hujan di taman--Agustinus K
Dikemas 15/10/2003 oleh Editor
Tentang Malam. Malam malam bertambah kelam
Hujan Di Taman
Sore tadi hujan turun. Deras sekali. Titik-titik air terjun bagai jarum pentul, menusuk-nusuk tanah yang kering. Berbongkah-bongkah. Satu jam kemudian hujan berhenti.. Terkesiap. Sisa air hujan merembes ke dalam pasir. Sisa pasir yang tadinya berserak, sekarang berubah jadi gumpalan. Gumpalan pasir padat, pejal, dan abu-abu. Banyak sekali gumpalan itu.
Hujan telah merajut pasir jadi gumpalan-gumpalan yang makin lama makin banyak. Satu persatu mereka berkumpul dan dari gumpalan itu jadilah sebuah taman. Taman di sebuah kota yang baru saja diguyur hujan.
Mulanya taman itu sunyi sekali. Tidak ada suara-suara binatang malam yang biasanya meringkik. Kunang-kunang yang biasanya jadi permata, nihil. Garis-garis cahaya yang biasanya memancar dari terkaman bulan dan bintang, absen. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat.
“Taman itu angker,” kata banyak orang. Di dalam taman hanya ada dua bangku panjang berwarna putih. Batang-batang kakinya sudah coklat berkarat. Lalu, di sebelah utara taman, ada tiga tangkai kamboja dan dua buah lampu petromak yang tidak lagi memiliki nyala. Di sebelah timur, ada satu buah gerobak “ronde’ yang sudah rongsok. Kayu-kayunya lapuk dilahap rayap yang menjelajah sepanjang tanah. Gumpalan pejal pasir, hanya mampu menghias taman sebatas kesunyian.
Lama kelamaan, entah kapan dimulainya, taman itu jadi sedemikian ramai. Cahaya-cahaya dari segala jenis sumber berpendaran. Berkilat-kilat seperti ada pertarungan antara ksatria yang berjubah kemilau. Perak. Suara-suara bising hadir. Berdengung, keluar dari mulut-mulut manusia, binatang, tanaman, yang bibir-bibirnya merekah.
Ternyata, keramaian taman disebabkan karena satu gumpal pasir telah melahirkan seorang anak. Anak perempuan yang cantiknya melebihi dewi-dewi di Kahyangan. Yang suaranya semerdu embun. Dan laku badannya selembut nada-nada dari gubahan komponis besar. Anak perempuan itu, dinamakan: Malam.
Sejak Malam lahir, banyaklah makhluk berdatangan ke taman. Berdua-dua. Bertiga-tiga. Berempat-empat. Bergerombol, seperti lebah yang sedang berarak menuju sarang. Kehadiran makhluk pertama, adalah kawanan semut hitam yang beriringan mengangkut jenazah seorang kakek yang sudah renta. Yang mengatupkan tangan di atas dada. Kulitnya keriput bak kertas buram.
Lalu dari langit yang kemerahan beterbanganlah kelompok kupu-kupu bersayap jingga dan bersuara kecapi. Kepak sayap kupu-kupu itu menari dari nada yang keluar dari sungut mereka. Kemudian, tak lama datanglah seekor anjing kurus, kulit-kulitnya sobek karena penyakit kurap yang sudah lama diidap. Anjing ini lari dari sebuah rumah mewah yang bertengger di salah satu kompleks perumahan mewah dekat taman.
Berdatanganlah kemudian manusia-manusia. Gelandangan. Guru. Dosen. Menteri. Presiden. Budayawan. Agamawan. Filsuf. Ilmuwan. Sarjana-sarjana dari segala penjuru mata angin…
Mereka berkumpul di taman. Membentuk kelompok-kelompok yang masing-masingnya dipisahkan oleh seutas tali berwarna keemasan. Setiap kelompok tidak boleh melintasi tali itu, jika tubuh mereka tidak ingin luluh lantak terbakar oleh api.
Kelompok-kelompok itu bercengkrama. Berdiskusi hebat. Berdebat panjang mulai dari soal Hegel, Marx, Nietszhe, Adam Smith, Sartre, Sapardi, Budi Darma, Gunawan Muhamad, Albert Camus, Annemarie Schimmel, Greg Barton, Syekh Siti Jenar, Soekarno, Soeharto…Mereka berhura-hura di taman.
Lipat waktu. Malam beranjak dewasa. Dan setelah ia besar wajahnya berubah menjadi lidah api yang menjulur-julur panjang. Setiap kali Malam tersenyum, api melalap seisi taman sampai habis. Tumbuh-tumbuhan dan bunga hangus terbakar. Gedung-gedung pecah berantakan. Bumi berguncang laksana gempa. Cakrawala menyibakkkan rongga tubuhnya yang berisi kalajengking. Bidadari-bidadari langit jumpalitan karena Kahyangannya lumer oleh api. Petir menyambar-nyambar. Garis zig zag keperakan malang melintang di langit. Manusia yang sedang berhura-hura di taman lari terbirit-birit seperti dikejar gerimis. Bubar. Karena senyum Malam makin menakutkan, dibuatlah peraturan: Malam dilarang tersenyum!
Sejak Malam tidak pernah tersenyum, taman kembali hidup. Pepohonan dan bunga mekar. Segala rupa kembang mengintip di permukaan tanah. Bangku-bangku taman yang kemarin rusak, mulai dibangun kembali. Kali ini lebih kokoh dan lebih mewah. Sebuah pusat perbelanjaan dipusatkan di tengah taman. Deretan toko yang menjual souvenir jadi pemandangan baru di taman. Gedung kesenian dibuka. Setiap hari ada pembacaan puisi. Pagelaran teater. Drama. Pembacaan cerpen. Atau acara musik dan pameran lukisan. Setiap hari orang berduyun-duyun datang ke taman. Mereka kebanyakan datang dengan tujuan satu: Melihat Malam yang tak pernah tersenyum.
Setahun kemudian, hujan kembali turun. Kali ini hujan turun lebih deras dari hujan-hujan sebelumnya. Air seperti ditumpahkan dari langit lewat sebuah gentong yang bibirnya menganga. Hujan datang bersama petir yang berkelabat kejam. Menghancurkan dahan pohon serta membakar atap-atap rumah yang melengkung menatap cakrawala. Angin bertiup kencang. Semburannya membuat burung-burung gereja lari meninggalkan taman. Banyak orang meninggal karena bencana hujan itu. Beberapa terseret air bah. Tersangkut di sebuah penangkal petir tajam dari sebuah gedung yang patah tudungnya. Beberapa mati seketika tersambar kilat. Tubuh mereka terpanggang. Hitam dan kaku. Banyak orang kebingungan. Mereka tidak tahu, kemana lagi harus berharap.
“Tuhan…Tolonglah kami!” Banyak orang berseru sambil menengadahkan telapak ke arah surga. Banyak juga perempuan, meminta, berdoa sambil mengucurkan air mata.
Akhirnya ditemulah jalan. Lorong terang. Ada kesepakatan baru dari orang-orang: Malam dimohon untuk tersenyum lagi! Bahkan kalau perlu, Malam diminta untuk lebih dari sekedar tersenyum. Malam diminta untuk tertawa sekeras-kerasnya.
Mulailah Malam tersenyum. Senyum simpul pembuka dari Malam langsung mengeluarkan kobar api yang menjulur seperti selendang terbakar. Kobaran api itu melawan deras hujan yang turun dari langit. Kekuatan air dan api bertempur. Bayangan pertempuran keduanya terlukis di atas cakrawala. Membentuk siluet yang sepanjang hari dapat dinikmati sebagai karya seni tertinggi: Pertarungan abadi antara air dengan api! Setiap satu tetes air dilawan oleh satu senyuman yang sekejap melelehkan api. Dan setiap tetes berikutnya, Malam membalasnya dengan senyum.
Pertempuran makin seru. Makin sengit. Sampai tiba suatu ketika, hujan menyerang malam dengan ganas. Titik-titik hujan menjelma jadi rencong dan samurai yang siap menghunus Malam. Malam bergeming sedikit. Memberikan satu senyuman yang langsung lumat diterjang air. Malam hampir kalah. Akhirnya ia berdiri. Bermegah di atas batu dan merentangkan tangannya yang menghampar laksana jubah api. Malam tertawa. Sekeras-kerasnya. Gaungnya membahana dan membentuk percikan-percikan api yang mengiris-iris langit.
Tawa Malam makin besar. Dan api menjulur makin besar. Makin merah. Akhirnya hujan menyerah. Dan sejak saat itulah, taman kembali hidup dengan tambahan gumpalan-gumpalan pasir yang baru. Gumpalan pasir bertabur api, sisa pertarungan kemarin.
Sekali waktu, saya pergi ke taman itu naik kupu-kupu. Saat itu senja baru saja terbit. Bunga bunga bakung bermekaran. Merekahkan putiknya selebar mungkin dan menghembuskan nafasnya yang wangi. Matahari hampir tergelincir di u***** barat. Sinarnya redup kemerah-merahan.
Saya masuk ke taman. Berkeliling berkendara kupu-kupu mencari perempuan yang bernama Malam. Dari cerita orang saya tahu kalau Malam adalah perempuan yang cantik dan kokoh. Sampai lama sekali saya berkeliling taman, saya belum juga menemu malam. Tapi saya melihat di jepitan mega hitam, ada seorang laki-laki yang tersenyum kepada saya. Katanya, “Teruskan nak. Saya suka pada mereka yang berani masuk menemu malam.”
Saya tak lihat jelas orang itu. Tapi dari sekilas tatapan saya, saya tahu kalau laki-laki itu belum terlalu tua. Lima jam saya mencari Malam. Tapi tak juga perempuaan itu kutemui. Akhirnya saya duduk di bawah pohon beringin besar. Melepas lelah sambil mengipas-ngipas tubuh saya dengan handuk. Kupu-kupu yang saya kendarai saya ikat di salah satu dahan beringin. Saya hampir tertidur. Dan Malam belum juga datang. Tiba-tiba…
“Hi,” sebuah suara singgah di telinga. Lembut seperti kapas.
Seorang perempuan cantik menghampiri saya. Wajahnya bersinar seperti kartika bercahaya. Tubuhnya semampai seperti pohon kelapa. Payudaranya tegak. Padat.
“Kamu siapa?” Tanya saya dengan sisa keterkejutan.
“Saya Malam.”
Saya terlonjak. Senang sekaligus takjub. Tanpa kata-kata. Atau suara.
Tapi birahi saya terbit. Menggesek-gesek di jantung dan mengalir sekujur darah.
“Kamu mau…eeengg….?” Kata malam.
“Berapa?”
“Dua ratus ribu, berani nggak??” balas dia cepat. “Tapi pakai kondom ya biar aman. Nanti saya tambah SS.”
“Gak bisa kurang?”
“Emangnya beli pecel lele di kaki lima, ha ha ha ha ha ha.”
“Mainnya di mana?”
“Di atas kupu-kupu kamu saja,” jawab dia kenes, “Nanti saya kasih seribu gaya yang bikin kamu kejang-kejang. Nikmat.”
“Bolehlah,” ujar saya.
“Nah gitu donk!”
Akhirnya saya dan dia bercinta di atas kupu-kupu. Sebutir bulan berjubah kuning redup menyorot dari balik langit. Bintang gemintang sekejap ada di cakrawala. Parade nur berarak di langit. Burung hantu dan burung gereja menguap di rerimbunan daun. Tapi ada yang rajin bersuara kuk-kuk-kuk. Kadang membikin bulu ini merinding. Malam kasih saya satu gaya yang paling mutakhir. Gaya terbang. Bayangkan, pernahkah ada manusia yang bercinta sambil terbang? Mata saya merem melek, menyaksikan gumpalan awan yang sekejap saja bisu seketika saya melintas. “Ck-ck-ck-ck Hebat sekali,” batin saya. Saya puas.
Selepas bercinta, hujan turun. Saya dan dia berteduh di balik kelambu sayap kupu-kupu. Sambil menunggu hujan reda saya menyulut sebatang rokok. Malam ikut-ikutan merokok.
“Kok kamu tidak mau senyum sih?” tanya saya
“Memang kenapa?”
“Biar hujannya berhenti. Biar tidak basah kuyup begini.”
“Ah, biarin aja hujan. Memangnya kenapa?”
“Taman ini bisa-bisa hancur lho,” kata saya serius, “bisa becek. Lengket. Dan tidak indah lagi nantinya. Kan kasihan pengunjung taman ini.”
“Sok sosial luh!”
“Biarin!”
Hujan turun lama sekali. Saya dan dia menggigil. Akhirnya kami saling dekap. Saya hitung, hujan turun kira-kira satu abad lamanya. Gemuruhnya juga mengikuti deras hujan yang selama satu abad. Dan saya tak henti-hentinnya menunggu hujan reda. Bersama Malam. Tidak makan. Tidak tidur. Tidak minum. Tidak bercinta. Tidak membaca. Tidak bicara. Tidak bermain. Tidak berdoa. Tidak kuliah. Tidak bernafas. Tidak hidup. Tidak mati…Hanya saling dekap.
Saya menoleh ke arah Malam. Semakin lama ia semakin kurus. Daging-daging padat di tubuhnya hilang. Menguap ke langit. Malam hanya bersisa tulang belulang putih yang ringkih. Sejujurnya saya sedih sekali melihat Malam.
“Hei,” teriak saya, “Bangun!!!”
Dan Malam memeluk saya. Diam. Bisu. Bisu yang makin membiru.
Bibir saya basah kena cipratan hujan
Baju Malam luntur sebagian terkena air.
Saya menunggu hujan reda terus-menerus. Malam makin kerempeng. Makin tipis dan kehilangan nyawa. Sementara, taman-taman yang tadinya mengkilap sudah musnah disapu hujan. “Hujan memang jahat,” gumam saya. Dalam sisa taman hanya ada saya dan Malam. Satu laki-laki dan satu perempuan yang berdekapan. Erat. Teramat erat.
“Malam, bangun!!!” teriak saya makin keras. “Banguuun!!!!”
Malam tidak menyahut. Malam mati. Malam menemu ajal. Dan saya menguburkan jenazahnya pagi tadi. Di pekuburan dekat taman.
Kokok ayam berbunyi tiga kali.
Matahari bersinar terang. Untuk yang pertama kali. Terik sekali.
Selamat pagi.
Jatinangor, Agustus 2003