Eh… tidak tahunya ketemu kamu.
"Tengkorak ini umurnya 200 ribu tahun, Pak," ulang penjaga kios lagi.
Kau serasa tetap menatapku. Tapi bola matamu sekarang tidak seperti dulu lagi; mata yang mudah terbakar di ruang rapat, mata yang mudah menyala ketika anak buahmu membantah perintah, mata yang mudah berkobar-kobar ketika anak buahmu menyela pembicaraanmu. Dan, kian lama kita bersitatap, serasa kulihat matamu berubah meminta pengampunan. Ya, aku tahu (sebagai sopir pribadi, apa yang mesti kau rahasiakan dariku?), kau pernah coba-coba meniduri istriku. ***
Sidoarjo, 8/2003
Catatan:
Sangiran adalah situs purba di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pertama kali ditemukan oleh GHR von Koenigwald, 1934. Di Sangiran diperkirakan sudah ada kehidupan sejak 1,5 juta tahun lalu.