Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 April 2016

Kau Perlu Tahu

Kau Perlu Tahu - Ucu
Dikemas 11/04/2003 oleh Editor  


Sungguh, aku tak bermaksud mengusikmu, apalagi membuatmu terbangun untuk kemudian terdengar tanya darimu tentang potongan-potongan rindu yang berpendar yang entah kapann menyatu. Hanya saja, engkau perlu tahu (kurasa) saat kebetulanisme-kebetulanisme yang kerap aku alami dan menjadi semacam ritual kecil dalam waktu yang kian menyusut. Sebab itulah, aku mulai menyangsikan segenap kontemplasi empirisme yang kujalani. Toh, walaupun demikian aku sebenar-benarnya hanya ingin engkau menoleh pada ritual yang kualami.
Dari malam yang masih setia menemaniku, terhempas lelah akan rindu, dungu oleh asmara, dan terhuyung oleh kepenatan. Kadang aku tersenyum, kadang aku membisu pula gundah. Aku merenggut sedapat mungkin agar terlepas untuk berada pada titik nol bila nantinya aku terlelap.
Tangan itu masih membelaiku, mendekapku dalam peluk yang teramat erat. Perlahan melunak, menghentak-tentu saja aku terkejut-menerjang pula. Tangan itu membuntuti seolah ingin memintalku menjadi perca-perca tak berbentuk. Anehnya, tangan itu tak juga berupa. Tapi sebentuk cincin perak bermata biru langit nyata menghiasi jari manis.
Ritual itu kerap datang dalam lelapku, dan aku sadar ada pertanda dalam segalanya. Kutahu tangan-tangan itu milikmu, Aku tak akan bertanya mengapa, sebab aku akan beranjak.




Karmakronik

Karmakronik
Dikemas 03/03/2004 oleh Editor  
Tetanggaku bercerita berapi-api tentang babi yang gantung diri pakai dasi. Katanya, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bersama mata kepala selingkuhannya, tadi, di belakang kantor kelurahan yang sudah sepi. 

Bukan cuma itu, mereka, katanya, juga mendengar babi itu merintih minta tolong. Begitu ketakutan mereka hingga tak jadi menjalankan niatnya untuk sabung birahi. Lari. Lalu setelah mengantar selingkuhannya pulang, dia segera ke rumahku untuk menceritakan semua yang dilihatnya itu. juga semua yang didengarnya. semua yang dilihat dan didengar olehnya bersama dengan selingkuhannya. 

Bagaimana bisa dipercaya?

Sekalipun dia adalah tetanggaku dan juga temanku yang paling jujur, dan semua orang di kampung ini tahu itu. Bahkan pada istrinya pun jujur dia katakan kalau dia berselingkuh. Tapi seperti biasa, karena begitu terkenal reputasinya sebagai orang jujur, istrinya menganggap dia bercanda. Istrinya sering mengatakan ke tetangga-tetangga bahwa selain jujur, suaminya itu suka bercanda. Romantis, katanya. Sudahlah, aku tak mau ikut campur masalah rumah tangga orang. 

Tapi aku pikir kali ini dia mengada-ada. Tapi, sebagai temannya aku tak ingin reputasinya hancur gara-gara masalah babi ini, jadi aku menganjurkannya supaya dia tidak menceritakan hal ini ke orang lain. Karena, jujur saja, aku seringkali membutuhkan kejujurannya itu untuk kepentingan-kepentinganku. Bagaimana bisa, atau bagaimana caranya, biarlah itu jadi rahasia kami saja. Yah, mungkin aku bukan teman yang baik, apalagi sejati, cuma teman saja, teman kebanyakan, seperti kebanyakan seorang teman. Tapi aku lebih suka menyebutnya: realistis.

Dan, sebagai orang yang realistis, tentu aku tak bisa begitu saja percaya pada cerita tetanggaku itu yang ... apa namanya? surealis? yah, apalah itu, pokoknya tidak logis. Menurutku kemungkinan yang paling masuk akal jika memang yang dilihat tetanggaku itu benar--wah, mengapa aku jadi mulai sangsi dengan kejujurannya?--maka ada seseorang yang menjerat leher seekor babi dan menggantungnya di belakang kantor kelurahan. Tentang suara minta tolong itu? Entah, tapi, karena aku sudah terlanjur menyangsikan kejujurannya, aku berpikir itu konspirasi mereka untuk mendramatisir ceritanya.

Maka, demi pelurusan kebenaran dan pemenuhan rasa penasaran, aku mengajak tetanggaku itu untuk melihat lokasi kejadian. Hampir saja aku menanyakan apa dia masih ketakutan, tapi kemudian aku sadar kalau dua atau lebih laki-laki melahirkan keberanian (agar lebih fair, begini versi lengkapnya: "satu orang laki-laki mengahasilkan omong besar, dua atau lebih laki-laki menghasilkan keberanian"), itu sudah hukum alam. Setidaknya, menurutku.

Benar, dia langsung menyetujuinya dan terlihat begitu bersemangat 

Dan, ternyata juga benar apa yang dikatakannya. Aku melihatnya, seekor babi tergantung dengan dasi yang menjerat lehernya. Seekor babi yang besar. Dan terlihat segerombolan tikus mengerubunginya di bawah seakan mengharap dasi itu putus dan babi itu jatuh agar bisa menyantapnya. Beberapa dari mereka, yang berbadan besar, berusaha menjilat kaki belakang babi yang berjarak beberapa senti dari tanah, sambil sesekali meloncat-loncat. Menjijikkan. Tentu saja, seperti perkiraanku, tak ada suara minta tolong. Tapi aku tak mau membahasnya lagi, tetanggaku pasti akan berkelit mengatakan kalau babi ini sudah sepenuhnya mati, jadi tentu saja tak bisa lagi bersuara.

Aku juga tak ingin berdiskusi dengan tetanggaku ketika sekilas kulihat lidah tikus-tikus yang menjilat kaki babi itu bercabang, seperti lidah ular. Bahkan aku sendiri sejujurnya tak begitu yakin apakah tikus punya lidah. Aku malas mendengar teori tetanggaku yang pasti akan mengatakan bahwa itu tikus-tikus itu adalah tikus surealis dari negeri tidak logis yang datang dengan tujuan mistis dan seterusnya dan seterusnya. Dan aku melihat tetanggaku juga tak bernafsu membahasnya, wajahnya terlihat tegang menyaksikan pemandangan menjijikkan ini

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara teriakkan. Benar-benar dikejutkan. Kami sama-sama melompat karenanya. Sialan!. Arah suara itu berasal dari seseorang yang berlari ke arah kami. Kami mengenalnya, tetangga kami juga. Sehari-harinya dia bekerja sebagagi kenek angkutan desa. Orang jujur juga, tapi reputasi kejujurannya tidak setinggi temanku. Sesekali pernah dia ketahuan berbohong. Kalau menurutku pribadi, tetanggaku yang kenek lebih baik dari tetanggaku yang temanku ini. Dia memang beberapa kali berbohong, tapi aku tahu itu untuk tujuan baik, sedangkan temanku sering memanfaatkan kejujurannya, atau lebih tepatnya, reputasi kejujurannya, untuk tujuan yang busuk. Tapi, sejujurnya pula, aku tak peduli.

Sejenak kami bisa melupakan ketegangan dan rasa jijik melihat tetanggaku yang kenek itu berlari dari kejauhan sambil berteriak-teriak. Ada yang lucu padanya: dia memakai setelan jas. Kami saling berpandangan tersenyum geli. Kami tahu, jas jelas di luar jangkauan kebutuhan dan kemampuannya. Tak banyak, mungkin hanya satu dua orang di kampung ini yang punya jas, dan pasti tetanggaku yang kenek itu berada bersama kelompok mayoritas. Tapi tak ada sama sekali di benak kami kalau jas yang dia pakai itu hasil mencuri, seperti kataku tadi, dia juga orang jujur. Hanya geli, ekspresi muka dan pembawaannya itu sama sekali tidak match dengan jas yang dia pakai.

“Sudah mati? Babi sialan. Aku yang menggantungnya tadi,” katanya setengah terengah setelah tadi berlari mendekati kami. Ah, akhirnya, logika pemenangnya. Gantung diri? Hahaha aku melirik setengah mengejek ke arah temanku, tapi dia pura-pura tak melihatnya. Sudahlah, lagi pula ternyata tak sepenuhnya logis apa yang diceritakan tetanggaku yang kenek ini. Dia mengatakan kalau memergoki babi itu sedang berusaha mencuri uang simpanannya di lemari. Babi itu lari dan tetanggaku itu mengejarnya sampai akhirnya berhasil menangkap dan menggantungnya di sini. Rumahnya memang tak jauh dari kantor kelurahan ini.

Tetapi, biarlah, cerita babi jadi-jadian yang suka mencuri atau lebih dikenal dengan nick name-nya "babi ngepet", masihlah bisa diterima oleh orang kampung. Walaupun menurutku ini adalah babi betulan yang masuk ke rumahnya, menabrak lemarinya hingga terbuka, mengendus-endus isinya, tanpa trik. Ah, tapi tak ada gunanya aku mendebatnya. Di kampung ini hiburan yang ada sangat sedikit, dan cerita-cerita konyol seperti itu salah satunya, jadi aku tak tega merusaknya.

Tetanggaku yang kenek itu juga mengatakan kalau dia terpaksa meninggalkan babi ini tanpa langsung menurunkannya karena ingat ada janji ketemu dengan juragannya, pemilik angkutan desa. Entah urusan apa, dia tidak mengatakannya, tapi tampaknya penting sehingga katanya dia terpaksa meninggalkan babi ini dalam keadaan belum mati. Aku dan temanku cuma manggut-manggut mendengar ceritanya. Semoga dia tidak menangkap ekspresi kami yang menahan tawa melihat ketidakserasian jas yang dipakainya itu.

Mungkin jas itu didapatnya dari juragannya. Entah hadiah, atau karena juragannya itu kelebihan jas, atau mungkin ada yang ukurannya kekecilan, daripada dibuang lebih baik disumbangkan ke pegawainya. Ya, mungkin seperti itu. Tapi aku tak berani menanyakannya, takut tawaku lepas. Juga temanku, dia diam saja dari tadi. Mungkin dia sadar bahwa tidak selalu kejujuran harus diungkapkan.

Jadi, maksud tetanggaku yang kenek itu kembali ke sini adalah untuk memastikan babi itu mati dan menurunkannya. Dia tak mau kejadian itu menghebohkan kampung ini. Makanya dia juga terus-menerus mengingatkan kami untuk tidak menceritakan hal ini ke tetangga-tetangga yang lain. Bagiku tak jadi masalah, aku cuma khawatir dengan temanku yang paling tidak bisa menjaga rahasia, atau menurutnya, menahan kejujuran. Tapi setelah kupikir lagi, untuk apa aku khawatir, tak juga jadi masalah buatku kalau semua orang tahu kejadian ini. Kami mengangguk.

“Nanti biar aku yang menguburnya. Ingat, jangan bilang siapa-siapa,” sekali lagi dia mengingatkan, entah sudah yang keberapa kalinya. Dan kami mengangguk lagi. Aku jadi berpikir kalau dia sebenarnya tahu siapa pemilik babi itu dan dia takut kalau orang itu sampai tahu dia yang membunuh babi peliharaannya. Tapi, seingatku, di kampung ini tak ada yang memelihara babi. Entahlah.

Lalu dia mendekati babi yang tergantung itu, untuk menurunkannya. Tikus-tikus aneh tadi langsung berlarian melihat ada yang datang mendekat. Ternyata ia kemari bukan hanya untuk memastikan babi itu sudah mati dan menurunkannya, tapi, “Aku juga kemari untuk ambil dasi ini. Yang untuk menjeratnya ini.”

“Kenapa mengikatnya pakai dasi?,” tak tahan aku untuk bertanya.

“Tidak ada tali, jadi aku pakai dasinya saja.”

“Dasinya?,” kali ini aku dan tetanggaku hampir bersamaan.

“Ya, babi sialan ini memang tadi memakai dasi. Ya, dasi ini...,” katanya setelah berhasil melepaskan ikatan dasi pada leher babi itu. “Juga jas yang sekarang aku pakai ini.”

03/2004




Kang Panut

Kang Panut

Cerpen Sawali Tuhusetya 
NADA tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk mata, beberapa penduduk berjingkat dari pembaringan, menerobos pintu, menyibak kabut dingin.
"Ada yang meninggal, ya, Kang?" tanya seseorang.
"Mungkin!" sahut yang lain.
"Kira-kira siapa yang meninggal, ya, Kang?"
"Mana aku tahu? Tapi kalau ndak salah tangisan itu dari rumah Kang Panut!"
"Tapi setahu saya keluarga Kang Panut sehat-sehat saja, kok!"
"Yah, semoga tidak ada apa-apa!"
Mereka terus berjalan menyusuri jalan desa yang dingin dan berkabut. Tergesa-gesa. Suara tangis makin menyayat-nyayat. Para penduduk makin tak sabar. Ketika tiba di rumah Kang Panut, mereka menyaksikan kesibukan yang berlangsung di gubug reot berdinding bambu itu.
"Urut pergelangan kakinya!" seru seseorang.
"Bikinkan kopi, cepat!"
"Tekan jempol kakinya!"
Suara penduduk kampung yang riuh berbaur dengan bau mulut, suara batuk, suara tangis, suara kokok ayam. Di kejauhan sana suara azan subuh menggema, menampar dinding bukit, menggoyang lembah hantu dan demit, menggetarkan kaki langit. Di atas pembaringan, Kang Panut tergolek tak berdaya. Bola matanya mendelik dahsyat. Wajahnya pasi, kehilangan cahaya kehidupan. Napasnya berat dan sesak. Kerongkongan dan rongga dadanya seperti tersumbat beban yang mahaberat. Beberapa penduduk sibuk mengurusnya. Namun, agaknya Tuhan telah berkehendak lain. Lelaki kurus itu tiba-tiba meronta dahsyat, lalu diam, tak berkutik. Sekujur tubuhnya kaku dan dingin. Mati. Seorang perempuan kurus memekik histeris; roboh dan tersungkur ke lantai. Kabut duka bergulung-gulung menyelimuti gubug reot itu.
Tak seorang pun menduga, Kang Panut bakal meninggal secepat itu. Kemarin, para penduduk masih sempat menyaksikan lelaki kurus bermata juling itu bekerja sebagai tukang masak air di rumah Pak Lurah Kimpul yang sedang punya hajat mantu. Dengan celana kolor hitam dan kaos oblong lusuh, Kang Panut bergelut dengan api dan asap dapur. Memasak air untuk suguhan para tamu. Wajahnya tampak lelah. Namun, Kang Panut tak menghiraukan. Dia terus bekerja sampai hajat usai.
Agaknya Kang Panut menikmati betul pekerjaannya itu. Hanya dengan upah lima ribu rupiah, dia sambut tawaran setiap penduduk yang membutuhkan tenaganya dengan senang hati. Yu Ginem, isterinya pun tak pernah berontak. Dari dalam gubugnya yang reot itu hampir tak pernah terdengar percek-cokan. Hanya sesekali terdengar tangis kedua anaknya yang saling berebut makanan atau nasi kenduri dari tetangga. Selebihnya, gubug reot itu senantiasa sunyi, tersisih di sudut perkampungan yang tak pernah terjamah suara radio atau televisi. Jika malam tiba, dari balik gubug itu menggema suara jangkrik atau gangsir yang bersembunyi di sela-sela gundukan cacing tanah yang lembab dan kotor.
***
BERITA kematian Kang Panut bagaikan terbawa angin, menyebar dengan cepat ke seantero desa. Para penduduk berdatangan secara bergelombang. Maklumlah. Hampir semua penduduk desa dari ujung barat hingga ujung timur mengenalnya. Dia dianggap telah berjasa menghidupkan hajat banyak orang. Seandainya tidak ada Kang Panut, pasti akan sering terjadi keributan. Para tamu yang hadir merasa tidak dihargai lantaran tak disuguhi minuman. Kasak-kusuk dengan mudah dan cepat berkecamuk di setiap kepala. Memang hanya sekadar minuman. Namun, bisa menjadi persoalan besar lantaran menyangkut harga diri dan kehormatan.
Para pelayat membludak. Gubug reot itu seolah-olah mau ambruk; tak kuasa menampung pelayat yang berjejal-jelal. Sebagian yang lain menyingkir ke emper rumah-rumah tetangga. Pak Lurah Kimpul pun menyempatkan hadir. Bola matanya berkaca-kaca. Entah, pikiran apa yang tengah berkecamuk di rongga kepalanya.
"Huh! Dasar koruptor! Untuk apa ikut-ikutan layat?" gerutu seorang pemuda di tengah kerumunan pelayat yang berjubel.
"Hus! Jangan keras-keras! Ini bukan saatnya mengobral umpatan! Ndak baik!"
"Alah! Memang takut?"
"Ini bukan soal takut atau tidak takut, tapi soal kepantasan! Pantaskah kita mengumpat-umpat di tengah suasana duka seperti ini?"
"Oh, Sampean ingin membela lurah yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa itu, hem?" Suasana tiba-tiba tegang. Para pelayat saling bertatapan. Orang-orang yang semula menunduk takzim di sekeliling jasat Kang Panut terusik; bergegas keluar gubug dengan kepala diserbu tanda tanya.
"Hei! Jangan seenaknya menuduh orang, ya?" Plak! Sebuah bogem mentah meluncur. Terjadi keributan. Saling pukul. Para pelayat berebutan melerai. Pak Lurah Kimpul menyibak kerumunan, mengucak-ucak bola mata di balik kaca mata minusnya yang tebal. Jidatnya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
"Kalian ini gimana toh? Pantaskah ribut-ribut dalam suasana seperti ini? Bukannya mendoakan Kang Panut, tapi malah bikin keonaran. Dasar!" sergah Pak Lurah Kimpul dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. Para pelayat kembali saling bertatapan.
"Hei, Pak Lurah! Apa hak Sampean melarang-larang orang! Jangan sok menasihati! Berkacalah Sampean!" sahut pemuda yang tadi kena bogem mentah dengan nada gemetaran. Jari-jarinya mengusap darah yang menetes dari belahan bibirnya yang pecah. Pak Lurah Kimpul terkejut. Bola matanya membelalak. Para pelayat kembali bertatapan untuk ke sekian kalinya, saling berbisik. Suasana berubah riuh seperti kerumunan lebah mencari sarang.
"Edan! Sinthing! Gendheng! Berani-beraninya ngomong seperti itu di depan Pak Lurah?" Seorang lelaki tua berikat kepala hitam menyeruak kerumunan dan mencengkeram krah baju si pemuda dengan kekuatan penuh, lantas disentakkan dengan keras. Si pemuda terjengkang.
"Sampean semua yang gendheng! Sudah kena tipu sama si Lurah brengsek itu!" sahut si pemuda dengan tubuh sempoyongan. Telunjuknya menuding wajah lelaki tua berikat kepala hitam dan wajah Pak Lurah Kimpul. Lantas, beranjak menjauhi kerumunan. Darah lelaki tua berikat kepala hitam berdesir. Rongga dadanya serasa diserbu puluhan kalajengking. Perih dan nyeri. Bola mata Pak Lurah Kimpul berkeriyap dari balik kaca mata minus tebalnya. Jantungnya bergetar hebat. Keringat meluncur deras di dahinya. Berkilat-kilat. Ulu hatinya serasa dihantam godam bertubi-tubi. Cahaya matahari seolah berubah bagaikan kilatan pedang yang siap merajam tubuhnya. Baru kali ini dia diperlakukan sekasar itu oleh warganya sendiri. Dia tidak tahu harus berbuat apa menghadapi pemuda sundal itu.
"Sudahlah, Pak Lurah! Anggap saja dia orang gila. Buat apa diurusi? Sekarang, mari segera kita urus jenasah Kang Panut!" rajuk lelaki tua berikat kepala hitam sambil tersenyum. Hambar. Pak Lurah Kimpul termangu. Pikirannya menerawang entah ke mana.
Sementara itu, para pelayat juga tak habis pikir dengan sikap si pemuda yang dianggap keterlaluan. Dalam sejarah desa di bibir hutan jati itu, baru kali ini ada seorang pemuda yang demikian nekat dan berani mengumbar kata-kata kasar di depan hidung seorang pemimpin.
Tanpa tahu sebab yang pasti, dari balik gubug duka tiba-tiba terdengar suara gaduh. Para pelayat berlarian. Berjejal-jejal.
"Kang Panut hidup lagi!" teriak seorang penduduk mengabarkan.
"Ha? Hidup lagi?" Mulut para pelayat menganga.
"Ah, tidak mungkin!"
"Lihat saja sendiri!" Para pelayat makin tak sabar.
Bagai tersihir, para pelayat terpaku menyaksikan Kang Panut duduk bersila di atas meja. Mulutnya menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tampak deretan giginya yang kuning dan kotor. Orang-orang sibuk menutup lubang hidung.
"Kang? Sampean hidup lagi, Kang?" tanya Yu Ginem sambil merangkul Kang Panut. Sepasang mata perempuan kurus itu berkaca-kaca seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kang Panut tak menjawab. Mulutnya terus menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Namun, di rongga hidung Yu Ginem bagaikan aroma bunga dari sorga. "Puji syukur Ya Allah, suamiku hidup kembali!" lanjutnya sembari membungkus tubuh suaminya dengan sarung dan kaos oblong lusuh. Yu Ginem serasa bermimpi. Tubuhnya gemetar saking senangnya. Para pelayat masih termangu sembari menutup hidung rapat-rapat.
"Nem, ini anugerah dari Sing Nggawe Urip. Kamu harus bersyukur, suamimu telah kembali! Mungkin belum saatnya suamimu menghadap Gusti Allah!" kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil mendekati Yu Ginem dan Kang Panut. Pak Lurah membuntutinya sambil menutup hidung rapat-rapat.
"Ya, Mbah!" jawab Yu Ginem sambil mengangguk-angguk.
"Nut, Panut!" sapa lelaki berikat kepala hitam. "Kamu masih mengenalku, toh?" Tak ada reaksi. Kang Panut hanya menyeringai. Hawa busuk menyembur-nyembur. Perut Pak Lurah tiba-tiba terasa mual seperti digerayangi ratusan cacing pita. Dan dia tak kuat lagi menahan isi perut yang terus menyodok-nyodok kerongkongannya. Lelaki tambun itu muntah-muntah. Para pelayat berpandangan.
"Pak Lurah sakit?" tanya lelaki tua berikat kepala hitam.
"Iya, Mbah! Maaf, aku pulang dulu, ya?"
"Iya, mangga! Sebaiknya begitu!"
Terdengar deru kendaraan memecah perkampungan. Mata para penduduk mengikuti laju Pak Lurah Kimpul hingga hilang di tikungan.
"Para sedulur!" kata lelaki tua berikat kepala hitam sambil berdiri di samping Kang Panut yang tak henti-hentinya menyeringai. Yu Ginem tampak menyisir rambut Kang Panut yang acak-acakan dan berbau. "Kita sudah sama-sama melihat, Panut dalam keadaan segar-bugar. Gusti Allah masih menghendaki dia bersama kita! Nah, sekarang, anggap tidak pernah terjadi apa-apa! Para sedulur boleh pulang!" Para penduduk berbisik-bisik. Riuh. Sambil menutup hidung, mereka berdesakan meninggalkan gubug reot itu.
***
KABAR hidupnya kembali Kang Panut dengan cepat tersebar ke desa-desa tetangga, meluas ke kecamatan, kabupaten, bahkan hingga ke kota-kota terdekat. Para wartawan media cetak dan elektronik saling berlomba meliput peristiwa menghebohkan itu. Orang-orang kesehatan merasa tertantang untuk melakukan riset khusus. Rombongan orang dari berbagai kalangan terusik untuk membuktikan kebenaran cerita yang berkembang dari mulut ke mulut. Desa di bibir hutan jati yang biasanya sunyi itu pun mendadak ramai dan sibuk.
Para wartawan, orang-orang kesehatan, dan mereka yang berdatangan dari berbagai kota ingin sekali mendengar penuturan langsung dari Kang Panut. Apa sebenarnya yang dia alami ketika berada dalam alam kematian. Namun, sia-sia. Kang Panut hanya bisa menyeringai, menyemburkan hawa busuk. Tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya yang selalu dikerumuni lalat dan serangga. Mereka yang semula penasaran tiba-tiba merasa jijik dan takut.
Waktu terus berlalu. Kehadiran Kang Panut tiba-tiba menjadi masalah besar. Setiap malam, kabarnya dia suka keluyuran, mendatangi rumah penduduk secara tak terduga, menyeringai, meninggalkan hawa busuk. Pernah suatu malam, Kang Panut mendatangi rumah penduduk yang sedang menggelar pesta hajat mantu. Di atas panggung, para biduan dangdut sedang hangat-hangatnya menghibur para penonton. Tiba-tiba tercium bau busuk. Makin lama makin menusuk-nusuk hidung. Tanpa diduga, Kang Panut sudah berada di depan tungku perapian seperti yang sering dia lakukan sebelum mati suri. Keruan saja, para penonton bubar. Rombongan pemain musik dan biduannya kabur menyelamatkan diri. Tuan rumah pingsan.
Konon, pada siang hari Kang Panut selalu mendekam di dalam gubug reotnya. Ada yang bilang, dia tak sekadar tertidur, tetapi benar-benar mati. Anehnya, pada malam hari dia kembali beraksi; datang ke rumah-rumah penduduk secara tiba-tiba. Desa seperti diselubungi bau mayat yang amat busuk. Para penduduk benar-benar tersiksa.
"Kita harus ambil tindakan secepatnya, Pak Lurah!" kata lelaki tua berikat kepala hitam di rumah Pak Lurah Kimpul yang besar dan megah. Para penduduk yang mendampinginya mengangguk-angguk. "Kalau tidak, desa kita bakalan dikucilkan desa-desa tetangga!"
"Lalu, apa rencana Sampean?"
"Kita singkirkan saja dia!"
"Caranya?"
"Serahkan saja kepada saya dan anak-anak!"
"Baik, aku setuju!"
Maka, keesokan harinya, di bawah komando lelaki tua berikat kepala hitam, para penduduk dengan wajah beringas berbondong-bondong menggrebeg gubug Kang Panut. Namun, belum sempat rencana penyingkiran Kang Panut terwujud, seorang pemuda menghalang-halanginya.
"Keliru besar kalau kalian hendak menyingkirkan Kang Panut!" kata si pemuda berkacak pinggang.
"Hei, pemuda keparat! Menyingkirlah sebelum pedang-pedang itu membabat lehermu!" sergah lelaki tua berikat kepala hitam dengan gusar.
"Tunggu dulu, Pak Tua! Sebenarnya yang lebih pantas disingkirkan itu Pak Lurah Kimpul yang jelas-jelas menilap tanah bandha desa! Bukan Kang Panut yang tidak bersalah! Tubuh Kang Panut memang busuk, tapi mental Lurah Kimpul jauh lebih busuk!"
"Anak-anak, habisi saja dia!" komando lelaki tua berikat kepala hitam. Namun, tak ada reaksi. Para penduduk tiba-tiba tersungkur seperti daun-daun berguguran. Dari dalam gubug reot, tiba-tiba menyembur hawa busuk yang jauh lebih dahsyat; menggetarkan seisi desa. (72)
Kendal, September 2004

Kakek Marijan

Kakek Marijan

Cerpen Aris Kurniawan
Got meluap. Bangkai tikus sebesar kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumbat kental. Maghrib. Deretan gubuk mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air. Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kakek Marijan terengah. Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka membiru tengkurap di sisi bak.

Kakek Marijan mengelap keringat yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucunya itu. Dimasukkan ke dalam karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turun lagi dan langit makin pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam gerobak, dan perlahan menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda gerobak seperti menggelinding di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebetulnya sangat disayanginya, terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun sakit karena nyawanya telah melayang.

"Maafkan Kakekmu," begitulah kalimat yang keluar dari mulut Kakek Marijan ketika hendak membekap mulut Narto, bocah umur tujuh tahun, dengan bantal. Narto meronta dan cuma meronta ketika Kakek Marijan membopong tubuhnya dan membenamkannya ke dalam bak penuh air. Narto mengerjat beberapa saat sebelum lunglai, dan akhirnya mengeras. Tidak ada jalan lain, pikir Kakek Marijan, untuk membalas sakit hatiku pada ayahmu. Aku sudah terlanjur tersinggung dan tidak bisa memaafkan menantuku sendiri.

Kakek Marijan teringat lagi ucapan menantunya yang menyebabkan ia tersinggung dan sakit hati. "Tua bangka tak berguna, selalu saja menyusahkan orang." Kakek Marijan memang cuma bisa memendam kalimat itu dalam benaknya. Rupanya bukan sekali itu si menantu melontarkan kalimat dan perilaku yang menyakitkan, melainkan berulangkali kata-kata kotor menyembur dari mulut menantunya, baik bentakan maupun halus namun penuh nada ejekan. "Seharian nongkrong. Bikin kandang merpati saja nggak becus. Huh! Cuma menunggu nasi mateng saja kerjamu." Demikian si menantu berujar seraya membanting pintu dan sengaja menyenggol teh tubruk kesukaan Kakek Marijan. Teh tumpah dan gelasnya pecah. Kakek Marijan tersuruk-suruk memunguti serpihan beling. Si menantu masih berujar, "Pecahkan saja semua biar habis!" Kakek Marijan masih melihat menantunya membuang dahak kental persis di depan mukanya. Narto yang tiba-tiba muncul dan memeluknya dari belakang, dengan cepat direnggut ayahnya, "Jangan dekat-dekat si pemalas, ayo masuk." 

Kakek Marijan ingat tatapan jijik menantunya yang seakan menghunjam ke dasar tulang. Dari kamarnya yang disekat kardus lapuk Kakek Marijan mendengar menantunya menghardik, "Tidak tahu bagaimana susahnya cari makan. Kalau tidak ada polisi sudah kuracuni." Lalu terdengar tape disetel keras-keras.

"Iblis! Manusia tak tahu adat, tak tahu balas budi. Dasar komunis," kata-kata itu cuma digumamkan Kakek Marijan dalam kamarnya. Memang si menantu kadang bisa juga bersikap santun dan manis. Tapi hati Kakek Marijan telanjur cedera dan menyimpan dendam. Meski anaknya selalu bilang. "Jangan dimasukkan ke hati. Memang sifatnya sudah begitu dari dulu. Anggap saja angin lalu." Kakek Marijan mau mengatakan, perbuatannya sudah keterlaluan, tapi selalu urung. Ia paham, anaknya tentu lebih membela suaminya. Makanya ia lebih senang memupuk dendam di hatinya. Kakek Marijan tahu dirinya tidak berdaya dan mustahil dapat melampiaskan dendamnya pada sang menantu secara fisik. Waktu jadi terasa panjang dan sangat menyiksa setiap ia harus bertemu menantunya dalam rumah yang sempit, di mana nafas para penghuninya terdengar satu sama lain. Makanya Kakek Marijan lebih sering keluar dari kamarnya, berjalan-jalan dari gang ke gang, menyusuri kali yang arusnya lambat dan airnya pekat membawa segala macam limbah sambil mengajak Narto setiap menantunya berada di rumah setelah seharian pergi entah ke mana mengais rejeki.

Sering memang, Kakek Marijan punya kesempatan bagus melampiaskan dendam dengan menghantamkan linggis di kepala menantunya ketika sedang mendengkur. Tapi ia tak juga kuasa melakukanya. Selalu dihalangi rasa cemas cucunya jadi yatim dan anaknya jadi janda. Padahal ia tahu persis anaknya seringkali mendapat perlakuan kasar suaminya. Tapi Kakek Marijan maklum, mereka tetap saling mencinta. Ditambah lagi keadaan dirinya yang cacat. Ia tak mau terlunta-lunta dan mati di pinggir rel kereta.

"Hhh, apa maksudnya Tuhan menciptakan makhluk sepecundang diriku." Demikian Kakek Marijan sering menggugat nasib buruk yang melilit dirinya. Dia cuma sanggup menggugat dengan keluhan-keluhan cengeng yang membuat dia kadang malu sendiri. "Kenapa aku tidak bunuh diri saja." Nah niat ini pun cuma sekadar niat yang tidak kunjung dilakukan. Tentu takut akan rasa sakit yang pasti dihadapi orang yang meregang nyawa secara paksa. Dia heran sendiri kenapa mesti takut menghadapi rasa sakit yang tentu tak terlalu lama menyengat. Padahal hidup yang dihadapi pun sudah begitu menyakitkan, dan terlalu cukup untuk jadi alasan buat diakhiri.

Dendam di hati Kakek Marijan kian menggunung. Selalu ia tahan-tahan untuk diletuskan. Rencana membunuh sang menantu jelas sulit dilakukan. Dia mulai berpikir, menghitung-hitung apa yang harus dilakukan supaya sang menantu laknat merasakan sakit hati seperti yang dialaminya. Ya, Kakek Marijan hanya ingin menantunya merasa sakit hati. Tak harus menyakiti fisik, apalagi membunuhnya.

Cara yang pernah ia rencanakan namun urung dilakukan adalah menyuruh anaknya menyeleweng. Ini tak dilakukan jelas karena ia tak mungkin bekerja sama dengan anaknya yang tentu saja lebih membela suaminya.

Kakek Marijan terus berjalan terseok-seok menarik gerobak. Hari makin gelap, sedang gerimis tetap setia mengguyur tubuh rentanya yang mulai menggigil. Berkelebat terus-menerus di kepalanya wajah sang menantu yang bermata merah, menghardik, "Matikan tapenya, tua bangka! Maghrib. Tidak juga sadar mau masuk kubur. Bukannya ibadah." Mengiang terus sepanjang waktu kata-kata itu. "Aku memang komunis, tapi tahu menghargai orang ibadah."

Kakek Marijan pantas heran dengan ucapan terakhir yang terlontar dari mulut menantunya itu. Yang ia tahu, komunis ya komunis. Anti agama. Meski ia juga tak peduli apa itu komunis, apa itu agama. Apa itu ber-Tuhan, apa itu anti Tuhan. Yang jelas menantunya telah menyebabkan hatinya remuk parah. Dan ia tak menemukan cara membalaskan sakit hatinya. Sampai kemudian muncul gagasan gila; membunuh cucunya sendiri. Ia tahu Narto begitu berharga bagi ayahnya yang tak lain menantunya sendiri. Narto satu-satunya harapan bagi ayahnya yang sangat dibanggakannya. Anak itu tidak boleh disakiti. Bila sampai terjadi ayahnya mati-matian membela. Kakek Marijan pernah melihat bagaimana sang menantu nyaris menggolok orang yang berani-berani menyebabkan Narto menangis. Satu hal yang memang seharusnya membuat ia besar hati.

Namun pada saat-saat begini ia bertekad membunuh cucunya sendiri supaya ia bisa puas melihat menantunya remuk redam. Maka, begitulah, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Malam itu sang menantu bersama istrinya berpesan supaya menjaga Narto baik-baik. Mereka tidak menjelaskan hendak ke mana dan berapa lama. Kakek Marijan cuma diberi uang untuk makan mereka berdua selama beberapa hari. Sempat ragu juga sebetulnya ketika malam itu ia hendak membunuh cucunya sendiri. Ditatapnya wajah Narto yang persis wajah sang menantu. Dihidup-hidupkan dendam di hatinya. Nyala merah mata si menantu yang menatapnya dengan jijik. Hardikan-hardikannya diputar lagi di telinganya seperti memutar rekaman kaset. Dan memang tumbuh juga. Kakek Marijan bagai tidak melihat wajah Narto yang tengah terlelap dalam dekapannya, melainkan wajah bengis sang menantu. Ia terlonjak, bangkit meraih bantal…
***
Kakek Marijan berhenti di tepi kali yang permukaan airnya memantulkan lampu-lampu gemerlapan dari kendaran yang berseliweran. Di kali ini sering dilihatnya mayat mengambang kembung entah siapa. Orang mati dibunuh atau bunuh diri. Ah, sama saja: mayat. Dan kini cucunya bakal jadi salah satu dari mereka. Ya, semuanya sudah terjadi seperti takdir. Pada saat demikian muncul lagi keberaniannya yang lain; Kakek Marijan berniat untuk turut mecemplungkan diri. Mati. Ini jalan yang paling aman barangkali, begitu ia berpikir. Sebab ia tak mungkin lagi pulang dan menghadapi kemarahan sang menantu yang cepat atau lambat tentu akan tahu ia yang telah membunuh cucunya sendiri.

Lebih aman aku mati bunuh diri ketimbang digebuki sang menantu. Ya kalau langsung mati. Tidak begitu berat menanggung risiko. Kalau diseret ke kantor polisi, diadili, lantas masuk bui?***
Cirebon, 12 Maret 2004


Jomblo Phobia

Jomblo Phobia 

Vita Lystianingsih, mahasiswa ITS
Jomblo. Ugh, aku sebal melihat (atau mendengar, atau membaca, atau merasakan) kata itu. Aku merasa jadi cowok termalang di dunia kalau aku mendengarnya. Bikin aku merasa negatif. Yah, aku sih lebih suka kata ’sendiri’ atau ’single’ untuk menjelaskan keadaan diriku ini. Kesannya lebih positif. 

Sama sebalnya kalau ketemu orang-orang yang menanyakan pacarku. Apa nggak ada pertanyaan lain? Menyebalkan. Menyakitkan, bahkan. Apa mereka nggak tahu rasanya dua kali ditolak cewek?

Pengalaman pertama, di masa aku SMA, ditolak seorang gadis bernama Jelita (dia memang secantik namanya) pada suatu sore sepulang les Inggris setelah aku mengantarkan dia ke rumahnya. Sia-sia pendekatan yang kulakukan. Meneleponnya, mengantarkannya, ah, aku kecewa. Padahal, aku sudah cukup dekat dengan keluarganya (apalagi ibunya sahabat lama ibuku, dan kakakknya sekelas denganku). Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengannya di pameran buku, menggandeng seseorang (kekasihnya?), kakak kelasku di SMP.

Penolakan kedua menimpaku di tahun terakhir SMA. Yang menolak, ya Jelita juga! Huhh, memalukan sekali ditolak orang yang sama. Ternyata dia memang tidak pernah tertarik padaku, tidak sedikitpun.

Makanya, aku juga sebal kalau bertemu Jelita. Entah kenapa, kami cukup sering berjumpa tak sengaja. Di mal, toko buku, restauran, tokok kaset, supermarket, bahkan pasar! Dia selalu bersama seseorang (kekasihnya?). Dan aku selalu sendirian. Aku selalu berpikiran dia pasti menganggapku pria tak laku, dan tak ada yang mau denganku. Pasti dia mengasihaniku.

Harusnya memang aku tidak boleh menuduh Jelita menganggapku seperti itu. Pikiran negatifku kadang ekstrim, tapi aku tetap tak bisa menghilangkan pikira-pikiran itu jika berjumpa dengannya.

Seperti kemarin, di festival band kampusku. Pasti dia akan datang, karena band kakaknya masuk final. Aku bahkan berdoa supaya tak harus ketemu dengannya. (Gengsi!) Tapi ternyata doaku tak terkabulkan. Sosoknya terlihat di antara kerumunan penonton. Cepat-cepat aku angkat kaki dari situ. Sialan. Aku malah berpapasan dengannya di jalan menuju toilet.

"Lho, Mas?" matanya membulat. Di sebelahnya berdiri seseorang (kekasihnya?) yang tak kukenal. "Sama siapa? Sendirian aja?"

Keluar juga pertanyaan itu. Aku paling kesal kalau ada yang menanyakan itu. Apalagi Jelita. Lagian, ini kan kampusku. Terserah aku dong, mau sendirian, mau borongan. Ngapain aku ajak-ajak teman?

"… sendiri Mas?" ulangnya. (pasti sekarang dia pikir aku budek!)
"Iyalah, ini kan kampusku. Teman-teman pada di sini. Emang mau ngajak siapa lagi?" Aku menunjuk kartu kecil di jaketku, "Lagian aku panitia, seksi sibuk."

Jelita mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk huruf "o". Ia tersenyum, "Ya udah, Mas. Selamat bersibuk ria." Dan berjalan meninggalkan aku.

Kesal! Pasti dia sengaja berpapasan denganku. Sengaja menggandeng mesra, entah siapa yang diajaknya. Sengaja memanasi hatiku.
Eit, apa aku jadi paranoid?
***
Pesta ultah teman SMA-ku dulu. Apakah ada Jelita? (Tuhan, semoga aku tidak harus berjumpa dengannya).
Satu menit.
Sepuluh menit.
Aarggh… belum-belum, kulihat dia melintas beberapa meter di depanku. Tuhan, semoga dia tidak menoleh ke sini.
Dia menoleh. Lalu tak terlihat ditelan kerumunan.
Lalu tiba-tiba dia muncul lagi tepat di depanku.
Kulihat Jelita tersenyum padaku, lalu berjalan menghampiriku.
"Mas Indo," sapanya.
Aku tak bisa menghilangkan kecurigaanku. "Halo," jawabku dingin. "Kamu sama siapa?" Ah, pertanyaan bodoh. Ngapain juga aku tanya-tanya begitu?
Jelita menunjuk dengan dagunya. "Itu, sama cowokku." 
"Mas Indo sama siapa?" cepat-cepat dia bertanya.
Sebal aku melihat wajahnya yang antusias.
"Kok ceweknya nggak diajak sih, Mas?"
Dan entah dari mana tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Oh, dia kan nggak di sini. Lagi di Bandung."
Raut wajah Jelita tiba-tiba berubah. Jelas sekali. "Lho, maksudnya, ceweknya Mas Indo di Bandung?"
"Iya." Aku tersenyum penuh kemenangan. "Dia kuliah di sana. Masak aku ajak?"
"Oooh… gitu," ada kecewa di wajah Jelita. 
"Kapan-kapan, kalau dia ke sini, aku kenalin deh."
"Iya, iya Mas. Aku ke sana dulu, ya. Yuk."
"Salam buat semua, ya."
Puas. Puas sekali. Melihat wajah Jelita yang kecewa. Cih. Pasti dia tadi sengaja menyapaku. Basa basi. Dan malahan, dia yang kaget sendiri. Biar aja, biar tahu dia, dengan bualanku soal kekasih nun jauh di Bandung.
***
Minggu pagi. Di toko buku. Sendirian saja, dan tetap cool.
"Indo!"
"Hei, Indo!"
Ya Tuhan. Apa aku memang berjodoh ketemu Jelita? Setelah bertemu ibunya, ayahnya, dia sendiri (dan pacar keparatnya, kemarin), sekarang ada kakaknya.
"Hei Raras, halo juga!"
"Sama siapa? Sendirian?"
Aku tersenyum. Busuk. Kenapa sih selalu itu yang mereka tanyakan pertama kali setelah menyapa?
"… yah, lagi pengin sendirian."
"In, kemarin di pestanya Tata, kok aku nggak ketemu kamu ya? Kamu datang, kan?"
Belum sempat aku menjawab, dia malah senyam senyum. 
"Hm… baru dapar bocoran nih kemarin. Akhirnya dapat orang Bandung ya?"
Sepertinya cerita fiksi itu sudah tersebar. Tentu saja. Pasti Jelita.
Belum sempat lagi aku mengomentari, tiba-tiba Raras tertawa. "Hahaha… Aduh, kok nggak pas, ya.."
"Apanya?"
Tawanya mereda. "Itu, kamu tahu sepupuku Mawar? Yang dulu les Inggrisnya barengan kamu, sama Jelita?
Aku membuka memori tentang seorang gadis berambut sebahu yang sama cantiknya dengan Jelita. Wah, dua tahun belajar bersamanya tiap Selasa dan Jumat ternyata nggak memberi kenangan apa-apa bagiku. Jelaslah, hanya ada Jelita di duniaku saat itu.
Lalu aku mengangguk-angguk. "Sekarang Mawar kuliah di mana?" tanyaku basa basi.
"Di sini juga kok. Kemarin itu, dia juga datang!"
"Oh, ya?"
Raras kembali tersenyum. "Kemarin, langsung grogi begitu tahu kamu juga datang. Diinterograsi dikit-dikit, ternyata dia itu naksir kamu sejak dulu. Habis-habisan deh kita godain!"
Aku membatu. Terima kasih Tuhan. Engkau mendengarkan doaku. Akhirnya, ada juga gadis yang suka padaku. 
"Kemarin itu, aku sama Jelita udah semangat nyomblangin kalian berdua. Pasti seru deh kalau kamu jadian sama Mawar."
Aku masih tak percaya. Akhirnya, aku tak sendiri lagi.
"Cuma, kita nggak tahu kalau kamu sudah jadian sama cewek lain. Aduh, aku sama Jelita gemes banget," dia terkikik. "Sekalinya jadi mak comblang, gagal. Mawar langsung malas ketemu kamu."
Dan barulah aku sadar. 
Tuhan, hamba mohon ampun karena sudah berbohong. Tapi, adakah cara untuk berterus terang? Tanpa kehilangan muka di depan Jelita dan keluarganya?
Raras menepuk bahuku. "Hei, hei, hei, kok diam? Garing nih."
Aku tergagap, "Eh, iya, iya. Wah, gimana ya? Salam aja deh, buat Mawar."
"Oke Bos! Eh, kalau misalnya nanti putus sama cewekmu, cepet-cepet hubungi aku ya! Siapa tahu aku bisa nyomblangin kamu lagi. Aduh, pasti lucu!" sahutnya bersemangat. "Ya udah! Aku cuman mau cerita itu aja kok! Hehehe! Yuk ya!" Ia bergegas sambil melambai.
"Iya… iya…" Aku membalas lambaian tangannya.
Aku lunglai.
Kecewa.
Menyesal.
Dan yang jelas, aku masih sendiri… 

Jika Saja Aku Buta Selamanya

Jika Saja Aku Buta Selamanya


Oleh Ayyasy Az Zurqi
Penulis adalah mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 

"Jika saja." Dua kata itu dulu sering kukatakan dalam hatiku. Jika saja mataku ini diizinkan Tuhan untuk melihat. Jika saja mataku ini keduanya bisa menyaksikan kerasnya hidup yang selama ini hanya bisa kutahu dari dua kupingku ini. 
***
Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Namun bagiku yang namanya tidur atau bangun, keduanya sama saja. Toh bagiku dunia ini hanya hitam dan gelap. Ingin aku rasakan segarnya udara pagi di kota ini yang adanya hanya pagi hari. Sedangkan kalau siang hari kota ini pasti dipenuhi dengan asap yang menyembul dari knalpot kendaraan yang berlalu lalang.

"Ting…tung! Ting…tung!" Begitu bunyi jam kuno milikku yang diam tergantung di dinding rumah ini. Jam itu terus berdentang selama lima kali. Bagiku jam itu adalah satu-satunya jam yang bisa menunjukkan jam berapa sekarang. 

Ya, meskipun kadang aku juga menanyakan itu kepada orang lain, karena perasaan jam itu kok tidak juga berdentang. Mungkin rusak, begitu pikirku kalau jam itu lama tidak berdentang.

Segera aku turun dari dipanku, lalu kuambil tongkatku, kupakai sandalku, dengan hati-hati aku menuju ke sumur yang ada di belakang rumah. Kuambil air wudhu lalu sholat subuh.

Selesai sholat aku teringat pada satu-satunya anakku yang kini sudah melakoni hidupnya dengan keringatnya sendiri. Kasihan anak itu, ia punya seorang bapak yang cacat dan tak berdaya. 

Kemudian dua kata itu kembali hadir di benakku. Jika saja aku bisa melihat anakku yang telah tumbuh dewasa, yang tak pernah dapat disaksikan mataku ini sejak sepuluh tahun yang lalu, kurang lebih. Sejak kecelakaan kerja yang menimpa diriku, yang telah membutakan mataku ini.

Jika saja aku bisa melihat, mungkin saja anakku ini sudah bisa menjadi calon insinyur. Sebuah cita-cita yang diidam-idamkan anakku sejak ia balita dan mungkin sampai sekarang. Dengan keadaanku yang seperti ini, tak mampu rasanya aku mencarikan segebok uang untuk kuliah anakku itu.

Jadilah setelah lulus SMA dia langsung cari kerja. Dua bulan yang lalu dia bekerja di bengkel. Kemudian 3 minggu kemarin dia ikut temannya narik lyn, jadi kenek Tapi empat hari yang lalu dia sudah berhenti jadi kenek, katanya sih ada sedikit cekcok dengan temannya itu. Nggak tahulah apa yang ia kerjakan sekarang. Yang jelas sudah dua hari dia tidak pernah pulang ke rumah.

"Bapakmu ini hanya bisa mendoakan, Nak, agar kamu dapat segera bekerja lagi". Ucapan itu yang aku katakan terakhir kalinya kepada anak laki-lakiku itu.

***
Matahari mulai muncul. Kehadirannya dapat terasakan oleh kulitku ini. Dengan dua kaki yang dibantu dengan tongkat, aku keluar rumah. Kulangkahkan kakiku pelan-pelan karena takut terjatuh. Sambil jalan, terlintas lagi di benakku. Seandainya aku bisa melihat indah dan sejuknya kota ini saat pagi hari, seandainya!

Teeet. Suara klakson mobil membuatku kaget dan nyaris terpental ke belakang saking kagetnya. 

"Hei tua bangka! Mau cari mati ya?" hardik orang yang mungkin sopir mobil itu. "Bangsat!" imbuh sopir itu sebagai bonus dari cacian yang pertama tadi. 

Rupanya dengan kebutaanku ini aku tak sadar kalau aku sudah berada di tengah jalan raya yang masih sepi kendaraan sehingga aku merasa masih ada di gang kecil yang memanjang di depan rumahku. 

Kubalikkan tubuhku. Kemudian aku berusaha berjalan ke pinggir jalan. Tongkatku terus berusaha mencari trotoar di pinggir jalan. Setelah ketemu, kuteruskan jalanku di sepanjang trotoar. 

Masih terngiang di telingaku ini cacian orang itu. Sudah benar-benar membatukah hati orang-orang sekarang ini? Orang tua lagi buta seperti aku ini tega-teganya ia caci. 

Kubiarkan kakiku terus melangkah. Keringat sudah mulai menetes dari keningku. Sinar surya yang tadi pagi terasa hangat bersahabat kini sudah mulai terasa teriknya. 

"Copet! Pencuri!" Kudengar sama-samar suara seorang wanita. Segera aku tahu maksud teriakan wanita itu. Ia pasti sedang kecopetan. 

"Copet! Copet!" Terdengar suara teriakan itu mulai diikuti suara orang lain. Kudengar suara teriakan yang berasal dari depanku itu semakin lama semakin keras dan mendekat. Tiba-tiba…

Brak! Ada orang yang menabrakku. Aku jatuh telentang dan kurasakan orang yang menabrakku itu ikut terjatuh. Kakinya yang satu terasa menindih perutku. Suara napasnya yang terengah ketakutan terdengar cukup jelas. Kaki yang menindih perutku mulai terangkat. Orang itu berusaha bangun.

Tak tahu mengapa tanganku yang masih memegang tongkat itu seakan bergerak dengan sendirinya dan bergerak menghempas keras kaki orang yang telah menubrukku itu sehingga ia jatuh lagi. 

"Itu pasti copetnya!" Terdengar teriakan banyak orang di sekelilingku yang semakin lama semakin mendekat ke arahku. 

"Ampun Bang! Ampun!"
"Ayo cepat kita keroyok saja maling itu. Biar kapok dia dan komplotannya!" Tak lama, terdengar olehku suara seperti buah kelapa yang jatuh dari pohonnya, disertai jerit kesakitan. 

Tiba-tiba mataku merasakan ada sesuatu yang terang menyilaukan. Dengan pandangan yang sedikit kabur dan semakin lama semakin jelas, aku dapat melihat maling itu sedang dikeroyok ramai-ramai. 

Sejenak kemudian aku baru sadar kalau sekarang aku bisa melihat lagi. Mungkin karena ditubruk copet itu kini mataku bisa melihat lagi. Begitulah pikirku saat itu. Yang jelas, ini adalah keajaiban.

Masih kusaksikan kerumunan orang itu baru bubar setelah suara sirine mobil polisi meraung-meraung. Dalam beberapa saat, polisi langsung memasang pita kuning di sekeliling laki-laki yang telah tewas itu. Entah apa namanya itu. Yang jelas, aku tahu kalau pita kuning itu tak boleh dilewati oleh orang selain petugas.

Kudekatkan diriku pada laki-laki copet yang telah babak belur dikeroyok banyak orang itu. Kulihat wajahnya dengan seksama. 

"Astaghfirullahal adziim!" Aku begitu kaget setelah melihat wajah laki-laki itu. 
Mengapa orang itu mirip sekali dengan diriki saat masih muda dulu? Seketika aku, entah mengapa, merasa yakin kalau laki-laki itu adalah anakku sendiri. 
Seandainya saja aku masih buta, aku tak akan malu melihat anakku yang berbuat keji seperti ini. 


Jemari Terindah

Jemari Terindah
Dikemas 22/10/2002 oleh Editor  
Jemari Terindah 

Aku memperhatikan jemariku. Ruas-ruas runcing, kuku-kuku yang ramping memanjang, memerah jambu, nampak lembut sekaligus liat. Lentik sekaligus tangguh. Pemetik dawai harpa, sekaligus pengupas ranum bebuahan surga. Bulu-bulu halus melingkar selembut anak rambut. Serupa cabang ranting dari telapak dan tangan kukuh pohonku. Aku memperhatikan jemariku. 



Kulit kecoklatan pada tangan hingga lengan serupa pohon muda menatap surya. Penuh percaya diri. Bulu-bulu yang melekat adalah dedaunan selembut sutra. Menempatkan diri tanpa cela. Runut dan bersemayam penuh rasa damai. Bagian yang tertumbuhi bulu serupa aksiran yang menghitamkan tak terlalu pekat. Hutan pada punggung telapak tangan, berpohon nisbi. 

Kuku yang mengkilap seperti bercat warna. Tapi tak terlalu mencolok mata. Cuma tetap saja berupa sebersit kilat cahaya yang mampu membuat mata menatapnya. Warna merah jambu serupa kelopak mawar. Namun jemari runcing tempat bersemayamnya adalah keindahan dan kekukuhan seperti penari lelaki yang ramping namun berisi. Tak puasnya aku memperhatikan jemariku. Bagian terindah dari tubuhku. 

Awalnya tak pernah kusadari keindahan jemariku, bila saja semua perempuan yang mengenalku tidak mengagumi jemariku. Mereka akan lekat menatapnya, dan terkadang tak mampu mencegah jemarinya untuk menyentuh jemariku. Membelainya sepenuh perasaan. Seakan kelembutan seluruh punggung telapak dan mencabang pada jemari mampu meredam getar saat melihatnya. 

Aku tak tahu apa orientasi mereka. Rasa kagum yang berlebih atau orientasi seksual yang terpuaskan. Terkadang seorang perempuan yang menyentuh punggung telapak dan merambat hingga jemari, memejamkan matanya. Erangan yang keluar dari bibirnya semacam upacara persetubuhan tanpa persenggamaan seutuhnya. 

Kekaguman dan lirik keinginan menjamah adalah hal yang biasa aku terima. Rasa jatuh mencinta perempuan-perempuan itu membuat aku semakin menjaga jemariku. Awalnya dengan perasaan malu, aku bertanya pada seorang teman perempuanku, bagaimana merawat telapak, jemari, dan kuku. Tak kusangka teman perempuanku menyambutnya dengan penuh rasa haru. Ia bersedia menjadi perawat jemariku. 

Hingga mulailah setiap sore, di halaman belakang rumah yang luas ia merawat jemariku. Aku tak tahu apa yang ia kumpulkan dalam belanga. Beberapa bunga, dedaunan, rempah-rempah. Ia akan mengatupkan matanya sebelum memulai ritual itu. Memijit seluruh telapak, jemari, dengan sentuhan tangan desanya yang terlatih. Ia betul-betul pengabdi. 

“Nikahi aku pangeran, jemarimu adalah jemari terindah yang pernah aku temui. Aku akan mengabdi untukmu demi jemari yang hanya pantas memetik sitar dewa-dewa. Jemari yang sanggup membuat perempuan bertekuklutut dengan sekali sentuhan. Nikahi aku pangeran, demi jemari yang sedemikian indah.” 

&&& 

Aku tak menikahi perempuan dengan jari-jarinya yang melebar, walau ia menghamba padaku. Namun rupanya kecintaannya pada jemariku sanggup merubahnya menjadi pengabdi. Asal ia diperbolehkan menyentuh dan merawat jemariku setiap petang datang. Maka aku perbolehkan ia dengan perasaan begitu jumawa. Telah kutaklukan banyak perempuan, namun cuma ia yang mau mengabdi sedemikian. 

Sampai suatu hari ia melukai jemariku. Betapa beraninya! Dengan tergagap ia memohon ampun. Ia berkata mana mungkin ia melukai jemari seindah itu. Jemari yang cuma pantas dimiliki pangeran. Jemari yang berteman tirai sutra, bantal-bantal berisi bulu domba, memegang cawan-cawan emas. Namun jemariku yang terluka membuat hatiku terluka. Bagian terindah dari tubuh, sesuatu yang tanpa cela! Aku mengusirnya. 

Berita tentang jemariku yang terluka terdengar ke pelosok negeri. Perempuan-perempuan berdatangan dan bersedia menjadi pengganti perempuan tolol itu. Aku mengamati seluruh rupa. Mengamati wajah-wajah yang menghiba. Seakan dari balik tubuh-tubuh yang luruh mereka berteriak: pilihlah aku menjadi pengabdimu. Pilihlah aku pangeran. 

Sebenarnya aku tak kuasa menolak mereka. Namun semakin lama aku menentukan pilihan, wajah mereka semakin menghiba. Mulailah terdengar rintih, seruan kecil dari bibir mungil mereka. 
“Jangan kau permainkan jemarimu, membuat hasratku menusuk dada. Pilihlah aku atau singkirkan. Aku tak menahan. Sungguh.” 
Rintih mereka nyanyian keangkuhanku. Dengan sikap telengas, aku kibaskan jemari meminta mereka pergi. Mereka tergugu dan lirih menangis. Nyanyian pedih namun sorak-sorai jumawaku. Betapa setiap perempuan siap menghamba untuk jemari-jemari yang diturunkan dari surga! 

&&& 

Aku merasa seluruh perempuan negeri ini mencintai jemariku, hingga aku memutuskan untuk pergi ke daerah Selatan yang menurut kabar perempuan-perempuannya jauh lebih cantik. Aku akan taklukan mereka dengan jemari-jemariku yang kini telah piawai menarik dawai. Padahal aku hanya belajar dalam hitungan tiga kali purnama! Namun guruku memuji bukan saja kecerdasan otakku, namun juga jemariku yang menurutnya berkah dari surga. 

Maka aku datangi sebuah kedai minum di kota pertama tempat aku memijak kaki. Kedai tersebut bernuansa kecoklatan, mejanya berupa kayu-kayu yang diserut kasar hingga masih terlihat tekstur kayunya. Pada pinggir meja dilapisi dengan tembaga coklat kemerahan. Pilar-pilarnya serupa batu-batu gunung yang dipecah lebih kecil. Dan setiap pecahannya memperlihatkan tekstur dan guratan yang memukau. 

Orang-orang yang berdatangan jauh lebih eksotis, terutama kaum perempuannya. Seorang perempuan yang benar-benar cantik datang memasuki kedai. Ia jauh lebih cantik dari kembang negeriku sekalipun. Tulang pipinya yang tinggi, dan raut wajah yang sempurna. Matanya kehijauan seperti bebatuan emerald. Rambutnya coklat tua berkibar mengabarkan kedatangannya. Bajunya berwarna hijau pucat dengan motif bunga besar pada bawahannya. Melekat pada pinggulnya yang tak berpenutup. Ia sangat pemerhati atas dirinya sendiri. Warna baju yang dipilihnya membuat matanya semakin cemerlang. Dan ia membuang muka saat bertatapan denganku. 

Musik berhenti, aku melangkah ke arah areal yang berbentuk oval. Aku berjalan ditengah hiruk-pikuk mereka. Hingga sampai aku mengeluarkan dawaiku dan mulai memetiknya. Perlahan suasana menjadi sunyi. Mereka terpukau. Dalam cahaya lelampu yang pijar mereka sesungguhnya tak dapat melihatku dengan sempurna. Namun aku jauh dapat dilihat oleh mereka, karena aku dikelilingi lelampu yang membentuk lingkaran. Aku pusat perhatian. Atas petikan dawaiku, atas jemari yang memetiknya. 

Aku menjadi pusat perhatian dalam hitungan detik. Menakjubkan. Perempuan-perempuan mengerubungiku sehabis petikan dawaiku berakhir. Mereka bagai perempuan-perempuan dari kastil raja. Mendekat dan mendesah seolah tak pernah disentuh seorang pria. Si mata emerald berambut coklat tua adalah satu diantaranya. Dengan bengis aku mengusirnya. Betapa beraninya ia mengabaikan lelaki dengan jemari berkah dari surga! 

Sejak saat itu aku selalu hadir di acara pesta-pesta. Mereka mengundang karena petikan dawaiku, dan para perempuan atas jemariku. Tak hentinya mereka bertanya, bagaimana rasanya memiliki jemari seindah itu. Tak hentinya mereka merayu agar aku bersedia bercumbu. Aku merasa seperti raja kecil yang merasakan setiap tubuh dengan keikhlasan menghamba. 

Setiap bibir menawarkan getar yang berbeda, setiap tubuh memiliki sensasi tersendiri. Erangan yang tak pernah sama. Rintih menghiba, yang lirih namun senantiasa menusuk gendang telinga. Dan jemariku adalah fantasi mereka yang tak jua usai sehabis percintaan semalaman. Betapa mereka mendamba belaian, seperti dawai yang kubelai penuh perasaan. Lembut namun sesekali membetot penuh tenaga. Mereka menghamba padaku. Dan diam-diam aku mendamba cinta. 

&&& 

Aku bertemu dengan Ametis di sebuah kedai. Rambutnya yang sungguh hitam bergerai hingga sepinggang. Bajunya yang tipis berwarna merah marun. Sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Bahannya yang tipis memperlihatkan tubuhnya yang samar. Gairah yang membayang setiap ia melangkah. Rambutnya dibiarkan menutupi dadanya. Sekilas nampak putingnya seperti kuncup mawar di balik tipis gaunnya. 

Namun lebih dari segalanya adalah matanya. Matanya pecahan warna tak kentara. Mengerjap begitu kemilau. Setiap orang akan salah menangkap warna matanya. Namun seluruhnya memuji akan keindahannya. Mungkin serupa berlian yang ia tanam di sana. Berpendar-pendar, berkilau membuat takjub setiap mata. Jemariku selalu gagal memetik dawai saat pertama kali melihatnya. Ia secantik Antigone dalam khayalku. 

Ia putri seorang tuan tanah. Bukan dari kalangan kelas atas yang suka akan pesta pora. Wajar bila ia luput dari penglihatanku. Namun aku berani bersumpah seluruh putra pembesar negeri ini jatuh hati padanya. Tiba-tiba aku merasa miskin dengan segala keberadaanku. Ia sesamar ambrosia dalam bening kristal. Sedang aku cuma tempayan dari tembaga tak membekas dalam ingatnya. 

Tak seperti perempuan lain, ia mengabaikanku. Tak seperti perempuan lain pula, aku tak mendendam padanya. Hanya perasaan tahu diri bahwa kecantikannya terlalu berlebih buatku. Begitupun saat selesai aku memetik dawai, ia tak mendekat ke arahku. Hanya pandangan matanya yang ia tujukan ke arahku dengan pandangan bertanya –siapa engkau lelaki?-. Keangkuhan yang mematahkan keangkuhan. Kepantasan yang seharusnya aku dapatkan atas rasa sombongku. 

Anehnya, esok aku melihat wajahnya lagi di kedai itu. Rasa percaya diriku bertambah seiring dengan senyumnya yang merebak tak terlalu kentara. Ia tak menujukan senyuman itu untukku sepenuhnya. Tepatnya ia menebar senyumnya seperti menabur bunga. Aku merasa mendapat setangkai. Cuma setangkai. Namun itu adalah bagian dirinya, sebetapapun absurdnya caraku menangkap pola pikirnya. 

Aku mendekatinya sehabis pementasan. Jemariku yang berkeringat, keindahan tak terperi. Perwujudan kelembutan dan kerja keras. Perlahan jemariku menyusuri pinggir meja yang berlapis tembaga. Kulitku semakin terang dibanding tembaga yang basah oleh tumpahan minuman keras. Jemariku mengetuk-ngetuk seperti irama pasukan berkuda. Mencoba sentak hatinya yang angkuh akan hadirku. 

Tidak seperti perempuan lain, Ametis memandang wajahku bukan jemariku. Baru kusadar bibirnya berbentuk nyaris sempurna. Rekah mawar, begitu segar. Giginya yang cemerlang mengintip diantara rekah bibirnya yang setengah terbuka. Ia menantang tatapku. Keangkuhan yang terbaca lewat bentuk hidungnya yang jumawa. Angkuh, cantik, sekaligus menggoda. 

Aku bukan lelaki kemarin sore, hasratku justru melesat. Hingga bukan cuma jemari untuk merayu pesonanya. Seperti kata-kata yang keluar dari bibirku. Kalimat-kalimat puitis yang tercipta tanpa kendali. Mencoba menusuk relung hatinya yang dibentengi keangkuhan yang tak kunjung sirna. Pada matanya aku membaca ketaklukan, namun tubuhnya tetap kaku pada tempatnya. Hanya butuh waktu untuk membuatmu menghiba, perempuanku. Hanya butuh waktu. 

&&& 

Ternyata sangat tak mudah menaklukkan Ametis. Ia bukan seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemariku. Ia ingin mencintaiku sepenuhnya. Bukan cuma jemariku yang tersohor. Aku semakin mencintai atas perkataannya yang tulus. Hingga terjadilah perang antar negeri. Kekacauan di mana-mana. Aku harus memegang senjata, berlatih perang. Telah kutinggalkan segala pesta dan petikan dawai. 

Kekacauan melebihi jangkau pikirku. Betapa kesengsaraan akan perang terjadi pada setiap sudut kota. Rumah yang hancur, jalanan yang porak poranda, kanak-kanak yang yatim, penyakit, kelaparan. Orang-orang yang bergelimangan tak bernyawa adalah hal biasa. Rata-rata mereka telanjang karena pakaian mereka habis dicuri mereka yang masih hidup. 

Aku menyaksikan kepahitan hidup. Sangat kontras dengan saat aku baru tiba di negeri ini. Sekejab segala kecantikan, kemewahan, tawa riang telah berganti hingar bingar peperangan. Terkadang kesunyian yang mencekam. Kadang aku pikir aku telah mati. Bersembunyi dalam lorong seperti segerombolan tikus. Tikus-tikus tak lagi nyaman dalam gorong-gorong karena kami memburunya. Kami para pemburu tikus! Untuk kemudian menyantapnya sebagai hidangan utama. 

Telah lama tak kulihat kecantikan. Para perempuan dan anak-anak sudah sejak lama mengungsi. Sesekali kami mendengar berita tentang kekasih atau istri kami. Ada perasaan lega dari mereka mengetahui kaum lelakinya masih bertahan hidup. Aku bertanya pada mereka yang bertugas ke baris belakang, tentang Ametis. Seseorang memberikan selendang merah titipan Ametis. Menurutnya, Ametis meminta aku menjaga jemariku. 

Aku tersenyum mendengar kelakarnya. Bagaimana mungkin aku dapat menjaga jemari dan kuku-kukuku? Mana pernah aku berpikir untuk merawatnya, sedang nyawaku bukan lagi milikku? Aku pasrah bila seorang musuh menyerangku saat aku lena dan menggorok leherku. Apa arti segala kecantikan jemari, kini? Telah lama aku lupakan atas pujian para perempuan. Telah kutanggalkan segala keangkuhan sejak aku mengenal Ametis semakin mendalam. Sebagaimana ia mencintaiku, utuh penuh. 

Dua bulan sejak Ametis mengirim selendang itu, perang usai. Para perempuan kembali berdatangan. Dan kami para lelaki menyambutnya di perbatasan. Penuh rindu aku mencari Ametis. Dari jauh aku melihat matanya yang cemerlang. Rindunya pecah di matanya hingga berbinar-binar begitu bercahaya. Ia memelukku. Lantas memegang jemariku. 

Kedua jemariku terbungkus selendang merahnya yang telah kupotong jadi dua bagian. Ia menatap jemariku dengan pendar mata seorang pengantin yang akan membuka pakaian pasangannya, saat malam pertama tiba. Dengan lembut dibukanya selendang merah itu. Perlahan, seakan jemariku adalah barang yang mudah pecah. Hingga telah habis bagian terujung selendang. Ia tertegun. 

Wajahnya memerah, awal kupikir karena rasa iba. Namun matanya mengekspresikan rasa kecewa yang sangat mendalam. Jemariku telah berubah menghitam. Penuh luka. Karena goresan senjata, gigitan binatang, atau penyakit kulit yang merayapi punggung tanganku. Tak ada bekas sedikitpun, bahwa jemariku adalah jemari yang mampu membuat perempuan menghiba. 
Ia menangis dan berlari menjauh. 

&&& 

Perlu tiga hari untuk mengajaknya bertemu. Wajahnya sembab. Tapi kecantikannya tetap mempesona. Aku tetap membalut jemariku, aku tahu inilah penyebab tangisnya. Walau itu tak sepenuhnya membuka apa yang sebenarnya membuat ia berlari. Rasa jijikkah, iba, belas yang berlebih, atau apa. Dari bibirnya ia berkata yang sejujurnya. 

“Aku ingin mencintaimu apa adanya. Aku tak ingin seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemarimu belaka. Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas? Maka aku tak ingin larut seperti perempuan lain. Namun harus kuakui, jemarimu mampu membuat dadaku berdebar keras. Pun saat kita pertama kali berjumpa. Betapa ingin aku menciuminya dan melekatkannya pada dada. Tapi aku tidak seperti perempuan lain. Aku ingin mencintaimu sepenuhnya. Hingga kadang aku membayangkan betapa buruk jemarimu.” 

Betapa cantiknya Ametis, suaranya yang bergetar adalah suasana hatinya yang tak karuan. Betapapun ia mencoba menetralkannya dengan tubuhnya yang tegak kaku. Lantas ia kembali berkata, 
“Tetapi aku tak bisa. Aku mencintai jemarimu seperti perempuan lain. Semakin aku menghindar aku semakin sadar aku sangat mencintai jemarimu. Betapa aku mendamba atas belaiannya. Aku tak bisa membohongimu lagi. Aku tak pernah bisa mencintaimu sepenuhnya. Karena ternyata aku hanya mencintai jemarimu.” 

Ada nada maaf dalam kata-katanya namun itu sangat menusukku. Ametis tak pernah benar-benar mencintaiku. Ia mencintai jemariku. Jemari yang kini telah berubah begitu menjijikan. Aku pergi dari negeri itu, malam harinya. 

&&& 

Empat bulan lamanya aku menyembuhkan segala luka jemari. Kini jemariku telah sembuh seperti sedia kala. Perempuan-perempuan kembali mengerubungiku menawarkan cinta. Tapi aku beku. Mereka tak pernah benar-benar mencintaiku. Mereka hanya mencintai jemariku. Bagian terindah dari tubuhku yang kini membuatku merasa muak. Betapa ingin aku lepas darinya. 

Masih kuingat kata-kata Ametis di akhir perjumpaan, 
“Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas?” 
Kata-kata itu terngiang dalam telingaku. Berdengung-dengung selama belasan hari. Begitu mengusik. Tak pernah kubayangkan akan teror semacam ini. Betapa kini aku merasa jemariku adalah momok yang tak merelakan aku tidur barang sekejab. 

Setiap aku melihat jemariku, perutku serasa mual hingga aku harus membalutnya dengan kain. Keindahannya menusukku, apa guna jemari ini sebenarnya? Bagaimana bila aku tak memiliki jemari? Bagaimana bila aku hanya memiliki dua jemari, ibu jari dan telunjuk pada tangan kanan? Belum pernah selama ini pertanyaan seperti itu muncul dalam benakku. Kini pertanyaan itu muncul begitu saja. Ya dua jari mungkin cukup. Untuk segala kegiatanku. 


Sebuah parang yang panjang telah kuasah semalaman. Aku mengamati tajamnya yang mampu memutus helai rambut. Berkilau dan aku dapat mengaca pada bilahnya. Ketajaman yang sempurna. Akan menebas sekali tebasan. Ya akan kuakhiri puncak derita bahagia*. Parang pada tangan kiriku menebas tiga jari tangan kananku. Tas. Dengan bermandi darah aku ambil parang dengan ibu jari dan telunjuk kanan yang tersisa. Telah kuabaikan rasa. Kutebas habis kelima jari tangan kiriku. Tas. Aku merasa ada yang tercerabut. Mungkin nyawaku. Hingga aku melayang. 

&&& 

Aku telah terbiasa hidup dengan dua jari. Mungkin dahulu aku melihatnya sebagai suatu benda yang dapat kubanggakan. Seperti pakaian sutra atau wewangian rempah-rempah, sesuatu yang membuat aku dihargai orang secara wadag. Tubuh yang kujual, tanpa aku tahu keindahan lain dibalik itu. Bagian terindah yang tersisa, kini menjadi begitu penting. Aku menjadi sedikit lebih mengerti akan arti jemari. Keberadaannya yang lekat pada telapakku. Semua diciptakan tentu mempunyai arti, mempunyai fungsi. Begitu aku menatapnya kini dengan penuh hikmat, bukan lagi angkuh. Kadang aku menangis memandang jemariku. Baru kusadar keindahan yang jauh melebihi apa yang terlihat. 


Kini tak ada lagi perhatian dari perempuan sekitarku. Aneh itu justru membuat aku lega. Orang-orang memanggilku dengan panggilan baru, si buntung jari. Panggilan yang tak terlalu bagus sebenarnya, namun aku menerimanya. Aku mulai belajar menulis kisah-kisah kehidupan, terkadang kisah perjalanan dari para pendatang yang mulai memadati negeriku. Aku berencana untuk mengunjungi negeri-negeri dan menuliskannya. Kisah-kisah tentang kepedihan, ketangguhan, kegembiraan, acara ritual, keindahan alam, gejala alam. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku kini. Menulis cerita dengan dua jari yang tersisa. 


Muria Ujung, Oktober 2002 
*Puncak derita bahagia..menyitir dari puisi Nanang Suryadi: Demikianlah Ia Berbahagia. 



Jangan Pernah Bilang Sibuk

Jangan Pernah Bilang Sibuk


Oleh Rr Yusnita Ratih J.
Penulis adalah mahasiswa ITS

Akhir-akhir ini musim virus merah jambu. Kemarin Meta ngerayain empat tahun jadian. Mereka seneng banget karena sudah berhasil melewati tahun keempat yang katanya rawan cekcok. 

Kalau Dika, dia jadian sama Meira yang jadi idolanya sejak dia masuk sekolah ini. Beda lagi dengan Yusi. Dia tidak henti-hentinya cerita betapa bangganya dia dikejar-kejar mas Yudha, seniorku yang sekarang sudah kuliah. Kalau aku, biasa-biasa saja. Masih jomblo sejak dua bulan yang lalu dan tidak ada yang perlu diceritakan.

Di antara cerita cinta yang bertaburan di mana-mana, ternyata hanya cerita Yusi yang melibatkan tenaga dan pikiranku. Tiga minggu setelah ams Yudha PDKT, akhirnya terjalin komitmen agak konyol antara siswi SMU kelas tiga dengan mahasiswa semester lima itu. 

Aku dan Meta sebagai pengamat saja. Bagaimana tidak, hampir tidak ada rahasia di antara kami bertiga. Maklum, memang satu komplotan. Tapi Dika agak dianaktirikan karena beda gender. 

Semua yang mas Yudha omongin di telepon selalu ditransfer ke kupingku dan Meta. Sementara ini, cuma lewat omongannya mas Yudha via telepon itu kamu mencoba menilai seberapa serius dia sama Yusi. 

Agak susah sih. Soalnya, omongannya itu pasti yang indah-indah. Tapi selama kenal dan PDKT, sampai akhirnya jadian yang terhitung hampir satu bulan ini, baru dua kali mereka ketemuan. Yusi yang makin hari makin takluk dan mas Yudha yang makin ngeyel bahwa kayaknya tidak ada wanita di dunia ini selain Yusi. 

Dan, semua berjalan baik-baik saja hingga hampir dua bulan, tepatnya satu bulan dua belas hari. Mulai hari ketigabelas semua berubah. Tidak ada lagi SMS indah dan telepon cantik dari mas Yudha. Yusi mulai kebat-kebit. 

Hari-hari yang dulu selalu diwarnai keceriaan sekarang berganti dengan keluhan. Yang kangen lah, BT (Butuh Tatih tayang) lah, hingga kekuatiran jangan-jangan mas Yudha punya cewek lain. 

Alasan yang dilontarkan mas Yudha seputar kuliahnya yang tadinya asing bagi kami. Mulai dari ngerjain tugas besar yang jumlahnya ada tiga biji, ngalkir gambar, dan seabrek kegiatan aneh yang selalu menyita waktu dan pikirannya hingga untuk missed call saja tidak sempat.

Sore ini Yusi sama Meta ke rumahku. Dan lagi-lagi Yusi menebarkan kesedihannya. Kali ini lebih parah dari biasanya. 

"Gimana nggak sedih, udah empat hari ini dia diemin aku. Tadinya aku sengaja nggak call dia. Aku pengin tahu gimana reaksinya. Ee, ternyata sampai sekarang dia tetep diam. Terakhir aku telepon dia alasannya masih sama, sibuk. Dia sekarang lagi ngapain ya? Coba kalau dia nggak jauh, pasti aku bisa tahu apa dia bener-bener sibuk. Aku takut kehilangan dia. Kan kita udah berjodoh banget. Namanya aja cuma beda Si sama Dha. Zodiakku Pisces dan dia Virgo. Cocok tuh. Tapi kok bisa kayak gini ya?" gerutunya. 

Aku mengambil handphone Yusi dan menghubungi mas Yudha. Ternyata benar, belum sampai aku bilang apa-apa, dia sudah ngomong duluan, "Aduh, sori ya, lagi sibuk nih. Besok aja ya aku telepon. Daa, sayang." Klik. Tuut..tutt…

Bukan hanya aku. Meta dan Yusi pun merasa ada sesuatu yang salah. Dan ternyata benar, dia hari kemudian mereka putus. Mungkin Yusi dianggapnya seonggok liliput dalam telepon yang cuma di-SMS, ditembak, dan diputusin lewat telepon. 

Alasan mas Yudha adalah dia merasa nggak mantep nerusin hubungan dengan Yusi. Dia takut Yusi kecewa mencintai dia. Wah, kayak lagunya Dygta. Tapi alasan itu terlalu klasik dan tidak logis.

Hari berikutnya menuntut kami untuk bisa memperlakukan Yusi lebih hati-hati. Gara-gara cintanya yang kandas dia menjadi kacau. Password yang nggak boleh didengar Yusi adalah kata "sibuk". 

Kalau ada Yusi, kata itu harus diganti dengan kata lain. Repot misalnya. Kalau tidak, dia bakalan nangis kenceng sambil teriak-teriak panggilin mas Yudha. Memprihatinkan!

Dua bulan berlalu. Kami sekuat tenaga mengembalikan Yusi menjadi normal. Kali ini ada Andi, anak kelas tiga, yang bantuin. Seminggu yang lalu mereka jadian. Dan semua sudah berubah.

"Yus, mau ke mana? Buru-buru banget?" sapaku. 

"Eh, sori, aku lagi sibuk nih. Ngurusin pelepasan kelas tiga. Tolong kamu bilang ke Reza ya, dia lagi sibuk di ruang OSIS. Thanks ya," katanya sambil berhenti sebentar dan kemudian bergegas lagi.

Tit tilut tit. Bunyi handphone Yusi. "Iya, iya, aku lagi sibuk nih. Katanya papa juga sibuk rapat, mama sibuk nyiapin arisan. Bla-bla-bla…"

Aku hanya tersenyum mendengar kata "sibuk" yang dulu sempat menjadi momok sekarang selalu meluncur dari bibir mungilnya. Cinta, kali ini kamu menang, kamu berhasil membuat seseorang berbeda. Dulu, sekarang, dan mungkin beberapa detik kemudian. Harusnya bukan kamu, ya, bukan kamu. 


Jangan Percaya Apa Kata Bintang

Jangan Percaya Apa Kata Bintang (Oleh: Wangsa Nestapa) 

"Serius Ivan. Aku tuh kemarin lihat di majalah punya Wina. Dan ramalan di dalamnya mengatakan, aku bakal mendapat durian jatuh di kepala. Dan tadi malam, aku kehilangan ponsel ketika tengah makan ketoprak di depan Plaza." Noli sampai melotot berbicara seperti itu kepadaku. Mungkin, biar ucapannya lebih meyakinkan.

"Ah, itu sih kamunya saja yang ceroboh. Ramalan itu enggak akan ada arti kalau bukan kita sendiri yang memulai dan telanjur mempercayainya." Kuseret pandanganku dari wajah Noli yang terlihat serius.

"Gimana mau enggak percaya. Coba, setiap kali aku baca horoskop, ramalannya selalu saja berbicara sesuai dengan apa yang aku alami. Paling enggak nyerempet. Dan pengalaman tadi malam malah bikin kepercayaanku tambah klop bahwa ramalan itu bukan sekedar omdo alias omong doang," ucap Noli mantap. Ia menaruh gitar bolong yang sedari tadi digenjreng-genjrengkan. Sisa es jeruk di gelas, diteguk habis olehnya.

Aku kira Noli sudah telanjur amat mempercayai ramalan yang menggambarkan kepribadian dia di bawah garis binatang-binatang sebagai simbolnya. Meski sebenarnya, aku pun tak bisa memungkiri, ucapan Noli pun sesuai dengan isi kepalaku. Tapi aku tak terlalu menanggapi semua isi yang tertera di zodiakku. Tidak seperti Noli yang begitu antusias mempercayai keseluruhannya. Kalau aku membaca, paling sebatas hiburan. Kalau tebakan zodiak tepat, paling banter aku tersenyum memberi aplaus atas kehebatan si peramal atas kepekaannya menebak-nebak jalan hidup manusia. Kalau untuk mempercayainya, nanti dulu. Toh itu kan hanya ramalan, belum tentu betulnya.

Dan semakin lama, Noli semakin parah dengan kepercayaannya terhadap ramalan bintang. Ia seolah menggantungkan nasibnya pada ramalan. Kalau saja aku ini bukan temannya dan ia tidak sering bercerita tentang pengalamannya yang kadang membuat gelisah dia sendiri itu, aku akan berani mengatakan secara langsung kepadanya bahwa ia gila!

Dan sore itu, selepas bimbel sekolah, Noli berlari menghampiri seraya melambai-lambaikan majalah di tangan. Pasti tentang ramalan bintang. "Van, liat nih. Zodiakku bilang, aku bakal ketiban sial. Dan pesannya, aku enggak boleh keluar rumah seminggu ini. Aku takut, Van!" ucap Noli.

Tepat sekali perkiraanku, mungkin kalau Noli tahu tebakanku jitu, ia pasti memintaku untuk menjadi peramal pribadinya. Ih, jangan sampai deh.

"Takut? Takut apaan? Takut zodiak kamu itu salah? Atau takut karena kamu seminggu ini enggak akan keluar karena mempercayai omongan bintang kamu di majalah itu lagi?!" balasku tetap berjalan dengan pandangan lurus melewati lorong sekolah.

"Takut kalau ramalan ini betul lagi, dong Van. Aku enggak mau ketiban duren untuk kedua kalinya! Tapi, masak aku mesti ngurung diri seharian penuh selama seminggu dalam rumah?" ucap Noli cemas. Aku enggak tahu harus berbuat apa untuk meladeni sikapnya saat itu. Kalau saja ramalannya buruk, ia kerap menemui dan mengatakannya kepadaku. Sedang kalau gembira, ia lebih sering menyimpannya dalam hati.

Dua minggu lalu saja, ketika impiannya bertemu dengan bintang idolanya di teve karena memenangkan tiket nonton konser secara langsung, ia tak menceritakan kalau prediksi ramalan bintangnya menjadi nyata. Dan satu minggu kemudian, barulah ia bercerita bahwa Pisces memberi keuntungan baginya. Sedang kali ini, mungkin ekor Pisces-nya buntung!

"Terus, kamu mau apa?"

"Dih, kok kamu nanyanya kayak gitu sih, Van?" cerocos Noli

"Abis, mau apa lagi?" jawabku sekenanya.

"Ya ngasih saran atau apa kek!"

"Saran? Untuk apa? Percuma aku ngasih saran ke kamu kalau kamunya enggak pernah ngedengerin apa yang aku omongin."

"Memangnya, kamu kira selama ini aku enggak ngedengerin omongan kamu?" "Ngedengerin sih! Tapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kuping kamu itu kayak terowongan ini, cuma tempat masuk-keluar anak-anak. Setiap omonganku yang masuk, enggak pernah dicerna sebelumnya!"

"Contohnya?" tandas Noli. "Contohnya? Seperti sekarang ini, Non! Misalkan, aku ngasih saran ke kamu supaya kamu enggak usah percaya sama ramalan bintang itu. Tapi sepertinya, kamu emoh untuk mengikuti saranku dan tetap melaksanakan apa kata bintangmu itu. Betul kan?" ucapku mengira-ngira. Noli terlihat memiringkan kepala seolah meresapi dan mencoba memahami ucapanku. Jari manisnya bersandar di pipi dengan siku tertopang telapak tangan yang kiri. Tapi tak lama kemudian, ia segera menyudahi karena becak yang dipanggil keburu datang menghampiri. Ia naik begitu saja tanpa pamit atau sekedar say god bye kepadaku setelah sebelumnya ia mengatakan bahwa aku itu lelaki yang sok tahu. Keesokan harinya selepas pulang sekolah, aku tak menemui Noli yang biasa nongkrong di bawah pohon mangga untuk pulang bersama. Dan aku tak terlalu ambil pusing dengan ketiadaannya. Sekaligus, aku merasa senang karena bisa menghindar dari pembicaraannya yang tak jauh dari ramalan bintangnya.

Jujur saja, aku sebenarnya penat mendengarkan ocehannya yang bertalian dengan ramalan. Pusing, karena aku hampir setiap malam memikirkannya. Dahulu, Noli tak seperti itu. Tapi belakangan ini, setelah main ke rumah Wina yang langganan majalah yang ada zodiak di dalamnya, ketertarikan Noli terhadap horoskop semakin menggila. Malah ia rela datang ke lapak majalah sekedar melihat ramalan tanpa membeli majalahnya.

Dan aku merasa yakin ucapanku di lorong sekolah itu benar, saat keesokan harinya aku kembali tak menemukan Noli di tempat biasa. Keesokan dan keesokan harinya lagi. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Noli terlihat aneh belakangan ini. Setelah bel pelajaran selesai, tanpa basa-basi ia langsung pulang. Dan saat jam istirahat berlangsung, ia rela ngendon di dalam kelas. Tadi malam saja, Noli menolak ketika Wina dan beberapa teman mengajaknya untuk ngeceng ke mal. Biasanya, kalau untuk urusan pergi ke mal bareng temen, Noli paling bersemangat. Sepertinya, ia takut kalau ramalannya menjadi nyata, jika ia keluar rumah seperti yang tertera dalam zodiaknya.

Ternyata tidak! Perkiraanku tak tepat, karena sehari setelah aku meyakinkan tepatnya tebakanku, Noli terlihat ceria di tempat biasa. Duduk sendiri sembari menikmati kacang atom. Sama sekali tak tersirat perasaan cemas di wajahnya seperti saat ia mengatakan tentang ketakutannya terhadap ramalan bintang di lorong sekolah beberapa waktu lalu. "Haiii!" sapanya cengengesan, bikin aku penasaran. Ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengannya.

"Udah nongol, nih. Engak takut ketiban duren lagi, Non!?" tanyaku sembari mencomot beberapa butir kacang atom.

"Enggak tuh, musim berbuah pohon duren sudah habis. Jadi, enggak ada duren yang jatuh," ucap Noli santai. "Lihat, zodiakku bilang, aku hoki minggu ini. So, enggak ada alasan kalau aku bakal ketiban duren, dong!!!" lanjut Noli seraya melempar sebutir kacang atom ke udara, kemudian melesat ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan majalah dari dalam tas dan membuka lembar zodiak lalu menyodorinya kepadaku. Aku sekilas melihat tulisan tersebut dan tersenyum kepadanya.

"Jadi, kamu percaya kan bahwa zodiak itu enggak selalu benar?" "Ah, enggak juga tuh!"

"Kan durennya enggak jatuh ke kepala kamu!"

"Lantas, bukan berarti aku enggak percaya lagi dong! Soalnya, minggu ini zodiakku bilang, aku bakal menimba emas dari sumur. Itu tandanya, aku bakal dapet rejeki. Sayang dong kalau aku ngelewatin begitu saja."

"Ah, kamu itu, Non! Aku kira kamu udah insaf. Ternyata belum."

"Huuu…." Noli langsung mencibir dan menggamit tas untuk pulang bersama. Seminggu sudah waktu bergulir menggelindingkan hari. Noli belum merasakan kalau ramalan bintangnya menjadi nyata. Tapi ia tak kecewa, mungkin belum saatnya. Apalagi setelah ia melihat kembali zodiak keluaran terbaru, isinya tak jauh beda seperti minggu lalu. Ia semakin optimistis, bintang jatuh bakal datang kepadanya. Tapi sama saja, berhari-hari ia menunggu, hasilnya nihil, alias tak ada.

Lama-lama, Noli jadi frustrasi sendiri, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menghampiri. Dan ini semua ada hikmah untuknya. Mungkin Sang Pencipta tak suka melihat makhluk ciptaannya terlampau mengekspos diri dalam hal ramal-meramal. Takdir hidup manusia itu kan tak bisa ditentukan lewat ramalan, melainkan Dia sendiri yang telah menentukan.

Dan menurutku, mungkin kesadaran Noli dari dunia ramal-meramal adalah bintang jatuh yang selama ini ditunggu-tunggu olehnya. Dan perlahan, perasaan bangga mulai mencuat kepadanya, karena orang yang aku cintai dan sayangi selama ini telah kembali seperti semula. Alhamdulillah. Thanks, God!
egon, 2 Juni 2004) 



Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer