Rabu, 06 April 2016

Ida, Aku Akan Pulang Untuk Belajar Mencintai Kotamu

Ida, Aku Akan Pulang Untuk Belajar Mencintai Kotamu 
Cerpen Tulus Wiswani 
Ida, minggu ini aku akan pulang untuk belajar mencintai kotamu. Setelah hampir satu bulan aku tangkupi debu-debu di kota ini, darinya tak dapat kusarikan apa-apa kecuali debu-debu itu sendiri. Baiklah Ida, agar makin gamblang adanya, aku senandungkan saja untukmu cerita tentang kota ini. 
Yang terang, tempat ini tak lebih bersahaja dari sebuah negeri senja meskipun orang-orang, termasuk aku, bersikeras membuat arak-arakan ketika menuju ke kota ini. Seluruhnya yang berangkat itu membawa serombongan angan-angan lantaran sebelumnya mereka sering mendengarkan selentingan-selentingan tentang melayang-layangnya berlembar-lembar uang di kota ini. Bagaikan ditebarkan dari segulungan langit ke tujuh. Dan bagaikan mendengarkan cêngkok seorang biduanita cantik, akupun menjadi takjub dan lantas ngêyel kepada kau yang mencegahku supaya aku tak tinggalkan kotamu. Perkara itu, akan kuutarakan ma’af untukmu jika aku tiba nanti. Sebab bukannya terlalu materialistiknya diriku. Ataupun lantaran terlalu rakusnya aku. Tetapi hanya rancangan pernikahan kita, di satu tahun ke depan, yang lumayan membuat aku kesulitan tidur dan harus menemani dini hari itu, Ida. Sama seperti halnya juga dengan kau. Yang kemudian menyergahku dengan tawarmu supaya kubatalkan saja berharap banyak dari tempat ini: “kita bisa bersama-sama mengusahakannya di sini kan, Mas.”
Kota ini menyimpan berjuta gulita, Ida. Juga kota ini seolah tak mau sisakan tenggang rasa sehingga bagi siapapun setiap harinya dapat saja menemukan orang-orang yang mati rasa dan terbiasa melakukan penodongan, pencongkelan, pencopetan, penganiayaan, pencurian, dan pembunuhan yang seterusnya akan menjadi santapan bagi koran kuning. “Tolong Ida, kelak jangan ceritakan pada anak-anak kita soal keprimitifan ini!” Karena kota ini tak pernah mati. Kota ini tak mati-mati, Ida. Seperti Jogja juga. Sungguhpun lebih banyak orang yang mati rasa di sini ketimbang di kotamu itu.
Oh ya, banyak juga perempuan yang seolah mengenakan pakaian seragam: kaos ketat dan sandal yang bersol tebal. Banyak menyerak di pusat kota ini. Di sekitar tugu air mancur, bergelantungan di melintang-melintangnya tabung lampu kota, dan di sekujur lorong-lorong yang ditimpa oleh sisa malas cahaya di kota ini, Ida. Satupun dari mereka tak aku mau. Tidak karena beberapa dari mereka abai pada wejangan orang tuanya. Tetapi ucapkanlah, Ida: sebab aku hendak menikahimu dengan segurat cintaku kendatipun aku baru mau belajar mencintai kotamu. 
Siapapun boleh mengaku memiliki kota ini. Wujud dan karakter yang bagaimanapun memberikan ragam pada tanah kota ini. Ida, aku tak mau berlama-lama tinggal di sini sebab kota ini acapkali mampu merubah watak seseorang. Banyak orang yang pada mulanya hanya terpesona namun di kemudian setelah menggenggamnya dia menjelma menggila. Ingatkah, Ida, kalau hal itu pernah didedahkan dengan sangat apik di sembilan puluh delapan? Lalu air mata yang sering tumpah di kota ini. Air mata sebagai penanda bagi hadirnya derita. Berapa jumlah ibu yang bersedih sebab putra-putranya direnggut jejalanan kota yang rebahan seperti tidak mau ambil urusan? Susah dihitung, Ida. Susah untuk dihitung sesusah ketika kita harus menghitung dengan pasti jumlah asap rokok yang jalin-menjalin.
Ida, tak adakah yang dapat ditemu dengan bahagia dari kota ini? Ada Ida. Tentu ada. Kota ini banyak tawarkan kekenêsan. Resik dan sumringah-nya wajah-wajah para penggede, gedung-gedung yang menjulang bagaikan duplikasi dari New York saja, dan di samping tanda bahaya yang sering terdengar, hingar-bingar yang kompak selalu terdengar pula di kala kota ini merayakan datangnya malam. Kota ini sepertinya berganti warna gincu di sewaktu malam. Parfum khusus yang mengkamuflase bau keringat malam kemudian juga disemprotkan. Dan mulailah iringan tetabuhan tak gamang dimainkan meski serombongan orang yang berada di seberang lain berteriak-teriak lantang: “hapus kemaksiatan!”
Tetapi semua itu tak berhasil memikatku, Ida. Aku justru ketakutan dan lebih tertarik untuk minta ma’af kepadamu dan mengangguki tawaranmu: kita berusaha bersama di Jogja demi pernikahan di tahun depan yang didamba-damba itu. Lalu di manakah kita akan tinggal seusai kita menikah, Ida? Tentu tidak di kota ini. Tidak di kotaku. Tetapi di kotamu saja, Ida. Di kota yang hendak kucinta itu, Ida. Sebab menurut seorang yang juga sudah muak dengan aroma tengik kota ini: aura magis yang diseruakkan dari tanah kotamu yang warnanya tidak menyala akan membuat siapa saja yang datang kepadanya cepat untuk jatuh cinta dan enggan untuk meninggalkannya. Nantikan aku, Ida.


Teruntuk: H.S. 
Pertengahan Mei 2002,
Pojok Pakualaman, Jogja

Ibu Mau Membunuhku

Ibu Mau Membunuhku - Gusrianto
Dikemas 12/04/2003 oleh Editor  


Perlahan aku dapat mendengar suara jangkrik di luar. Barusan juga kudengar suara kentongan di pukul dua kali. Berarti sekarang sudah pukul dua. Dari tadi ibu terus menggendongku, dan tak henti-hentinya menciumiku. Tapi itu tadi, sekarang keadaan sungguh jauh berubah.
"Ibu… apakah ibu mau membunuhku?" kulontarkan pertanyaan itu setelah ibu meletakkanku di atas ranjang, lalu pergi ke dapur dan kembali dengan sebilah pisau di tangannya.
"Iya, anakku. Ibu akan membunuhmu." Ibu menjawab. Menatapku. Tapi aku yakin, itu bukan tatapan kebencian. Ibu menatapku sepenuh cinta. Aku merasakan itu.
"Tapi mengapa, Bu? Bukankah ini bukan salahku? Ini juga bukan salah ibu." Aku coba menyadarkan ibu.
"Kau memang benar. Ini bukan kesalahanmu, juga -mungkin- bukan kesalahan ibu. Ini kesalahan mereka yang tak punya cinta. Kesalahan para manusia yang sebenarnya adalah binatang, yang dalam dirinya hanya ada nafsu, nafsu dan nafsu.
"Lalu mengapa ibu mau membunuhku? Ibu pasti tahu kalau itu perbuatan dosa." Aku tak akan menyerah. Ibu harus berhasil kusadarkan. Aku tahu, pikirannya hanya sedang kacau, tak mampu bertindak normal.
"Tapi akan lebih berdosa lagi jika ibu membiarkanmu terus hidup. Kau akan jauh lebih tersiksa, lebih menderita, dan ibu tak mau itu terjadi padamu. Ibu membunuhmu karena ibu sangat menyayangimu." Ah…ibu. Aku tahu kalau kau sangat menyayangiku, sangat mencintaiku. Aku tahu itu dari tatapanmu. Matamu selalu menyorotkan sinar cinta. Sebesar cintamu pada Bapak. Ah, dimana Bapakku? Seandainya dia ada di sini, semua hal ini tak akan pernah terjadi.
"Tersiksa? Aku nggak yakin akan tersiksa, Bu. Bukankah kita bisa hidup berdua? Saling bahu membahu. Kalau bersama ibu aku tak akan pernah merasa tersiksa. Karena aku tahu, ibu mencintaiku. Jadi tak ada alasan bagi ibu membunuhku." Ya Tuhan, bukakanlah hati ibu. Singkirkanlah setan-setan yang sedang berpesta di kepalanya. Kumohon Tuhan.
"Hidup tak akan pernah bahagia hanya dengan cinta, anakku. Tak cukup hanya cinta. Seperti ibu yang mencintai Bapakmu, bahagiakah ibu? Tidak! Malah sangat menderita. Dia yang katanya sangat mencintai ibu, mengatakan dengan sungguh-sungguh, lalu setelah dia mendapat apa yang diinginkannya, begitu saja dia meninggalkan ibu." Ibu menangis, selalu begitu. Setiap ia ingat orang yang telah meninggalkannya, ia pasti menangis. "Kita juga butuh uang anakku, kau butuh makan biar bisa bertahan hidup, juga ibu. Dari mana kita akan memperolehnya? Memang kau bisa minum ASI ini, tapi untuk berapa lama? paling lama seminggu, lalu akan kering. Tidak anakku, kau akan sangat menderita kalau hidup. Ibu lebih senang membunuhmu, agar kau bisa segera mencapai surga-Nya. Disana banyak bidadari yang akan menjagamu, mengajakmu bermain, dan kau akan bahagia."
"Bu… di kota ini kita memang hanya berdua. Tak tahu harus minta bantuan pada siapa. Tapi saat aku lahir, aku mendengar ibu terus-terusan memanggil kedua orang tua ibu, nenek dan kakekku. Bukankah kita bisa ke sana? Kita pulang kampung, Bu?"
"Anakku… pulang kampung katamu? Satu hal yang harus kau ketahui, ibu membunuhmu supaya orang di kampung, terutama kakek dan nenekmu tidak mengetahui hal ini. Kau tahu anakku, kalau sampai mereka bahwa ibu sudah melahirkanmu, bukan hanya kau yang akan mereka bunuh, tapi juga ibu. Ya, mereka akan membunuh kita berdua. Dan ibu tak mau itu terjadi, itu hanya akan menambah dosa mereka. Lagipula ibu membalaskan sakit hati ini."
"Ibu kan bisa membela diri, mengatakan pada mereka kalau ibu hanyalah korban. Bukan ibu yang menginginkan semua ini terjadi." Terus dan terus aku mencoba membuka hati ibu.
"Kau tidak mengenal seperti apa kakekmu, anakku. Ibu tak akan diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan. Lagi pula…. Ibu malu anakku, malu pada mereka, malu pada orang-orang kampung. Mereka akan mengejek ibu, akan membuat aib bagi keluarga, dan akhirnya…bukan hanya ibu yang malu, tapi juga kakek dan nenekmu."
"Ibu yakin? Ibu yakin mereka akan mengejek? Ibu… ibu hanya memikirkan hal buruk yang akan menimpa. Ibu tak memikirkan bahwa di samping kemungkinan yang ibu bayangkan, masih ada kemungkinan lain, kemungkinan yang lebih baik. Bukankah segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasangan? Ada sisi buruk, juga ada sisi baikknya. Hanya Tuhan yang esa."
"Apa maksudmu, anakku?" ibu bertanya. Ya Tuhan….berikan aku kekuatan untuk meyakinkan ibu kalau dia salah. Berikan aku kekuatan untuk meyakinkan dirinya kalau aku adalah titipan-Mu yang tak boleh disia-siakan.
"Bu… menurut ibu orang tua ibu akan membunuh kita kalau sampai mereka tahu aku terlahir tanpa bapak. Menurut ibu orang sekampung akan mengejek ibu begitu tahu kalau ibu telah dibohongi seorang lelaki, merenggut mahkota ibu dan lalu meninggalkan ibu begitu tahu ibu ternyata mengandung benih hasil perbuatannya. Itu adalah sisi buruknya. Tidakkah terlintas di benak ibu bahwa orang tua ibu akan menangis memeluk ibu begitu tahu anakknya telah menderita? Tidakkah terpikir oleh ibu bahwa orang di kampung akan merasa kasihan dan simpati pada ibu begitu ibu menceritakan apa yang telah menimpa ibu? Ayolah, Bu…letakkan kembali pisau itu. Tak selalu apa yang kita pikirkan itu akan terjadi. Tuhan yang menentukan semua."
Kulihat ibu terdiam. Menatapku. Air matanya masih mengalir. Lalu dia meletakkan pisau di tangannya di meja samping ranjang. Aku menarik nafas lega. Semoga ibu luluh. Semoga.
Ibu mengangkat tubuh merahku dalam pelukannya. Menciumiku. Aku menangis. Tangisan bayi yang baru berumur satu hari. Tapi itu tangisan cinta, cintaku pada ibu.
"Kau sangat bijaksana, anakku. Ibu kagum padamu. Ibu yakin, kalau kau tumbuh besar nanti kau akan jadi wanita hebat, wanita tegar. Jauh lebih tegar dari ibu. Ibu yakin, tak akan ada seorang lelakipun yang akan berani macam-macam denganmu." Aku tersenyum. Apakah itu berarti ibu akan membesarkanku? "Tapi maafkan ibu, Nak. Keputusan ibu sudah bulat. Ibu tetap tak bisa untuk membesarkanmu."
Kembali aku mendesah. Ternyata hati ibu benar-benar sudah tertutup. Rasanya aku sudah kehabisan kata-kata buat menyadarkan ibu. Biarlah, aku pasrah. Aku akan menerima keputusan ibu. Mungkin memang itu jalan terbaik menurut ibu.
Kulihat ibu meraih kembali pisau dapur yang tadi di letakkannya di meja, dan membawanya ke hadapanku. Mungkinkah ibu akan menikamkannya sekarang? Aku siap menunggu.
"Tapi anakku, bukan pisau ini yang akan membunuhmu…" ibu kemudian berkata.
"Maksud ibu?"
"Ibu tak sanggup menghujamkan pisau ini ke tubuhmu. Tak sanggup anakku. Setelah mendengar kata-katamu, ibu sadar. Kau tak berhak untuk mati dan ibu juga tak berhak untuk mencabut nyawamu. Itu semua adalah hak Tuhan. Tapi walau begitu, seperti yang ibu bilang tadi, ibu tak bisa membesarkanmu. Maafkan ibu."
"Lalu apa yang akan ibu lakukan?" aku menunggu jawaban ibu, berharap-harap cemas.
Kembali ibu meletakkanku di ranjang dan berjalan ke dapur. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah kantong plastik besar berwarna hitam.
"Ibu akan membuangku?" aku bertanya. Sama sekali aku tak memikirkan kemungkinan ini sebelumnya.
"Benar, anakku. Ibu akan memasukkanmu ke dalam kantong plastik ini. Lalu memasukkanmu ke bak sampah di ujung jalan sana. Ibu harap kau menangis sekeras-kerasnya supaya ada orang lewat yang mendengarkan. Ibu yakin, siapapun yang mendengarnya akan merasa kasihan. Kalau yang menemukanmu orang miskin atau mungkin gelandangan, ibu yakin mereka akan membawamu ke kantor polisi, lalu mereka akan memasukkanmu ke panti asuhan dan kau akan tumbuh di sana. Tapi kalau kau ditemukan oleh orang kaya, ibu berharap mereka akan mengangkatmu jadi anaknya, mungkin kau akan jauh lebih bahagia. Sementara ibu, ibu akan tetap di sini, ibu akan lanjutkan kuliah sebagaimana biasa. Dan juga akan menunggu dan mencari bapakmu. Ibu harus balaskan dendam ini. Ibu akan buat semua laki-laki menderita. Ibu berjanji akan melakukannya."
Ibu menatapku, "Kau setuju anakku?"
Kukumpulkan lagi kekuatanku. Tinggal satu lagi langkah yang akan kulakukan, dan aku berharap dengan apa yang kukatakan nanti, ibu akan sadar. Semoga.
"Bu… aku tadi sudah bilang. Didunia ini selalu ada dua kemungkinan, baik dan buruk. Yang ibu katakan tadi baru kemungkinan baiknya. Syukur kalau ada orang yang menemukanku dalam keadaan hidup dan menjagaku. Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau setelah ibu tinggalkan aku mati kedinginan? Lalu keesokan harinya tanpa disadari petugas sampah akan memasukkanku kemobil sampah untuk kemudian dikirim ke pembuangan tanpa mereka sadari bahwa yang di dalam kantong plastik itu adalah manusia. Bagaimana kalau di saat ibu tinggalkan datang seekor anjing dan menemukanku? Anjing itu akan menjilati seluruh tubuhku yang masih bau darah. Bagaimana, Bu? Apakah ibu tega anak ibu yang hebat ini dijilati anjing?"
Air mata ibu mengucur deras. Ibu mengangkatku, membawaku dalam pelukannya.
"Anakku. Maafkan ibu, maafkan. Ibu salah. Kau benar anakku. Ibu sekarang sadar kalau ibu salah. Tidak anakku, ibu tidak akan membuangmu, apalagi membunuhmu. Ibu akan membesarkanmu. Ya anakku, ibu akan membesarkanmu."
Terima kasih Tuhan, batinku.
***

Kamar kost (Ditemani Riyath yang lagi tidur), 26 Oktober 2002.
Anak adalah titipan-Nya, jangan pernah di sia-siakan.




Hypermarket

Hypermarket


Cerpen Wawan Setiawan
Bulan tetap bundar seperti jaman purba. Tapi serigala sudah diganti anjing. Harimau diganti kucing. Keduanya berkejaran di bawah bulan. Cemara-cemara berjajar. Mobil-mobil diparkir di bawahnya. Napas orang mabuk menembus angin.

"Aku sudah meramal bahwa aku kelak sampai di sini. Namun waktu tetap menatapku kelu. Dan lalu waktu bukan giliranku. Demikian penyair Amir Hamzah."

"Kamu bicara seperti orang mau dieksekusi. Rapuh benar jiwamu. Fasilitas yang kuberikan dulu tak kau gunakan?"
"Fasilitasmu sudah berubah menjadi minimarket. Lalu supermarket. Kemudian hypermarket. Jangan pura-pura tidak tahu."

"Tapi justru karena itu kamu kehilangan sejarah. Kronologi hidupmu tak menciptakan sejarah."
"Sejarah? Sejarah untuk siapa?"

"Sejarah tidak untuk siapa-siapa bukan? Itu maksudmu?"
"Sejarah untuk bulan, serigala, dan kucing, ya kan?"

Malam tak dapat mepertahankan diri untuk menjadi siang. Pada waktunya kelak siang akan dirampas malam. "Diriku akan digeser anakku. Anakku akan diganti cucuku. Dan cucuku akan menciptakan dinasti. Dinasti pemberani, serigala pemberani yang tahu dominasi manusia dalam dirinya. Tak ada jalan lain kecuali kompromi."
***
Demikian anganku mengejar bayangannya. Kutarik resliting celana ke atas setelah kunikmati kencing selega udara malam. Kuhirup aroma daun cemara gugur, bau kematian yang indah. Dan mataku ketagihan menyesap bulan. 

Bulan sudah lama ditaklukkan, tapi diriku belum. Tak apa, selama serigala masih berkeliaran di tengah kota, penemuan diri tetap tak semudah memanjat wanita.

"Kamu telah mengkhianatiku!"
Aku kaget. Seorang pemabuk begitu saja membentakku dari mobilnya yang pintunya terbuka.

"Bagaimana mungkin itu. Kapan kamu kenal aku?"
"Kamu dibesarkan bahasa. Lihai kata-katamu."

"Kamu dibesarkan minuman. Pedih suaramu."
Pemabuk itu terbahak-bahak. Mulutnya menganga seakan mau menelan semua sejarah bintang ke dalam tenggorokannya.

"Aku tak mabuk. Aku tahu, betul-betul tahu, bahwa kamu pengkhianat, bahwa kamu tak lebih dari sampah. Sumpah!"
"Kamu insomnia. Kamu mencaplok dunia malam semua wanita kota ini. Inkarnasimu sia-sia. Isi perutmu baiknya disedot mesin kuras tinja," ia berkata-kata begitu sambil berteriak-teriak. Kutarik tangan si pemabuk itu, kumasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintu depannya keras-keras. Biar tahu rasa dia. Saat ekonomi sesulit sekarang, pemabuk makin tambah saja.

Kumasuki segera hypermarket itu dengan amarah. Kuturuti semua yang diminta. 
"Kuturuti apa yang kamu mau, aku telah menjadi konsumen sejati, biar puas dirimu." Dengan gaya pesta agung kucomoti bermacam botol berbagai merk. Sampai kereta dorongku berjubel. Kulihat setiap botol itu dengan gagah menampilkan satu bayangan sundel, seikat uang, dan setumpuk kehinaan.

"Mas beli sebanyak ini apa ada pesta penting. Pesta ultah ya?" 
Kassanya bertanya kalem. Matanya genit, berkedip-kedip, mengundang masuk. Kini hypermarket menyediakan kassawati 24 jam.

"Ya, untuk kecerdasan, untuk kesantaian. Tapi, Mbak Lia," begitu nama yang kulihat di dadanya yang montok, "Mbak harus lapor ke manager bahwa aku konsumen sejati, kalau bisa lapor ke Muri, sebagai konsumen minuman yang memecahkan rekor."

"Muri?" Matanya yang berkedip berubah mendolong.
"Ya, saudaranya burung nuri!" Mbak Lia tanda tanya tapi setelah itu 

senyum-senyum penuh harap agar aku datang lagi selarut begini suatu malam kelak. Kudorong kereta keranjang itu. Bertumpuk botol menuju mobil dan akan siap mendongkrak mereka ke dunia entah berantah.

Mataku tergoda cewek berkaos merah bercelana pendek ketat gelap berjalan melenggok menuju sebuah Corona. Sialan, si banci itu begitu berduit. 

Pelayan hypermarket tergopoh-gopoh mendorong kereta menuju mobil dan kemudian memasukkan seluruh belanjaannya ke bagasi. Si banci memberi sejumlah tip. Pelayan membungkuk sempurna.

Segera kugelontor botol-botol itu ke sejumlah mobil yang tertidur di bawah cemara. Mereka tertidur karena nikmat. Bau napas mereka menyaingi bau daunan cemara yang berguguran. Kalau nanti mereka bangun, pasti botol-botol itu akan didekapnya begitu saja. Sambil membayangkan keberhasilan para konglomerat, mereka akan terus menenggak botol-botol itu tanpa tanya dari mana.

Setelah menggelontor botol ke para pemabuk buduk, aku kembali ke mobil. Tapi belum sempat masuk ke jok depan, suara pisuhan panjang menggempur kupingku lagi.

"Kamu gadaikan hidupmu demi barang-barang basi!"
Aku segera berlari ke arahnya.

"Apa katamu?" Kebenturkan mataku ke matanya yang merah-kosong.
"Kau gadaikan hidupmu demi barang-barang basi."

"Sok tahu lu. Barang basimu kali."
"Kamu jilati barang-barang basi itu. Takut kehilangan, ya. Kamu gopok."

"Sejak tadi barang basi melulu mulutmu itu."
"Kamu menyembah popularitas."

"Tapi kamu menyembah botol."
"Ya, kamu menyembah teori."

"Tapi, kamu jilati botol sampai kau temu malaikat."
"Kamu jilati teori sampai kau temu juru selamat."

"Sudah, sudah. Minum saja biar pencerahanmu tak terkalahkan. Kamu memang gigolo sejati. Nikmatilah dirimu dengan penuh keriangan."
Kudesak tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintunya lebih keras dari yang tadi. Masing-masing lima botol kutaruh ke jok samping. Lima tutupnya kubuang jauh-jauh.
***
Aku terengah-engah. Mengapa aku tadi ikut parkir di bawah cemara. Kupikir aku bisa santai sambil membayangkan peradaban baru yang bakal tiba, suatu peradaban yang tak terkalahkan oleh akal licik manusia. Padahal, sambil berandai-andai demikian aku berharap peroleh terapi setelah jenuhku tak tertolong di tempat kerja. Puluhan tahun dan hampir setiap hari aku harus memandikan mayat di RS Teruna di sebelah timur Rutan Tulangresik. 

Banyak orang menjauhi pekerjaan itu. Menurut mereka, pekerjaan ini membuat orang sering menemui banyak peristiwa aneh seperti malam ini. Bayangkan ada lima mobil berderet, semuanya dihuni para pemabuk. Saking kerasnya bau mulut mereka, bau daunan cemara yang berguguran dapat dikalahkan.

Kalau siang, lokasi di bawah cemara ini sering dipakai parkir mobil-mobil anak remaja yang bolos sekolah. Mereka berpacaran sambil menenggak minuman ringan, dan sering menyuntikkan cairan seribudewi ke nadi. Nah, kalau malam para pemabuk yang sudah parah mangkal di sini. Halaman hypermarket memang luas, lima kali luas bangunannya. Padahal bangunan hypermarket itu dua kali luas lapangan bola, dan berlantai tujuh persis tujuh lapis semesta yang ada di sorga.

Lokasi kelompok cemara seribu meter jaraknya ke tepian gedung. Bisa leluasa di sini karena jalan besar juga masih seribu meter ke arah berlawanan, suara deru lalin hanya sayup. Jarak-jarak itu disatukan oleh jalan paving, rumput-rumput halus, dan bunga-bunga kecil. Di jalan besar banyak polisi patroli malam tapi mereka tak akan berani menyentuh wilayah ini. Bukan kaplingannya. Ini adalah wilayah para satpam penembak jitu yang sudah disogok dengan gaji ketiga belas disertai satu truk bingkisan yang isinya pasti perempuan garukan, puluhan kaleng biskuit, baju-baju factory outlet, buah-buah negeri dingin, dan juga minuman keras merk-merk ternama.

Padahal aku jenuh di tempat kerjaku. Pikiran, hati, dan tubuhku, sibuk memandikan mayat. Jangan-jangan, aku nanti akan memandikan salah satu dari mereka. Sebab mereka telah memenuhi tahap awal yang sangat memungkinkan: menjadi pemabuk, menyetir mobil sendiri, menabrak mobil sipil atau polisi, tiang listrik, atau kereta api. Masya Allah, secara tak sadar aku telah menggiring kematian mereka.

Selain itu, banyak perempuan kudekati, setelah menikmati madu dan racun, mereka menolak. Alasan mereka sederhana: kerjaku pemandi mayat. Padahal aku butuh mereka seperti halnya mereka butuh aku. Hidupku akhirnya dari short time ke short time. Kadang-kadang cairan seribudewi berpatroli ke urat-urat nadi. Seribudewi ini sarat janji-janji perihal peradaban baru yang tak ada di realita karena hyperrealita.

"Masum," demikian pengakuan seorang perempuan. "Meski kauberi aku seluruh hypermarketmu, takkan kugadaikan hidupku pada hidup seorang pemandi mayat."

Dengan sepatu hak tingginya dan kakinya yang lencir, ia kemudian ngacir meninggalkanku menuju lelaki lain, dunia lain. Aku hanya berdeham-dehem melihat laku lajaknya.

Tapi aku tadi sudah dihantam mulut mereka. Aku katanya takut kehilangan barang-barang basi yang diperjualbelikan hypermarket: negara, agama, wanita, popularitas, dan juga keabadian. Mereka telah menghantamku bergantian dan habis-habisan. Dan aku tak tak tinggal diam. Kugelogok mulut mereka yang terus menganga dengan berbotol-botol minuman berbagai "atas nama". Mereka kemudian berkejat-kejat, berkhayal-khayal, membangun negeri yang tak pernah ada, sampai akhirnya mereka diam dalam gerak yang sempurna. ***
Surabaya, 24 Juni 2004

Hujan di Taman

hujan di taman--Agustinus K
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor  
Tentang Malam. Malam malam bertambah kelam

Hujan Di Taman

Sore tadi hujan turun. Deras sekali. Titik-titik air terjun bagai jarum pentul, menusuk-nusuk tanah yang kering. Berbongkah-bongkah. Satu jam kemudian hujan berhenti.. Terkesiap. Sisa air hujan merembes ke dalam pasir. Sisa pasir yang tadinya berserak, sekarang berubah jadi gumpalan. Gumpalan pasir padat, pejal, dan abu-abu. Banyak sekali gumpalan itu. 

Hujan telah merajut pasir jadi gumpalan-gumpalan yang makin lama makin banyak. Satu persatu mereka berkumpul dan dari gumpalan itu jadilah sebuah taman. Taman di sebuah kota yang baru saja diguyur hujan.
Mulanya taman itu sunyi sekali. Tidak ada suara-suara binatang malam yang biasanya meringkik. Kunang-kunang yang biasanya jadi permata, nihil. Garis-garis cahaya yang biasanya memancar dari terkaman bulan dan bintang, absen. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat. 

“Taman itu angker,” kata banyak orang. Di dalam taman hanya ada dua bangku panjang berwarna putih. Batang-batang kakinya sudah coklat berkarat. Lalu, di sebelah utara taman, ada tiga tangkai kamboja dan dua buah lampu petromak yang tidak lagi memiliki nyala. Di sebelah timur, ada satu buah gerobak “ronde’ yang sudah rongsok. Kayu-kayunya lapuk dilahap rayap yang menjelajah sepanjang tanah. Gumpalan pejal pasir, hanya mampu menghias taman sebatas kesunyian.
Lama kelamaan, entah kapan dimulainya, taman itu jadi sedemikian ramai. Cahaya-cahaya dari segala jenis sumber berpendaran. Berkilat-kilat seperti ada pertarungan antara ksatria yang berjubah kemilau. Perak. Suara-suara bising hadir. Berdengung, keluar dari mulut-mulut manusia, binatang, tanaman, yang bibir-bibirnya merekah. 

Ternyata, keramaian taman disebabkan karena satu gumpal pasir telah melahirkan seorang anak. Anak perempuan yang cantiknya melebihi dewi-dewi di Kahyangan. Yang suaranya semerdu embun. Dan laku badannya selembut nada-nada dari gubahan komponis besar. Anak perempuan itu, dinamakan: Malam. 
Sejak Malam lahir, banyaklah makhluk berdatangan ke taman. Berdua-dua. Bertiga-tiga. Berempat-empat. Bergerombol, seperti lebah yang sedang berarak menuju sarang. Kehadiran makhluk pertama, adalah kawanan semut hitam yang beriringan mengangkut jenazah seorang kakek yang sudah renta. Yang mengatupkan tangan di atas dada. Kulitnya keriput bak kertas buram. 

Lalu dari langit yang kemerahan beterbanganlah kelompok kupu-kupu bersayap jingga dan bersuara kecapi. Kepak sayap kupu-kupu itu menari dari nada yang keluar dari sungut mereka. Kemudian, tak lama datanglah seekor anjing kurus, kulit-kulitnya sobek karena penyakit kurap yang sudah lama diidap. Anjing ini lari dari sebuah rumah mewah yang bertengger di salah satu kompleks perumahan mewah dekat taman. 

Berdatanganlah kemudian manusia-manusia. Gelandangan. Guru. Dosen. Menteri. Presiden. Budayawan. Agamawan. Filsuf. Ilmuwan. Sarjana-sarjana dari segala penjuru mata angin…

Mereka berkumpul di taman. Membentuk kelompok-kelompok yang masing-masingnya dipisahkan oleh seutas tali berwarna keemasan. Setiap kelompok tidak boleh melintasi tali itu, jika tubuh mereka tidak ingin luluh lantak terbakar oleh api.

Kelompok-kelompok itu bercengkrama. Berdiskusi hebat. Berdebat panjang mulai dari soal Hegel, Marx, Nietszhe, Adam Smith, Sartre, Sapardi, Budi Darma, Gunawan Muhamad, Albert Camus, Annemarie Schimmel, Greg Barton, Syekh Siti Jenar, Soekarno, Soeharto…Mereka berhura-hura di taman. 
Lipat waktu. Malam beranjak dewasa. Dan setelah ia besar wajahnya berubah menjadi lidah api yang menjulur-julur panjang. Setiap kali Malam tersenyum, api melalap seisi taman sampai habis. Tumbuh-tumbuhan dan bunga hangus terbakar. Gedung-gedung pecah berantakan. Bumi berguncang laksana gempa. Cakrawala menyibakkkan rongga tubuhnya yang berisi kalajengking. Bidadari-bidadari langit jumpalitan karena Kahyangannya lumer oleh api. Petir menyambar-nyambar. Garis zig zag keperakan malang melintang di langit. Manusia yang sedang berhura-hura di taman lari terbirit-birit seperti dikejar gerimis. Bubar. Karena senyum Malam makin menakutkan, dibuatlah peraturan: Malam dilarang tersenyum!
Sejak Malam tidak pernah tersenyum, taman kembali hidup. Pepohonan dan bunga mekar. Segala rupa kembang mengintip di permukaan tanah. Bangku-bangku taman yang kemarin rusak, mulai dibangun kembali. Kali ini lebih kokoh dan lebih mewah. Sebuah pusat perbelanjaan dipusatkan di tengah taman. Deretan toko yang menjual souvenir jadi pemandangan baru di taman. Gedung kesenian dibuka. Setiap hari ada pembacaan puisi. Pagelaran teater. Drama. Pembacaan cerpen. Atau acara musik dan pameran lukisan. Setiap hari orang berduyun-duyun datang ke taman. Mereka kebanyakan datang dengan tujuan satu: Melihat Malam yang tak pernah tersenyum. 
Setahun kemudian, hujan kembali turun. Kali ini hujan turun lebih deras dari hujan-hujan sebelumnya. Air seperti ditumpahkan dari langit lewat sebuah gentong yang bibirnya menganga. Hujan datang bersama petir yang berkelabat kejam. Menghancurkan dahan pohon serta membakar atap-atap rumah yang melengkung menatap cakrawala. Angin bertiup kencang. Semburannya membuat burung-burung gereja lari meninggalkan taman. Banyak orang meninggal karena bencana hujan itu. Beberapa terseret air bah. Tersangkut di sebuah penangkal petir tajam dari sebuah gedung yang patah tudungnya. Beberapa mati seketika tersambar kilat. Tubuh mereka terpanggang. Hitam dan kaku. Banyak orang kebingungan. Mereka tidak tahu, kemana lagi harus berharap. 
“Tuhan…Tolonglah kami!” Banyak orang berseru sambil menengadahkan telapak ke arah surga. Banyak juga perempuan, meminta, berdoa sambil mengucurkan air mata.
Akhirnya ditemulah jalan. Lorong terang. Ada kesepakatan baru dari orang-orang: Malam dimohon untuk tersenyum lagi! Bahkan kalau perlu, Malam diminta untuk lebih dari sekedar tersenyum. Malam diminta untuk tertawa sekeras-kerasnya. 
Mulailah Malam tersenyum. Senyum simpul pembuka dari Malam langsung mengeluarkan kobar api yang menjulur seperti selendang terbakar. Kobaran api itu melawan deras hujan yang turun dari langit. Kekuatan air dan api bertempur. Bayangan pertempuran keduanya terlukis di atas cakrawala. Membentuk siluet yang sepanjang hari dapat dinikmati sebagai karya seni tertinggi: Pertarungan abadi antara air dengan api! Setiap satu tetes air dilawan oleh satu senyuman yang sekejap melelehkan api. Dan setiap tetes berikutnya, Malam membalasnya dengan senyum. 

Pertempuran makin seru. Makin sengit. Sampai tiba suatu ketika, hujan menyerang malam dengan ganas. Titik-titik hujan menjelma jadi rencong dan samurai yang siap menghunus Malam. Malam bergeming sedikit. Memberikan satu senyuman yang langsung lumat diterjang air. Malam hampir kalah. Akhirnya ia berdiri. Bermegah di atas batu dan merentangkan tangannya yang menghampar laksana jubah api. Malam tertawa. Sekeras-kerasnya. Gaungnya membahana dan membentuk percikan-percikan api yang mengiris-iris langit.

Tawa Malam makin besar. Dan api menjulur makin besar. Makin merah. Akhirnya hujan menyerah. Dan sejak saat itulah, taman kembali hidup dengan tambahan gumpalan-gumpalan pasir yang baru. Gumpalan pasir bertabur api, sisa pertarungan kemarin. 
Sekali waktu, saya pergi ke taman itu naik kupu-kupu. Saat itu senja baru saja terbit. Bunga bunga bakung bermekaran. Merekahkan putiknya selebar mungkin dan menghembuskan nafasnya yang wangi. Matahari hampir tergelincir di u***** barat. Sinarnya redup kemerah-merahan.

Saya masuk ke taman. Berkeliling berkendara kupu-kupu mencari perempuan yang bernama Malam. Dari cerita orang saya tahu kalau Malam adalah perempuan yang cantik dan kokoh. Sampai lama sekali saya berkeliling taman, saya belum juga menemu malam. Tapi saya melihat di jepitan mega hitam, ada seorang laki-laki yang tersenyum kepada saya. Katanya, “Teruskan nak. Saya suka pada mereka yang berani masuk menemu malam.” 

Saya tak lihat jelas orang itu. Tapi dari sekilas tatapan saya, saya tahu kalau laki-laki itu belum terlalu tua. Lima jam saya mencari Malam. Tapi tak juga perempuaan itu kutemui. Akhirnya saya duduk di bawah pohon beringin besar. Melepas lelah sambil mengipas-ngipas tubuh saya dengan handuk. Kupu-kupu yang saya kendarai saya ikat di salah satu dahan beringin. Saya hampir tertidur. Dan Malam belum juga datang. Tiba-tiba…
“Hi,” sebuah suara singgah di telinga. Lembut seperti kapas. 
Seorang perempuan cantik menghampiri saya. Wajahnya bersinar seperti kartika bercahaya. Tubuhnya semampai seperti pohon kelapa. Payudaranya tegak. Padat. 
“Kamu siapa?” Tanya saya dengan sisa keterkejutan.
“Saya Malam.”
Saya terlonjak. Senang sekaligus takjub. Tanpa kata-kata. Atau suara.
Tapi birahi saya terbit. Menggesek-gesek di jantung dan mengalir sekujur darah.
“Kamu mau…eeengg….?” Kata malam.
“Berapa?”
“Dua ratus ribu, berani nggak??” balas dia cepat. “Tapi pakai kondom ya biar aman. Nanti saya tambah SS.”
“Gak bisa kurang?”
“Emangnya beli pecel lele di kaki lima, ha ha ha ha ha ha.”
“Mainnya di mana?”
“Di atas kupu-kupu kamu saja,” jawab dia kenes, “Nanti saya kasih seribu gaya yang bikin kamu kejang-kejang. Nikmat.”
“Bolehlah,” ujar saya.
“Nah gitu donk!”

Akhirnya saya dan dia bercinta di atas kupu-kupu. Sebutir bulan berjubah kuning redup menyorot dari balik langit. Bintang gemintang sekejap ada di cakrawala. Parade nur berarak di langit. Burung hantu dan burung gereja menguap di rerimbunan daun. Tapi ada yang rajin bersuara kuk-kuk-kuk. Kadang membikin bulu ini merinding. Malam kasih saya satu gaya yang paling mutakhir. Gaya terbang. Bayangkan, pernahkah ada manusia yang bercinta sambil terbang? Mata saya merem melek, menyaksikan gumpalan awan yang sekejap saja bisu seketika saya melintas. “Ck-ck-ck-ck Hebat sekali,” batin saya. Saya puas. 
Selepas bercinta, hujan turun. Saya dan dia berteduh di balik kelambu sayap kupu-kupu. Sambil menunggu hujan reda saya menyulut sebatang rokok. Malam ikut-ikutan merokok.
“Kok kamu tidak mau senyum sih?” tanya saya
“Memang kenapa?”
“Biar hujannya berhenti. Biar tidak basah kuyup begini.”
“Ah, biarin aja hujan. Memangnya kenapa?”
“Taman ini bisa-bisa hancur lho,” kata saya serius, “bisa becek. Lengket. Dan tidak indah lagi nantinya. Kan kasihan pengunjung taman ini.”
“Sok sosial luh!”
“Biarin!”

Hujan turun lama sekali. Saya dan dia menggigil. Akhirnya kami saling dekap. Saya hitung, hujan turun kira-kira satu abad lamanya. Gemuruhnya juga mengikuti deras hujan yang selama satu abad. Dan saya tak henti-hentinnya menunggu hujan reda. Bersama Malam. Tidak makan. Tidak tidur. Tidak minum. Tidak bercinta. Tidak membaca. Tidak bicara. Tidak bermain. Tidak berdoa. Tidak kuliah. Tidak bernafas. Tidak hidup. Tidak mati…Hanya saling dekap. 
Saya menoleh ke arah Malam. Semakin lama ia semakin kurus. Daging-daging padat di tubuhnya hilang. Menguap ke langit. Malam hanya bersisa tulang belulang putih yang ringkih. Sejujurnya saya sedih sekali melihat Malam. 
“Hei,” teriak saya, “Bangun!!!”
Dan Malam memeluk saya. Diam. Bisu. Bisu yang makin membiru.
Bibir saya basah kena cipratan hujan
Baju Malam luntur sebagian terkena air.
Saya menunggu hujan reda terus-menerus. Malam makin kerempeng. Makin tipis dan kehilangan nyawa. Sementara, taman-taman yang tadinya mengkilap sudah musnah disapu hujan. “Hujan memang jahat,” gumam saya. Dalam sisa taman hanya ada saya dan Malam. Satu laki-laki dan satu perempuan yang berdekapan. Erat. Teramat erat.
“Malam, bangun!!!” teriak saya makin keras. “Banguuun!!!!” 
Malam tidak menyahut. Malam mati. Malam menemu ajal. Dan saya menguburkan jenazahnya pagi tadi. Di pekuburan dekat taman.
Kokok ayam berbunyi tiga kali. 
Matahari bersinar terang. Untuk yang pertama kali. Terik sekali.
Selamat pagi.

Jatinangor, Agustus 2003



Hitam v Putih

Hitam v Putih

Oleh Fitriana Dinarwati
Penulis adalah mahasiswa Univ. Sebelas Maret Surakarta

"Gila kamu. Bagaimana otakmu sampai mempunya pikiran sebejat itu?"
"Tapi ibu sakit. Akan lebih bejat lagi kalau kita membiarkan ibu sekarat digerogoti penyakit sialan itu. Kamu tega melihatnya Har?"

"Kan masih banyak cara lain untuk mendapatkan uang. Cara yang jauh lebih layak dan halal daripada rencanamu itu."

"Cara lain? Cih! Cara apa coba? Aku ingin tahu. Dengan bekerja lebih keras? Jadi kamu pikir selama ini aku kurang bekerja keras, begitu? Kamu sendiri tahu kan betapa besar pengorbananku untuk bisa bekerja? Aku sampai tidak melanjutkan sekolah! Cita-citaku harus kukubur dalam-dalam. Itu menyakitkan Har. Dan selama tiga tahun aku bekerja membanting tulang kamu bilang kerjaku kurang keras? Dengar ya, sekeras apa pun kita berusaha, kita tetap tidak akan bisa hidup enak. Sekali kita dilahirkan miskin, akan selamanya miskin. Kaya atau miskin itu keturunan."

"Bukannya aku bilang kalau usahamu selama ini kurang keras Tor. Aku berterima kasih sekali karena dengan usahamu aku bisa tetap sekolah. Teapi bukankah masih ada 1001 cara yang lain. Masih ingatkah kamu kata-kata bapak dulu, kalau Tuhan menutup satu jalan maka Dia akan membuka jalan yang lain. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa ditanggung umat-Nya."

"Hei, percuma saja kamu berkhotbah seperti itu. Tidak menyelesaikan masalah tahu! Dulu aku rajin berdoa dan percaya kalau Tuhan itu Maha Penyayang. Tapi apa buktinya? Bapak di-PHK karena sakit-sakitan dan tak lama meninggal. Aku putus sekolah karena tidak ada biaya dan sekarang giliran ibu kena tumor. Semakin lama hidup kita semakin menderita! Lalu mengapa aku harus percaya Tuhan Maha Penyayang? Mengapa menimpakan penderitaan yang tiada hentinya? Percuma saja aku berdoa dan beribadah selama ini."

"Kamu benar-benar gila Tor. Percuma saja orang tua kita memberikan pendidikan agama. Aku yakin mereka akan kecewa mendengar kata-katamu barusan. Bagaimana pun, Tuhan tetap Maha Pengasih dan Penyayang. Tapi bukan berarti kemudian kita akan mendapat ujian-Nya. Justru kesengsaraan ini harusnya dapat melecut kita untuk mempertebal ketabahan dan kesabaran. Kalau kita terus menyalahkan nasib, maka nasib kita tidak akan berubah. Waktu kita akan habis hanya untuk mencari-cari kambing hitam. Tidak ada gunanya, justru malah akan semakin mempersulit keadaan."

"Dengar Har. Hidup ini keras. Segalanya terbagi atas hitam dan putih. Kita berhak dan wajib memilih di antaranya asalkan dilatari kesiapan yang cukup. Jadi jangan cuma memenuhi dirimu dengan hal-hal baik saja. Banyak juga masalah yang tidak bisa diatasi secara baik-baik. Cobalah sekali-kali kamu melihat ke segenap penjuru, jangan terpaku pada satu sudut saja."

"Dan kamu memilih mengambil yang hitam? Meskipun di baliknya ada dalih yang luhur tapi kalau diperoleh dengan jalan kejahatan tidak akan ada hasilnya. Percuma. Kasih sayang yang diselimuti nafsu setan tidak akan memiliki kekuatan apa-apa. Kalau kamu tetap nekad dengan rencana jalan pintas itu, berarti kamu pasrah pada nasib, tidak mau berusaha, dan takut menghadapi kenyataan. Itu namanya pengecut!"

"Okelah kamu bilang aku pengecut. Tapi aku ingin tahu, bagaimana cara yang luhur untuk menyelesaikan masalah ini. Dari mana kita mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibu?"

"Terus terang saja, sampai sekarang aku belum tahu cara untuk mendapatkannya. Tapi bukankah kita berdua bisa memikirkan cara…"

"Kalau ada cara lain, pasti sudah aku lakukan kemarin-kemarin Har. Kamu kira selama ini aku tidak berpikir? Coba kalau aku perempuan, pasti akan lebih mudah mendapatkan uang."

"Itu sama bejatnya."
"Dengar! Setuju tidak setuju aku tetap akan melaksanakan rencanaku ini. Aku tidak peduli bagaimana pandanganmu atau pandangan orang lain padaku. Aku memang pengecut, gila, dan bejat. Yang jelas, aku melakukannya karena sayangku pada ibu. Seandainya nanti aku mati, setidak-tidaknya aku telah berusaha untuk menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Aku yakin Tuhan pasti mengizinkan, bukankah Dia Maha Mengerti?"

"Attor, itu hanya akal-akalanmu. Kamu mencari pembenaran atas apa yang jelas-jelas salah. Dan aku yakin, seandainya ibu tahu rencanamu ini, beliau tidak akan setuju, juga Tuhan."

"Aku tidak peduli. Ini adalah pilihanku. Nasibku memang seperti ini. Mau diubah bagaimana lagi? Aku berangkat!"

Percuma Harri menghalangi kakaknya yang akan merampok rumah orang nanti malam. 


Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola

Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola (titon rahmawan)
Dikemas 29/10/2003 oleh Editor  

Mulut sudah jadi tawar dari keinginan menyetubuhi milik sendiri, karena pikiran begitu banyak disibukkan oleh setrika, penggorengan, sikat sepatu, botol susu, kain pel dan sabun cuci. Hari-hari merajam sepi dari pagi ke pagi, sedang badan tak lagi punya tempat buat angan-angan. Hasrat terlampau lelah buat berbagi dari diri yang asing dan sekaleng coca-cola. Pikiran mendengung oleh lemari es yang membeku dan kemarahan gemetar mengusir mimpi dari pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat penis, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Hati jadi begitu rapuh, begitu mudah menyakiti diri sendiri. Dan mulut pun semakin tawar oleh hasrat yang kering, angan-angan pergi ke luar rumah mencari kesenangannya sendiri dalam kerlap-kerlip lampu kota, dalam tumpukan tabloid, dalam remang-remang kalutnya pikiran, kemana saja asal bukan rumah yang ingin dilupa dari waktu 30 menit saja. Rumah sudah bukan lagi milik sendiri, segala sesuatu telah berubah jadi milik orang lain dan hasrat jadi tandas dalam kaleng coca-cola berkarat.

2003 




Hari Kemerdekaan

Hari Kemerdekaan


Oleh Hersen Setyo Nugroho
Penulis adalah mahasiswa Univ. Merdeka Malang

Orang tua Dewi tidak setuju anaknya pacaran dengan Ridho. Karena Ridho hitam, rambutnya panjang, dan tidak punya skill apa pun. 

"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" Begitu tanya ibu Dewi suatu ketika. 

Ridho tidak pernah selesai sekolah SMP di sebuah daerah di Sukun, bagian selatan kota Malang. Bukannya tak mau sekolah, tapi dia lebih sibuk membantu ayahnya kerja di sebuah rumah ternak milik tetangga. 

Waktunya bekerja hampir seharian. Jam satu dini hari dia harus bangun, memberi makan dan minum ayam ternak, tidur sebentar. Menjelang jam enam pagi, dia kembali melakukan kegiatan serupa. 

Setelah sekolah, dia ke pusat kota untuk membeli pakan dan vaksin. Sebelum jam tujuh malam, dia membersihkan kandang dan memberi makan ayam ternak. Pekerjaan itu dilakukan setiap hari. Tanpa waktu libur!

Ridho dan bapaknya bekerja sebagai buruh ternak dengan upah harian Rp 15.000 per orang. Ditambah makan dua kali dan sebungkus rokok untuk berdua. Pernah suatu pagi di sekolah, ibu guru menegur Ridho karena suara ngoroknya sangat keras. Dan, Dewi sering mendapati kejadian itu.

Karena pertimbangan fisiknya yang terlalu capek, Ridho memutuskan berhenti dulu dari sekolah. Tapi jadi keterusan sampai sekarang, sampai usianya 22 tahun. 

Dan dia memang tak pernah mendapat skill tambahan apa pun, kecuali masalah mengurus ayam ternak. Padahal sesungguhnya, jujur Ridho juga ingin seperti Dewi, sekolah terus, ketemu teman-teman baru, mengenal pengetahuan baru, dan yang lebih penting…

"Aku bisa menjaga kamu dan di sampingmu terus." Begitu katanya suatu sore kepada Dewi. 

Pernah juga Dewi berusaha meyakinkan ibunya kalau Ridho itu baik hati dan tidak macam-macam. Tidak pernah ikut pesta miras anak kampung, tidak pernah ikut trek-trekan liar, dan suka hidup hemat. 

"Dewi nggak minta apa pun Bu. Cuma minta restu. Izinkan kami menikah," kata Dewi di malam tahun baru, dua tahun lalu. Suaranya parau dan lemah. Dia habis menangis semalaman ketika Ridho meminta keikhlasan Dewi menerima cinta Ridho, apa adanya, tanpa syarat kecuali cinta dan kejujuran hati. 

"Nggak. Tetap nggak," kata ibunya datar.
"Apa Dewi suruh Ridho bicara langsung ke…"
"Cukup," ibunya memotong dan hingga sekarang tak pernah memberi restu mereka. 
***
Telah setahun berlalu. Ridho dan Dewi meninggalkan Sukun, Malang, dan pergi ke Jakarta. Mereka menikah tanpa persetujuan orang tua Dewi. 

"Pak, aku harus meninggalkan Malang. Aku nggak mau terus ketemu dengan tatapan ibunya Dewi. Ah, dia terlalu membenciku. Padahal aku tidak membencinya…sedikit pun…" kata Ridho sambil pamit kepada bapaknya. 

Bapaknya diam, bapaknya merasa tak bisa berbuat banyak. Dia hanya pesan agar berhati-hati. Karena, sekarang punya tanggung jawab sebagai seorang ayah.

Sekarang Dewi hamil sembilan bulan dan dia sedang terbaring di sebuah balai sederhana. Di rumah seorang bidan di kawasan Grogol. Bu bidan bilang mungkin sesaat lagi melahirkan, jadi Dewi harus tinggal di sana. Tinggal di rumah dengan lingkungan panas dan gerah, jauh lebih panas dan gerah dari Malang. 

Butir keringat terus turun dari dahi Dewi. Tiba-tiba dia teringat ibunya. Dia kangen dan tiba-tiba ingin sekali ibunya ada di sisinya sekarang. Untuk mendampingi proses kelahiran. 

Tapi dia masih ingat jelas muka bengis ibunya saat melarangnya pergi kalau dia tetap menikah dengan Ridho. Ibunya pernah bilang, "Dapat duit dari mana nanti dia, kalau harus beli susu buat anakmu. Beli makanan dan minuman yang sehat, yang bergizi, itu mahal Wi. Mana mampu si Ridho itu. Ah…"

Dewi menghela napas, dia sadar hidupnya kini kekurangan. Bahkan sebagai ibu hamil, dia sering makan sekali sehari. 

Ridho datang setengah berlari. "Wi, maaf ya. Tadi ada operasi kir, antre lama sekali," ujarnya terengah-engah. "Teman-teman protes jalur baru. Eh, heh, mmm, gimana, kapan katanya bu bidan?" Napas Ridho satu-satu. Bau keringat menyebar di ruang sempit itu. 

"Mungkin, sebentar lagi. Mas, aku kangen sama ibu…"
"Ah, sudahlah. Konsentrasi saja ke calon anak kita." Ridho membuang muka.
"Mengapa ibu tidak merestui kita ya?" Dewi mulai berkaca-kaca. Tampak sekali di raut mukanya, dia kangen dan ingin berjumpa dengan ibunya. Entah mengapa. 

"Kita akan tunjukkan Wi. Biarpun ibumu nggak setuju, aku bisa menghidupi kamu. Kita bisa punya keluarga, aku bisa punya anak. Dia nanti akan kukasih nama…ehm, Teguh Mardiko. Bagaimana? Anakku nanti akan sekolah yang tinggi, kerja yang bagus. Kalau bisa jadi juragan, biar uangnya banyak. Biar wawasannya luas. Biar ibumu tahu kalau di dunia ini yang pinter dan kaya nggak cuma satu orang. Aku akan beritahu semua nanti lewat anak kita Wi." Ridho berbicara bersemangat. Tangan kirinya mengusap kening Dewi dan tangan kanan menggenggam jemari Dewi. 

***
Jam 12 malam, masuk tanggal 17 Agustus 1993. Ridho tertidur di ruang tamu bu bidan. Dari balik kelambu, di sebelah, terdengar tangisan bayi. Ridho tergagap bangun. Dia berlari ke kamar bersalin. 

Dia membuka pintu dan melihat ke pembaringan. Istrinya menangis pelan, bu bidan memandang Ridho tanpa bicara. Ridho melihat bayinya yang baru lahir. Tanpa tangan dan tanpa kaki. Bayinya menangis keras. Ridho diam. Suara orang mengaji menyambut hari kemerdekaan terdengar lamat-lamat dari mushola depan. 


Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer