Rabu, 06 April 2016

Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola

Hasrat Dalam Kaleng Coca-Cola (titon rahmawan)
Dikemas 29/10/2003 oleh Editor  

Mulut sudah jadi tawar dari keinginan menyetubuhi milik sendiri, karena pikiran begitu banyak disibukkan oleh setrika, penggorengan, sikat sepatu, botol susu, kain pel dan sabun cuci. Hari-hari merajam sepi dari pagi ke pagi, sedang badan tak lagi punya tempat buat angan-angan. Hasrat terlampau lelah buat berbagi dari diri yang asing dan sekaleng coca-cola. Pikiran mendengung oleh lemari es yang membeku dan kemarahan gemetar mengusir mimpi dari pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat penis, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Hati jadi begitu rapuh, begitu mudah menyakiti diri sendiri. Dan mulut pun semakin tawar oleh hasrat yang kering, angan-angan pergi ke luar rumah mencari kesenangannya sendiri dalam kerlap-kerlip lampu kota, dalam tumpukan tabloid, dalam remang-remang kalutnya pikiran, kemana saja asal bukan rumah yang ingin dilupa dari waktu 30 menit saja. Rumah sudah bukan lagi milik sendiri, segala sesuatu telah berubah jadi milik orang lain dan hasrat jadi tandas dalam kaleng coca-cola berkarat.

2003 




Hari Kemerdekaan

Hari Kemerdekaan


Oleh Hersen Setyo Nugroho
Penulis adalah mahasiswa Univ. Merdeka Malang

Orang tua Dewi tidak setuju anaknya pacaran dengan Ridho. Karena Ridho hitam, rambutnya panjang, dan tidak punya skill apa pun. 

"Apa yang kamu harapkan dari pria seperti dia?" Begitu tanya ibu Dewi suatu ketika. 

Ridho tidak pernah selesai sekolah SMP di sebuah daerah di Sukun, bagian selatan kota Malang. Bukannya tak mau sekolah, tapi dia lebih sibuk membantu ayahnya kerja di sebuah rumah ternak milik tetangga. 

Waktunya bekerja hampir seharian. Jam satu dini hari dia harus bangun, memberi makan dan minum ayam ternak, tidur sebentar. Menjelang jam enam pagi, dia kembali melakukan kegiatan serupa. 

Setelah sekolah, dia ke pusat kota untuk membeli pakan dan vaksin. Sebelum jam tujuh malam, dia membersihkan kandang dan memberi makan ayam ternak. Pekerjaan itu dilakukan setiap hari. Tanpa waktu libur!

Ridho dan bapaknya bekerja sebagai buruh ternak dengan upah harian Rp 15.000 per orang. Ditambah makan dua kali dan sebungkus rokok untuk berdua. Pernah suatu pagi di sekolah, ibu guru menegur Ridho karena suara ngoroknya sangat keras. Dan, Dewi sering mendapati kejadian itu.

Karena pertimbangan fisiknya yang terlalu capek, Ridho memutuskan berhenti dulu dari sekolah. Tapi jadi keterusan sampai sekarang, sampai usianya 22 tahun. 

Dan dia memang tak pernah mendapat skill tambahan apa pun, kecuali masalah mengurus ayam ternak. Padahal sesungguhnya, jujur Ridho juga ingin seperti Dewi, sekolah terus, ketemu teman-teman baru, mengenal pengetahuan baru, dan yang lebih penting…

"Aku bisa menjaga kamu dan di sampingmu terus." Begitu katanya suatu sore kepada Dewi. 

Pernah juga Dewi berusaha meyakinkan ibunya kalau Ridho itu baik hati dan tidak macam-macam. Tidak pernah ikut pesta miras anak kampung, tidak pernah ikut trek-trekan liar, dan suka hidup hemat. 

"Dewi nggak minta apa pun Bu. Cuma minta restu. Izinkan kami menikah," kata Dewi di malam tahun baru, dua tahun lalu. Suaranya parau dan lemah. Dia habis menangis semalaman ketika Ridho meminta keikhlasan Dewi menerima cinta Ridho, apa adanya, tanpa syarat kecuali cinta dan kejujuran hati. 

"Nggak. Tetap nggak," kata ibunya datar.
"Apa Dewi suruh Ridho bicara langsung ke…"
"Cukup," ibunya memotong dan hingga sekarang tak pernah memberi restu mereka. 
***
Telah setahun berlalu. Ridho dan Dewi meninggalkan Sukun, Malang, dan pergi ke Jakarta. Mereka menikah tanpa persetujuan orang tua Dewi. 

"Pak, aku harus meninggalkan Malang. Aku nggak mau terus ketemu dengan tatapan ibunya Dewi. Ah, dia terlalu membenciku. Padahal aku tidak membencinya…sedikit pun…" kata Ridho sambil pamit kepada bapaknya. 

Bapaknya diam, bapaknya merasa tak bisa berbuat banyak. Dia hanya pesan agar berhati-hati. Karena, sekarang punya tanggung jawab sebagai seorang ayah.

Sekarang Dewi hamil sembilan bulan dan dia sedang terbaring di sebuah balai sederhana. Di rumah seorang bidan di kawasan Grogol. Bu bidan bilang mungkin sesaat lagi melahirkan, jadi Dewi harus tinggal di sana. Tinggal di rumah dengan lingkungan panas dan gerah, jauh lebih panas dan gerah dari Malang. 

Butir keringat terus turun dari dahi Dewi. Tiba-tiba dia teringat ibunya. Dia kangen dan tiba-tiba ingin sekali ibunya ada di sisinya sekarang. Untuk mendampingi proses kelahiran. 

Tapi dia masih ingat jelas muka bengis ibunya saat melarangnya pergi kalau dia tetap menikah dengan Ridho. Ibunya pernah bilang, "Dapat duit dari mana nanti dia, kalau harus beli susu buat anakmu. Beli makanan dan minuman yang sehat, yang bergizi, itu mahal Wi. Mana mampu si Ridho itu. Ah…"

Dewi menghela napas, dia sadar hidupnya kini kekurangan. Bahkan sebagai ibu hamil, dia sering makan sekali sehari. 

Ridho datang setengah berlari. "Wi, maaf ya. Tadi ada operasi kir, antre lama sekali," ujarnya terengah-engah. "Teman-teman protes jalur baru. Eh, heh, mmm, gimana, kapan katanya bu bidan?" Napas Ridho satu-satu. Bau keringat menyebar di ruang sempit itu. 

"Mungkin, sebentar lagi. Mas, aku kangen sama ibu…"
"Ah, sudahlah. Konsentrasi saja ke calon anak kita." Ridho membuang muka.
"Mengapa ibu tidak merestui kita ya?" Dewi mulai berkaca-kaca. Tampak sekali di raut mukanya, dia kangen dan ingin berjumpa dengan ibunya. Entah mengapa. 

"Kita akan tunjukkan Wi. Biarpun ibumu nggak setuju, aku bisa menghidupi kamu. Kita bisa punya keluarga, aku bisa punya anak. Dia nanti akan kukasih nama…ehm, Teguh Mardiko. Bagaimana? Anakku nanti akan sekolah yang tinggi, kerja yang bagus. Kalau bisa jadi juragan, biar uangnya banyak. Biar wawasannya luas. Biar ibumu tahu kalau di dunia ini yang pinter dan kaya nggak cuma satu orang. Aku akan beritahu semua nanti lewat anak kita Wi." Ridho berbicara bersemangat. Tangan kirinya mengusap kening Dewi dan tangan kanan menggenggam jemari Dewi. 

***
Jam 12 malam, masuk tanggal 17 Agustus 1993. Ridho tertidur di ruang tamu bu bidan. Dari balik kelambu, di sebelah, terdengar tangisan bayi. Ridho tergagap bangun. Dia berlari ke kamar bersalin. 

Dia membuka pintu dan melihat ke pembaringan. Istrinya menangis pelan, bu bidan memandang Ridho tanpa bicara. Ridho melihat bayinya yang baru lahir. Tanpa tangan dan tanpa kaki. Bayinya menangis keras. Ridho diam. Suara orang mengaji menyambut hari kemerdekaan terdengar lamat-lamat dari mushola depan. 


Hari ini kemanusiaan dikuburkan

Langit menangis luka ketika muncul ratusan pesawat pembawa rudal di angkasa. Ratusan pesawat melayang-layang bagaikan serombongan drakula pencabut nyawa. Kemudian rudal-rudal dimuntahkannya. Akibatnya rumah-rumah porak-poranda, sekolah-sekolah pecah kacanya. Bahkan beberapa rudal dengan brutal menghajar sebuah pasar dan biblioteka. Rudal kejam itu merenggut nyawa ribuan orang tua dan anak-anak tak berdosa.

Ledakan terus menggelegar. Sepanjang jalan pohon-pohon roboh dengan dedaunan terbakar. Di tengah gelegar rudal, seorang bocah susah payah keluar dari puing-puing reruntuhan rumahnya. Berlari ia seraya mendekap sebuah kniga--benda berharga yang masih bisa diselamatkannya.

Berlari, berlari terus ia hingga rasa lelah menghentikannnya di depan sebuah parit pertahanan. Di sana ia tertegan. Tiba-tiba telinga bocahnya mendengar samar-samar suara tangisan. Setengah mengendap ia mendekat ke sana. Si bocah ternganga ketika melihat di hadapannya seorang debochka sedang meratap seraya mendekap mayat kedua orangtuanya.

Sang bocah menghampirinya, mengulurkan matryoshka dan detskaya kniga yang jatuh dari pangkuan debochka. Tanpa kata-kata ia mengusap telaga yang menggenang di kedua bola mata debochka. Kemudian ia biarkan si debochka membagikan kesedihan di pundaknya. Setelah reda kedua bocah menguburkan mayat kedua orang tua dengan gerakan tergesa-gesa. Kuburan tanpa pusara, tanpa taburan bunga, hanya doa dan tangisan sisa duka.

Sang bocah kemudian mengajak debochka beranjak. Mereka berjalan di antara mayat-mayaat tergeletak di jalan-jalan dan semak-semak.

"Mengapa orang-orang beroerang?" Tiba-tiba debochka bertanya. Si bocah menggeleng-gelengkan kepala.

"Perang hanya membawa kesengsaraan, ya,Kak?"

Si bocah mengangguk-anggukan kepala. Kemudian ia mengisyaratakan tangan supaya Si debochka diam. Tanpa suara mereka kini melangkah di tengah ratusan burung Nazar yang sedang berpesta ribuan mayat tentara. Bangkai-bangkai tank, helicopter dan pesawat terbang berserakan mengepulakan asap kematian di mana-mana.

Sang bocah dan debochka menghentikan langkah di bawah rindang pohon cemara. Rebah di sana Selokan darah mngalir di hadapan mereka.

"Benda apa yang sedang kakak pegang?" Tiba-tiba pertanyaaan debochka mengoyak keheningan di antara mereka. Si bocah menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mennyembunyikan sesuatu di kantong palytonya. Si debochka tambah penasaran, dengan rengekan manja ia meminta si bocah untuk menunjukkan sesuatu di kantong palytonya. Tak tahan, si bocah akhirnya mengalah. Setengah terpaksa ia merogoh kantong palytonya. Menempatkan sesuatu itu di gengggaman kedua tangannya. Kemudian membukanya. Dan... debochka pun terbelalak matanya seketika.

"Merpati ini sudah mati?," tanya debochka. Si bocah menganggukkan kepala. Keduanya menatap iba pada merpati putih yang mati yang seluruh tubuhnya penuh luka.

"Siapa yang menembaknya? Sungguh tidak punya perasaan dia!" Kata debochka geram. Sementara si bocah hanya diam.

"Kita kuburkan, ya?"

Si bocah menggelengkan kepalanya.

"Kasihan dia. Jika kita kuburkan ia akan merasa tenteram di alam sana. Kita kuburkan, ya?" debochka meminta dengan manja. Akhirnya si bocahpun menganguk-anggukan kepalanya.

Blar! Blar! Blar !

Suara ledakan tiba-tiba membuat kedua bocah tiarap di atas tanah. Dan... ah, merpati mati di tangan si bocah pun terlempar ke tengah selokan darah. Keduanya sama terpana. Mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika merpati mati ini mulai tenggelam perlahan-lahan ke dalam aliran selokan darah.

Keduanya saling pandang sejenak kemudian menghela napas kecewa. Kembali terdengar gelegar rudal dekat mereka. Keduanya serentak berteriak dan berlari ketakutabn. Mereka berlari sambil berpegangann tangan.

Kini mereka berlari melintasi taman, jembatan dan pohon-pohon ceri berapi. Mereka berhenti saat melihat ribuan tentara yang sedang berdiri di depan pagar kawat berduri. Seementara di langit terdengar jeritan burung kematian mencabik-cabik sunyi. Ketakutan, kedua bocah bersembunyi di balik pohon ceri.

"Apa yang sedang mereka lakukan?"Tanya debochka. Si bocah berisyarat supaya debochka tak bersuara. Di balik pohon ceri keduanya kian mengeratkan pegangan tangan. Menatap pemandangan di depan. Tampak jelas, sangat jelas pemandangan di depan: ribuan tentara sedang menurunkan ribuan peti mati ke dalam kuburan-kuburan. Kemudian tanpa air mata dan perasaan mereka menancapkan nisan-nisan di kepala kuburan. Nisan-Nisan bertuliskan: "Hari ini kemanusiaan dikuburkan".

Kebon Kosong, 7April 2003.

biblioteka : perpustakaan
debochka : gadis kecil
kniga : buku
matryoshka : boneka Rusia
detskaya kniga : buku anak-anak
palyto : mantel

Harga Sebuah Cinta

Harga Sebuah Cinta

Oleh Paulus Eka Tanaya
Penulis adalah mahasiswa UK Petra Surabaya
Aku menoleh pada Jimmy yang kulihat asyik mengemudikan mobilnya. Aku takut! "Akankah dia tahu?" tanyaku dalam hati sambil memandangi wajah blasterannya. 

"Ada apa?" tanyanya halus melihat tingkahku. Aku menggeleng.
"Ayolah, jangan begitu. Mamaku bukan monster yang akan menerkammu," katanya sembari memegang tanganku, memberiku dorongan kekuatan.

"Come on Tasya. Jangan memasang wajah seakan-akan kamu akan mengalami hukuman gitu dong," celetuknya. Alunan Bryan Adams kesukaanku mulai menyapa telingaku, membuatku merasa sedikit terhibur. 

Mobil BMW itu mulai memasuki pekarangan yang luas. Perasaan rendah diri itu mulai muncul kembali. 
"Kita turun," suara Jimmy seakan-akan memberi gong kematian padaku.

Aku mulai mengenalnya saat aku melaksanakan kerja praktik sehubungan dengan kuliahku. Mula-mula hubungan kami biasa aja. Namun semenjak Jimmy sering mengajakku keluar, aku mulai merasakan sikap Jimmy yang mulai berubah. 

Aku tahu bahwa Jimmy menaruh perasaan padaku tapi aku juga sadar bahwa kami sangat jauh berbeda. Aku adalah seorang gadis dari panti asuhan kecil di pinggiran kota dan tak tahu asal-usul. 

Kuliah pun berkat beasiswa yang kudapat dan biaya hidup kudapat dengan cara memberi les pada murid SLTP dan SLTA. Sedangkan Jimmy adalah anak semata wayang dari pengusaha besar di Surabaya. 

"Tas, kamu percaya kan kalau kekuatan cinta akan mengalahkan apa aja?" ujarnya waktu itu. Saat ia memintaku menjadi pacarnya untuk kesekian kalinya. Aku mengangguk, setuju dengan perkataannya. 

"Kekuatan cinta yang kita miliki akan mengalahkan perbedaan itu," katanya kemudian. Aku menunduk lesu, "Tapi Jim…"
"Tolong beri kesempatan padaku untuk membuatmu percaya padaku."

Lalu aku mulai memberanikan diri untuk membuka diriku atas cinta yang diberikan Jimmy padaku. Hubungan kami memang berjalan lancar ketika tiba-tiba Jimmy mengatakan akan mengenalkan aku pada mamanya sebagai bukti keseriusan hubungan kami. 

Ketika mendengar hal itu, aku merasa hubunganku dengan Jimmy akan segera berakhir. Dan hal itu terbukti. Setelah dua minggu pertemuanku dengan mamanya, tiba-tiba ia menyuruh Jimmy untuk melanjutkan sekolah ke New York. Aku tidak lagi merasa terkejut akan keputusan mamanya yang kudengar dari mulut Jimmy.

"Aku tidak akan pergi," kata Jimmy.
"Mama seharusnya tidak memberi keputusan secara sepihak begini. Aku tahu semua ini cuma alasan mama buat memisahkan aku denganmu," lanjutnya kesal.

"Dengarkan aku. Tidak pernah sekali pun aku mengenal orang tuaku. Jujur aku ingin sekali merasakan kasih sayang mereka. Kamu jauh lebih beruntung. Jadi, janganlah kamu membuang keberuntungan itu. Orang tuamu kini hanya tinggal mamamu. Beliau memang keras tapi itu mama kandungmu. Dia akan melakukan apa pun yang terbaik untukmu," kataku.

"Mama ingin memisahkanku denganmu. Apa kamu tidak tahu itu? Atau kamu memang ingin mengakhiri hubungan ini. Makanya kamu mendukung keputusan mamaku?"

"Jangan salah sangka. Aku juga ingin hubungan ini tetap berjalan. Tapi apakah dengan kamu melanjutkan sekolah hubungan ini akan putus?" Aku menggeleng. "Kita masih bisa berhubungan. Apa salahnya kita membahagiakan orang tua kita? Percayalah, jika kita memang jodoh, pasti suatu saat kita bersatu lagi," lanjutku. 

Tapi Tuhan, hatiku perih ketika mengatakannya. Kuatkan aku Tuhan. Ini demi kebaikannya. 

Dear Diary, 
Hari ini sudah hampir satu tahun aku memutuskan hubungan dengan Jimmy. Banyak surat dan e-mail yang dikirimkan Jimmy padaku. Namun tak satu pun yang kubalas. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya namun aku tak bisa. Mama Jimmy kemarin datang padaku dan ia kembali mengingatkanku akan perjanjian yang pernah kami sepakati. 

Diary, setahun yang lalu aku mendapat kabar dari om Ridwan, dokter yang merawat bunda, pengurus panti asuhan. Katanya bunda terserang kanker dan harus segera dioperasi. Aku bingung. Berapa banyak uang yang harus kusediakan untuk menyelamatkan nyawa bunda?

Tapi memang Tuhan mempunyai rencana. Saat aku menanyakan biayanya di kantor administrasi, mama Jimmy mendengarnya. Beliau mengajukan kesepakatan yang tak pernah terlintas di benakku.

Mama Jimmy akan menanggung semua biaya untuk mengoperasi bunda dengan syarat aku harus menjauhi Jimmy. Untuk selamanya. Waktu itu aku bingung, Diary. 

Di satu sisi aku sayang pada Jimmy. Di sisi lain bunda sedang tergolek lemas di ranjang rumah sakit, menunggu untuk dioperasi. Akhirnya kesepakatan itu terjadi. Mama Jimmy menyuruh Jimmy ke New York untuk sekolah. Dan, mamanya menyuruhku untuk mendorong Jimmy agar mau menuruti kemauannya. 

Maafkan aku, Jim. Karena aku menghargai cinta kita hanya sebatas rupiah. Namun aku benar-benar terjepit. Apakah aku salah Diary?

Diary, hari ini aku mengirimkan fotoku bersama Leo, sahabatku, kepada Jimmy. Mungkin Jimmy akan benci padaku. Aku siap menerima kenyataan itu asalkan Jimmy melupakanku. Melupakan cinta yang dulu pernah kami rajut. Sekali lagi, maafkan aku Jimmy. 

Cepat-cepat kuhapus air mata yang mengalir tanpa sanggup kutahan ketika mendengar pintu diketuk. 

"Kamu menangis lagi Sayang?" tanya bunda menghapus sisa air mata di pipiku. 
Aku tersenyum. Menggeleng.

"Cobalah mulai menata hidupmu di Jogjakarta. Kamu sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan besar di sana. Jangan menyia-nyiakan kesempatan ini anakku."

"Bunda, tolong jangan beritahukan alamatku di Jogjakarta pada siapa pun ya?"
Bunda tersenyum. "Sekarang lekas tidur agar besok tidak bangun kesiangan."

"Malam Bunda."
Surabaya, besok aku akan meninggalkan kota ini, kota dimana banyak kenangan manis dan pahit yang kualami. 

HANTU PENUNGGU KUBURAN

HANTU PENUNGGU KUBURAN, Oleh Diedie "Zahara" 

Waktu sudah menunjukkan pukul 23. 00 WIB tiba ketika Ditta dan Krisna keluar dari gedung bioskop. Malam ini mama Ditta mengijinkan Ditta nonton dengan Krisna, sahabat Ditta karena kebetulan sedang malam minggu. Rumah Ditta yang berada di kawasan Desa Batu, lima belas kilometer dari Depok, letaknya lumayan jauh. Tapi untung, malam itu sama sekali nggak hujan, sehingga malam nggak terlalu gelap. 

Mobil Krisna melaju perlahan membelah jalanan. Melewati daerah Karang Tengah menuju ke desa Batu. 

"Sepi banget, ya Dit. Padahal ini kan malam Minggu," ucap Krisna membelah kesunyian malam. 

"Iya. Untung bukan malam Jum'at Kliwon ya…." Kata Ditta. 

"Emang kenapa kalau malam Jum'at Kliwon?" 

"Katanya hantu-hantu kan pada keluar!" 

"Kamu percaya?" 

"Iya dong!" 

"Ditta, Ditta. Jaman serba komputer gini kamu masih percaya pada hantu," kata Krisna geli sambil terus menyetir. 

"Emang kenapa, Kris? Bukannya hantu itu benar-benar ada?" 

"Ah, enggak. Buktinya sampai usia delapan belas tahun gini saya belum pernah lihat hantu!" kata Krisna cuek. 

"Ih, kalau saya jangan sampai ngeliat deh!" 

"Gimana mau lihat? Hantu itu hanya cerita rekaan saja! Cerita untuk anak kecil yang suka main di malam hari. Untuk menakut-nakuti agar nggak keluar malam!" kata Krisna lagi. 

"Udah, deh Krisna. Jangan ngomong tentang hantu lagi. Please…" kata Ditta penuh harap. 

Krisna tersenyum sendiri. 

"Dulu waktu saya kecil nih, Dit. Mama suka ceritain saya tentang suster berwajah hitam." 

"Suster berwajah hitam?" 

"Iya. Katanya sih pernah ada rumah sakit yang mengalami kebakaran hebat. Gara-gara kebakaran itu banyak pasien yang meninggal termasuk para susternya! Nah, kata mama saya, beberapa waktu kemudian banyak muncul suster-suster yang muncul di tempat itu dengan wajah gosong!" 

"Hiii….serem ah. Udah ah!" 

"Ya ampun Ditta. Namanya juga cerita. Jangan percaya hantu!" 

"Krisna, jangan bilang seperti itu!" 

"Biarin. Suruh hantunya kesini kalau memang benar-benar ada! Saya pengen kenalan! Ha…ha…ha…." 

Wus. 

Saat selesai mengucapkan kata-kata terakhir itu tiba-tiba mobil Krisna berhenti mendadak. 

"Kok mati mesinnya?" Tanya Krisna sendiri. 

"Ini mobil bokapmu kan baru ya, Kris? Belum ada dua bulan?" 

"Iya. Mana mungkin udah rusak mesinnya!" berkali-kali Krisna mencoba menghidupkan mesin mobil sedannya. Tapi gagal. "Saya coba cek mesin dulu ya, Dit. Kamu di dalam mobil saja!" 

"Ati-ati, Kris!" 

"Iya, tenang saja. Kamu nggak usah turun!" 

Krisna turun dari mobilnya, membuka kap mobil dan dengan senter nampak memeriksa mesin mobilnya. Dan beberapa waktu kemudian, begitu menutup kembali kap mobilnya, Krisna muncul. 

"Aneh. Nggak ada yang rusak!" katanya heran. 

"Kunci pintu Kris. Takut ada perampok!" 

"Iya, iya…." 

"Aduh, mana nggak ada orang yang lewat lagi. Jalanan kenapa sesepi ini sih???" Ditta mulai merasa ketakutan. 

"Tenang, Dit. Saya coba stater lagi deh," Krisna kembali mencoba menghidupkan mesin mobilnya. 

Masih juga belum hidup. 

Hingga setelah setengah jam kemudian begitu Krisna sudah mulai merasa putus asa…. 

Tok. Tok. Tok. 

Dari samping kaca Krisna nampak ada yang mengetuk. 

"Kris!" Ditta terlonjak kaget. 

"Siapa ya?" 

ketika Ditta dan Krisna menoleh kearah jendela, nampak di sebelah jendela kaca Krisna ada seorang cewek cantik, berbaju hijau berdiri. Wajahnya nampak bersahabat. 

"Ada cewek, Kris?!" 

"Ngapain malam-malam ya?" Tanya Krisna. 

Tok. Tok. Tok….. 

"Buka saja kaca jendelanya kali ya?!" 

"Aduh jangan, Kris. Kita nggak tahu siapa dia…." 

"Maksud kamu, kamu takut kalau dia itu hantu? Ha…ha…ha," dengan cuek Krisna menurunkan kaca jendelanya. 

"Krisna, kita nggak kenal dia?! 

"Hai…" sapa cewek itu pelan. Wajahnya kelihatan sangat cantik. Baunya wangi. Rambutnya hitam tergerai. 

"Hai…" jawab Krisna. 

"Boleh saya menumpang sampai di perempatan depan?" Tanya cewek itu penuh harap. 

"Boleh saja. Tapi mobil ini sedang mogok!" jawab Krisna. 

"Mogok?" 

"Iya. Sudah beberapa kali saya nyalakan tapi nggak mau juga…." 

"Boleh saya Bantu hidupkan?" 

"Kamu bisa?" 

"Saya coba," katanya. Tangannya lalu meraih kunci kontak mobil Krisna. Memutar dengan pelan, dan nggak lama kemudian…. 

Grung…gruuungg…grunggg…. 

Aneh, mobil Krisna langsung menyala! 

"Wow, hidup!" teriak Krisna kegirangan. Sementara itu, Ditta tiba-tiba merasa gemetar ketakutan. Tanpa disangka, dalam sekejab mobil bisa menyala sendiri. Sementara ia tidak tahu siapa cewek itu. 

"Boleh saya menumpang sampai perempatan? Rumah saya ada di seberang jalannya…" kata cewek itu. 

"Boleh!" Krisna mengangguk cepat. 

"Krisna, kita tidak mengenal dia!" bisik Ditta. 

"Kenapa, Dit? Kamu takut dia hantu? Aduh, masih percaya juga sih kamu dengan cerita takhayul!" 

"Boleh saya masuk ke mobil sekarang? Saya kedinginan di luar…" pinta cewek itu lagi. Setelah kunci pintu belakang terbuka, cewek itu langsung masuk dan duduk seorang diri. 

"Terima kasih…" katanya. Dan mobil melaju kembali. Sepanjang jalan entah, Ditta merasa seperti di terror oleh perasaan aneh. Sungguh, ia tidak berani menengok ke belakang. 

"Di mana rumah kamu? Saya harus berterima kasih sama kamu karena sudah membantu menghidupkan mesin mobil," Tanya Krisna. 

"Nggak usah sampai rumah. Saya berhenti di perempatan jalan saja!" 

"Jangan! Harus sampai rumah kamu!" 

"Sungguh? Nggak takut?" 

"Nggak!" 

"Kita belok kiri!" abanya. Krisna membelokkan mobilnya. Nggak lama kemudian begitu berbelok, Krisna melihat ada satu rumah bercat serba putih, mewah dan penuh lampu. 

"Itu rumah saya!" kata cewek itu menunjuk. Mobil masuk ke dalam halaman rumah mewah itu. Cewek itu langsung turun. 

"Terima kasih atas tumpangannya. Mau mampir?" 

"Nggak usah, Kris!" kata Ditta cepat. 

"Ok, kami langsung pulang saja…." Kata Krisna. 

"Oh ya, tolong pegang permintaan saya ini. Selama dalam perjalanan, apapun yang terjadi jangan sekali-kali menghidupkan klakson," ucap cewek misterius itu. 

"Kenapa?" 

"Sudahlah, penuhi permintaan saya ini," katanya. 

"Baik, sampai jumpa…." Ucap Krisna sambil melambaikan tangannya. "Wah, Dit, tajir juga ya cewek itu. Sayang saya nggak sempat bertanya siapa nama dia!" 

Namun ketika mobil baru melaju kira-kira sejauh sepuluh meter, sekonyong-konyong ada seorang anak kecil berumur lima tahun melintas, menyeberang. 

"Teetttt!!!!" secara reflek Krisna memijit klakson mobilnya sambil mengerem kuat-kuat. Hingga tiba-tiba…. 

Brakkk!!! 

Mobil Krisna seperti menabrak sesuatu, hingga membuat Krisna dan Ditta terlonjak. Kepala keduanya terbentur kaca mobil dan tak sadarkan diri seketika. 

Yang jelas, keesokan harinya mereka terbangun dari pingsan itu, mereka kaget. Sudah banyak orang yang merubung mobil itu. Dan ketika lebih menatap keadaan sekelilingnya, Krisna dan Ditta benar-benar kaget. Mobil mereka berada di tengah-tengah pekuburan yang sangat luas! 

Krisna dengan sejuta tanya membuka pintu mobil. 

Ditta mengusap-usap jidatnya yang memar. 

"Kenapa mobil kamu bisa masuk ke dalam kuburan ini, Nak?" Tanya seorang bapak-bapak heran. 

"Ya Tuhan…." 

Krisna tersentak begitu keluar dari mobilnya. 

Ia ingat, malam itu ia mengantar cewek ke rumahnya yang sangat mewah dan berhalaman luas. Lalu kenapa mobilnya tiba-tiba berada di tengah kuburan? Ia baru sepuluh meter meninggalkan rumah mewah itu, harusnya rumah itu masih ada di sekitar tempat itu. Namun yang ada justru hamparan kuburan! 

Ia juga kembali teringat, ia melanggar pesan cewek itu karena telah menghidupkan klakson…. 

"Nak, kamu diganggu hantu penunggu tempat ini. Tadi malam mobil kamu dibawa ke tempat ini. Nggak mungkin kamu masuk di tengah kuburan ini karena harus melewati banyak batu nisan. Kamu percaya pada hantu kan, Nak?" Tanya Bapak-bapak itu yakin. 

Kali ini Krisna langsung mengangguk cepat tanpa menunggu satu atau dua detik lagi. 

"Saya percaya, Pak. Sangat percaya…." 

Lidah Krisna tiba-tiba terasa begitu kelu…. 



(AnekaYess: Edisi ke-5 Tahun 2003, 28 Februari - 13 Maret 2003) 

Handphone

Handphone 

Oleh Anita D.M.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Airlangga Surabaya 

Tet…tet…tet. Segera aku pulang. Kupercepat langkahku agar segera mendapat angkutan dan segera enyah dari muka teman-teman yang seharian tadi ribut membicarakan HP baru mereka. Tidak kuhiraukan panggilan Tomi, cowok yang naksir aku kebingungan melihat bibirku yang cemberut seharian dan tak menghiraukan panggilannya untuk pulang bersama dengan motornya. 

Kulempar tasku di kasur bututku. Panas rasanya hatiku mendengar semua teman-teman sekelasku selalu membicarakan HP, HP, dan HP. Tiada yang lain, padahal sekali pun aku tak pernah memegangnya, apalagi memilikinya. 

Kupandang celengan tanah di sudut kamarku dengan penuh kebimbangan akan kelanjutan pendidikanku. Lama kupandangi, dengan kegalauan hati, kupecahkan celenganku. Kuhitung lembar demi lembar. 

Hah, dengan uang sejumlah ini aku tak mungkin mampu membeli sebuah HP. Apakah aku harus?

"Na, Ina." Suara ibu memanggilku. "Bantu Ibu cuci piring Nak. Banyak sekali piring kotornya."

Dengan ogah-ogahan, akhirnya kubantu juga ibu mencuci piring yang sudah menumpuk. Sekilas kulihat bapak sudah mendorong gerobak jamu kelilingnya keluar kampung. Kerutannya yang mulai tampak jelas menandakan sudah seharusnya bapak tidak membanting tulang demi menghidupi keluarga. 

Tapi bagaimana lagi? Aku, anak sulungnya, masih kelas 1 SMU sedangkan adikku masih tiga lagi, jelas masih membutuhkan banyak biaya. Siapa yang bisa diandalkan? Akukah?

Malam mulai larut, tapi aku masih belum dapat memejamkan mataku. Masih terbayang wajah sinis teman-temanku di sekolah tadi, yang sangat meremehkanku hanya karena aku tak punya HP. Padahal mereka hampir tiap hari mencontek PR-ku, menyalin kertas ulanganku. 

Huh, seakan semua mencampakkanku, tak mau mengajakku karena yang mereka bicarakan senantiasa tentang HP, yang jelas-jelas tak kumengerti karena aku tak memilikinya. 

Masih kuingat jelas wajah Si Icha dengan cibiran khasnya yang dengan sengaja memamerkan HP barunya yang berwarna setiap melewati bangku tempat dudukku. Terlihat sekali raut wajahnya yang selalu memancarkan bara permusuhan. Icha memang sainganku di kelas. Kami selalu bergantian mendapatkan ranking satu. 

Tapi karena sifatnya borju, teman-teman lebih banyak menjauhinya dan memilih bergaul denganku. Mungkin itulah yang membuat Icha membenciku.

Yang terjadi saat ini, semua temanku mendekati Icha hanya karena ingin bisa memegang HP Icha dan mendapat kiriman ringtone terbaru.

Perlahan-lahan kuambil kunci laci tempat ibu menyimpan uang hasil jualan nasi pecelnya. Kuhitung perlahan lembaran uang yang ada. Jika kutambah dengan tabunganku, cukuplah untuk membeli sebuah HP meski tak sebagus milik Icha. 

Tapi, bagaimana dengan ibuku? Kebimbangan menderaku. Namun kuputuskan untuk tetap memiliki HP, apa pun yang terjadi. Aku harus memilikinya! Harus!

Otakku segera berpikir cerdik. Kubuka sedikit pintu warung ibuku, kutinggalkan beberapa jejak sandal jepit yang telah kuberi noda lumpur. Dan, tak lupa kubuka sedikit laci tempat uang agar menimbulkan kesan pencurilah yang mencuri uang ibuku, dan bukan aku.

Esok paginya, gaduh orang kampung mengerubuti rumahku yang disangka kemalingan. Terlihat ibu menangis terisak dan bapak berusaha menenangkannya. Aku mulai tak tahan melihatnya. Kutinggalkan rumah menuju sekolah.

Aku sangat gelisah. Semua pelajaran tak ada yang masuk ke otakku. Berkali-kali bunyi HP si Icha mengganggu jalanya pelajaran. Anehnya, teman-temanku memandanginya dengan raut muka penuh kekaguman. Huh, lihat aja setelah pulang sekolah! Aku akan memiliki HP juga!

Tet…Jam istirahat segera berbunyi. Teman-temanku mengerubuti Icha untuk bermain-main dengan HP-nya. Aku hanya melihatnya dari bangku di sudut halaman sekolahku sambil melihat tukang bangunan yang sedang memperbaiki sekolahku. 

Kulihat Icha menuju ke arahku. Kulihat mukanya sinis menatapku dengan memamerkan HP yang ada di genggamannya. 

Entah apa yang diucapkannya padaku sehingga membuatku marah dan sangat tersinggung. Tanpa pikir panjang, kuambil potongan besi di depanku. Lalu, kupukulkan keras-keras ke kepalanya. 

Cret! Terasa cairan hangat berbau amis dan berwarna merah muncrat ke mukaku. Tubuh Icha jatuh. Lalu, kudengar teriakan, "Pembunuhan! Pembunuhan!"

Anehnya, aku malah tertawa dan membayangkan aku telah memiliki HP. HP dengan model terbaru. 

Gundar Sepatu

Gundar Sepatu

Bagi  orang parlente gundar sepatu,  penting.  Karena setiap  ke luar rumah, sepatu harus  mengkilap.  Bagaimana sepatu bisa mengkilap kalau tidak digundar setiap hari. Di hotel  berbintang, tempat golongan elite  biasa  menginap, gundar  sepatu  memang tidak disediakan.  Yang  disediakan flanel berbentuk kantong kecil. Masukkan tangan kedalamnya, lalu sekakan ke sepatu. Kalau sepatu itu kumal betul, panggil  pelayan hotel untuk membersihkan. Tapi  mana  ada orang elite  keluar masuk hotel dengan sepatu berlumpur? 
          
Dalam masa perang gerilya, gundar sepatu menjadi  lebih penting fungsinya dibandingkan kebutuhan sepatu orang elite. Banyak pejabat dan pejuang menyimpan gundar sepatu  di kantong atau di ranselnya, meski kemana-mana mereka  memakai sandal dari ban bekas mobil. 
         
Begini ceritanya, menurut Si Dali.      
          
Sekali  pagi terjadi heboh besar. Sersan Bidai  merazia semua ransel anggota rombongannya sambil menodongkan  pestol rakitan lokal. Mencari miliknya yang hilang.  Miliknya yang hilang itu ditemukan dalam ransel Letnan Tondeh.  Tak seorang pun menyangka yang mencuri seorang letnan. Lebih  tidak ada yang menduga kalau letnan itu  mencuri gundar  sepatu sersan yang anak buahnya. Bahkan tidak  ada yang  tidak  heran, kalau sersan itu sampai  kalap  hingga menodongkan  pestol karena hilangnya sebuah gundar  sepatu saja. Apa benarlah pentingnya gundar sepatu. 
          
Peristiwa itu sampai ke telinga komandan batalyon.  Menurutnya, seorang sersan menodongkan pestol kepada seorang letnan itu merupakan pelanggaran berat. Benar-benar berat. Si sersan ditangkap. Tapi di daerah gerilya mana ada rumah tahanan provos. Namun hukuman tetap dijatuhkan.  Pestolnya dilucuti. Pangkatnya diturunkan jadi kopral. Nyalinya  pun copot. Dalam pemeriksaan, dia mengaku sangat marah  karena gundar sepatunya dicuri. 
          
Mendengar laporan bahwa seorang letnan sampai mau  mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri, Mayor Segeh  yang komandan  batalyon, memanggil Letnan Tondeh.  Tidak  masuk pada  akalnya,  seorang perwira yang  kemana-mana  memakai sandal  dari  ban bekas mobil, sampai mau  mencuri  gundar sepatu anak buahnya sendiri. 
          
"Mencuri gundar sepatu lagi. Itu merusak martabat  perwira namanya. Bikin malu kamu. Bagaimana mungkin kita bisa menang perang kalau perwira sudah sampai mau mencuri milik anak  buah sendiri. Bagaimana macamnya republik  ini  bila perwiranya sekonyol kamu?" kata Mayor Segeh kepada  Letnan Tondeh. 
          
"Gundar sepatu saya hilang. Saya perlu gantinya."  kata letnan itu. 
          
"Buat apa gundar sepatu, toh, kamu tidak pakai sepatu?" 
          
Dan  ketika  komandan mendengar keterangan  letnan  itu arti  gundar  sepatu bagi diri sendiri, si  Mayor  tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya berderai.  Kemudian, setelah  ujung  ketawanya mereda, kata mayor  itu:  "Jadi? Setiap  malam, setiap matamu tidak bisa tidur,  kamu  elus  bulu gundar sepatu itu dengan ujung jarimu. Begitu?" 
          
"Ya. Begitulah."
          
"Kenapa kamu tidak kawin saja?"  
          
"Teman-teman  sudah ambil semua, Mayor. Malah ada  yang ambil dua." jawab Letnan Tondeh. 
         
"Jangan  menyindir, ya?" kata Mayor Segeh sambil  memlototkan matanya, karena selama perang mayor itu sudah punya dua bini. 
          
Menurut desas-desus, setelah peristiwa itu, banyak gundar sepatu dipesan ke kota oleh orang-orang di daerah  gerilya itu. Mereka  membawa gundar sepatu kemana pun mereka pergi. 
          
Ya, setelah desas-desus yang sampai ke telinga Si Dali, lalu Si Dali bercerita. 
          
"Tak lama setelah heboh gundar sepatu itu daerah  kedudukan  pasukan kami diserbu musuh. Kami sempat  menyingkir ke hutan. Beruntunglah tak seorang pun yang terbunuh.  Setelah  musuh kembali waktu sore, aku kembali ke  pangkalan dengan tertatih-tatih. Yang bernama pangkalan kami terdiri hanya enam rumah kayu kecil-kecil, disamping pondok-pondok dari ilalang yang bertebaran yang kami buat. Penduduk  menamakannya taratak. Di sekitar itu berpencar banyak  teratak lagi, yang menjadi tempat tumpangan para pimpinan  gerilyawan militer atau sipil.  Taratak  kami porak poranda. Semua benda bertebaran  di tanah. Pecah dan peot. Terkapar seperti petinju kena  K.O. Semua  orang  yang berseragam hijau utuh atau  bukan,  dan yang  orang sipil berpencar-pencar. Bungkuk  merukuk-rukuk mencari  dan memungut sisa benda milik mereka  yang  masih utuh atau yang masih bisa dipakai. 
          
Maruhum, seorang camat, yang dimasa perang gerilya  itu diangkat jadi Wedana Militer adalah salah seorang penghuni taratak.  Waktu aku tiba dia duduk di bawah naungan  pohon nangka.  Seluruh   buah pohon itu, yang muda  sampai  yang putik, dirontokan musuh yang menyerbu seperti badai.  Dagu Maruhum  bertopang pada kedua lututnya.  Termangu  seperti orang yang kepalanya hampa. Boleh jadi juga hatinya tengah melolong atau tersedu. 
          
Semua orang, demi melihat aku tiba, pada menggeleng kepala sambil melirikkan mata ke arah Maruhum. Seperti mereka  merasa  tahu apa yang dirisaukan  Maruhum.  Menurutku, dalam pikiran mereka, Maruhum risau oleh kehilangan  benda yang paling disayangi. Apalagi kalau bukan gundar  sepatu. Kesanku  juga  begitu. Akupun menggelengkan  kepala.  Tapi bukan karena Maruhum yang risau oleh kehilangan benda yang sesungguhnya tidak akan memenangkan perang masa itu. Melainkan karena aku ingat betapa pentingnya arti gundar sepatu oleh Sersan Bidai sehingga dia sampai berani  menodongkan pestol pada Letnan Tondeh. 
          
Menurutku, sebagai Wedana Militer, tugas Maruhum  tidak jelas. Selain menghadiri rapat bila ada panggilan Gubernur Militer atau Bupati Militer. Makanya aku anggap  fungsinya tidak lebih penting dari gundar sepatu bagi prajurit yang terpisah dengan istri demi memelihara moril gerilyanya. 
          
Namun sekali waktu Maruhum berkata padaku, menurut  Pak Rasjid,  Gubernur Militer, jabatannya itu penting.  Sesuai menurut hukum internasional, suatu negara baru sah keberadaannya, bila ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada  pemerintahannya.  Meski presiden negara itu ditawan,  tapi  masih ada pimpinan pemerintahan seperti Sjafruddin  Prawiranegara. Suatu pemerintahan yang sah, mesti ada organisasi  dan stafnya.  Itulah fungsi Wedana Militer. Suatu bangsa  yang cuma punya berdivisi-divisi tentera saja, betapun kuatnya,        tidaklah akan diakui internasional sebagai negara. Paling-paling akan dianggap sebagai gerombolan saja." 
          
Aku mendekati Maruhum. Aku pun duduk bersandar ke pohon nangka  itu.  Setangkai ranting aku pungut.  Ujungnya  aku congkel-congkelkan ke tanah sambil mencari bahan bicara. Dalam pikiranku, tanpa gundar sepatu pun orang bisa memenuhi  kebutuhan  biologisnya di hutan  rimba  sekalipun. 

"Ada apa, Bung Wed?" tanyaku akhirnya dengan menyingkatkan sebutan Wedana sebagaimana lazimnya orang seusia masa itu. 
          
"Tidak apa-apa." kata Maruhum dengan lesu  setelah  menarik nafas panjang dan kemudian melepaskannya. 
          
"Ada yang hilang?" 
          
Pertanyaan itu tidak berjawab. Aku kembali mencari-cari bahan pertanyaan lain. Lama juga saat berlalu. "Apa perang ini masih akan lama, Bung?" akhirnya Maruhum bertanya. 
          
"Bisa jadi. Mengapa?"

"Belanda ini bandel betul. Taroklah dia sudah menguasai seluruh negeri ini. Kita kalah. Pemimpin kita di bui. Apakah  rakyat yang sudah merasakan nikmat  merdeka,  pejuang yang  sudah biasa bertempur, akan diam-diam  saja  dibawah penjajahan  Belanda itu nanti? Tidak, toh. Perang  mungkin sudah selesai, tapi permusuhan akan terus berlangsung. Begitu, kan?" Maruhum berbicara dengan suaranya yang  letih. Seperti  tidak memerlukan tanggapan. Dia  melanjutkan. "Menurut Gubernur Militer, Pak Rasjid, Belanda tahu mereka tidak akan menang dalam perang ini. Serangan Belanda  ini, tidak  lain dari usaha mereka untuk memaksa kita  ke  meja perundingan. Demi menghindarkan kehilangan mukanya. Mereka tangkap Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu, mereka hanya  mau berunding  dengan kedua pemimpin yang ditawan  itu.  Tidak dengan Sjafruddin. Berunding dengan orang yang ditawan lebih  gampang menekannya, bukan? Ingat sejarah  Diponegoro, Imam Bonjol. Belanda berunding setelah mereka itu ditawan." 

"Semua orang bicara begitu." kataku asal bicara.
          
"Bila perang ini selesai, dengan perundingan atau bukan akan banyak persoalan timbul. Lebih rumit dari  peperangan ini." kata Maruhum setelah lama dia terdiam. 
          
"Umpamanya?" 
         
Mulut  Maruhum terkatup. Dagunya kembali  diletakkan  ke lututnya.  Bayang-bayang pohon nanka sudah  tak  kelihatan lagi.  Sudah hampir sama gelapnya dengan senja  yang  kian larut. Orang-orang mencari miliknya pada puing-puing rumah yang dirobohkan musuh itu, sudah tidak ada lagi. 
          
"Para prajurit naik pangkat, tentera pelajar ke sekolah tinggi  dengan cuma-cuma. Gubernur jadi menteri.  Politisi jadi  anggota perlemen. Aku sendiri, yang Wedana ini  akan bekerja  di kantor. Tak tahu aku apa tugasku. Aku  kehilangan banyak." katanya setelah lama kami sama-sama terdiam. 
          
Bagaimanapun besarnya pengorbanan kita sudah jadi bangsa  yang merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa  ini  akan membangun diri agar bisa menikmati hidup yang lebih  baik, adil  dan sejahtera. Itu pikiranku, yang  aku  serap  dari pidato  para pemimpin. Tapi Maruhum berpendapat lain.  Dia merasa kehilangan. Kehilangan apa, yang padahal pangkatnya sudah setinggi itu? Wedana. 
          
Menurutku,  dia termasuk yang beruntung  karena  adanya perang ini. Dia tidak sepatutnya bersikap skeptis.  Karena cobalah  pikirkan, jika Belanda itu kembali ke sini  tidak  membawa bedil dan meriam, melainkan membawa salam dan  senyuman,  semua pangkat dan jabatan tinggi itu  tidak  akan sebanyak ini bertebaran. Paling-paling Maruhum hanya  akan jadi klerk sebagaimana yang diceritakannya kepadaku. Demikian Mayor Segeh. Demikian pula Letnan Tondeh. Namun Maruhum  merasa kehilangan pada akhir perang kemerdekaan  ini.        Kenapa? 
          
"Aku kehilangan gara-gara gundar sepatu." katanya  pula setelah lama kami sama-sama terdiam. 
          
"Hah?" sergahku karena tidak tahu apa hubungannya.
          
"Kepada  Si One, perempuan pedagang yang  keluar  masuk kota  itu  aku titip surat untuk istriku.  Minta  dikirimi gundar sepatu. Kata istriku dalam surat balasannya:  "Gundar  sepatu  kamu sudah tiada. Untuk pengganti  aku  kirim yang lain." Bung tahu apa yang dia kirim?" 
          
Tanpa  menunggu jawabanku Maruhum berkata dengan  suara yang parau: "Pasti dia punya gendak. Lalu dikiriminya  aku gundar kamar mandi usang dari ijuk yang kasar". 
          
Ketika aku ketemu Si One, perempuan yang pedagang keluar masuk kota itu, aku tanyai dia. Sebagaimana orang  desa yang biasanya polos, dia ceritakan fungsi gundar sepatu di daerah  gerilya  pada istri Maruhum.  Dan  perempuan  itu, katanya, marah sekali sampai bercarut-carut.   
          
Dalam  hatiku,  perempuan mana yang tidak  sakit  hati, bila diduai. Apalagi dengan gundar sepatu. 


Kayutanam, 17 Juni 1997.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer