Rabu, 06 April 2016

Kulihat Tengkorakmu di Sangiran

Kulihat Tengkorakmu di Sangiran

Cerpen Leres Budi Santoso
Kulihat tengkorakmu di Sangiran, di sebuah kios suvenir. Tengkorakmu bercokol, sederet dengan patung-patung dari batu onix. Aku tahu itu tengkorakmu karena aku serasa melihat, bahwa dari lobang mata tengkorak itu kedua biji matamu bergerak-gerak dan menatapku nanap. Aku tahu betul sebentuk bola matamu.

Pertama kali melihat tengkorakmu, sudah pasti aku kaget. Kok tengkorakmu sampai di Sangiran, dipajang sebagai suvenir? Bagaimana bisa tengkorakmu yang dikubur tiga tahun lalu di Surabaya itu disebut fosil yang hidup 200 ribu tahun silam? 

Adakah tengkorakmu tiba-tiba menyembul dari dalam kubur, lalu menggelundung ke Terminal Purabaya, melompat bagasi bus patas, turun di Sragen dan langsung ke Sangiran, dan kepada seorang pemilik kios kau berkata, "Aku manusia purba yang hidup 200 ribu tahun lalu!?" Ataukah ada orang yang sengaja menggali kuburmu, memenggal kepalamu, lalu menjual tengkorakmu?

Dan, kau terus saja menatapku ketika aku perlahan-lahan mendekatimu, dan meneliti gigi-gigimu yang masih utuh, baik gigi rahang atas maupun bawah. Hidungmu yang gerowong itu mirip gua yang sewaktu-waktu ratusan kelelawar melesat terbang. Tapi ah, di dalam mulutmu yang menganga memamerkan sederet gigimu itu ada sebongkah tanah kering. 

"Tinggal ini yang umurnya 200 ribu tahun. Tak mahal kok, cuma seratus ribu. Sampean bisa memajang di buffet atau dibikinkan kotak kaca. Sampean lebih terhormat memajang tengkorak di ruang tamu daripada lou han. Seratus ribu saja," kata wanita penjaga kios suvenir sambil berdiri di sebelahku.

Tanganku terus saja bergerak mengelus-elus tempurung dan rahang-rahangmu. Sungguh, sungguh keras bagai batu. Andai kau masih hidup, bagaimana aku bisa mengelus-elus kepalamu, mengetok-ketok batok tengkorakmu seperti ini? Hi…hi…inikah batok kepala manusia yang hidup dari berburu binatang, yang menggunakan kapak batu untuk membunuh mangsanya?

Kau bukan manusia purba. Kau adalah temanku. Mulai dari TK, SD, SMP hingga STM kita selalu satu kelas. Tapi…meski kita selalu bersama-sama, nasib kita bagaikan ufuk timur dan ufuk barat. Kau menjadi pengusaha yang kaya raya, sedang aku, setelah bertahun-tahun ngernet, lalu menjadi sopir. Setelah berpindah-pindah bos, akhirnya aku menjadi sopir pribadimu, menjadi orang suruhanmu. 

Betapa matamu pernah menyala-nyala marah ketika di awal-awal aku ikut kamu aku sembrono dengan njambal memanggil namamu, "Di!" Di dalam mobil suaramu mengguntur, "Aku ini bosmu, tidak sopan kamu memanggil aku "Di". Ingat, Pak Bos, Pak Bos!!!" Dan, sejak itu, di mana pun tempatnya (berduaan dalam mobil sekalipun) aku wajib memanggilmu "Pak Bos". Bahkan dalam mimpi pun aku memanggil-manggil kamu "Pak Bos"!

"Seratus ribu bukan harga yang mahal," kata penjaga kios lagi. Jika aku terkesan ragu-ragu membeli tengkorakmu, itu karena aku berpikir: semurah itukah harga tengkorakmu, wahai sahabat yang pernah menjadi bosku? Mungkin saja kau mengiba padaku untuk menyelamatkanmu dengan cara menebusmu dari penjual barang kerajinan ini. (Semasa kau masih hidup, uang 100 ribu tentu kecil saja nilainya. Lha, semalam kau bisa menghabiskan beratus-ratus ribu, bahkan jutaan, untuk ngebosi teman-temanmu di diskotek yang pengap oleh asap rokok).

Bagaimana pula dengan istri dan anakku kalau tahu aku pulang dengan tengkorak manusia? Tentu lucu kalau membayangkan ekspresi mereka. "Bawa ole-ole apa, Pak?" tanya anakku. "Tengkorak!" jawabku. Pasti mereka akan lari kocar-kacir. Istriku akan beringsut di pojok kamar sambil mencak-mencak melarang tengkorakmu masuk ke rumah. 

Dititipkan ke istrimu? Mana dia akan percaya kalau tengkorak ini adalah kamu. Apalagi dia sudah menikah lagi dengan Basado, direktur keuanganmu yang kini mengendalikan perusahaanmu. Sudah pasti Basado tak mengizinkan ada pria lain di dalam rumahnya (dulu rumahmu), apalagi itu tengkorakmu.

…Ah, peristiwa tragis itu, peristiwa tiga tahun lampau itu, tahukah kau, masih tergambar jelas di benakku. Serasa baru kemarin saja kau memintaku menjemputmu di Bandara Juanda, sepulang kau dari Jakarta. Dalam perjalanan kau nampak ceria dan berkali-kali menerima handphone dari seseorang. Kau juga bilang akan membeli 1.000 ban dan 300 accu dump truck karena menang tender pengurukan laut di Probolinggo. Lalu, kalau ini aku tidak salah dengar, tahun depan kamu ingin mencalonkan diri menjadi gubernur.

Dari Juanda bukan langsung pulang, tapi kau mampir dulu di Hotel A. Di sana sudah menanti wanita bookingan di dalam kamar. Lalu kau menyuruhku menunggu di parkiran. Sudah pasti aku tahu apa yang sedang kau lakukan bersama wanita itu di kamar. Aku ini temanmu sejak kecil, jadi aku sudah tahu kelakuanmu. Dan, tujuh jam kemudian kau ditemukan mati telanjang bersama wanita itu, saling berpelukan, dengan sperma tercecer-cecer di seprei. 

Wuah, istrimu bagai orang gila waktu jenazahmu datang ke rumah. Dia tak mau keluar menyambut jenazahmu. Tiada ratapan. Dia terus-menerus sembunyi di kolong amben sambil membisu. Barhari-hari kemudian dia terus menelungkup di kolong, dan dari mulutnya keluar desis. Bahkan ketika jenazahmu diberangkatkan ke pekuburan dia tetap di kolong. Sedih memang, bila jenazah yang hendak dikuburkan jangankan disentuh istri, dilirik pun tidak. Dengan sembunyi seperti itu sudah tentu wartawan yang mem-blow-up kematianmu besar-besar susah mewawancarai istrimu.

Seminggu kemudian istrimu mulai berani keluar kolong, keluar kamar, tapi mati-matian enggan keluar rumah. Dia selalu mengenakan baju dengan motif kerupuk terung yang dulu dibelinya di Singapura. Matanya sembab. Kikir bicara, seolah suaranya tercekat di tenggorokan. Tahukah kau sahabat yang pernah menjadi bosku, kalau istrimu matanya sembab dan kikir bicara, itu bukan karena sedih, tapi lantaran malu karena suaminya mati telanjang di pelukan pelacur.

Kala itu perusahaanmu di ujung kebangkrutan. Untunglah Basado segera menjadi dewa penyelamat, bukan saja bagi perusahaanmu, tapi juga istri dan anak-anakmu. Sejak itu Basado berusaha menjauhkan istri dan anak-anakmu dari hal-hal yang berbau kamu. Lantas itulah mereka kemudian memecat aku. 

Sungguh, andaikata orang tahu bahwa tengkorak ini adalah tengkorakmu, pastilah menjadi rebutan banyak orang. Tentulah tengkorakmu mahal harganya. Mengapa? Karena kau pernah ditemukan mati bugil di hotel bersama wanita nakal! Tengkorakmu akan disimpan dalam kotak kaca, lalu diberi label di bawahnya, "LAKI-LAKI YANG MATI DALAM PELUKAN PELACUR"; Hotel A, Surabaya, 20 Januari 2000.

"Seratus ribu bukan harga yang mahal untuk tengkorak manusia purba, Pak."

Apa kegunaan tengkorak manusia bagi sopir seperti aku? Kecuali jika tengkorakmu membawa peruntungan bagiku, hi…hi…hi… 

Oh ya, tahukah kau, sejak kematianmu yang memalukan itu hingga sekarang aku sudah empat kali berganti-ganti bos. Kini aku ikut bos tua yang kegiatannya cuma keluyuran dan makan enak, yang bicaranya pelo, yang jalannya disangga tongkat dan harus kutuntun, yang tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan yang bicaranya kasar dan suka misuh-misuh. Perusahaannya banyak, dan semua dikelola oleh anak-anaknya. 

Gule dan sate kambing adalah satu-satunya makanan kesukaannya. Kau mungkin tidak percaya kalau bosku ini menderita stroke (obat yang dia makan saban hari banyaknya hampir segenggaman tangan orang dewasa). Dia pernah kritis dan dirawat intensif. Bahkan dokter pernah memvonis umurnya tinggal hitungan minggu, tapi dia tak kunjung mati sampai bertahun-tahun kemudian. Bosku ini bisa menghabiskan 25 sunduk sate kambing sekali makan, belum lagi gule dengan daging campurannya. 

Dia kerap mengajakku jalan-jalan ke situs-situs purba. Kali ini dia kembali mengunjungi Trinil lalu terus ke Sangiran. Padahal dia tadi pamit istrinya hanya jalan-jalan ke Trowulan. Setiap datang di Sangiran dia selalu memintaku menuntun di dalam museum. Etalase yang paling dia sukai adalah sekumpulan tulang-belulang gajah purba. 

Tahukah kau, apa yang dia lakukan di depan tulang-belulang gajah purba itu? Dia bisa berjam-jam bergeming, tapi hanya wajah dan kepalanya saja yang bergerak-gerak. Kadang dia tertawa terpingkal-pingkal, namun kadang dia menangis tersedu-sedu. Dan yang paling kubenci bila dia termangu-mangu seraya memiringkan kepalanya sehingga dari mulutnya yang menganga meleleh air liurnya. Pasalnya, akulah yang harus melap air liur itu! Tapi ada yang paling kusukai, yaitu bila dia diam seribu bahasa sambil berjam-jam mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mengapa bosku bisa seperti itu di hadapan sekumpulan tulang-belulang gajah? Aku tidak tahu persis. Hanya saja dia pernah terbata-bata berkata, "…Andai, andai… a…ak…aku hidup di zaman purba…he…ber…bersama gajah…gajah-ga…jah itu… he…" 

Sekarang, sekarang bosku sedang duduk berlama-lama di depan etalase gajah. Sudah sejam lalu dia tertawa-tawa sendiri. Lalu, dengan alasan berak, kutinggalkan dia sendiri duduk di kursi plastik --semoga saja Tuhan menjaganya sehingga dia tidak terjungkal dari kursinya. Jadilah aku berkesempatan keliling-keliling, berlagak turis, berkunjung ke kios-kios suvenir. Eh… tidak tahunya ketemu kamu.

"Tengkorak ini umurnya 200 ribu tahun, Pak," ulang penjaga kios lagi.

Kau serasa tetap menatapku. Tapi bola matamu sekarang tidak seperti dulu lagi; mata yang mudah terbakar di ruang rapat, mata yang mudah menyala ketika anak buahmu membantah perintah, mata yang mudah berkobar-kobar ketika anak buahmu menyela pembicaraanmu. Dan, kian lama kita bersitatap, serasa kulihat matamu berubah meminta pengampunan. Ya, aku tahu (sebagai sopir pribadi, apa yang mesti kau rahasiakan dariku?), kau pernah coba-coba meniduri istriku. ***


Sidoarjo, 8/2003

Catatan:
Sangiran adalah situs purba di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pertama kali ditemukan oleh GHR von Koenigwald, 1934. Di Sangiran diperkirakan sudah ada kehidupan sejak 1,5 juta tahun lalu.

Kuasa Cinta

Kuasa Cinta - Robert
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor  


Ketidak berdayaan Hani membuat dirinya sadar bahwa ini adalah termasuk misteri ilahi. Siapa yang tahu tentang percintaan Adam dan Hawa di Surga. Hanya Tuhanlah yang tahu. “Mengapa Tuhan mengaruniai manusia dengan nafsu?” Hani merasa benci dengan nafsunya sendiri. Entah, mungkin ia pernah ‘diperbudak’ oleh nafsu, bukan malah memberikan ‘motifasi’. Hampir seharian otak Hani diperas untuk memikirkan hal-hal yang dulu tidak pernah dipikirkan. Mengapa hal ini harus terjadi? Bagaimana dengan orangtuaku?

File-file yang ada di otaknya dipanggil satu-persatu dan diajaknya diskusi tentang makna eksistensialisme. Hani semakin ragu dengan dirinya, sebab menurut kesimpulan sementara bahwa ada itu sama dengan tidak ada. Sedangkan tidak ada sama dengan ada. Kalimat ini bikin pening Hani, ia tak tahu mengapa ia sampai berkesimpulan seperti itu. “Lalu yang salah siapa?” tanya Hani sambil berfikir dengan gaya memegang kepala. 

Kekesokan harinya ia pergi ke perpustakaan kampus, mencari buku-buku yang dapat memberikan kontribusi bagi dirinya. Ia ternyata ‘berjumpa’ dengan Einstein lewat Einstein’s Dreames. Seketika Hani terpana dengan kalimat yang menarik, “Waktu adalah lingkaran, baik untung atau rugi akan berulang secara persis dalam kehidupan. Ini adalah sebuah pertanyaa besar yang sebelumnya belum pernah terlintas dalam pikirannya, walau sudah berhari-hari ia ingin memecahkan dunia. Apa mungkin kejadian di dunia suatu saat akan terulang dengan persis? Apakah ini yang dinamakan reinkarnasi? Mungkin iya dan mungkin bukan. Ia semakin bingung dan tak dapat lagi membaca huruf demi huruf, kata-kata demi kata. Ia pindah ke pojok perpustakaan, ia tampak berfikir dan merenung. Malam harinya ia tidak bisa tidur, membolak-balik tubuh di atas kasur, mengambil guling lalu ditaruhnya, mengambil bantal lalu dilempar. 

Suasana sepi dan sunyi biasa ia alami di rumah sejak masih kecil, ibunya wanita karir, sedangkan ayahnya seorang profesor yang hari-harinya dihabiskan dengan cairan-caiaran kimia dan tabung-tabung eksperimen di laboratorium belakang rumah. Tak punya teman, apalagi bisa bermain dan ketawa-ketiwi. Tak pernah terdengar suara tertawa di rumah Hani. Yang ada hanyalah buku-buku berserakan dimana-mana, dipojok dan disudut ruangan hanya ‘dihiasi’ oleh buku-buku yang tidak pernah ditata dengan rapi. Cukup intelek tapi jorok. Sejak di bangku kuliah Hani mulai memahami arti hidup yang sebenarnya. Bukan yang tercermin seperti di rumah. Satu-persatu ia jadikan pelajaran, walaupun ia masih sering dibohongi oleh teman-temannya. 

Hari demi hari pergaulan Hani semakin luas. Di rumah ia hidup dengan buku-buku ayah dan ibunya, sedangkan di kampus ia bergaul dengan teman-teman yang sejak kecil belum pernah ia rasakan. Pulang larut malam, itu tak menjadi masalah karena ia tidak pernah di atur oleh orang tua. Mereka hanya peduli dengan dunianya masing-masing. 
Sekarang ia juga punya banyak teman di luar kampus, mereka sangat baik dengan Hani, saking baiknya sampai pada akhirnya Hani lepas kendali dan tidak pernah pulang lagi. “Cinta… cinta… oh… cinta….. sungguh aku belum pernah merasakan sebelumnya.” Puja Hani terhadap cinta.

Ciputat, 2003



Kotor

Aku ternoda. Aku kotor. Aku tak lagi suci. Tolonglah aku! Basuh tubuhku dengan air dari tujuh mata air hingga tubuhku bersih. Percikkan parfum dari tujuh sari bunga hingga tubuhku wangi. Siram aku dengan pasir hingga akiu tak lagi najis.

Hentikan... kumohon jangan sentuh aku lagi. Setiap abdomen kulitku membara ketika belaian itu datang. Panas. Terbakar aku bersama hasrat. Jiwaku ikut bersuka ria bersama getaran tubuhku. Namun penyesalan itu akan kembali datang ketika kulitku dingin ditinggalkan oleh hangat dekapmu. Dan jiwaku akan merana dalam kubangan rasa bersalah. 

Sentuhanmu berikan euforia dan luka. Sentuhanmu tinggalkan jejak. Indah di suatu waktu namun kotor ketika penyesalan menghampiri jiwaku.. Membuatku muak. Membuatku ingin mencabik tubuhku agar tak tersisa lagi jejakmu di sana. Hatiku menjerit tiap kali kau tinggalkan jejakmu. Terbelenggu antara penyesalan dan keinginan. Terjebak antara salah dan benar. Terombang-ambing antara benci dan rindu. 

Aku masih tetap kotor. Curahan air, wangi sari bunga maupun kasarnya pasir tak sanggup menembus hatiku. Jiwaku masih bergelimang dosa. Hatiku terkubur rasa penyesalan. Nanah dari luka yang menganga makin membusuk. Hisap semua kekuatan hidupku. Melemahkan semangatku, membuatku kembali terseret dalam arus sampah.

Pergi! Aku tak sanggup menahan kotor ini lebih lama lagi. Tubuhku akan segera terbelah. Jiwaku akan berhamburan menjadi debu tak berarti. Tinggalkan aku memungut serpihan diri. Izinkan aku kembali bersih. Aku tak tahan ketika rasa kotor itu menderaku. Bunuhlah aku jika itu bisa membuatku kembali bersih.

(Pojok meja belajar, Sehari sebelum Valentine 2003 – 05.45 PM) 

Kota Kami Dahulu

Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"
Kota Kami Dahulu

Kuburan adalah tempat yang paling sunyi, di mana orang-orang mati itu tidak akan bercakap-cakap lagi dengan dia seperti dahulu. Bahkan dan sebuah kuburan di mana di bawahnya terbaring tulang-tulang seseorang yang paling banyak cakapnya semasa hidup pun tidak. 

Di bawah tanah itu terpendam ayahnya yang semasa hidupnya, pada malam Minggu suka mengundang kawan-kawannya ke rumahnya untuk bermain kartu, minum bandrek, sampai pagi. 
Kubur yang sebuah lagi adalah kuburan ibunya, seorang wanita pendiam yang membikinkan bandrek untuk suaminya dan tamu-tamunya, yang saat itu akan semakin pendiam, terbaring dalam bumi. 

Memang enak masih punya ibu-bapak, pikirnya. Ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah yatim piatu. Semasa ayahnya hidup, ayahnya yang tukang gembira tapi tukang pemarah pula itu, pernah dia doakan agar lekas saja mati disambar geledeg. Tapi tidak pernah ia mendoakan agar ibunya itu mati. Namun ketika kedua-duanya mati, ia menangis untuk kedua-duanya, dengan kesedihan yang sama, tidak berbeda-beda. 

Kedua orang tuanya mati ditembak Belanda, ini dikenangnya di kuburan itu. Ia mengenang di kuburan itu, tamparan-tamparan ayahnya pada pipi, bahkan tinju besar ayahnya di suatu kali, bahkan ayahnya pernah mencambuknya dengan gada kecil yang sewaktu kecil dirasanya sangat besar. Tapi ia juga mengenang suatu perkataan ayahnya. Perkataan itu sangat sederhana, “Benci sekali aku pada orang yang lekas putus asa!” 

Perkataan itu dulu tidak dipahaminya benar. Suka dikatakan ayahnya kepada ibunya, lebih-lebih di saat-saat dekat hari kematian mereka ketika Belanda akan mendarat di kota kecil itu. Perkataan itu, biarpun kurang dipahaminya dulu, sangat sering didengarnya, bahkan terlalu sering sehingga sekarang ia masih hafal. Dan sekarang barulah dipahaminya, artinya yang sesungguhnya. 

Ia datang ke kuburan hari itu sebenarnya dengan perasaan putus asa. Adiknya, satu-satunya adiknya yang perempuan, saat itu sedang mengandung. Ia datang seakan-akan untuk mengadu, mengadu kepada orang-orang mati yang tidak akan mendengar lagi bahasa sehari-hari manusia yang hidup. Tapi ia sejak tadi telah berbisik, terutama di atas kening kuburan ibunya. Ia memuji ibunya adalah wanita yang paling baik yang pernah dikenalnya di dunia ini. Ia memuji ibunya adalah wanita penyabar, wanita yang paling rajin, wanita yang tidak suka pada kemewahan, wanita yang cantik tanpa berhias, dan tidak ada lagi kata-kata lain. Ibunya adalah wanita sejati. Semasa hidupnya ayahnya ataupun ibunya ataupun neneknya berkata, bahwa adiknya yang sedang mengandung kini itu mempunyai wajah yang serupa dengan ibunya. Orang-orang kampung cemas selalu, bila wajah seorang anak sangat mirip dengan wajah ibunya. suatu pertanda buruk, bahwa ibunya akan meninggalkannya selagi muda atau si anak sendiri yang akan mati selagi kecil. 
Makin naik dewasa, adiknya makin mirip dengan ibunya. 

“Katakanlah, lelaki mana yang telah menghamilkan engkau. Popong,” katanya pagi-pagi sebelum berangkat menuju kuburan. 

Adiknya telah mengirim telegram supaya pulang ke kota kelahiran untuk menolongnya. Itulah yang harus ditolongnya. Adiknya menangis siang-malam sejak pertama kali ia masuk pintu, sejak ia dipeluk erat-erat, peluk setahun sekali, tapi pelukan tahun ini memang pelukan yang aneh, yang kemudian diketahuinya, pelukan itu adalah pelukan seorang wanita muda yang diam-diam akan menjadi ibu beberapa bulan lagi. 

“Katakanlah, Popong,” katanya. Itulah kata-kata bujukan yang diucapkannya saban hari, tapi tidak pernah menjemukan dia. Tapi sampai pagi itu adiknya tidak mau mengatakannya. 
Sayang sekali adiknya tidak mau mengatakannya sehingga ia putus asa dan ingin marah, sangat marah. Sampai memuncak marahnya, sehingga hampir saja ditamparnya adiknya itu. Tetapi agama telah melarang seseorang menyakiti orang lain dengan paksa, apalagi menyakiti saudara kandungnya dan perempuan pula. 

Di kuburan itu ia tahu, bahwa ia juga ikut bersalah dalam hal itu. Jarang ia menulis surat kepada adiknya yang terpisah darinya bermil-mil oleh Selat Sunda. Apalagi memberi suatu nasihat yang baik. Apalagi nasihat untuk seorang gadis yang sedang lupa pada harga hari remaja dan perawan. Tidak pernah ia berkata kepada adiknya, “Jagalah dirimu dan masa gadismu,” biarpun dalam sepotong surat dan membuang uang tujuh puluh lima sen untuk perangkonya. Itu, sebab ia tahu, adiknya seorang gadis pendiam, pemalu, suka beribadat, pintar di sekolah seperti gurunya menuliskan di ijazah, tidak pernah ke luar rumah. Itu sebab ia kira, abangnya, si Sompi, sekali seminggu akan datang menjenguk atau mengawasinya. Dan ia pun tahu, surat-surat berisi nasihat biasanya membosankan untuk orang-orang remaja. Orang-orang remaja suka dilepas bebas seperti seekor kuda penuh gairah. Itu sebab ia mengira, di rumahnya ada neneknya yang sayang pada cucu, dan ada seorang lagi adiknya lelaki yang pintar berkelahi. 

Kepercayaannya kepada Popong sudah tidak ada lagi. Kepercayaannya kepada abangnya dan adik lelakinya. Tapi juga kepercayaan kepada lelaki-lelaki kota itu yang dulu dikiranya salih semua. 
Sejak pertama ia ke luar rumah, belum pernah ia menegur seseorang, juga mengangguk pun tidak, tidak seperti dulu-dulu yang selalu dilakukannya. Tapi orang-orang juga tidak menegurnya. Mulanya ia mengira, karena kini setelah memakai kaca mata, tentu orang-orang itu telah lupa. Kota ini telah jauh berbeda dengan dulu, pikirnya. Tapi, ia keluar dari gerbang kuburan dengan tidak membawa suatu bekal apa, bahkan tidak sempat berdoa, ia makin merasakan suatu sebab lain. Orang-orang itu tidak mau menegur mungkin benci pada keluarganya, sebab apa yang telah dilakukan adiknya itu bagi mereka adalah suatu nista yang memalukan sekali. 

Kampung kelahirannya adalah kampung yang paling suci menurut penduduknya. Tidak ada dari kampung itu seorang maling, seorang pemabuk ataupun seorang tukang judi. Ketika Belanda masuk tidak ada kedengaran seorang pun yang jadi mata-mata Belanda yang berasal dari kampung itu. 

Dan kini adiknya mengandung diam-diam. Orang-orang itu jika tahu mungkin akan amat marah atau mengusir seisi rumah itu dari sana, termasuk neneknya yang paling mereka hormati sebagai perempuan satu-satunya yang tertua dan tersalih! Ia merasa ngeri melihat ke kiri dan ke kanan. Sambil berjalan ia tahu, di kanan ada toko Cinayang ramah dan telah masuk Islam, ia tahu di kirinya ada sebuah kali yang bernama Kali Wuni yang dalam musim buah-buahan, buah-buah wuni yang merah tua itu berguguran dan hanyut di kali. Ia tahu di kanan lagi itu ada sebuah mesjid yang ramai kalau malam-malam bulan puasa. Ia tahu, di depannya kini itu adaiah rumah kepala kampung, rumah Wak Bek yang sangat pemarah. Ia tahu di kanan jalan berbelok adalah tanah lapang kecil tempat ia main sepakbola dengan Umar dan Pospos. Umar pencetak gol yang paling pintar, dikaguminya, juga paling pintar bercerita, paling pintar berhitung OTT, dikaguminya sebab pintar menggambar. Saban hari Minggu dulu ia bersama-sama Umar pergi mancing ke Panjang, pelabuhan kota itu. Kalau orang-orang menegur Umar di jalan, yaitu orang-orang yang pernah mereka kalahkan dalam pertandingan sepakbola, ia merasa orang-orang itu juga menegur dia. 

Orang-orang itu tentu bertanya, siapa yang seorang lagi? Dan dijawab tentu, kawannya Umar, pemain bola juga. Ia tak tahu di mana Umar sekarang. Tapi ia tahu ia telah sampai kini dekat kebon petai cina tempat ia menggembalakan kambingnya dulu. Di belakang itu ada runtuhan gereja yang di bom Belanda. Waktu kecil ia bersekolah di sebelah gereja itu, Sekolah Xaverius. 

Kini ia tahu, rumah-rumah di hadapan itu adalah rumah tetangga-tetangga. Malu ia menengok ke kiri dan ke kanan, takut kalau ditanyakan soal-soal kehamilan adiknya, takut akan dimaki atau disumpahi. Seakan-akan ia akan menutup mukanya dengan sapu tangan. 

Kini ia memasuki sebuah pekarangan berpagar batu. Itulah rumahnya. Di dalam rumah itu, di atas ranjang, adiknya pasti sedang menangis dengan mata yang sembab. Di rumah itu pasti neneknya sedang menghitung tasbih sambil menunggu kematian di menara hari tuanya. Di rumah itu pasti adiknya yang lelaki tidak ada. 

Semua yang ia duga memang sedang terjadi. Neneknya yang tuli dengan kaki melunjur berdiang di dapur dengan tasbih digerak-gerakkan dan berbisik-bisik. Neneknya yang tahun ini sudah pikun dan tak mengenal cucunya lagi sekarang.Bila ia masuk ke kamar didapatinya adiknya sedang bangun dari tidurnya dengan mata sembab. 

“Aku baru dari kuburan pa dan ma,” katanya sambil bersalin pakaian. Lalu dia pandang wajah adiknya. Dalam wajah itu menyelinap wajah ibunya, persis benar seperti ibunya kalau barusan menangis. 

“Muka ma seperti engkau, “ katanya, tiba-tiba adiknya lantas meloncat dan memeluk erat-erat, 

“Kau telah mengatakan ini pada Bang Sompi,” tiba-tiba Popong menuduh, 

“Belum,” katanya menjawab. 

“Ya! Pasti Abang telah mengatakan ini pada Bang Sompi.” 

Lalu sambil menangis Popong menyumpah-nyumpahi Bang Sompi yang sejak kawin setahun yang lalu tidak pernah datang lagi, asyik dengan bini dan tidak mengirimkan uang dan bahkan tidak membuat surat, padahal cuma lima puluh kilometer saja dan naik oto bis cuma membayar lima ringgit. 

“Aku tidak mengatakannya,” katanya kepada adiknya, berusaha meyakinkan. 

“Percayalah,” katanya lagi. 

Lalu Popong membanding-bandingkan dirinya dengan Abang Sompi. Dia membandingkan, bahwa Sompi sekarang naik pangkat tapi pengiriman uang makin dikurangi, sedangkan orang yang sedang dipeluknya tiap bulan mesti bertambah kalau mengirimkan uang. Adiknya lalu berkata, “Abang Sompi sudah setahun tidak membantu keuangan kami lagi, sedangkan adik kita si Markus telah pacar-pacaran dengan gadis sekarang,” dan menangislah ia. 

“Bagaimana penghasilan modistemu?” tanyanya tiba-tiba. 

“Tidak maju. Hampir semua gadis-gadis membikin rumah mode,” jawabnya. 

“Sudahlah, berhentilah menangis. Jangan putus asa tentang itu lagi. Kalau kau mau saja mengatakan, siapa lelaki itu, abang akan mengurusnya,” katanya pelan-pelan membujuk. 

“Katakanlah.” 

Pelan-pelan mata adiknya memandangnya. Tiba-tiba mata itu ditutup, berkata, “Tidak.” 

“Sekarang katakan saja, kenapa Popong berbuat itu?” tanyanya. 

“Sebab nenek sakit asal-mulanya.” 

“Kenapa?” 

“Waktu itu nenek sakit-sakit. Kutulis surat pada Abang, tidak dibalas. Waktu itu Popong ada kawan lelaki. Dia baik sekali. Dia pertama memberi uang seribu rupiah. Untuk nenek, untuk obat nenek. Tapi kemudian ternyata, seakan-akan uang yang diberinya itu ditagihnya dengan suatu permintaan. Dia memeras!” 

“Dia memeras,” ulangnya. 

“Siapa dia.” 

“Umar.” 

“Umar?” dan ia terkejut, berulangkali nama itu disebutnya dalam hati. 

“Ya, Umar kawan Abang dulu.” Kini, kepercayaannya semakin punah terhadap kota itu, orang-orangnya, kesalihannya, kawan-kawannya! Dendamnya timbul. 

“Rumahnya masih rumah yang dulu?” 

“Bukan. Dia sudah punya toko dan tidak dengan bapaknya lagi. Rumahnya dekat Sekolah Rakyat Abang dulu. Ada sebuah rumah gedung, itulah rumahnya.” 

Dia lantas ingat, yang dimaksud dengan sekolahnya bukanlah Sekolah Xaverius, tapi Sekolah Rakyat pemerintah setelah pindah. 

Di sekolah itu dulu ia dididik oleh guru-gurunya agar berbuat baik, agar menjadi orang yang bertanggung jawab. Umar juga dididik di situ, bahkan sebangku dengan dia. Dia kagum pada kepandaian Umar berhitung OTT. Sedang ia pernah mencontoh. Dan ketika ia dikeroyok oleh orang-orang. Umar telah menolongnya. 

Kota kami ini dulu kota yang paling indah dalam angan-anganku, pikirnya. Kini ia membunuh angan-angan itu seperti membunuh seekor lalat yang telah dipeliharanya selama lebih dua puluh tahun. 

“Jangan pula berkelahi dengan dia!” tiba-tiba Popong berteriak. 

“Tidak,” jawabnya pelan-pelan, tapi hatinya sudah terkelucak. 

Dia menunggu hari sore dengan gelisah dan sore itulah ia datang ke rumah Umar. Umar hampir lupa padanya. Tapi ia berbuat seakan-akan Umar tetap kawan karibnya dan bukan musuhnya dan ia datang seakan-akan seperti sahabat lama dengan kepercayaan dan kekaguman lama. 
Angin laut kini mengendap-endap menyuruk ke hatinya ketika mereka berjalan berdua di pinggir laut, seakan-akan dua sahabat lama. Dulu, di pinggir laut itu mereka mencari keong dan mendirikan rumah-rumahan dari keong-keong yang mereka susun, yang seminggu kemudian mereka dapatkan telah punah dihempaskan ombak. Tapi mereka dirikan lagi rumah-rumahan keong itu, seakan-akan mereka tidak peduli apakah seminggu yang akan datang rumah-rumahan mereka akan diruntuhkan. Dia mengingatkan kepada Umar kisah lama itu, seakan-akan mau membujuknya. Lalu ia memuji Umar yang berani, bahkan berani menolongnya. 

“Sekarang, setelah kita besar, aku masih mau minta tolong sebuah lagi,” katanya pelan-pelan dan menggigil. 

“Uang?” tanya Umar. 

“Aku tahu nenekmu sakit. Apakah beliau sudah sembuh?” 

“Biarpun diobati, nenek sudah tak perlu hidup lagi.” 

“Kenapa?” tanya Umar. 

“Beliau sudah pikun. Tidak akan banyak merugikan kita yang hidup. Beliau mengharap mati, sebab sudah waktunya harus mati,” katanya. 

“Kenapa kau sampai berpikir begitu?” tanya Umar. 

Mendengar pertanyaan itu geramnya timbul. Ia seakan-akan sudah yakin, Umar yang sekarang bukanlah Umar yang dulu. Umar yang dilihatnya adalah tubuh yang sekeping berisi kepalsuan-kepalsuan. Inilah gambaran kota dan dunia kini, pikirnya. 


Kepercayaannya semakin berkurang mendengar pertanyaan yang sama sekali kini tak dipercayanya lagi. Digenggamnya tinjunya erat-erat seperti ia menggenggam kota dengan peradabannya itu. 

“Aku memikir yang lebih baik. Bukan aku tak cinta pada nenek. Tapi aku jauh lebih cinta pada bayi yang sedang dikandung. Dialah yang memegang hari depan peradaban dan perikemanusiaan ini,” katanya. 

Tiba-tiba dalam kepalanya terbayang buku-buku yang pernah dibacanya. Sebuah pocket book Amerika pernah menceritakan seorang ibu dengan gampang menggugurkan bayinya dengan sebentar pergi ke seorang dokter. Ia merasa seakan-akan dunia ini sudah sempit tidak perlu kelahiran baru dengan harapan-harapan baru dan kemanusiaan baru. Seakan-akan dunia ini tidak punya hari depan lagi. Buku ini sangat menjijikannya. Tapi seorang sahabat lamanya yang sudah menghilangkan kepercayaannya. Ia jijik melihat Umar. 

“Bagaimana dengan adikku, Umar?” tanyanya tiba-tiba. 

Tangannya kini digenggamnya makin erat ketika matanya berkilat-kilat memandang mata Umar yang merunduk, seakan-akan padi-padi yang tidak bernas tapi merunduk. Hatinya tiba-tiba terkelocak lagi. Laut dan angin seakan-akan sudah tidak berharga lagi. Tanah-tanah, semua yang ada dan dapat ditangkap matanya dan kenangan tentang kota dahulu yang manis itu sudah punahlah! Perahu-perahu dan pohon kelapa dan rumah-rumah dengan gereja dan mesjid dan langit dan bintang dan awan dan manusia-manusia yang duduk-duduk jongkok di sana yang mungkin masih mengimpikan bahagia, sudah punah oleh satu sentuhan saja. Mereka lebur jadi satu dalam kepalanya. 

“Bagaimana Umar! Bagaimana tanggung jawabmu terhadap hari depan perbuatanmu sendiri?” 

“Itulah yang aku pikirkan!” 

“Apa?” tanyanya jengkel. 

“Bayi yang dikandung Popong, adikmu. Aku tak bisa tidur siang-malam,” katanya pelan. 

Ia malu untuk meminta pada Umar supaya mengulangi perkataannya, sebab ia kini tak percaya lagi pada telinganya sendiri. Tapi ia merasa memang mendengar suara itu. Tiba-tiba ia membentak, 

“Bagaimana? Kau mau mengawininya apa tidak!” 

Dipasangnya telinganya baik-baik sebab ia perlu mendengar jawabannya. 

“Aku mau mengawininya, Ating. Cuma, berilah kami jalan keluar untuk itu. Bagaimana kami harus kawin, ya, ya, biarpun orang-orang belum tahu, selain kau, aku dan Popong? Tapi percayalah, aku mau mengawininya.” 

Pelan-pelan ia merasakan kembali kata-kata sahabat lamanya itu. Pelan-pelan jari-jari yang tergenggam itu mekar menjadi sepuluh. Dilihatnya jari-jarinya yang mekar itu, seakan-akan ia membaca pada tiap-tiap jari sebuah perintah Tuhan! Pelan-pelan matanya dapat menangkap cahaya lampu perahu yang berkelip, tercelup dalam teluk kotanya, sedikit demi sedikit ia bisa membedakan langit dan laut dan awan dan gereja dan menara mesjid dan rumah-rumah, rumah-rumah yang tetap miskin dan kotor, tapi sempat juga saat-saat itu penghuninya menyanyikan lagu. 
Ia mendengar dengan telinganya lagu itu. Ia benar-benar telah mendengar dengan telinganya sendiri. Kaca matanya dipasangnya. Ia melihat makin terang, orang-orang berbondong-bondong dengan kain sarung di leher mengurangi udara laut dingin. Di pojok sana adalah Pasar ikan tempat ia saban sore dulu berbelanja disuruh ibunya. Sebelah ujung toko Cina ada tempat binatu bapaknya dulu. Pohon-pohonan menutupi sebagian pucuk-pucuk rumah, tapi ia tahu benar, pada pucuk gedung bank itu adalah kampungnya, sekilometer dari pantai. Di sana ia dilahirkan. di Kupangkota, sebagai bayi yang tidak tahu dan tidak mau tahu apa-apa. Tapi sekarang ia tahu bahwa di situlah Kupang kota, sedikit di sana itu rumahnya, rumah batu berpagar batu. Dan ia juga tahu, adiknya sekarang sedang menangis. Ia juga tahu, yang ditangiskannya adalah makhluk yang sedang dikandungnya diam-diam ketika remaja. Ia sekarang bukan saja tahu melihat dengan apa yang bisa ditangkap matanya, tapi juga hal-hal yang di luar jangkauan matanya. 

Ketika mereka berdua berjalan kaki di antara sebanyak itu manusia dan sebanyak itu kendaraan di antara sebanyak itu lampu-lampu dan sebanyak itu jalan raya dan sebanyak itu rumah-rumah, ia menghisap udara kota itu kembali sebanyak-banyaknya pula dengan nyaman. Mereka telah sampai di dekat teng bensin yang biasanya kalau jam satu mereka pulang sekolah dulu mesti ada tukang sulap orang India dengan ular-ular sepuluh macam. Di situ dulu mereka berpisah kalau pulang sekolah. 

Kini mereka sampai di situ. Ia melihat Umar. Kemudian berkata agak gemetar, “Maukah besok kau datang ke rumahku?” 

“Mau,” jawab Umar. 

Saat itu dihisapnya lagi dengan hidungnya bau nafas udara kota itu dan merasa seakan-akan nafas kota itu bernafas kembali di paru-parunya. Ia berkata dalam hati, bau kota kami ini masih nyaman. Ia bahkan menambahkan dalam hati, kami masih menyukai engkau. 

TAMAT

Korupsi

Korupsi

Bab pertama
Sepeda itu telah tua. Pernikelan dan tjatnya sudah lama kabur digantikan oleh karat menebal disana-sini. 

Akupun sudah tua. Kebesaran dan keagunganku telah padam. Jang tinggal hanya umurku jang tua dan kelemahan jang tambah lama tambah menggerumiti tenaga. Presis sepeda itu dengan karatnja yang kian menggerumiti besi dan badjanja. 

Tip hari dengan sepeda tua jang berkerait-kerit bunjinja itu aku masuk dan pulang kerdja diantara lalulintas kota Djakarta jang bertambah riuh. 

Aku hanja seorang pegawai, dan tetap seorang pegawai. Kakekku pegawai dan bapakkupun pegawai. Sebenarnja aku harus berterimakasih masih punja sumberpenghasilan. Tetapi ada banjak hal jang menjebabkan hatiku berontak. 

Telah duapuluh tahun aku djadi pegawai - kumulai dari magang. Tetapi kian hari kian berkurang sadja harta benda dan umurku. Lemari agung jang dahulu menghiasi ruang-depan sudah lima tahun ini hilang disita orang karena hutang tidak terbajar. Sepeda-motor jang dahulu mendjadi kebanggaanku, hasil simpanan selama sepuluh tahun, telah lama melajang. Aku tidak tahu kini siapa jang mempunjainja. Sepeda tua itulah gantinja. Perhiasan isteriku, jang dahulu kerapkali dikagumi orang, sudah lama-lama berubah bentuk mendjadi surat-surat pegadaian jang tidak berharga karena tidak tertebus. 

Tambah lama dinas kepegawaian ini, tambah terondollah rasanja. Dan disamping itu anak bertambah banjak djuga. Itulah pula sebabnja mengapa selalu teringat olehku pepatah Arab: 


Apabila orang miskin mengharapkan uang, ia mendapat anak. Apabila orang kaja mengharapkan anak ia mendapat uang. 
Dan barangkali dalam sepuluh tahunn jang akan datang tambah tiga atau empat lagi anak ini. Lihatlah jang sudah ada sekarang! Dahulu tjuma Bakri. Sekarang? Bakar, Basir dan Basirah. Kadang-kadang aku malu pada diriku sendiri mengharapkan satu atau dua diantara mereka mati, agar kemiskinan ini ikut berkurang agak sedikit. Dan apa bila pikiran demikian berkundjung dibenakku, segera aku berdoa dan memohon kepada Tuhan jang pemurah agar mereka kelak tidak mengalami kesulitan seperti aku, ajahnja. 
Ah, dahulu mendjadi pegawai negeri adalah suatu penghormatan. Kebesaran malah. Dan aku harap anakkupun mendjadi pegawai. Itulah sebabnja mereka kuberi huruf pangkal B seperti namaku Bakir, agar sedikit atau banjak memperoleh tuahku dan bisa mendjadi pegawai pula. Kuharapkan dengan huruf pangkal itu mereka mendapatkan kedjajaan sebagaimana halku dahulu. Tapi beginilah keadaanja sekarang. 

Dahulu aku mempenjai rumah sendiri. Sekarang demikian pula. Tetapi beberapa kamar, itupun jang terbaik dan terdepan letaknja, terpaksa disewakan. Kini dipergunakan sebagai warung oleh satu keluarga Tionghoa. Mula-mula memang sedap rasanja menerima beberapa ribu rupiah uang kuntji. Tetapi setelah uangkuntji habis dimakan, jang tinggal hanja keributan jang tiada habis-habisnja. Tjuma dimalamhari kami dapat hidup tenang. Kami tinggal dibagian belakang, sebuah bilik, sebuah ruangtamu dimana anak-anak tidur ditikar dimalamhari, sebuah dapur dan kamarmandi jag harus dipergunakan bersama-sama dengan keluarga Tionghoa didepan. 

Kami ingin mendapat tempattinggal aman. Kami butuh uang untuk mengusir warung didepan. Anak-anak sudah besar dan hatus melandjutkan sekolahnja. Ah, dahulu sekolah hanja kebanggaan, kebesaran dan pangkal segala tjita kemuliaan. Sekarang hanja suatu kewadjiban jang biasa sadja. 

Betapa sempit rasa hidupku, kering, dan kelabu, ialah waktu suatu kali anak-anakku berlari-larian mendapatkan aku dengan paras berseri-seri. - Pak, pak, aku lulus! Bulan muka masukkan aku ke SMA. 

Itu beberapa bulan jang lalu. Kemudian disusul lagi oleh jang lain. 

- Pak, pak. Aku djuga lulus. 

- Anak-anakku tiada jang bodoh, kataku menjambut kegirangannja. 

- Bulan depan aku minta masuk SMP, sambung anak kedua si Bakar. 

Semua itupun harus kupikirkan. semua itupun harus mendapat sumberpenghasilan untuk memungkinkannja. Bila tidak, akan terabalah kemungkinan hidup hidup mereka kelak. Malam datang. Berkali-kali aku bangkit-tidur, tapi achirnja kurebahkan djuga tubuh - tuaku dirandjang. Disamping istriku tidur njenjak tetapi aku tetap gelisah. Banjak diantara kawan-kawan jang mudjur dalam penghidupannja terkenang olehku. Dan achirnja terniatlah dalam hati, seperti sudah djamak dimasa ini: KORUPSI. 

Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnja baik dimulut maupun dihati: koripsi, korupsi, korupsi. Achirnya teguhlah niatku untuk mengerdjakannja djuga. Berdegung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi. Tiap dinding dan tiap benda dikamar serasa merasa ikut menggigilkan kata jang itu-itu djuga: korupsi! korupsi! 

Ah, alangkah sakit hatiku ini - merasa harus meninggalkan sedjarah jang lama, jang telah kubangunkan dari hari kehari - untuk memasuki, untuk mereguk sedjarah baru, sedjarah kemegahan dimana tidak ada batas jang menghalangi. Alangkah sakitnja dihati harus mengutjapkan selamat tinggal kepada kebiasaan jang dilakukan tiap hari, tiap detik. 

Dalam keriuhan pemilihan, dalam kebalauan itu, akupun djatuh tertidur. 

(Berlanjut...) 

Pramoedya Ananta Toer

Tjetakan Kedua
N.V. Nusantara
Bukittinggi - Djakarta
1961 

Kopi Pahit Kehidupan

Malam masih dua setengah jam lagi berlalu sebelum pagi tersenyum. Orang-orang kampung masih terlelap, mungkin masing-masing mereka masih akan kebahagian dua buah mimpi lagi sebelum ayam jantan pertama memamerkan suaranya yang parau.
Di malam yang hening bening kesukaan maling dan hantu-hantu gentayangan tersebut terlihat dua orang laki-laki kekar sedang duduk berhadapan, mereka saling menatap mata manusia di hadapannya lekat-lekat, lalu seorang dari laki-laki itu berkata, “Keluarkan pisaumu Lukman! Asahlah. Malam ini semua harus selesai, segala hutang-piutang dan persoalan antara kita harus selesai.”
“Aku tidak perlu pisau. Pisau tidak menyelesaikan persoalan, Suman.” 
“Pisauku ini akan melukaimu, bahkan bukan tidak mungkin, ia akan membantuku menghilangkan nyawamu.” Ancam laki-laki yang bernama Suman.
“Aku tidak takut karena hari ini lidahku akan lebih tajam dari pisaumu.”
“Kalau begitu bersiaplah. Kau akan kutusuk.”
“Aku tidak takut. Tapi, sebelum kau tusukkan pisaumu itu ke jantungku dengarlah dulu kata-kataku.”
“Apa lagi yang ingin kau katakan?”
“Aku tidak meniduri istrimu. Kami hanya minum segelas kopi menunggu kau pulang.”
“Selama tujuh musim hujan kau hanya minum segelas kopi menunggu aku pulang bersama Marfuah? Omong kosong macam apa ini, ha!? Setiap malam selama tujuh musim hujan kau bertandang ke rumahku hanya untuk meminum segelas kopi? Apakah kau tidak mampu membeli kopi?”
“Aku mampu, tapi bagaimana mungkin aku bisa menikmati kopiku sementara Marfuah istrimu terus-menerus menitikkan air mata menunggu kepulanganmu?”
“Lalu kau menghiburnya dengan imbalan segelas kopi? Begitu!?”
“Tidak. Imbalannya bukan segelas kopi, karena aku mampu membeli segelas kopi.”
“lalu apa imbalannya, keparat?”
“Rasa puas.”
“Rasa puas!? Anjing! Jadi kau betul-betul meniduri istriku? Keparat kau!”
“Kau salah paham.”
“Persetan! Enyahlah ke neraka jahanam!” Lalu Suman menerjang ke arah Lukman, dihunjamkannya belati yang tergenggam di tangan kanannya ke dada Lukman. Lukman terkapar, darah mengalir, namun di bibirnya tersungging senyum tulus.
Sambil berkelonjotan, Lukman memanggil Suman, katanya, “Suman, sahabat masa kecilku. Aku tidak meniduri istrimu. Rasa puas yang kumaksud bukan rasa puas seperti yang ada di kepalamu. Aku menemani istrimu selama tujuh musim hujan menantikan kepulanganmu, sejak kutemani istrimu tidak lagi menangis melainkan menantikanmu dengan penuh pengharapan. Aku merasa puas karena bisa menghibur Marfuah, istrimu, jadi aku bisa menikmati kopiku tanpa rasa bersalah. Adalah sangat tidak manusiawi ketika aku membiarkan istrimu menangis sedangkan aku malah asyik menikmati kopi pahitku, kawan.”
Lukman berkelonjotan, darah terus mengalir dari dadanya, kemudian diam, tak bergerak, mati. Suman tak tahu harus berbuat apa, ia hanya tertawa sementara hatinya terluka. Suman menjadi gila, bila salah seorang dari kalian sempat bertemu dengan seorang pria kekar berambut gimbal dan sambil tertawa ia mengucapkan kata ”Mati” ia adalah Suman yang telah membunuh sahabat dari masa kecilnya hanya karena segelas kopi.

Nologaten, 25 February 2003.
Sembari menunggu sarapan pagi

Kontradiksi

Kontradiksi

Oleh Muhammad Ridwan
Penulis adalah mahasiswa Univ. Widya Gama Malang

Aku benci wanita paruh baya itu, aku tidak begitu mengenalnya, dan aku punya banyak alasan untuk itu. Kecilku dalam dekapan nenek, remaja kuhabiskan dengan ayah, dan kini aku jauh dari mereka karena waktuku habis untuk kuliah. 

Sering sih aku jengah dengan keluargaku yang tidak mengenal figur seorang ibu. Beda dengan kebanyakan teman kuliah yang selalu memilih hilir mudik jika liburan. Yah, itu tadi, ibu mereka kangen atau apalah. 

Yang pasti, aku tidak punya alasan untuk pulang. Sekadar merasakan kehidupan yang sama seperti dulu atau sebagai sasaran empuk tetanggaku yang gemar bernyanyi tentang cerita keluargaku yang tidak pernah kering.

Justru beranjak dewasa, sikapku labil seperti dua sisi koin. Ada saatnya aku merindukan sosok ibu, saat lainnya aku tidak butuh. Atau kadang-kadang aku rindu sekaligus benci pada seorang ibu. 

Aku rindu setiap kali perasaanku tercabik dengan rengekan teman-teman pada ibu mereka. Aku juga bisa benci jika dongeng tentang ibuku berdengung. Ayah selalu bilang tetangga kita suka mendongeng tentang ibuku. Namun jelas terlihat ayah berusaha menutupi kerapuhannya sendiri.

"Eh, apa bu Ningsih masih sama Roy si pengangguran itu?" celetuk pedagang sayur. 

"Mm, Ibu nggak tahu ya? Sekarang bu Ningsih itu ke mana-mana selalu diantar Yamin, karyawan barunya itu," balas tante Iin yang diamini tetangga lain yang juga asyik mengerumuni pedagang sayur langganan di kompleks perumahanku.

Aku selalu telat mendengar satu kisah baru yang utuh tentang ibuku. Mereka selalu rapi mengemasnya. Seringkali aku menguping penggalan cerita yang simpang siur dan ayahku selalu diam.

"Lan, kamu nggak usah mikirin omongan orang tentang ibumu. Yang penting kamu konsen belajar, sebentar lagi kan kamu kuliah." Ayah selalu mengakhiri debat dengan klise. 

Itu dulu. Sekarang aku seorang mahasiswa, siap sebagai lelaki dewasa. Siap melangkah skeptis pada sosok ibuku yang konon senang menjelma sebagai dewi Amor di mana-mana.

Seandainya keberanian ini masih ada, ingin rasanya kujelaskan pada Dewi, Mitha, Santi, atau cewek mana pun yang berusaha dekat denganku. Terlalu abstrak aku membedakan cinta itu sendiri. Aku kadang berpikir, apakah cewek-cewek itu sama seperti ibuku? 

"Lan, aku nggak malu dengan perasaan ini. Asal kamu tahu, sejak dulu aku sudah ada rasa." 
"Kamu mau nggak jadi pacarku?"
"Lan, entar malam nonton yuk!"
"Lan, kayaknya si Inka naksir berat sama kamu."

Kata mereka aku tampan, unik, dingin, dan kaku. Aneh juga mereka penasaran ingin menaklukkan hatiku. Ibuku aja nggak butuh cowok tampan, malah kebanyakan biasa, kalau bisa dibilang jelek dan rata-rata sebayaku. Sekali lagi, apakah ibuku atau cewek-cewek itu yang punya cinta?

Aku tidak mau dicap paranoid. Pelan-pelan aku mulai terbuka pada kaum hawa. Apalagi wanita paruh baya seperti ibu kosku, penjual es cendol, ibunya teman-temanku, hingga dosenku sendiri. 

Aku berharap mereka tidak seperti ibuku. Aku sudah kenyang dengan nasihat-nasihat ibu kosku, sering tertawa lepas dengan ibu-ibu penjual es cendol, hingga terlalu sering berdebat dengan bu Rini, dosenku sendiri. 

"Lan, gimana persiapan seminar minggu depan?" tanya bu Rini yang sibuk menata paper kuliahnya. Tinggal aku sendiri di kelasnya. 
"Semua sudah disiapin Bu. Tinggal penyebaran brosur ke teman-teman mahasiswa," jawabku santai.
"Kamu ada kuliah lagi ya?"
"Nggak ada Bu. Aku mau langsung pulang, capek."
"Kebetulan saya juga mau pulang. Sekalian saya antar."
"Tapi Ibu…"
"Sudah, nggak apa-apa. Ayo!" potong bu Rini sambil berlalu ke arah parkiran.
Ini kesekian kalinya aku pulang kuliah bareng bu Rini dengan Baleno-nya. Risih juga mendapati seluruh mata penghuni kampus terfokus padaku. Belum lagi godaan teman-teman sekosku.
"Enak ya jadi asistennya bu Rini. Ke mana-mana bawaannya mobil," goda Budi gembrot yang sibuk mencekoki mulutnya dengan gorengan. 

Rasa capekku melebihi godaan si gembrot. Anak-anak yang lain ikutan nimbrung di ruang tamu, selalu kompak menggodaku. 
"Apalagi bu Rini kan sudah lama menjanda."
"Masa sih janda? Yang benar aja Di!"
"Iya, ngapain sih aku bohong?"
"Benar itu Bul! Apalagi pak Ismet, dosen lapuk itu lho! Ke mana-mana ngekor melulu sama bu Rini."
"Sebenarnya bu Rini itu cakep lho. Coba kalian pelototin deh setiap kali bu Rini mencopot kacamatanya."

"Pantesan cewek-cewek di kampus pada alergi sama bu Rini. Takut kalah saingan kali yee!"
Kudengar tawa mereka tidak beraturan. Hatiku geli mendengar mereka debat hingga lupa dengan obyekan mereka. 

Harus kuakui, hubunganku dengan bu Rini semakin kental. Aku sampai lupa kalau beliau adalah dosenku. Apalagi beberapa kali kegiatan kampus yang melibatkan bu Rini, aku juga turut di dalamnya. Katanya sih abilitasku memadai untuk itu. 

Kini bu Rini sudah terbiasa blak-blakan atau tepatnya cablak tentang segala tetek bengek problem pribadinya. Mengajakku mampir ke rumahnya, sampai memaksaku memakai Baleno-nya. 

Satu persatu kepingan cerita teman-teman menggantung di benakku. Semakin jelas dan terarah. Namun itu tadi, aku belum bisa mendefinisikan makna cinta itu sendiri. Tapi yang pasti aku punya satu alasan dari seribu alasan ibuku yang gemar bertualang. Dan aku yakin sampai detik ini ayahku belum punya jawaban atas ambruknya keluarga kami. Semoga tetap begitu.

Kebersamaan ini membuatku semakin malas untuk pulang. Aku terlalu sibuk untuk belajar segala hal dari bu Rini. Mulai dari kuliah edukasi hingga kuliah, maaf, Kamasutra.

"Hidup ini sering mempermainkan kita Lan. Ada kalanya aku bermain dengan intuisi dalam menyikapinya, namun sering nggak berperasaan. Tapi bukan berarti aku nggak punya perasaan terhadapmu." Terlihat bu Rini mencoba membaca air mukaku, menunggu senyum tipisku mengembang untuk kesekian kali. Tak ada paksaan dalam hubungan ini. Aku hanya mahasiswa yang terlelap dalam pelukan dosennya. 

Dindingku jebol. Bu Rini begitu luwes menuntunku ke dalam muara cintanya. Semakin kuat aku berontak, semakin dalam aku terseret dalam permainan ini. Apakah ibuku mengalami hal yang sama? Karma, bukan, karma, bukan, karma, bukan…ah persetan!

Kalian boleh menuduhku munafik, bertopeng, atau apa saja untuk menghakimi sikapku yang apatis. Aku hanya berharap kalian yang broken home tak terjebak dalam situasi yang aku alami. Aku kuatir kalian akan menjilat kembali tuduhan di atas. Karena, sejatinya kebencian dan keinginan itu sangat tipis bedanya. 
Apakah cinta sekompleks itu? Terserah kalian.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer